Monday, March 12, 2012

MAINTAINING LIFELINE (3): WHO NEEDS MORE ENGLISH NOW?


Pernah merasakan sepi sendirinya tinggal di kota kecil di Texas membuat saya tidak henti mensyukuri lika-liku hidup di kota metropolitan seperti Melbourne sekarang ini. San Marcos memang tidak bisa dibandingkan dengan Melbourne. Terlalu jauh bedanya. San Marcos hanyalah kota universitas yang berpenduduk sekitar 30.000 orang saat itu. Di luar jumlah itu, sebagian besar penghuninya adalah mahasiswa Texas State University. Jadi kota ini hanya ramai saat perkuliahan. Saat liburan tiba, San Marcos tak ubahnya kota mati. Suara saya pernah sangat serak karena tidak dipakai untuk bicara selama 3 hari. Dua roommate saya, Darlene dari Filipina dan Jun Mei dari Cina sedang pulang kampung. Saya baru membuka mulut saat tiba jadwal menelpon suami di tanah air.

Melbourne, sebaliknya, ditasbihkan sebagai kota budaya oleh UNESCO. The most livable city in the world. Sangat multikultural. Celotehan dalam bahasa Cina, India, Jepang, Arab, Turki, dan bahkan bahasa Indonesia tidak akan sulit didengar di seputar kota atau kampus. Saya malah tidak perlu menunggu lebih dari 1 hari untuk menemui wajah-wajah Indonesia di sekitar tempat tinggal, di atas tram, dan bahkan di seputar kampus. Jangankan mahasiswa, artis saja kemungkinan besar bisa anda temukan di tram. Personil Nidji pernah bersantai menyusuri kota dengan naik tram saat mereka manggung di Melbourne. Mungkin ingin merasakan enaknya menjadi orang biasa. Naik transportasi umum, tanpa kejaran fans.  Mungkin juga mereka sedang bernostalgia masa-masa belajar di luar negeri.

Memiliki begitu banyak sahabat dari Indonesia di sekitar saya tinggal memang menjanjikan lifeline yang berbeda. Sapaan, ‘eh, mau ke mana?,’ ‘belanja mbak?,’ ‘nanti ke pengajian bawa apa ya?’ menjadi sangat biasa bila kebetulan sedang berpapasan dengan teman. Enaknya,  kadang tidak terasa bahwa saya sedang berada di luar negeri. Tapi kalau terlalu nyaman, bisa-bisa malah lupa bahwa studi di luar negeri juga untuk belajar hidup dengan bahasa dan budaya yang berbeda. Tak heran pak Munir pernah bilang bahwa bahasa Inggris kita bisa stagnant meski hidup bertahun-tahun di negeri orang. Saat dia bilang begitu, saya tidak terlalu paham maksudnya. Pengalaman hidup di Texas mengatakan yang sebaliknya. Sekarang saya baru paham dan mengamini pendapatnya. Ketika di San Marcos dulu, praktis tiap hari bahasa Inggris saya terpakai. Mulai dari apartemen, saat kuliah di kelas, di supermarket, di mesjid, dan di manapun saya berada. Di Melbourne ini, saya tidak lagi perlu duduk di kelas. Tugas saya ‘hanya’ membaca dan menulis. Kesempatan untuk bertemu dengan supervisor hanya 2 minggu sekali. Maka secara akademis, bahasa Inggris saya hanya terpakai saat itu. Di luar itu, kalau kebetulan bertemu dengan teman dari negara lain, barulah kami ngobrol dalam bahasa Inggris. Kesempatan yang ada setiap hari adalah untuk keperluan going shopping saja, atau untuk urusan sekolah Ganta dan Adzra. Sekedar percakapan santai dengan kasir atau guru Adzra menjadi ‘keharusan’ agar lidah tetap terlatih.

Kadang saya berpikir, mungkin ini bukan lagi masa saya untuk mencari kesempatan belajar bahasa Inggris, setidaknya secara lisan. Yang harus lebih intensif saya lakukan adalah menulis, menulis, dan menulis dalam bahasa Inggris. Kali ini giliran masa emas bagi Ganta dan Adzra untuk belajar bahasa dan budaya yang berbeda. Bukankah memang ini salah satu tujuan mengajak serta anak-anak untuk tinggal di Melbourne? Maka saya perlu mulai membiasakan berbicara dalam bahasa Inggris dengan mereka. Untuk inipun, nampaknya saya tidak perlu terlalu khawatir. Kids pick up new words very quickly. Putra-putri teman-teman yang sudah lebih dahulu bersekolah di Melbourne bahkan sudah totally immersed in English. Dengan Australian-English pronunciation. Mengagumkan melihat bagaimana anak-anak usia 5-9 tahun sudah bisa sangat lancar ngobrol dengan satu sama lain.  Adzra sendiri dalam waktu 1 bulan sudah mulai bisa menggunakan kata-kata kunci saat bercerita tentang kegiatan di sekolah. Kalimat-kalimat pendek seperti toilet, please, I want water, I’m hungry, I’m sleepy, I’m happy, it’s beautiful, look at this, don’t do that, don’t hit me, I don't know, nothing sudah mulai spontan terdengar. Beberapa kata atau kalimat lain bahkan tidak pernah saya ajarkan sebelumnya. She must have picked them up at school. Tiap hari dia bersenandung lagu-lagu baru dengan celotehan yang belum jelas, kecuali kata-kata di akhir yang bisa ditangkap. Bagi seorang guru Bahasa Inggris seperti saya, adalah sebuah kenikmatan mengamati day-to-day progress pada Adzra. Betul-betul melihat bagaimana tahap silent period, one-word stage, two-word stage, dan simple sentence dalam Natural Approach dari Krashen and Terrel memang bisa dibuktikan.

Akan halnya Ganta, saya lebih melihat perlunya mendampingi dan mengawasi. Banyak hal yang membuat saya yakin dengan Ganta. Ngobrol dengan temannya di telpon, aktif di football club di sekolah, jalan-jalan ke kota dengan teman-temannya,  membaca novel yang dia pinjam di public library atas inisiatif sendiri. Semua membutuhkan komunikasi dalam bahasa Inggris. Saya kira Ganta sudah tahu bagaimana harus meningkatkan kemampuannya. Sebagai ibu, tugas saya adalah mengarahkan agar kegiatan yang dia lakukan tetap berada pada jalurnya.    

1 comment:

Gustaf Wijaya said...

Adzra gedenya pasti jadi anak keren Maaam :D

waaaaaaaahh