September 2012. Tidak terasa genap 1 tahun sudah aku
meninggalkan tanah air tercinta. Saat aku menginjakkan kakiku pertama kalinya
di negeri kangguru, aku disambut oleh musim semi yang masih malu-malu. Aku
diingatkan oleh sebutan Melbourne, a city
with four seasons a day. Itu judul posting awalku di blog saat hari-hari
pertamaku di sini. Angin dingin yang tak henti menerobos seolah memberi tanda, “life is not gonna be predictable, here.”
Menengok kembali ke belakang, terlihat kilatan kenyamanan
hidup yang kulepaskan. Mulai jajanan di warung yang hanya sejengkal dari rumah,
pekerjaan yang meski melelahkan namun amat menyenangkan, atau keberadaan suami,
keluarga, dan tetangga yang siap sedia bila dibutuhkan. Kutinggalkan zona
nyamanku, dan kutapakkan langkahku pada hidup penuh tantangan dan gulatan
emosi. Status baru yang kusandang: I’m
just a struggling PhD mommy. Menyeimbangkan antara tuntutan studi yang
membutuhkan konsentrasi dan kemandirian tingkat tinggi dengan tanggung-jawab
seorang ibu untuk dua anak yang juga belajar dengan cara yang baru. Ditambah
dengan hubungan jarak jauh dengan suami yang membutuhkan kesabaran, ketahanan,
dan saling pengertian tanpa syarat.
Tantangan dan pencapaian dalam 1 tahun ini bisa kugambarkan seperti
pendakian gunung. Kalau dianalogikan dengan gunung Semeru, boleh dikata Ranu
Kumbala sudah tercapai. Mengingat bulan-bulan saat proposal tidak kunjung
kelar, anak yang kadang rewel atau sakit, sampai keuangan cepak sehingga perlu
mengais dolar dengan kerja sambilan, sekarang aku bisa sejenak tersenyum lega.
Dengan berbagai tanjakan dan turunan, alhamdulillah masa probationary candidature di tahun pertama bisa kulalui 1 bulan
lebih awal daripada tenggat waktu.
Masa rehat yang menenangkan, meski tidak lama, sempat
kunikmati bersama, lengkap sekeluarga. Itu
saat suami datang menemani aku menghadapi ujian konfirmasi, dan yang
terpenting, bersama dengan anak-anak berpuasa minggu terakhir dan berlebaran
bersama. Mas Prapto ikut masak, bersih-bersih rumah, mengantar-jemput Adzra,
menemani ke kampus, atau sekedar jalan-jalan tiap hari selama 10 hari. Aku
sempat bilang padanya. “Mas ada di sini, hidupku serasa normal.” Biasanya
serasa living around the clock. Belum
lagi obrolan amat produktif tentang instrumen penelitianku. Mas Prapto menjadi
informan uji coba interview questions
yang sudah kusiapkan. Alhasil, beberapa perbaikan berhasil kulakukan berkat
masukan kritis yang dia berikan. Hmm, kehadirannya benar-benar paket lengkap. Adzra
sendiri punya cara sendiri mengungkapkan perasaannya. “Daddy, I don’t want you to go. Stay here with me. Please. Because I
love you, forever.” Aku tahu, saat mas Prapto melambaikan tangannya di
Skybus menuju bandara Tullamarine, sejatinya batinnya tidak mampu beranjak
pergi.
Keberadaan ayahnya nampak membekas bagi Adzra. Sampai
beberapa hari setelah ayahnya kembali ke Surabaya, Adzra menjadi agak sensitif.
Bila pulang sekolah, yang ditanya adalah kenapa ayahnya harus pulang. Pola
makan menjadi berubah. Kadang makan terus seperti tidak pernah kenyang, kadang
tidak mau makan. Saat ber-skype dengan ayahnya, dan ditanya “How are you?,” jawabnya, “I’m not happy, I’m angry. Because you’re not
here with me.” Seminggu setelah kepulangan mas Prapto ke tanah air adalah
hari-hari penyesuaian kembali. Bila ingin jujur dengan perasaan, ternyata
terasa sedikit lebih berat menjalani hari-hari sendiri lagi.
Bagaimanapun, kami harus kembali pada realitas. Hidup harus
tetap berjalan, tanggung-jawab terhadap pekerjaan masing-masing harus tetap dilaksanakan.
Pikiranku yang masih melayang dibuat terbangun oleh pesan-pesan YM mas Prapto. “Ayo
ndang diurus travel grants untuk fieldwork.
Mumpung masih anget informasinya dari supervisor.” Kebetulan saat ujian
konfirmasi, kedua pembimbingku mengupayakan agar School of Culture and Communication mengupayakan dana talangan,
mengingat beberapa travel grants dari
kampus sudah lewat deadlinenya. Aku bilang ‘iya, iya,’ namun akhirnya sedikit panik
setelah tahu bahwa ternyata ada travel
grant dari Graduate School of Humanities and Social Sciences, yang deadline tinggal 3 hari. Itupun aku
temukan saat iseng browsing di tengah
kegalauan hati. Aku merasa tolol menjadi sosok yang terlalu melankolis. Kemana
saja aku selama ini? Wake up, girl!
Tanpa travel grants, hampir tidak mungkin aku bisa melaksanakan fieldwork di tanah air dan Hong Kong
selama 2 bulan. Untunglah aku punya supervisor yang sangat supportive. Alhamdulillah akhirnya semua berkas persyaratan bisa
aku serahkan 1 hari sebelum tenggat waktu.
It’s spring again.
Datangnya musim semi kembali menjadi penanda tahun pertama studi lanjutku. Target-target
penting seperti penyelesaian proposal, pengajuan beasiswa, dan etika penelitian
bisa kuselesaikan lebih awal dari rencana. Hari-hari yang lebih menantang telah
menanti di depan mata. Bab-bab berikutnya menunggu sentuhan, ada conference paper yang harus segera disiapkan, fieldwork yang aku geber 3 bulan
mendatang juga memerlukan persiapan matang. Life is not a picnic, here. Semoga tempaan perjalanan sebelumnya
memberikan arah dan cara melangkah yang lebih mantap untuk meneruskan pendakian.
Puncak gunung mungkin masih belum akan terlihat. But I’ll be there eventually, insha Allah!
Brunswick, 1 September 2012
2 comments:
saya membaca berulang ulang , utamanya dua paragraf terakhir Mam, sambil membayangkan apakah suatu hari nanti bisa seperti Mam Tiwi .-.
karena Mam Tiwi "supervisor" yang suportif buat "kami" makanya di Ausi Mam juga dapet yang "suportive" Mam .hihihiihi
semoga sukses ya Mam :)
"Life is not a picnic, here."
your words make me aware that we must strive to live strong. this life is not only for fun...
semoga studi-nya cepat selesai ya ma'am.... Aih, saya iri sama dek Ganta dan dek Adzra yang juga punya kesempatan untuk belajar di Aussie dalam usia muda.. :)
Post a Comment