Tuesday, December 18, 2012

ETIK JUWITA, TULKIYEM, DAN CEK YANG MENJADI PEMBATAS BUKU


Siang ini saya ada janji untuk bertemu dengan Etik Juwita. Sosok ini sudah setahun lebih menghiasi draft proposal penelitian saya tentang dunia literasi buruh migran Indonesia.  

“Ada kuliah tadi pagi, mbak?” tanya saya, sembari merangkul bahunya, ketika kami bertemu di dekat pintu gerbang Universitas Gajayana Malang.

Etik di hadapan saya nampak lebih nyempluk dengan rambut pendeknya. Beda dengan foto-fotonya yang sempat saya cari di google image. Wajahnya segar, dan perutnya  membuncit. Ada jabang bayi yang akan mencerahkan hari-harinya dalam 2 bulan mendatang.

“Kosong tadi, bu. Dosennya pergi.”

Etik tengah belajar di jurusan Bahasa Inggris di Uniga, dan menginjak semester 7, setelah kurang lebih 9 tahun bekerja di luar negeri. Selepas sekolah di SMA Talun Blitar di tahun 2000, Etik memulai perjuangannya memperbaiki nasib dengan bekerja di Singapura selama 2 tahun. Modal yang masih belum cukup dan keengganannya untuk menjadi sekedar penjaga toko membawanya kembali ke luar negeri. Kali ini tujuannya Hong Kong, yang dilakoninya selama 2 kali masa kontrak.

Seberapapun menariknya berbincang tentang suka dukanya menjadi BMI, bagi saya, jauh lebih menarik mengungkap kreativitasnya di bidang literasi. Di bemo dalam perjalanan ke Matos, kami memulai obrolan tentang karya-karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris. Cerpen “Bukan Yem,” adalah salah satu cerpen yang pertama kali saya kenal dari kalangan BMI.  Cerpen ini dimuat di Jawa Pos, dan kemudian termasuk dalam 20 cerpen terbaik Anugerah Sastra Pena Kencana 2008.

Pernahkah Anda mendengar seramnya Terminal 4 bagi para TKI? Cerpen “Bukan Yem” bolehlah dianggap mewakili cerita serangkaian mafia yang berupaya menjerat dolar, ringgit, atau riyal yang dikais para BMI dengan keringat dan air mata. Versi bahasa Inggrisnya, “Maybe Not Yem,” boleh dikatakan sebagai indikator keberhasilannya menembus batas dunia sastra. Cerpen ini masuk dalam koleksi Tropical Currents: Writings by Indonesian Women, dan dianggap mewakili sastra transnasional di website Words without Borders.

Bila kita menggunakan mesin pencari Google, kita akan temukan bahwa nominasi cerpen ini sebagai salah satu cerpen terbaik juga menimbulkan polemik. Sebagian juri menganggap bahasanya terlalu lugas dan polos, namun sebagian lain melihat itu sebagai kekuatan yang mencerminkan tema cerita. “Dengar-dengar, pak Budi Darma termasuk salah satu yang mempertahankan cerpen saya,” begitu tutur Etik. Budi Darma memang menjadi salah satu jurinya.

Persinggungan Etik dengan Budi Darma bukanlah pertama-kalinya. Tiga tahun sebelumnya, di tahun 2005, Etik pernah menerima SMS dari Budi Darma. ““Bu Etik, selamat ya, cerpennya dimuat di Jawa Pos. Bagus.” (Budi Darma).” Begitu kira-kira bunyi pesan singkatnya, saat cerpen “Seharusnya Berjudul Celana Dalam” dimuat.

Pak Bon, Budi Darma iku sopo?” tanya Etik dengan polosnya kepada Bonari Nabonenar, seraya mem-forward sms itu. Bonari, alumnus Sastra Indonesia IKIP Surabaya, sudah cukup lama dikenal Etik melalui milis Kosa Kata. Etik menilai Bonari sebagai sosok yang selama ini banyak membantunya memoles tulisan-tulisannya. Bonari pulalah yang diam-diam mengirimkan cerpen itu ke JP. Etik mengakui bahwa milis seperti inilah yang dia pandang sebagai komunitas satu dunia, di mana semua anggota memiliki minat yang sama, yakni bahasa tulisan.

Memperoleh apresiasi dari sastrawan besar sekelas Budi Darma tak ayal memberikan dorongan pada Etik untuk terus menulis. Waktu-waktu senggang yang dihabiskannya di Hong Kong Central Library membuahkan berbagai tulisan dalam bentuk opini dan cerpen yang dimuat di berbagai media di Indonesia dan Hong Kong. Yang menarik, Etik juga menjadi salah satu kontributor cerita bersambung tentang Tulkiyem di koran Suara yang terbit di Hong Kong. Tugas ini dilakoninya selama kurang-lebih 4 tahun, dan berlanjut ketika dia sudah kembali ke tanah air dan duduk di bangku kuliah. Keseharian Tulkiyem, nama yang dipilih untuk mewakili sosok domestic helper, menjadi sosok yang lumayan ditunggu sebagian BMI, saat mereka menghabiskan hari liburnya. Si Tulki, dengan segala kenorakannya dan ke-ndeso-annya, dilihat sebagai bagian dari diri kebanyakan BMI.

Tulki ngopo saiki?,” begitu celetukan teman-teman Etik. Mengetahui tulisannya ditunggu pembaca memberikan kepuasan baginya. Di satu sisi, teman-temannya tidak tahu bahwa dialah penulisnya. Nama pena Etik Juwita memberikannya kebebasan untuk bersuara apa saja dan menjadi siapa saja. Tulki, tokoh BMI yang berasal dari Banyumas, khas dengan celotehan ngapak-ngapaknya. Ketika akhirnya sebagian besar BMI tahu bahwa Etik penulisnya, mereka malah tidak percaya, “ngapusi. Kok ora ngapak.”

Selama penerbitannya, Tulkiyem membawa pembaca pada isu-isu kekinian di kalangan BMI saat itu. Etik menggunakan tokoh Tulki untuk menyampaikan uneg-unegnya. Mungkin saking akrabnya dengan kondisi BMI, ada yang percaya bahwa Tulki itu sosok nyata. Ada proses resepsi yang kreatif, ketika demo perburuhan di kalangan BMI Hong Kong juga diwarnai dengan hadirnya sosok-sosok yang mengaku “Aku lho Tulkiyem,” dengan dandanan yang diyakini mewakili gambaran tokoh tersebut. Sayangnya, pada akhirnya Tulki terpaksa harus  ‘dipulangkan’ ke tanah air karena terminate contract. Itu ketika Etik mulai kewalahan membagi waktunya antara kuliah dan seabreg kegiatan lain setelah beberapa lama kembali ke tanah air.

Dalam perbincangan kami di salah satu sudut food court di Matos, saya melihat Etik sebagai sosok dengan kepribadian yang kuat. Bahasanya lugas, dengan suara yang tegas dan penuh percaya diri. Pernyataan tentang lekatnya hari-hari dia dengan literasi begitu kental. Salah satu temannya di penampungan PJTKI di Singosari memiliki kesan tentang itu. “Yang paling saya ingat tentang Etik, tidak satu haripun terlewat tanpa membaca,” begitu tiru Etik. Diakuinya sendiri, segala jenis yang mengandung tulisan akan dia baca. Apakah itu koran bekas pembungkus ataukah brosur dan pengumuman.

Terlebih lagi, buku memang menjadi sahabat Etik sejak kecil. Etik mengisahkan kenakalannya ‘mencuri’ buku perpustakaan di SD dekat rumahnya. Dia mengambil buku hampir tiap hari untuk dibaca. Diam-diam pula dia kembalikan setelah selesai, untuk kemudian mengambil buku yang lain. Sampai kemudian dia marah ketika semua buku di rak perpustakaan sudah habis dia baca. Kecintaaannya pada buku dan bahasa itu pulalah yang membawa dia pada keputusan untuk bersekolah di SMA Talun Blitar. Hanya sekolah ini yang saat itu mempunyai jurusan Bahasa.

Dalam hal kesempatan membaca, Etik melihat dirinya sebagai BMI yang amat beruntung. Tugas dia sebagai aged carer saat bekerja di Singapura boleh dikata cukup ringan. Koran dan majalah berbahasa Inggris dia baca, bahkan ketika majikannya belum menyentuhnya. Kemudian itu menjadi tugasnya, menceritakan isi berita kepada majikannya.

Tidak seperti kebanyakan BMI di Hong Kong, Etik hanya mengandalkan bahasa Inggris sebagai sarana komunikasi. Ini dia lakoni baik di kontrak pertama dengan majikan orang Hong Kong, maupun di kontrak kedua, dengan majikan orang bule. Selama itu pula Etik bisa menikmati me-time yang cukup leluasa.  Bahkan majikannyalah yang menyarankan Etik untuk memanfaatkan hari liburnya di public library. Itupun akhirnya dirasa Etik tidak cukup memuaskan hobi membacanya. Saat belanja di hari kerja, dia suka mencuri waktu mampir ke perpustakaan. Novel-novel Inggris menjadi salah satu jenis bacaan yang dilalapnya.

Keterpaparannya terhadap karya sastra asing ini pulalah yang mengajarkan Etik menulis dengan bahasa lugas. Menyebut Hemingway sebagai salah satu contohnya, Etik tidak terlalu suka dengan bahasa yang flowering. Maka ketika cerpen “Bukan Yem” menjadi polemik, dia cukup memahami bahwa sebagian sastrawan Indonesia masih mengedepankan permainan kata-kata sebagai tolok ukur kualitas tulisan.

Etik termasuk salah satu BMI yang cukup sering menjadi jujugan peneliti asing. Interaksi keilmuan ini berlangsung baik ketika Etik masih berada di Hong Kong, maupun ketika sudah kembali ke tanah air. Prof. Ming-Yan Lai, seorang pakar Cultural Studies dari Chinese University of Hong Kong, adalah salah satu scholar yang menggali profil Etik dalam kegiatannya di dunia perburuhan. Bukan sebuah kebetulan ketika Etik menyebut nama Prof. Lai. Saya menggunakan beberapa artikelnya sebagai referensi saya. Saya bahkan ingin menemuinya saat ke Hong Kong nanti. Sayangnya, Prof. Lai sudah meninggalkan perguruan tinggi tersebut, dan tidak memberikan alamat terbarunya kepada koleganya.

Etik memandang penulisan kreatif sebagai proses belajar yang tidak instant. Menengok dirinya sendiri, Etik melihat bahwa tulisan-tulisannya dibentuk dari kesukaannya membaca, bahkan ketika dia sendiri tidak sadar bahwa dia cinta pada dunia buku. Lebih dari itu, Etik menyebut menulis sebagai katarsis. Meski tidak mengalami sendiri, cerita-cerita miris berkelebat di sekitarnya, di antara hari-hari teman-temannya. Kalau dikatakan balas dendam, tulisannya adalah bentuk resistansi atas kondisi yang dialami sebagian besar BMI.

Menyoal tentang keberadaannya di dunia sastra, Etik tidak terlalu sepakat dengan sebutan sastra BMI. Apakah tulisannya dan teman-teman BMI lainnya digolongkan sebagai sastra BMI karena mereka adalah pelaku, ataukah karena isunya tentang BMI. Etik juga mempertanyakan, apabila dia terus menulis tentang BMI pada saat dia tidak lagi bekerja di luar negeri, apakah karyanya tidak lagi dimasukkan dalam kategori itu. Siapapun bisa menulis tanpa harus terjebak dalam kategorisasi, karena sastra harusnya membebaskan.

Meski begitu, Etik cenderung tidak terlalu mempersoalkan cara pembaca meresepsi karya-karyanya. Sikapnya sedikit cuek ketika saya beritahu bahwa cerpen tentang celana dalam kemungkinan besar dijiplak oleh penulis sesama BMI dari Taiwan. Ada cerpen dengan alur praktis sama dan judul senada diterbitkan pada tahun 2010. Dia sudah mendengar isu ini baru-baru ini juga dari teman lain, dan komentarnya, “karepmu.” Dia melihat ini sebagai satu apresiasi juga.

Etik bahkan merelakan ketika cek yang dia terima dari ijin penterjemahan “Bukan Yem” ke dalam Bahasa Inggris ternyata tidak bisa dicairkan. Pasalnya, cek tersebut menggunakan nama penanya, Etik Juwita. Meski jengkel juga pada awalnya, Etik menceritakan ini sambil ngakak saja. “Cek-e malah tak laminating, bu. Tak jadikan pembatas buku.”

Dua jam dengan Etik Juwita adalah menit-menit yang bernas. Sarat dengan kalimat cerdas dan pemahaman yang cukup dalam tentang dunia penulisan kreatif. Dengan pencapaian seperti itu, saya pribadi ingin melihat nama Etik Juwita tetap berkibar di dunia sastra Indonesia. Saya bahkan melihat potensi karya Etik sebagai salah satu representasi Indonesia di kancah sastra dunia, atau setidaknya di Asia. Ketika sebuah karya sudah menyebar dalam versi bahasa Inggris, maka kaburlah batas negara dalam dunia kata.

No comments: