Friday, December 14, 2012

MENGENTAS KEMISKINAN MELALUI PENDIDIKAN: SOSOK ANI EMA SUSANTI, EX-BMI, SANG SUTRADARA FILM

Sabtu, 8 Desember 2012, pukul 9 pagi. Saya sedang menikmati segelas hot chocolate di J Co Cilandak Town Square Jakarta. Dua donat dan satu sandwich tersuguh di piring kecil. Baru saya makan satu. Perut masih kenyang, setelah sarapan di Wisma Makara UI tadi pagi, sebelum check-out. Saya sedang menunggu kedatangan Ani Ema Susanti, seorang mantan buruh migran Hong Kong. Sekarang dia sudah asyik dengan dunia penyutradaraan film dokumenter. Saya mengontak Ani dua hari sebelumnya, saat saya baru sampai di Jakarta. Tujuan utama saya memang untuk menghadiri konferensi internasional di bidang komunikasi di UI Depok. Saya punya satu hari bebas pada hari Sabtu, sebelum balik ke Surabaya di sore harinya. Hari ini akan saya gunakan untuk mewawancarai Ani untuk kepentingan penelitian S3 saya.

Saya sudah mengenal Ani sejak satu tahun yang lalu. Akhir tahun 2011 silam, ketika kami baru berkenalan di Facebook, Ani meminta bantuan saya untuk menggarap English subtitle untuk film pendeknya, Donor ASI. Film ini kemudian dinobatkan sebagai film terbaik untuk kategori film documenter di FFI 2012. Tentu saja kemenangan ini tidak ada kaitannya dengan bantuan yang saya berikan. Ani sudah meraih sederetan penghargaan di berbagai festival film di tingkat nasional dan internasional.

Coklat panas baru sedikit saja saya seruput ketika sms dari Ani masuk ke HP saya. “Kita jalan ke Blok M Plaza aja mbak. Lebih dekat dengan bis Damri nanti kalau mau ke bandara.”  

Lima menit kemudian, saat saya menunggu di bawah tangga dekat Baskins and Robbins, sebuah mobil abu-abu bergerak mendekati.  Seorang perempuan muda keluar dari pintu depan sebelah kiri. “Dik Ani?” “Mbak Tiwik, ya,” seru kami hampir bersamaan. Kami berpelukan dan saling mencium pipi. Laksana teman lama yang sudah bertahun-tahun berpisah.

Dengan baju panjang bermotif bunga dan kaos panjang polos warna coklat, serta jilbab simple warna senada yang menutupi hamper seluruh bagian dadanya, Ani nampak amat sederhana. Tanpa make-up. Suaranya lembut, bahkan cenderung pelan. Dari pintu kanan sopir keluar seorang laki-laki muda, ganteng, dan kalem. “Ibnu, mbak. Suami Ani.” Kami bersalaman, dan Ibnu meraih koper kecil saya untuk ditaruh di bagasi. Saat saya duduk di jok belakang, seorang ibu setengah baya, dengan bayi berusia 10 bulan di gendongannya, menggangguk manis. Saya meraih memeluknya. Ibu Ani nampak seperti kebanyakan orang-orang kampung yang polos dan tulus. Sama seperti sosok saya yang selalu kurus, namun selalu menjaga modal senyum.  Saya seperti berada di tengah-tengah keluarga saya. Apalagi setelah mengetahui bahwa keluarga besar Ani berasal dari Tembelang, Jombang. Bahasa Jawa Timuran yang mewarnai percakapan kami membuat suasana semakin cair dan mengalir.

Meski saya belum lagi memulai wawancara saya, obrolan kami sudah sarat dengan data bermakna. Dari jok depan, Ani bercerita tentang film terbarunya tentang pemuda dan gerakan anti korupsi. “Masih fresh, mbak. Bahkan belum ada masternya. Ini mau aku berikan ke Nia, tapi kok ketinggalan di rumah tadi.” Ani menyebut  Nia Dinata, produser film yang selama ini banyak mewadahi karya-karya Ani di rumah produksi Kalyana Shira. Ani juga menyebut hari-hari sibuknya berkuliah di program Film Production di SAE Institute cabang Jakarta. Sekolah industri kreatif berskala internasional model franschise ini memberikan beasiswa penuh kepada Ani. “Banyak tugas mbak, kuliah pakai Bahasa Inggris lagi.” Ibunya ikut menimpali, “nggih niku, wangsul kuliah nggih terus ngadep computer ngantos dalu. Ning kula dorong mpun putus asa...wis tak jagane si thole.”

Pukul 10.30 lebih sedikit. Solaria Blok M Plaza masih belum buka, tapi kami diperbolehkan duduk di dalam. Kami mengambil kursi di pojok, agar bisa lebih tenang, terutama untuk menjaga kualitas rekaman percakapan nanti. Ani nampak tenang dan nyaman dengan IPhone yang saya taruh di meja. Dia sudah cukup sering diwawancarai media. Suaranya berubah menjadi kokoh dalam kelembutannya, saat cerita-cerita tentang buku dan film mengalir dari bibirnya.

Saya sudah cukup lama mengikuti sepak terjang Ani. Meski begitu, banyak informasi tak terduga muncul dalam percakapan kami. Saya bertanya tentang filmnya yang pertama, Helper Hong Kong Ngampus. Film yang dibesut saat Ani masih kuliah di Fakultas Psikologi Untag Surabaya termasuk sebagai finalis Eagle Award Metro TV di tahun 2007. Namun bukan cerita filmnya yang lebih membuat perhatian saya tersedot. Dampak film itulah yang menurut saya lebih penting saat ini. Ani menggunakan film ini untuk memberikan pembekalan kepada BMI yang akan berangkat. Seorang pengusaha PJTKI di Surabaya memintanya untuk terlibat dalam pelatihan. Saya pikir sang pengusaha ini orang yang open-minded. Ketika membaca di Jawa Pos bahwa Ani masuk seleksi Eagle Award tahap skenario, dia bahkan mengijinkan Ani menggunakan fasilitas di tempat penampungan untuk keperluan shooting. Menurut Ani, pihak PJTKI ini memang berniat untuk ‘bebas masalah,’ dan menganggap bahwa tahap pembekalan selama 3 bulan berperan penting untuk itu.

Media memang punya kekuatan besar untuk mengubah persepsi orang. Ini yang diyakini Ani, meski tidak dia sadari sampai dia buktikan sendiri. Film Helper Hong Kong Ngampus berhasil mengubah pola pikir sebagian besar BMI tentang motivasi mereka bekerja di luar negeri. Sebagian BMI memang memutuskan pergi ke luar negeri sebagai pelarian, namun banyak juga yang bertujuan mencari uang tanpa tahu jelas peruntukannya. Film ini tentang dua orang BMI muda yang bekerja di Hong Kong untuk menabung demi tujuan kuliah. Yang satu untuk dirinya sendiri, satunya untuk menyekolahkan adiknya di perguruan tinggi. “Kok bisa?,” begitu komentar para calon BMI setelah menonton film itu. “Kenapa tidak, buktinya saya bisa,” jawab Ani.

Menelusuri motivasi Ani bekerja di luar negeri juga menimbulkan keharuan tersendiri. Ani dan ibunya kompak bercerita tentang bagaimana keluarga besar mereka memandang bahwa perempuan tidak perlu kuliah. Paklik Ani kebetulan berkuliah di jurusan Bahasa Indonesia IKIP Surabaya, dan lulus sekitar tahun 1991 atau 1992. “Kalau paklik saya dikuliahkan, kenapa ibu saya tidak?,” begitu protes Ani dalam hati. Saya jadi menebak-nebak, jangan-jangan saya kenal dengan Ridwan, nama paklik Ani ini.

Bahkan ketika Ani menyelesaikan kontrak kerjanya di tahun 2003, dan langsung berkuliah di Surabaya, banyak tetangga yang mencibir. “Walah, paling yo mari ngono nang luar negeri maneh,” ujar ibu Ani, menirukan komentar tetangga. Seolah menyiratkan bahwa sekali menjadi TKW akan tetap ada di lingkaran itu. Pernyataan Ani amat kuat menggaris-bawahi pentingnya pendidikan. “Saya percaya bahwa saya bisa mengentaskan diri dari kemiskinan melalui sekolah.” Tentu saja saya sepakat 100%. Buku dan film-film Ani sudah mewakili semangat Ani.

Ani adalah pencinta dunia literasi. Dia sudah sering menulis sejak SMA. Selama di Hong Kong, dia menuliskan hari-harinya ke dalam 3 buku harian. Setelah dia rangkum menjadi satu, mencoba mengubah format ke dalam bentuk novel, dan ditolak oleh beberapa penerbit, akhirnya catatan hariannya, Once Upon a Time in Hong Kong, terbit juga. Setelah selang beberapa tahun, mengikuti jejak filmnya yang sudah moncer duluan.

Tentu saja banyak faktor yang membuat Ani bisa seperti ini. Ani termasuk BMI yang sangat beruntung mendapatkan majikan yang berpendidikan. Meski dia ditawari untuk memperpanjang kontrak, Ani malah diberi bonus pulang  1 bulan lebih awal dari kontrak. Ini setelah mereka tahu bahwa Ani harus segera pulang mengejar jadwal registrasi kuliah di Surabaya. Seperti pengakuannya sendiri, Ani tidak termasuk dalam kelompok BMI yang sering mengalami diskriminasi. Bahkan dia diberi kepercayaan penuh untuk mengelola keuangan keluarga majikan. Itu yang membuat dia tahu apa pekerjaan kedua majikannya dan berapa gaji mereka. Kamar Ani juga menawarkan ruang privat yang amat layak.

Hubungan majikan-pekerja yang cukup egaliter ini terbawa melewati masa kontrak. Saat Ani mengambil gambar untuk filmnya yang lain, Mengusahakan Cinta (2010), majikan perempuannya ikut menjadi figuran. Film ini berhasil membawa Ani ke ajang festival film internasional di beberapa negara.

 “Dari film-film yang sudah dihasilkan dik Ani, mana yang paling berkesan?,” begitu tanya saya. Dengan tegas Ani menyebut film Helper HK Ngampus. Buku dan filmnya sudah beberapa kali dibedah di berbagai event. Agaknya kesempatan berbicara di depan publik ini membuatnya berubah dari gadis pemalu menjadi perempuan muda yang penuh percaya diri. Ani mengaku bahwa sebelumnya dia menyembunyikan statusnya sebagai ex-BMI. Namun setelah menerima tanggapan positif dari publik, akhirnya Ani menyadari bahwa statusnya dulu bukanlah hal yang patut dirahasiakan. Bahkan akan sangat bermanfaat untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya rencana matang dan motivasi jelas untuk menjadi BMI. Ani memutar cerita lama tentang tanggapan negatif tetangganya di Jombang. Sekarang, setelah mengetahui reputasi Ani di dunia perfilman, mereka menempatkan Ani sebagai role model“Aku pingin anakku kaya Ani. Kerja dhisik nang luar negeri terus kuliah,” ujar Ani, menirukan kalimat tetangganya.

Membaca berbagai penelitian tentang BMI di dunia akademik di luar negeri membuka mata saya. Stereotip negatif BMI yang dungu dan pasrah cukup rata menyebar di Malaysia, Singapura, Hong Kong, Taiwan, dan tentu saja Arab Saudi. Dalam kenyataannya, identitas ini dikonstruksi oleh konteks sosial budaya. Artinya, citra buruk ini juga bisa direkonstruksi. Dengan meyakini bahwa media punya potensi besar untuk rekonstruksi identitas, saya menawarkan diri untuk ikut menyebarkan film Helper Hong Kong Ngampus. Setidaknya, ini yang bisa saya lakukan sementara ini. Ani menyanggupi untuk mengirimkan filmnya nanti kepada saya.

Mengentas kemiskinan melalui pendidikan. Keluar dari penderitaan melalui buku. Pesan-pesan ini terus terngiang di benak saya. Saat saya tak sabar menuangkan kisah ini di salah satu Business Lounge di bandara Soetta. Saat saya dengarkan kembali rekaman percakapan. Dan saat saya gubah lagi ke dalam bahasa Indonesia sekarang ini.  Saya yakin cerita-cerita lain sudah menunggu di Hong Kong. Bukan sekedar cerita tentang derita BMI. Namun tentang kekuatan dunia kata yang diolah teman-teman di sana. Dunia literasi BMI menjadi bukti bahwa mereka juga punya suara yang amat patut didengar.

No comments: