Tuesday, January 22, 2013

KETIKA BADAN MENUNTUT PERHATIAN

Hari-hari ini saya lagi diuji dalam urusan kesehatan. Ndilalah kersaning Allah, urusannya hampir selalu dengan organ reproduksi.

Entah saya yang ndableg atau gimana, sebenarnya sejak di Hong Kong sudah ada tanda-tandanya. Tapi mungkin karena lagi enjoy cari data sambil jalan-jalan (tepatnya, jalan-jalan plus cari data), saya anggap normal saja seperti beberapa bulan sebelumnya.

Ketika sudah sampai rumah Selasa malam yang lalu, mulailah rasa capek nglumpuk. Ngantuk terus tiap hari. Saya pikir karena kelelahan aja. Plus kangen bertepuk sebelah tangan. Maklum, setelah menjemput saya di Juanda, Rabu pagi giliran suami berangkat ke Jakarta, dan sorenya malah sms mau bablas ke KL. Ampun deh. Pergi kok gantian.

Masih dengan gaya sok sehat, saya buat janji ABCD dengan beberapa teman. Karena yakin tidak akan stabil naik sepeda motor, maka anak lanang lah yang jadi pegang kendali. "Untung ibu duwe anak wis gede," gitu kata Ganta, saat mengantar saya ke Ketintang kemarin siang.

Menjelang sore, badan semakin oleng. Saya putuskan ke dr. Warsanto, dokter kandungan (obgyn) yang menangani saya sejak Adzra belum lahir. Weleh, ternyata malam itu dia tidak praktik. Ganta saya minta mengarahkan sepeda motor ke RKZ saja, cari dokter lain di klinik praktik bersama.

Setelah antri berjam-jam, akhirnya giliran saya datang juga, lewat pukul 9 malam. Diperiksa rada kilat tapi sampai ke bagian dalam, dr. Maurin bilang, "ibu rawat inap aja ya. Itu pucat kayak gitu. Cek lab untuk lihat Hb-nya. Siapa tahu harus transfusi. Habis itu dikuret.

Saya tidak kaget dengan solusi kuret. Sejak Juli tahun lalu sebenarnya saya menunggu tindakan di Royal Women's Hospital di Melbourne. Tapi karena dianggap bukan life-threatening situation (meski Hb juga pernah turun karena penyebab yang sama), saya tidak juga dijadwalkan mendapatkan  tindakan sampai balik ke Surabaya awal Desember lalu. 

Entah dokter Indonesia yang suka buat pasien panik atau standar pelayanan Australia yang prosedural, yang jelas saya bingung karena suami masih dalam perjalanan balik ke Surabaya. BBM saya tidak kunjung dibalas. Ya lah, wong lagi di udara. Saya putuskan pulang aja, sambil minta rujukan ke lab dan minta resep obat penambah zat besi. Ini penanganan yang saya dapatkan saat di Melbourne. Eh, dokternya menolak. "Percuma bu dengan kondisi kayak gitu sebaiknya transfusi aja." Ya sudah, saya balik saja besok pagi.

Suami datang lewat tengah malam, dan saya terlalu ngantuk plus lemas untuk bercerita sampai detil. Alhasil agenda dia keesokan hari untuk memberikan pelatihan tidak mungkin saya minta untuk batalkan. Ganta lagi yang jadi andalan saya untuk antar ke lab di RKZ. Bahkan saya sudah siap dengan backpack berisi baju, just in case.

Benar perkiraan dr. Maurin. HB saya memang agak jauh di bawah rata-rata. Sambil ngeloyor ke UGD, masih dengan jalan tegak dan suara cukup lantang, saya update info ke suami. Ganta mengikuti ke manapun saya jalan sambil membawa backpack. Suamipun langsung tancap gas meluncur ke UGD, sambil berpesan untuk minta ditangani dr. Warsanto saja. 

Jadilah saya pasien UGD. Saya masih bercerita runtut tentang rekam medik saya sambil duduk di tempat tidur. Sampai-sampai perawatnya minta saya untuk tidur saja, sambil ngomong bisa sekalian diperiksa. Hihihi, saya kok tidak merasa bahwa di balik kelambu, di kiri kanan saya ada pasien yang perlu ketenangan.

Sebentar kemudian wajah mas Prapto muncul dari balik kelambu. Jadilah saya ditemani dua orang lelaki paling cerewet dengan kondisi saya. Tapi kali ini mas Prapto cuma senyam-senyum.

"Wis itu Gan, ibumu kasih tahu. Ayah wis kesel bilang agar lebih banyak istirahat. Tapi nek suarane sik banter iku ibu sik sehat kok.

Saya mesem aja. Dia ada di samping saya, artinya separuh obatnya sudah datang.

Urusan diambil alih oleh mas Prapto. Memastikan dr. Warsanto sudah dihubungi. Tak sampai 15 menit saya berbaring, dokter jaga menyampaikan bahwa dr. Warsanto memberikan resep saja. Tak perlu rawat inap, karena tensi darah masih bagus. Obatnya untuk menghentikan pendarahan dalam. Sambil dilihat perkembangan dalam 2 hari ke depan.

Alhamdulillah, saya menjerit kecil sambil mengepalkan tangan kegirangan. Mas Prapto membawa saya pulang, dan kami ngobrol santai dan banyak tawa dalam perjalanan. Tentang Ganta yang sudah punya tanggung-jawab. Tentang hari-harinya saat kami berjauhan selama lebih dari 2 minggu. Saya bilang padanya, mengapa saat dia ada, penyakit saya seperti diangkat saja. Selama saya di rumah, kondisi saya baik sekali. Begitu berangkat ke HK, ada tanda-tanda kambuh lagi. Seperti biasa, dia selalu bilang bahwa saya suka aneh-aneh dengan bahasa sentimentil. Biar saja, saya tahu bahwa sebenarnya dia menikmatinya.

Saya tahu bahwa saya tetap harus kuret. Penebalan dinding rahim secara hormonal yang sudah terdeteksi sejak Juli yang lalu memang harus ditangani seperti itu. Pilihan saya adalah mau tindakan di Aussie atau di sini. Di Aussie, meski akan gratis dan ditangani dengan baik, tapi belum tahu kapan. Sementara kemungkinan kambuh akan selalu ada. Selain itu, saya harus mempertimbangkan Ganta dan Adzra. Saya akan sendirian menghadapi semuanya, meski saya tahu teman-teman saya pasti dengan senang hati mengurus anak-anak untuk sementara waktu. Mas Prapto yang pragmatis tidak mau spekulasi. Sebelum balik ke Melbourne, lebih baik ditangani segera di sini. Toh dr. Warsanto sudah tahu riwayat saya selama 8 tahun terakhir.

Saya sih nurut saja. Lebih enak pas ada suami mendampingi. Saya paham juga bahwa kondisi pekerjaan memang belum memungkinkan kami bersama-sama dalam waktu yang lebih lama.

Mengapa saya bercerita tentang kondisi saya? Saya percaya bahwa banyak perempuan (dan suami yang punya istri dan anak perempuan) bisa mengambil beberapa catatan. Pengalaman adik saya yang meninggal karena kanker payudara tanpa diketahui keluarga terdekat membuat saya semakin bertekad agar para perempuan saling menguatkan diri dengan berbagi kisah tentang kesehatan. Bukan untuk dikasihani. Tapi agar bisa saling belajar dan memberi solusi alternatif. Setidaknya, itu yang saya lakukan saat saya dioperasi di Texas 10 tahun yang lalu. Sendirian menghadapi kondisi darurat. Pertemanan saya di milis IMSA sisters untuk Indonesian female students/spouses lah yang menguatkan saya. Tidak hanya dukungan moral, namun ternyata sharing pengalaman senada dan bahkan advis kesehatan. Sebagian anggota milis memang dokter. 

Mata boleh sayu karena anemia. Badan bisa saja lemes perlu asupan zat besi. Tapi hati tetap semangat menatap hari-hari menjelang. Menulis (semoga) menyembuhkan. 

3 comments:

Lintang Panjer Sore said...

Perempuan mempunyai dinding hati yang tebal tapi tipis. Tipis tapi tebal. :)
*semoga lekas sembuh total mbak Tiwi. Big hug.

Lintang Panjer Sore said...

Perempuan mempunyai dinding hati yang tebal tapi tipis. Tipis tapi tebal. :)
*semoga lekas sembuh total mbak Tiwi. Big hug.

Daunpokerdotnet said...
This comment has been removed by a blog administrator.