Saturday, March 16, 2013

LITERASI DAN BUDAYA POP


Saya sedang membaca (lagi) buku Popular Culture and Representations of Literacy, yang ditulis oleh Bronwyn T. Williams dan Amy Z. Zenger, terbitan Routledge tahun 2007. Buku beraliran Cultural Studies ini membahas bagaimana budaya baca tulis dipotret dalam budaya pop. Fokus analisisnya diarahkan pada film-film Hollywood atau yang blockbusters. Sejak awal kuliah dulu, buku ini sudah bolak-balik saya pinjam dari Baillieu Library, untuk melihat bagaimana caranya mengungkapkan elemen-elemen literasi dalam budaya pop.



Banyak yang bisa diungkap dan dipelajari dari bagaimana literasi direpresentasikan sebagai aspek kehidupan sehari-hari para tokoh dalam film, apakah itu yang ber-genre drama sosial, komedi romantis, fantasi, sampai action. Hal yang menarik di buku ini adalah pernyataan penulis bahwa sangat susah memilih film untuk objek analisis, karena saking mudahnya menemukan scene bernuansa baca tulis di hampir setiap film. Ini menunjukkan bahwa literasi sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat di Amerika. 

Dengan asumsi seperti ini, maka representasi literasi dalam film Hollywood tidak hanya sekedar diarahkan pada ada tidaknya potret literasi, namun lebih pada bagaimana literasi dimaknai. Membaca buku ini menjadi asyik, seperti memutar kembali film-film yang pernah saya tonton, atau membaca ulasan singkat film yang belum sempat saya nikmati. Misalnya saja, kita semua pasti tahu bagaimana mudahnya James Bond menguasai penggunaan senjata baru tanpa harus baca manual. Bahkan ketika M memberi briefing tentang tugasnya, dengan memberikan segepok file, Bond sudah tahu profil musuh yang harus dihadapi tanpa membuka dokumen. Atau file-in-the-desk moment di banyak film action, ketika sang lakon dipanggil atasannya, dan disodori dokumen yang berisi daftar pelanggarannya. Padahal aksi-aksi di luar jalur itu dilakukan untuk ‘menyelamatkan dunia.’ Contoh-contoh seperti ini dimaknai sebagai penolakan ‘the hero’ terhadap literasi gaya konvensional, yang biasanya diusung oleh sosok birokrat.

Contoh besarnya peran literasi bisa ditemukan di film-film yang oleh penulis disebut sebagai ‘the triumph of literacy’ films. Para pencinta sastra pasti sudah menonton Dead Poets’ Society. Judul ini mengacu pada kelompok pembaca dan penulis yang rutin bertemu secara rahasia di hutan kecil pada malam hari. John Keating, seorang guru Bahasa Inggris, diperankan sangat apik oleh Robin Williams, dan mengusung misi literasi sebagai ‘emotional salvation.’ Film ini juga memotret benturan pandangan tentang literasi di masyarakat. Apakah siswa perlu menguasai ketrampilan literasi sebagai komoditi untuk terjun ke masyarakat, agar bisa meraih profesi bergengsi, ataukah literasi menjanjikan transformasi emosional dan intelektual. Tantangan seperti ini seringkali menimbulkan jarak antara anak dan orang-tua. Potret sejenis juga bisa ditemukan di novel Hard Times karya Charles Dickens. Mana yang lebih penting, sains atau seni dan sastra?



Banyak lagi jenis film yang mengangkat bagaimana literasi mentransformasi perempuan menjadi sosok yang lebih mandiri atau punya posisi tawar yang lebih tinggi seperti Monalisa Smile, Nanny McPhee, dan My Big Fat Greek Wedding. Ada juga yang merepresentasikan literasi sebagai kekuatan dunia hitam dan membahayakan, seperti pada Harry Potter and the Chamber of Secrets (2002) dan The Lord of the Ring: The Fellowship of the Ring. Harry Potter, Ron, Hermione, dan juga Gandalf menemukan kekuatan hitam melalui akses ke buku-buku kuno.



Bagaimana dengan film-film Indonesia? Saat pertama kali membaca buku ini, saya terpancing untuk mencari-cari apakah ada film atau sinetron Indonesia yang mengandung peristiwa baca tulis. Ternyata kok ya susah banget menemukannya, berbanding terbalik dengan susahnya mencari film Hollywood yang tidak ada scene bernuansa literasi. Apakah ini mengindikasikan bahwa literasi belum menjadi bagian dari budaya Indonesia? Hanya sedikit sekali yang saya temukan. Beberapa contoh yang bisa saya sebut antara lain film 5 cm. Saya nonton film ini saat pulang kampung akhir tahun lalu, ada scene di mana tokoh Riani dan Zafran sedang chatting. Ini setidaknya menggambarkan penguasaan literasi digital.  Yang paling menonjol malah sosok Zafran (Herjunot Ali) yang pencinta sastra dan jago berpuisi. Coretannya berserakan di dinding. Dia gunakan kemahiran menulis kata-kata indah ini untuk menarik hati Dinda, adik Ian, salah satu sahabatnya.



Laskar Pelangi jelaslah mengusung pentingnya literasi sebagai bagian dari pendidikan  Sosok Lintang menjadi bintang karena kegilaannya membaca, dan juga Mahar sang pencinta seni, dan pastinya Ikal sendiri. Atau bisa juga kita tengok Ada Apa Dengan Cinta, yang lumayan kental dengan nuansa buku, mading, dan sastra. Tokoh utamanya, Cinta (Dian Sastro) dan Rangga (Nicholas Saputra), diprotret sebagai sosok pecinta buku dan jago berpuisi.



Seorang penulis Indonesia, Gol a Gong, juga menyiratkan keprihatinannya tentang sedikitnya potret literasi di budaya pop Indonesia. Kebetulan pas ke Bailleu Library, saya ‘nemu’ buku Gempa Literasi: Dari Kampung untuk Nusantara (2012) yang ditulis bareng oleh Gol A Gong dan Agus M. Irkham. Di tulisan ‘Jangan Matikan Televisi, Gol A Gong juga menunjukkan kontrasnya film Barat dan film Indonesia tentang kebiasaan membaca para tokohnya (hal. 26).



Sepengetahuan saya, topik literasi belum tergarap dengan baik di khasanah penelitian di Indonesia. Oops, sebenarnya saya sendiri juga baru ‘ngeh’ akan luasnya kemungkinan menggarap topik ini di bidang apapun. Di bidang sastra dan budaya saja, kayaknya tidak akan habis dikupas untuk skripsi 100 mahasiswapun. Saya optimis gambaran literasi bisa ditemukan di budaya pop di Indonesia. Setidaknya, komik-komik silat sering menunjukkan bagaimana sang lakon berlatih jurus baru secara sembunyi-sembunyi dari kitab kuno jurus persilatan. Literasi dan budaya pop adalah topik yang amat maknyus. Inilah barangkali menjadi salah satu alasan mengapa sekarang ini saya ‘jatuh cinta’ dengan dunia ini. Rasa-rasanya, sejauh mata memandang, yang terlihat adalah peristiwa literasi. Well, what you see is what you want to see.

Ada yang mau menjawab tantangan ini?

Catatan: Gambar-gambar diunduh dari google image

No comments: