Mohon maaf, saya sadar bahwa saya tidak memiliki kompetensi ngomong mengenai literasi, budaya pop, dan Cultural Studies. Tetapi, karena lagi nganggur, dorongan ngomong saya saya salurkan lewat e-ngomong.
Literasi, sepanjang pemahaman saya adalah membikin orang melek. Dalam arti sempit, atau arti awal, adalah melek huruf. Proses bikin melek huruf ini berlangsung di ranah apa yang disebut pendidikan, baik formal mau pun kasual. Tujuan bikin melek ini lebih menyiapkan anak untuk menghadapi tantangan hidup kelak. sebab dengan melek anak akan lebih dapat melihat, lebih dapat memahami apa yang dia hadapi. Tentu saja literasi dalam pengertian melek huruf ini hanya merupakan bagian kecil apa yang harus dimiliki anak untuk menjalani hidup.
Marilah kita coba bayangkan masyarakat di jaman lampau, misalnya masyarakat pemburu. Dalam proses pertumbuhan, seorang anak masyarakat pemburu menjalani serangkaian pembelajaran mengenai dunia buru-berburu. Dia dikenalkan kepada alat berburu, apakah panah atau tombak. Dia diajari mencari kayu yang tepat untuk busur, dan serat kayu yang baik untuk tali busur, diajari membuat anak panah dan mata anak panah. Lalu dia belajar membidik sasaran, sasaran diam, baru kemudian sasaran bergerak. Itulah proses memelekkan anak akan alat utama berburu. Kemudian dia mulai diajak masuk hutan. di situ dia diajar mengenal karakteristik hutan, dan mengenal arah di dalam hutan. Dalam pada itu dia pun belajar karakteristik dan tingkah laku binatang buruan, sehingga dia tahu ke arah mana anak panah harus dilesatkan.
Itulah proses (the rite of passage) yang harus dia lalui sebelum dia diwisuda sebagai anggota masyarakat pemburu. Apakah dia nantinya akan menjadi pemburu handal atau hanya sedang-sedang saja sangat tergantung kepada kemampuan melek masing-masing individu, sebagaimana halnya di bidang akademik 'moderen', ada sarjana beneran, ada sarjana karena namanya tercantum dalam diploma dan buku wisuda.
Kembali ke literasi seperti apa yang saya tangkap dalam tulisan Bu Pratiwi. Kayaknya secara tradisi bangsa Indonesia adalah bangsa 'lisan.' Tahun 1945 kita baru lepas dari status dijajah, status kasta yang tidak jauh dari kaum budak. Dan budak tidak seharusnya dibikin literate sebab mereka akan melek, sadar, dan menuntut kebebasan. Berbahaya bagi penjajah. Kalau saya boleh mengatakan, sekian lama bangsa Indonesia tidak dimelekkan, sehingga literasi pada hakekatnya belum dan tidak masuk ke dalam ranah kesadaran, apalagi ketidaksadaran manusia Indonesia.
Dengan demikian wajar saja bila literasi tidak atau belum muncul dalam produk budaya bangsa. Bangsa ini lahir saat dunia sudah begitu 'maju.' sehingga menyebabkan bangsa ini kaget, setelah mengalami perubahan status mendadak, dari bangsa budak menjadi bangsa merdeka. Keinginan untuk bisa dikatakan sederajat dengan bangsa lain menyebabkan seringkali kita lebih terpana akan hal-hal yang kasat mata, yang bersifat fisik, material dan mewujud (mengejar ijasah, misalnya), ketimbang hal-hal yang lebih hakiki.
Sebagai penutup, saya pengin mengingatkan bahwa penolakan atas literasi sudah lama pula ada. Ada sajak, sayang saya lupa judulnya dan juga pengarangnya, yang mengajak menjungkirbalikkan meja (belajar) dan membuang buku-buku agar terbebas dan keluar ke alam. Juga Emerson menganjurkan para cendekiawan untuk bisa melepaskan diri dari pengaruh buku, mencari jalan sendiri dan menumbuhkan apa yang dia katakan sebagai "self-reliance." (kayaknya ini bertentangan dengan tradisi akademik: yang dinamakan ilmuwan adalah orang yang berkutat di atas teori dan gagasan pakar lain, dan tidak diharuskan menelurkan teori sendiri).
====
Ini dia jawaban saya untuk menanggapi tulisan di atas:
Mari kita bersepakat dulu bahwa literasi yang sedang kita perbincangkan di sini adalah literasi dalam tataran ideologis, bukan proses psikologis tentang bagaimana otak memproses kata menjadi bermakna. Pandangan yang kedua ini cenderung netral dan bebas nilai. Yang ini biarlah diurusi oleh para pakar psikolinguistik. Dalam tataran ideologis, literasi dilihat sebagai praktik sosial, dan tentunya membawa nilai-nilai komunitas atau masyarakat di mana literasi itu berjalan. Dari tanggapan di atas, saya meyakini bahwa pijakan awal saya dan beliau sudah sama, yakni literasi sebagai praktik sosial.
Tidak ada yang akan menyanggah bahwa sebagai sebuah negara, Indonesia masih dianggap remaja, apalagi dibandingkan dengan Amerika Serikat yang merdeka di tahun 1776. Jauh sebelum itu, nenek moyang bangsa Amerika yang bermigrasi dari daratan Eropa-pun sudah membawa 'dunia' literasi dengan mereka. Dengan analogi ini, maka Indonesia sebagai bangsa sebenarnya juga punya jejak-jejak literasi. Ini terbukti dari tulisan-tulisan kuno para Empu di jaman Singasari dan Majapahit. Serat Pararaton, misalnya, membuat kita yang hidup pada jaman digital ini bisa tetap menikmati legenda Ken Arok dan Ken Dedes dalam bentuk pdf.
Bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa 'lisan,' saya juga sependapat. Sedikitnya budaya pop yang memotret peristiwa literasi dalam adegan-adegan film dan sinetron menjadi secuil buktinya. Ini setidaknya juga sejalan dengan konsep bahwa 'literacy is historically situated.' Bagaimanapun, karya seni dan sastra (kanon maupun klasik) memang berperan sebagai cermin sosial. Apa yang kita lihat di karya tersebut, sedikit banyak memang seperti itulah kenyataannya. Ini sebenarnya bisa diperdebatkan juga lebih jauh, karena acara-acara 'reality show' mengedepankan 'imagined reality,' sebagai kenyataan sebagaimana kita bayangkan kebenarannya (yang belum tentu benar).
Di sisi lain, budaya pop sebagai artefak budaya sebenarnya juga berfungsi membawa peran untuk transformasi sosial. Dalam proses produksinya, yang melibatkan penulis skenario, sutradara, artis, dan pastinya produser, budaya pop tidak luput juga dari nilai-nilai. Di sinilah kita boleh berharap, andaikan aktor di belakang layar memiliki sedikit kepedulian, sedikit saja, terhadap nasib anak-anak bangsa, mestinya mereka juga bisa menyelipkan pesan 'gerakan literasi' dalam adegannya. Saya bayangkan dengan kacamata saya yang polos, menunjukkan adegan anak-anak usia sekolah di sinetron sedang membaca buku cerita di atas pohon jambu (ini sih kelakuan saya di masa kecil) tentunya tidak sesulit memaksakan iklan 'Kacang Garuda' muncul di adegan film Di Bawah Lindungan Ka'bah yang bersetting tahun 1920-an.
Sampai di titik ini saja, kita sebenarnya baru berbicara tentang ada tidaknya adegan literasi, belum sampai bagaimana literasi direpresentasikan. Di sinilah kita bisa mengamini pendapat bahwa ada masa dalam sejarah Amerika di mana literasi ditolak. Tentunya pernyataan itu harus kita maknai lebih mendalam., karena memang ada pemikiran yang mendasarinya. Saya akan sangat bodoh bila menganggap bahwa Emerson 'menolak gerakan literasi.' Ketika Emerson menganjurkan para akademisi untuk melepaskan diri dari buku-buku, pada dasarnya ini adalah simbol penolakan Emerson terhadap apapun yang berbau konvensional dan ritual. Emerson mengajak masyarakat untuk menjadi non-conformist dan berjiwa 'self-reliant.' Emerson sendiri pernah menyatakan bahwa menjadi pendeta yang baik bisa jadi ditempuh dengan cara meninggalkan gereja (beserta ajarannya). Ini juga yang dilakukan Emerson, yang kemudian dikenal sebagai 'The Father of Transcendentalism.' Secara singkat, pemikiran ini memandang bahwa manusia bisa menemukan realitas melalui proses berpikir, bukan pengalaman, dan kedekatan dengan alam akan membawa manusia 'bertemu' dengan penguasa alam spiritual yang dia sebut sebagai Over-Soul.
Lalu apakah Emerson tidak suka buku? Jangan salah teman-teman, cari saja di google, berapa banyak memorable quotes dari Emerson yang berbicara tentang pentingnya literasi. Ini beberapa yang saya suka:
"Books are the best of things if well used; if abused, among the worst. They are good for nothing but to inspire. I had better never see a book than be warped by its attraction clean out of my own orbit, and made a satellite instead of a system."
"If we encounter a man of rare intellect, we should ask him what books he reads."
Pemikiran Emerson tetap bisa diperbincangkan sampai sekarang karena dia meninggalkan warisannya. Essay dan jurnal harian Emerson dianggap sebagai karya sastra, yang membuat kita paham bagaimana konteks budaya pada masa itu. Salah satu pertanyaan Emerson yang mempengaruhi Henry David Thoreau, teman baik dan 'murid'nya adalah 'do you keep a journal?'
Maka kita punya contoh James Bond yang menolak membaca manual sebagai simbol penolakannya terhadap conventional kind of literacy, kita memahami Emerson yang mengusung pemikiran 'non-conformist,' dengan institusi (agama dan sekolah) yang dianggap mengekang kebebasan berpikir. Dengan demikian, saya bisa simpulkan dari pernyataan pemberi tanggapan di atas, bahwa penolakan terhadap literasi di sini adalah literasi yang dianggap sebagai alat pemasung kreativitas dan kebebasan berpikir, bukan literasi yang dimaknai sebagai kegiatan membaca dan menulis semata.
No comments:
Post a Comment