Pendidikan adalah proses membentuk kebiasaan (habit formation). Secara konseptual, kita semua sudah pada tahu bahwa membaca dan menulis itu penting untuk menumbuhkan kecintaan anak pada dunia literasi. Tidak ada satupun hasil penelitian (yang sempat saya baca) mengatakan sebaliknya. Namun barangkali kita masih kedodoran di tataran strategi dan teknik. Apakah ini di tataran pendidikan formal ataupun kebiasaan di rumah. Seberapa tinggipun encouragement yang berikan pemerintah, kalau anak tidak dipaparkan pada buku dalam hidupnya sehari-hari, akan alot juga prosesnya.
Karena lagi melakukan studi tentang literasi, dan juga karena keingin-tahuan saya tentang bagaimana literacy program berjalan di tingkat pendidikan paling bawah (baca: SD), akhirnya saya berupaya mencatat setiap detil agenda sekolah anak-anak saya. Ini salah satu yang barangkali bisa kita tiru.
Saya pernah bercerita bahwa Adzra, anak saya yang di Prep year, selalu membawa pulang 1 buku di dalam blue bag-nya untuk home reading. Ada lagi sebenarnya 'PR' orang tua, selain membimbing anak membaca buku yang dibawa dari sekolah itu. Di luar buku yang dipilihkan gurunya untuk PR membaca, sekolah juga ingin mengajak orang tua dan anak mencatat kebiasaan membaca buku yang tersedia di rumah , entah itu buku cerita, pengetahuan, dll). Anggap saja paling gampangnya, bagaimana kebiasaan bedtime story reading masing-masing keluarga. Untuk itu, sekolah menyediakan buku catatan Home Reading. Untuk yang ini, no strings attached. Alias, sak karep orang tua. Gak dinilai, meski guru akan memberikan komentar secara berkala tiap bulan.
Jadilah sejak Day One, tiap malam atau pagi sebelum sekolah, saya isi kolom kecil di buku itu dengan judul buku, komentar saya dan Adzra tentang isi buku, dan apresiasi Adzra tentang buku itu (dlm bentuk smiley). Saya anggap ini sebagai sarana mengamati diri sendiri, apakah saya sisihkan waktu untuk mendongeng tiap hari, merekam resepsi Adzra, bagaimana proses interaksi kami, apakah saya yang selalu mendongeng, ataukah Adzra ikut ambil peran membaca ceritanya melalui gambar.
Guess what, dalam waktu 2 minggu pertama, melihat lengkapnya kolom harian saya isi, rasanya seperti pencapaian luar biasa bagi saya. Ternyata dalam waktu 14 hari saja, sudah 14 cerita berbeda yang kami baca. Sebagian sudah pernah dibaca Adzra, sehingga dialah yang gantian mendongeng. Rasanya jadi eman ketika lagi ngantuk dan maunya langsung tidur, eh...ternyata Adzra yang malah mengingatkan. 'It's reading time." Kapokmu kapan!
Setelah hampir 1 bulan, tiba-tiba saya mulai hampir kehabisan stock. Buku cerita di rumah sudah terbaca semua. Adzra sendiri yang milih mau baca yang mana. Ketika kemarin saya pinjamkan beberapa buku cerita dari campus library, lha kok minta dibacakan semuanya dalam satu malam. Saya garuk-garuk kepala. Ini tidak lagi urusan tertib mengisi buku Home Reading. Saya sudah harus beli buku lagi untuk mengisi rak buku Adzra. Dia malah sudah punya sense of belonging. This is my library and that's your library, mommy.
Adakah ini berpengaruh pada kepercayaan diri anak? Yang saya lihat sih begitu. Pas hari terakhir sekolah, kebetulan ortu diundang datang mengamati proses belajar mengajar di kelas. Kami cukup berdiri di sekitar atau duduk di bangku, sementara anak-anak duduk lesehan di karpet. 3 gurunya tetap berinteraksi seperti biasa, tanpa merasa 'diawasi' oleh ortu. Menjelang school term holiday (selama 2 minggu ini), Kerry, salah satu gurunya, berpesan kepada anak-anak.
"Remember, during the holiday, you do more reading, and more reading, and more reading. Who reads books everyday with your Mom or Dad?" Adzra dengan pede-nya mengangkat tangannya.
Lha apa tidak semua orang-tua melakukannya? Yah, yang wajib saja seperti membaca buku dari sekolah belum tentu dijalankan, apalagi anjuran Home Reading. Darimana saya tahu? Ternyata beberapa ortu yang malah tidak melongok isi 'blue bag' anaknya. Ada yang malah baru tahu ketika saya iseng tanya. Di sisi lain, saya mengenal teman-teman Indonesia yang sangat tinggi perhatiannya terhadap program ini. Ada yang rutin mengajak anaknya ke city library untuk membaca dan memborong buku pinjaman. Ada yang teratur melakukan pencatatan, sampai akhirnya bisa mencapai 500 buku yang telah dibaca anaknya dalam kurun waktu kurang dari 2 tahun di sini. Teman-teman seperti ini bisa dipastikan punya koleksi buku cerita yang bejibun di apartemen masing-masing.
Untuk sebagian yang masih belum terbiasa dengan program bedtime story, saya kurang tahu mengapa. Entah karena ortunya sudah sibuk dengan urusan studi masing-masing atau alasan lain, harus saya 'teliti' lebih jauh, kalau saya mau. Tapi saya maklum juga sih, wong anak Prep memang gak ada pelajaran apa-apa kecuali literacy dan numeracy. Maksudnya, tidak ada buku pelajaran apapun yang harus dibeli. Mungkin ortu menjadi tidak terbebani seperti ortu di Indonesia. Tas anak kelas 1 SD di tanah air mungkin sudah berat berisi buku paket dan LKS. Di sini, setiap pagi, tugas orang tua 'hanyalah' memasukkan bekal makan siang di dalam tas anak. Urusan tulis-menulis dan menggambar atau apapun sudah ada di sekolah. Bisa dibayangkan, kalau ortunya tidak terlalu 'ngeh' dengan kebiasaan membaca, malah bisa ongkang-ongkang membiarkan anak bermain di rumah.
Pada akhirnya, semua kembali kepada orang-tua. Tapi saya jadi tertarik mengamati lebih jauh. "What does no bedtime story mean to us?" Saya lagi merasa dikompori oleh satu artikel yang berjudul What No Bedtime Story Means: Narrative Skills at Home and School oleh salah satu pakar literasi, Shirley Brice Heath. Mungkin ini satu kajian yang bisa saya lakukan nanti kalau sudah selesai studi. Atau ada yang tertarik melakukannya sekarang?
No comments:
Post a Comment