Thursday, April 25, 2013

KETIKA SHALAT MENJADI KAYA MAKNA


Pernahkah kita berpikir bahwa urusan agama sebenarnya adalah bagian politik budaya? Bagi umat muslim mayoritas di tanah air, barangkali kita menganggap banyak hal ‘taken for granted,’ sudah semestinya begitu. Adzan yang lima kali berkumandang dari masjid dekat rumah, pengajian yang bisa terdengar dari gang sebelah, membuat kita jarang mempertanyakan apakah ada yang merasa terganggu, apakah ada perlawanan yang tersembunyi, ataukah perlunya sebuah negosiasi.

Cerita menjadi lain ketika kita berada di posisi minoritas. Ijinkanlah saya bercerita tentang anak-anak Indonesia di Melbourne, terutama yang kebetulan memegang status sebagai siswa di Moreland Primary School (MPS). Ada hampir 40 anak Indonesia, mayoritas dari keluarga muslim, di sekolah ini, mulai Prep Year (5 tahun) sampai grade 6. Cerita bermula ketika musim gugur tiba. Kebetulan musim ini secara resmi berbarengan dengan dimulainya school term kedua, pada pertengahan April. Apabila pada saat musim panas, di term 1, waktu shalat Ashar baru masuk sekitar pukul 5 sore, para orang tua tidak menemui kesulitan mengajak anak-anaknya shalat dhuhur sepulang sekolah. Jam sekolah memang sudah berakhir pada pukul 3.30 setiap hari Senin-Jumat. Ketika daylight saving berakhir, dan waktu diperlambat 1 jam per tanggal 7 April yang lalu, maka shalat Shubuh yang dilakukan pada pukul 6 pagi pada tanggal 6 April berubah menjadi pukul 5 pagi pada keesokan harinya. Apalagi dengan semakin pendeknya siang, waktu shalat Ashar juga akan semakin cepat datangnya selama musim gugur, apalagi musim dingin nanti. Pada posisi sekarang saja, waktu dhuhur berakhir pada pukul 3.17, ketika anak-anak masih di sekolah.

Saya mengenal mayoritas orang tua di MPS sebagai orang-orang yang tidak hanya cerdas, namun juga teguh menjalankan ibadah. Kami rutin berinteraksi secara komunal dalam berbagai kegiatan sosial dan keagamaan di ‘kampung’ kami di area Brunswick dan Coburg. Itulah sebabnya urusan menjaga waktu shalat anak-anak tidak menjadi urusan individu, namun sudah bergerak ke level berjamaah. Masalahnya adalah, MPS adalah sekolah umum dan sekuler, tanpa embel-embel agama apapun. Sekolah ini juga sangat kental nuansa multikulturalnya. Mencari siswa dengan berbagai warna kulit dan bahasa ibu akan mudah dijumpai. Maka meminta ruangan khusus untuk shalat menjadi hal yang rasanya muskil.  

Dan perjuanganpun dimulai. Dicarilah celah hukum yang bisa dimasuki agar ijin shalat bisa diberikan di sela-sela jam istirahat yang tidak lama. Dalam pemerintahan yang sekuler, Australia ‘merasa’ wajib melindungi hak-hak masyarakatnya untuk melakukan ritual agama masing-masing, bila ada permintaan dari sekelompok orang yang mewakili komunitas lebih besar. Siswa muslim boleh tidak masuk sekolah pada hari-hari besar seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Yang Hindu dari India boleh tidak bersekolah bila sedang merayakan Diwali.

Mulailah dilakukan gerakan penggalangan dukungan pada awal musim gugur tahun lalu. Saya belum menjadi bagian dari MPS Indonesian parents saat itu. Adzra masih di Bindi Kindergarten, yang tidak sampai 500 meter dari MPS. Kedekatan lokasi ini membuat saya lumayan sering ikut bergabung dengan para ortu yang sedang menjemput anak-anaknya. Saya menyaksikan diedarkannya lembar tanda-tangan dari satu tangan ke tangan lain, untuk kemudian dibawa ke rapat School Council, atau Komite Sekolah. Ada satu orang perwakilan dari komunitas Indonesia yang kebetulan menjadi anggotanya. Dia adalah Diana, mahasiswa PhD di Unimelb, dosen Psikologi UGM, ibu dua anak, yang juga menjalankan layanan day care bersama Rizki, suaminya, di apartemen mereka. Pasangan ini merupakan salah satu contoh ortu yang gigih memperjuangkan kepentingan shalat di sekolah. Mengikuti cerita Diana dari waktu ke waktu, saya bisa bayangkan friksi yang muncul di School Council. Ada yang menolak keras dengan dalih akan menimbulkan keresahan. Perlu diketahui bahwa komunitas muslim di MPS cukup besar. Maklum, MPS ada di area Brunswick dan Coburg, yang merupakan ‘kampung Arab.’ Di sinilah banyak ditemui orang-orang Lebanon dan Turki tinggal dan melakukan kegiatan bisnis. Daerah ini adalah surganya makanan halal.  Dengan demikian, dikhawatirkan komunitas muslim dari negara lain akan ikut meminta kesempatan yang sama. Diproyeksikan sekolah akan kewalahan menegakkan tata-tertib. Ada yang keukeuh mendukung karena peraturan di negara bagian Victoria memberi peluang, ada yang menganggapnya bukan isu besar, karena hanya masalah kultural, bukan agama,  sehingga tidak perlu dikhawatirkan.

Upaya negosiasi inipun berbuah manis. Anak-anak Indonesia yang muslim diberi ijin melakukan shalat, tapi tidak di lokasi sekolah.  Perjuangan tahap keduapun dimulai. Mencari apartemen keluarga Indonesia yang tidak jauh dari sekolah sebagai lokasi shalat. Dan begitulah akhirnya, selama beberapa bulan dalam kurun musim gugur dan dingin, saya mendengarkan dan menyaksikan para ortu bergantian piket, menggiring 10-15 anak berjalan ke rumah pasangan Is dan Ika Lugin dari Surabaya. Ika adalah dosen Unair, mahasiswa tahun ke empat di Unimelb. Dua dari tiga anak mereka juga bersekolah di MPS. Rumah mereka yang paling dekat, cuma 3 menit jalan dari sekolah. Memastikan anak-anak tertib ke luar sekolah, shalat, dan segera kembali ke sekolah, sambil tak lupa menyelesaikan makan siangnya, adalah tugas rutin para ortu. Nampaknya sepele, namun saya tahu tantangannya berat, terutama dalam menjaga konsistensi.  Saya tahu ini tidak mudah dari sisi anak-anak sendiri. Maklumlah, jam istirahat sering dimaknai sebagai jam bermain. Playground yang nyaman dan lapangan olahraga yang luas berperan besar dalam membuat anak-anak tidak menghabiskan bekal makan siang, demi waktu bermain agar lebih lama. Terlebih lagi mengorbankan jam istirahat di luar lokasi sekolah.

Setidaknya itu yang kemudian terjadi. Saya kurang tahu pasti bagaimana alur setelahnya. Namun yang saya lihat adalah berpindahnya lokasi shalat ke De Carle Street, dekat tempat saya tinggal, sekitar 10 menit jalan kaki dari MPS. Apartemen keluarga Diana-Rizki dari Yogya dan Indah-Cucuk dari Solo, keduanya tetangga saya beda gedung saja, gantian menjadi lokasi shalat. Saya lihat Cucuk dan Rizki gantian mengangkut anak-anak, yang jumlahnya berkurang, di mobil Rizki. Saya hanya mendengar bahwa semangat beberapa anak dan ortu mulai kendur. Ada yang mengubah strategi dengan menyarankan anaknya untuk tetap berada di lokasi sekolah dan mencari peluang shalat sendiri di pojokan sekolah. Setidaknya strategi ini yang umum diambil para mahasiswa di sela-sela kesibukan kampus. Ada yang kemudian ‘mrothol’ tanpa alasan. Kendurnya semangat dan berubahnya pola shalat ini karena lokasi ini sempat dikhawatirkan beberapa teman, yang bisa berpotensi membuat pihak sekolah tidak lagi memberikan ijin. Kesepakatannya, shalat dilakukan secara komunal, di luar lokasi sekolah.

Ketika musim semi datang, dan daylight saving dimulai lagi pada bulan Oktober tahun lalu, jamaah shalat dhuhur bisa sedikit bernafas lega. Shalat Dhuhur tidak lagi harus dilakukan pada jam sekolah. Meski begitu, perjuangan masih belum selesai. Masih harus dipikirkan bagaimana strategi selanjutnya pada tahun ajaran 2013. Tapi setidaknya, John Williams, Kepala Sekolah MPS, berjanji untuk memikirkan lokasi yang tepat untuk kepentingan ini. Janji inilah yang kemudian kami pegang. Bukan untuk menuntut pemenuhannya, namun untuk menggerakkan lagi semangat ortu dan anak-anaknya untuk istiqomah dengan jamaah shalat dhuhur. Masih ada waktu untuk mempersiapkannya sampai musim gugur datang lagi.

Kemudian akhirnya saya turut menjadi bagian komunitas Indonesian parents di MPS pada tahun ini. Beberapa teman sudah kembali ke Indonesia bersama keluarganya, dan keluarga-keluarga barupun berdatangan membuka babak baru. Ada kehendak untuk menjaga misi shalat dhuhur tetap terjaga dan disuarakan di forum resmi sekolah. Ketika lowongan pemilihan anggota baru di School Council dibuka, beberapa teman mulai saling menunjuk di forum virtual terbatas. Diana sudah masuk tahun terakhir studinya, dan ingin pensiun, tapi pihak sekolah menginginkannya untuk tetap tinggal. Ada keinginan untuk menominasikan satu orang lagi dari Indonesia, agar memperkuat suara. Beberapa teman punya potensi kuat, namun punya pertimbangan studi. Indah sudah masuk ke tahun terakhir juga di Swinburne University, dan Yasmin akan menghadapi konfirmasi tahun pertama di universitas yang sama. Salah satu penggeraknya, mas Solikin, bahkan sudah pulang ke tanah air, kembali ke kampusnya di Unmuh Surakarta. Pandangan pun jatuh ke nama saya. Dipertimbangkan saya tidak sedang kena himpitan konfirmasi atau submit thesis, meski bukan berarti bisa lebih santai juga. Saya yang sebenarnya kurang yakin, karena masih warga baru gres di MPS, belum tahu aturan main, akhirnya mengiyakan demi kepentingan yang lebih besar. Kampanye 'terselubung' pun bergerak melalui sms, whatsapp dan email ke semua ortu Indonesia. Yasmin yang tekun meng-update database ortu dari Indonesia berperan dalam komunikasi virtual. Indah sendiri mengambil bagian sebagai pihak ortu yang menominasikan nama saya. Setidaknya ada 25 keluarga Indonesia di MPS disarankan untuk mencentang nama saya dalam ballot.“  

Begitulah, atas dukungan komunitas ortu Indonesia di MPS, kemudian nama saya terpilih menjadi anggota baru School Council. Mulai ikut pertemuan dengan Kepala Sekolah, Wakasek, Kepala TU, dan 6 wakil orang-tua siswa yang lain. Ikut merasakan betapa santai dan egaliter, namun efektifnya rapat yang hanya 1 jam. Tanpa formalitas sama sekali. Dari niat ikut memperjuangkan shalat dhuhur, saya malah ingin ikut terjun di seksi kurikulum. Kapan lagi dapat kesempatan melihat sistem pendidikan Australia dari dalam kalau bukan sekarang saatnya?

Musim gugurpun telah tiba, dan daylight saving berakhir. Sms Diana ke semua ortu mengingatkan kami untuk membawakan sajadah bagi anak-anak, pada hari pertama masuk sekolah di term 2, tanggal 15 April yang lalu. Timbul pertanyaan kembali. Apakah kami, para ortu, akan bertanya (menagih janji) kepada John? Apakah ini tidak akan memberi kesan ‘memaksakan kehendak’? Akhirnya obrolan virtual berujung pada pemberian kepercayaan kepada anak-anak yang lebih besar. Biarlah mereka yang secara alami menanyakan kepada John. Faiza, Qoni, dan Aqila, para gadis kecil putri Diana, Indah, dan Yasmin, adalah segelintir anak yang memiliki bakat kepemimpinan yang unggul. Mereka baru duduk di grade 4, tapi sudah tahu cara bernegosiasi. Merekalah yang maju ke John, tanpa campur tangan ortu, untuk menanyakan di mana teman-teman mereka bisa shalat nanti.  “I just remembered,” begitu keterkejutan John ketika ditemui tiga anak ini. Spontan John menyiapkan kantornya untuk tempat shalat, untuk hari pertama saja. 10 anak berhasil shalat dhuhur bersama. Esoknya, lokasi berpindah ke ruang kosong di kelas anak-anak Prep, dan 15 anak ikut shalat berjamaah, diimami bergantian oleh anak laki-laki dari grade 3 atau 4. Guru-guru Adzra di Prep menyediakan diri mengawasi jalannya shalat agar berjalan tertib. Kami para ortu hanya memantau melalui obrolan sepulang sekolah. Adzra kadang ikut, kadang bilang  “I forgot,” tapi bisa jelas memberi laporan siapa saja yang dia lihat ikut shalat. Diana malah membujuk Adzra untuk jadi motivator di kelasnya. “ayo ajak Sarah, Nadia, Alifia.” Diana turut menghadiahkan selembar jilbab biru untuk Sarah, teman Adzra yang tinggal satu kompleks dengan saya. Dan ini diikuti Adzra dengan membawakan jilbab buat teman lain yang tidak pakai jilbab di sekolah. Bangganya kemudian ketika dia bilang, “Sarah tadi ikut shalat sama aku, tapi Nadia masih belum mau.”

Ketika rapat School Council berlangsung minggu lalu (dan saya tidak bisa ikut), saya mendengar kabar gembira dari Diana. John sangat mengapresiasi semangat anak-anak. “They’re extremely beautiful. We should have more children like them.” Bagaimana bisa anak-anak usia yang belum belasan tahun bisa tertib melakukan wudhu dan shalat bareng dengan satu komando, tanpa kekacauan sama sekali. Mungkin begitu pikirannya. John tidak tahu bahwa anak-anak sudah dilatih dalam keseharian, termasuk bagaimana menjaga wudhu, sehingga tidak harus lepas kaos kaki bila harus berwudhu lagi. Maklum, toilet di sini hampir selalu kering. Di sisi lain, semakin banyak guru yang menawarkan diri untuk mengawasi jalannya shalat.

Kabar gembira ini disebar-luaskan via sms ke semua orang-tua, dengan harapan semangatnya tetap terjaga. Saya menyempatkan diri berterima-kasih kepada John atas kesempatan yang diberikan selama 2 minggu berjalan ini. Saat buyaran sekolah, ketika John ikut mengawasi anak-anak yang masih main di playground, saya dekati dia. Komentar John tetap sama, “they’re extremely beautiful.” Tapi kemudian dia tambahkan, “let’s just keep it local for the time being.” Saya paham, kesempatan ini memang untuk sementara hanya diberikan kepada komunitas muslim Indonesia saja. Sudah ada tanda-tanda beberapa anak Middle East yang ingin gabung, tapi terpaksa harus ditolak. Menurut Nadine, ketua komite yang baru, tidak fair juga bila nantinya komunitas muslim dari negara lain ingin bergabung. Sekolah perlu mengantisipasi jalan keluarnya. Padahal tahun lalu, Nadine termasuk yang bersuara keras menentang kepentingan shalat berjamaah ini.  

Bayangan kekacauan yang dicemaskan tahun lalu ternyata dengan mudah diselesaikan dengan hanya memberikan ruang shalat. Namun bagi saya, ini tidak lepas dari perilaku anak-anak yang ‘sangat santun’ dan patut jadi teladan. Ini pastinya tidak lepas dari didikan orang-tuanya sendiri, karena karakter tidak terbentuk dalam sekali tepukan tangan. Di sinilah saya harus mengacungkan dua jempol kepada teman-teman saya. Di tengah hiruk pikuknya mereka mengatur waktu studi, bekerja, mengurus keluarga, perhatian mereka terhadap ibadah anak-anak tidak pernah kendor. Bukan hanya anak-anak mereka sendiri, namun anak-anak muslim Indonesia yang menjadi teman-teman anak mereka. Bahwa ada ganjalan-ganjalan personal, seperti ‘tidak terimanya’ John terhadap keputusan menunjuk anak laki-laki sebagai pemimpin shalat, dan bukannya Faiza, Qoni, atau Aqila, yang melakukan koordinasi dengan rapi, itu tidak/belum harus dijawab sekarang. Ideologi kesetaraan gender a la Barat memang tidak selalu bisa secara mentah ditempelkan pada ajaran Islam.

Menjadi bagian dari minoritas seperti sekarang ini membuat saya semakin sadar bahwa pemberian makna akan selalu mengundang kontestasi dan negosiasi. Shalat, yang dulunya saya maknai sebagai ritual agama, sekarang berkembang menjadi politik identitas. Shalat menjadi semakin kaya makna, sebagai identitas religius di tengah deru kebebasan beragama/tidak beragama, identitas kebangsaan di hadapan komunitas muslim lain, dipertanyakan keharusannya dalam kerangka regulasi pemerintah setempat, dicemaskan potensinya dalam menimbulkan ‘kepanikan,’ dan dinegosiasi untuk mencapai win-win solution. Apabila sekarang ini kami sedang sejenak menikmati ‘zona nyaman,’ itu tidak boleh diartikan bahwa perjuangan telah usai. The real journey is about to beginThe journey of self-discoverywhich is the hardest of all.

2 comments:

Rie Rie said...

gimana kabarnya bu? sehat?

arara carter said...

It's so great, Ma'am..
Memang benar, shalat menjadi sangat bermakna ketika kita, kaum muslim berada pada posisi minoritas. Saya juga mengalaminya ketika harus menempuh 9 sks mata kuliah di Thailand yang mayoritas Budhist. Tetapi yang jelas, perjuangan kami tidak seberat para ortu di atas.
Keep fighting, Ma'am, and good luck ;)