Friday, November 15, 2013

HIDUP TANPA BRA

Mbak Sirikit, sahabat sesama alumni jurusan Pendidikan Bahasa Inggris IKIP Surabaya, jurnalis dan penulis top, mengirim kisah tentang 'Beha.' Setelah mastectomy 3 minggu yang lalu, mbak Ikit ingin membeli bra khusus untuk pasien kanker payudara yang sudah menjalani operasi. Ketika di RS Onkologi Surabaya, ternyata ada stocknya. Yang mengagetkan mbak Ikit, harganya mencapai 2 juta, total buat bra dan sumpelan silikon yang disebut dengan prothesis. Akhirnya mbak Ikit tidak jadi beli, meski masih terbayang-bayang, mengingat keinginannya untuk tampil 'normal' dan seimbang dalam hal berat sisi kiri dan kanan. Yang kiri sudah 'jeglong,' sementara yang kanan ukuran XL. Keluarga mbak Ikit amat supportive. Pak Anam, suami mbak Ikit, dijuluki McGyver, akan membuatkan 'sumpelan' khusus. Sementara Ayu, putri mbak Ikit yang baru saja menikah, malah mendorong ibunya untuk tidak mempersoalkan body image. 

Hihi, aku geli sendiri membaca postingan mbak Ikit tentang beha. Jadi ingat pengalamanku sendiri ketika menjalani operasi 2 kali pada bulan Juni dan Juli yang lalu. Kira-kira 1 minggu sebelum operasi yang pertama, aku diajak ngobrol oleh Monique, salah satu breast care nurse di Royal Women's Hospital. Ditanya perasaanku nanti kalau payudara kiri diangkat. Aku bilang gak apa, sudah siap. Terus diberitahu bahwa ada beberapa alternatif yang bisa diambil. Aku bisa minta breast reconstruction surgery. Dan operasi ini biasanya dilakukan beberapa minggu setelah pengangkatan payudara. Atau bisa juga memilih mengenakan breast prothesis, seperti yang diceritakan mbak Ikit. Prothesis ini bisa mengembalikan penampilan payudara pasien ketika mengenakan baju. Selain itu, berat payudara juga akan terasa seimbang. 

Body image memang dianggap penting. Itulah sebabnya Breast Cancer Network Australia proaktif 'menyentuh' pasien kanker payudara agar secara fisik dan psikologis tetap merasa utuh. 

Aku bilang "no, thank you, I think I'll be fine, Monique." Nggak pingin operasi rekonstruksi payudara seperti Angelina Jolie. Keberanian si Lara Croft ini memang patut diacungi jempol. Double mastectomy sebagai tindakan preventif agar tidak terkena kanker payudara dan ovarium. Dia memang punya gen penyakit ini dari silsilah keluarga. Tapi sebagai artis dan duta kemanusiaan, dia kan memang perlu menjaga body image. 

Aku punya pertimbangan lain. Demi kesehatan. Aku sudah 6 kali menjalani operasi di berbagai bagian tubuhku, yang semuanya terkait dengan organ perempuan. Kata mas Prapto, "wis diedel-edel sik kudu operasi maneh, disumpeli implant silikon." Dia ngeri membayangkan operasi terus. Aku juga tidak tertarik dengan prothesis permanen, yang berupa silikon dan diselipkan di bra khusus pasien kanker yang sudah menjalani operasi.  

Di Aussie, harga prothesis berkisar antara $130-400, dan bisa di-claim melalui Medicare. Itu asuransi kesehatan untuk warga negara Aussie. Bahkan juga disediakan kostum renang khusus, yang bisa di-claim melalu asuransi swasta. 

Ya, SOP pelayanan kanker payudara memang begitu. Jadi semua informasi lisan dan tulis berupa brosur dan booklet diberikan ke aku. Pilihan diserahkan pada pasien. Selain itu, aku juga diberi bra khusus itu sesuai ukuranku. Gratis. 2 item malahan. Dan ada sumpelan temporer dari kain. Nantinya bisa aku pakai setelah operasi, agar tampilan dada lebih seimbang. 

Nyatanya sampai sekarang kedua bra itu tidak pernah kupakai. Lha wong setelah operasi aku malah semakin jarang pakai bra, hehe. Gak ngaruh di penampilan yang memang dari sononya sudah begitu. Apalagi dengan cuaca di Melbourne yang lebih sering mengharuskan aku pakai baju berlapis-lapis. 

Wis gak opo, sing penting bojo ikhlas. Lihat kondisiku sehat kembali setiap habis kemo saja sudah seneng. Kemarin aku ngobrol dengan mas Prapto, "kemo ke-4 dan ke-5 ini dahsyat ya mas. Obatnya cuma 1, tapi efeknya beda banget dan lama. Energiku seperti terkuras habis." Kata mas Prapto, "yo bukan masalah obat cuma 1 atau efeknya beda. Seperti orang marathon, sudah lebih dari separo route. Mulai berkurang tenaga fisiknya. Sel-sel yang sehat dirusak, baru pulih, dirusak lagi. Wis gak apa, dilakoni, tinggal 1 kemo lagi kan."

Aku trenyuh dengan segala upaya suami dan anak-anakku agar aku tetap semangat. Kalau aku lagi sehat, Ganta suka menggoda, merengek-rengek, 'ibu, ambilkan makan dong, aku lemes. Dulang." Juga tentang kecemasanku yang mungkin terpendam, dan muncul dalam bentuk ngelindur. Duh, ini memang 'penyakit' sejak jaman dahulu kala. Dan selama sakit ini, cukup sering aku mimpi seperti aku sedang berperang. Yang keluar dari bibir, menurut Ganta atau mas Prapto,  ternyata 'help me, help me,' 'go away,' Ya Allah, astaghfirullah.' Uniknya, di mimpi tadi malam, aku seperti berbicara dengan seseorang yang sembunyi di kegelapan, dan di sekitar orang itu ada reruntuhan rumah. Dari jauh aku bilang ke orang itu dengan tenang, 'lha opo sampeyan gak ngalih pisan ae pak, wong kabeh wis gak nang kene." Aku terbangun dengan tanganku dipegang mas Prapto yang kaget dengan teriakanku, "Ya Allah." 

Secara fisik, aku semakin gampang lelah. Namun secara psikis, entah kenapa, seperti semakin tinggi fighting spiritnya. Di mata mas Prapto yang orang psikologi, aku sedang berperang dengan penyakit. Aku sedikit tahu urusan mimpi menurut Freud juga. Bisa jadi ini adalah perasaan-perasaan cemas yang ditekan ke alam bawah sadar, dan muncul melalui mimpi. 

Tentu saja dari pandangan agama, aku anggap ini sebagai pengingat untuk banyak-banyak beristighfar dan bangun shalat malam serta mengaji. Agar hati lebih tenang. Dan lebih banyak mimpi indah. Seperti kata Adzra tadi pagi, 'mommy, why don't you try to have a beautiful dream. Just like me. I dream about the rainbow. And I go sliding on the rainbow. It's soo beautifuul." 

Aku peluk Adzra. Alangkah indahnya dunia di mata anak kecil yang amat polos ini. Seharusnya aku belajar untuk melihat hidup secara lebih simpel saja. 


(ini cerita ttg bra kok malah belok ke ngelidur ya)

No comments: