Wednesday, April 24, 2024

I'M A PROUD MOTHER

Ganta is the definition of a die-hard Bonek, the fan community of Persebaya supporters. Born in Surabaya, Ganta has developed his deep interest in whatever is about Persebaya. When he was still small, my hubby would take him to football matches at Tambaksari Stadium. As he grew up, he went with his friends and collected merchandices. Green stickers and banners are all over our place. 

From a supporter to a prosumer to a researcher. Bajolball podcast channel that he manages with his friends has reached more than 100 episodes. This channel discusses anything related to Persebaya, but not limited to match reviews. This kind of volunteerism is then extended to the production of matchday programmes. Days prior to a match, he would drown himself in his room or our minilibrary to prepare the match preview. He would then go to Bung Tomo stadium and distribute the print version to supporters before the game. It's a fan literacy practice that connects supporters and serves as a free and alternative media. Often times a resistant one.

Today, April 24, 2024, he earned his MA in Anthropology from Gadjah Mada University. His ethnographic research on Bonek based in Boyolali, Klaten, and Sragen highlights the power of collective identities of football supporters that extend beyond the club's homebase in Surabaya.

While graduating from a study program that is currently ranked 51st in the World's University Ranking is something to be proud of, it's his perseverance and persistence against all odds that we are grateful for.


Big congrats, my beloved son. Kudos to you. Ayah, Ibu, and  Adik Adzra always take pride in you, no matter what. 


Yogyakarta, April 24, 2024

Monday, May 29, 2023

BERBAGI PENGALAMAN SEBAGAI PENYINTAS KANKER PAYUDARA

Kemarin malam saya menerima pesan dari Mbak Icha, seorang teman sesama anggota grup WA CISC Her2+. Grup ini adalah support group yang beranggotakan para perempuan penyintas kanker payudara dan yang sedang menjalani pengobatan. Saya diminta untuk mengupdate data medis yang nantinya akan digunakan untuk saling memberikan support, terutama untuk pasien kanker payudara yang membutuhkan teman untuk menjaga kondisi psikologis. 

Satu hal yang sama di antara semua anggota grup ini adalah jenis kanker yang sedang atau pernah kami derita, yakni Her2+. Jenis kanker payudara ini mengacu pada kanker yang menunjukkan hasil positif atas adanya protein human epidermal growth factor receptor 2 (HER2). Protein ini memicu tumbuhnya sel-sel kanker. Berdasarkan statistik penderita kanker payudara di dunia, 1 di antara 5 kanker payudara menunjukkan adanya gen yang menghasilkan protein HER2. Kanker payudara jenis HER2+ cenderung lebih agresif daripada jenis kanker payudara yang lain. Kabar baiknya, pengobatan yang langsung ditargetkan kepada HER2 tercatat sangat efektif dan prognosisnya (perkiraan kesembuhan di masa datang) dinilai sangat bagus. 

Saya sendiri sudah menjalani semua pengobatan, mulai mastektomi, kemoterapi 6 siklus, dan targeted therapy dengan trastuzumab sebanyak 18 kali selama saya masih studi di Melbourne. Ketika saya pulang ke tanah air, saya rutin check up 6 bulan sekali di RS Onkologi. Menginjak tahun 2023 ini artinya sudah berselang 10 tahun sejak saya didiagnosa kanker payudara HER2+. Alhamdulillah pada bulan Januari 2023 yang lalu, dr. Bob, oncologist saya, menyatakan bahwa jadwal check up cukup 1 tahun sekali. Alhamdulillah. Tentu saja saya senang dan lega sekali. Ini berarti bahwa selama 10 tahun ini, kondisi saya terpantau normal dan tidak ada indikasi bangunnya sel kanker. 

Bicara tentang ihwal berbagi pengalaman sebagai penyintas kanker, saya termasuk orang yang terbuka dengan kondisi yang pernah saya alami. Saya juga menuliskan beberapa episode saat menjalani pengobatan di blog ini. Pernah juga diminta memberikan testimoni di sebuah acara peringatan hari kanker payudara sedunia yang kebetulan diadakan di kampus Unesa. Nah, obrolan di WA dengan Mbak Icha membuat saya ingat bahwa saya pernah diundang sebagai narasumber di sebuah kanal siniar (podcast) yang dikelola oleh klinik Parahita cabang Dharmawangsa Surabaya. 

Pada bulan Januari 2023 yang lalu, kebetulan saya memang tengah menjadwalkan untuk pengecekan tahunan. Pengecekan ini meliputi pemeriksaan darah CEA dan CA 15-3. Kedua tes ini dilakukan untuk mendeteksi adanya sel kanker payudara. Biasanya setelah cek darah ke klinik, saya ke RS Onkologi untuk melengkapi check up dengan melakukan mammografi, rontgen paru-paru, USG bagian perut, payudara, dan leher. Semuanya untuk mendeteksi kemungkinan penyebaran kanker di organ tubuh yang lain. Jadi karena mau diajak ngobrol, sekalian saja saya melakukan pemeriksaan CEA dan CA 15-3 di Parahita cabang Dharmawangsa. 

Setelah bersiniar itu, saya praktis lupa tentangnya. Bahkan saya tidak sempat bertanya kepada pihak pengundang apakah ada rekamannya. Maka saya cari-cari di Youtube. Barangkali ada rekamannya yang sudah diunggah. Akhirnya ketemu videonya. Baru ingat juga bahwa agendanya saat itu adalah untuk memeringati Hari Kanker Sedunia yang jatuh pada tanggal 4 Februari 2023. Di dalam video ini, saya menceritakan pengalaman saya sebagai penyintas, tantangan-tantangan yang dihadapi, pengobatan yang saya terima, dan sistem pendukung yang mendorong saya untuk terus berjuang sampai sembuh. Bersedia berbagi melalui PARAHTALK, nama kanal siniar Parahita, juga merupakan salah satu cara untuk menjadi bagian dari support system.  Tautan ke video ini saya bagikan ke Mbak Icha dengan harapan dapat memberikan manfaat bagi teman-teman penyintas kanker payudara yang tergabung dalam grup WA CISC HER2+. 

Anda juga ingin tahu lebih banyak tentang pengalaman saya sebagai penyintas kanker payudara?
Silakan menyimak video berikut ini. Semoga bermanfaat.




Kebraon, 29 Mei 2023

Sunday, August 22, 2021

CONNECTING DOTS WITH BUDI DARMA


Kepergian sosok sepenting Prof. Budi Darma adalah sebuah kehilangan yang tak tergambarkan. Waktu terasa berhenti dan hanya tangis yang mengisi. Tiba-tiba ingatan masa lalu seolah berjajar bak foto-foto yang membawa kenangan. Betapa tanpa saya sadari Pak Budi Darma telah menggoreskan warna kuat dalam perjalanan karir saya.

Saya termasuk yang percaya bahwa dalam kehidupan ini tidak ada yang kebetulan. Kejadian yang kita alami atau orang yang kita temui adalah bagian dari takdir. Termasuk di antara bagaimana sosok Budi Darma menjadi tanda dalam peta kehidupan saya. Serpihan kisah rendezvous saya dengan Pak Budi adalah titik-titik yang suatu saat terhubung. Connecting dots

1) Di sekitar tahun 1985-1990, ketika saya menjadi mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris IKIP     Surabaya, Pak Budi Darma adalah Rektor IKIP Surabaya mulai tahun 1984-1988. Karena beliau menjadi Rektor, maka saya belum pernah masuk ke kelas beliau sampai tahun 1989. Peran beliau sebagai Rektor saya rasakan kalau saya wira-wiri dari Sekretariat Himapala di Kampus Ketintang ke Rektorat yang waktu itu ada di Jalan Kayun. Maklum, sebagai anggota Himapala, saya ikut sok sibuk mengurus surat perijinan atau pengajuan dana kegiatan. Tapi saya lebih banyak masuk ke ruangan Pembantu Rektor III yang memang mengurusi bidang Kemahasiswaan. 

Pendek kata, saya hanya tahu bahwa dosen saya, yang sastrawan, adalah Rektor. Dan saya baru pada tahap berangan-angan ingin diajar beliau sebelum saya lulus. 

Sampai suatu saat saya diberi tugas menyerahkan pemukul gong kepada Rektor untuk membuka acara Pentas Seni Himapala di tahun 1986. Tidak tanggung-tanggung, saya harus turun dengan tali dari dinding Gedung Gema dengan ketinggian kurang lebih 10 meter.  Bersama dengan rekan saya, mas Agus Guo, kami turun saat lampu gedung yang dimatikan. Spotlight mengarah ke dua anak muda yang sedang rappling dari atap gedung dan kemudian beratraksi melompat ke kiri dan ke kanan sambil membalikkan badan. Entah dari mana saya mendapatkan kenekadan ini. Kenekadan yang direncanakan karena latihan hampir tiap hari. Saat itu adrenaline saya mungkin sedang puncak-puncaknya. Seandainya ini terjadi di masa kini, mungkin foto-fotonya sudah memenuhi akun medsos saya. 

Sesampai di bawah, saya berlari ke arah Rektor dan menyerahkan pemukul gong yang tergantung di carabiner di celana jeans saya. Lamat-lamat saya mendengar pembawa acara menyebut nama saya sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. 

Hampir empat tahun kemudian, saya duduk di sofa Jurusan, di depan tiga dosen senior Jurusan. Pak Budi Darma, Pak Santiko Budi, dan Pak Djoko Soeloeh Marhaen. Saya tengah menghadapi ujian skripsi. Pak Budi Darma menjadi penguji saya. Beliau bertanya sambil tersenyum, “masih suka naik-naik atap gedung?” 

Saya terpana. Terpesona. Bagaimana mungkin ulah anak picisan ini diingat oleh sosok VIP seperti beliau. Saya lupa apa jawaban saya. Yang saya ingat hanyalah gelengan saya dengan wajah tersipu malu. 

2) Tapi itu bukan pertama kalinya saya merasa dekat dan dikenal oleh beliau. Ketika Pak Budi sudah tidak lagi menjabat sebagai Rektor, beliau kembali mengajar ke Jurusan. Di akhir semester saya di semester 8, beruntunglah saya dapat duduk di kelas Literary Appreciation. Sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan, kami tidak banyak mendapatkan mata kuliah murni. Hanya ada Introduction to Literature yang kurang sukses membuat saya mencintai sastra. Tapi saya sering meminjam novel-novel di ruang baca Jurusan dan memfotocopynya. Membaca untuk dinikmati. Bukan untuk dikritisi. 

Kelas kami membahas novel Ernest Hemingway, The Sun Also Rises. Semua mahasiswa memegang fotocopyan novel, mencoba mencari kalimat yang dibacakan Pak Budi. Tak kunjung ketemu. Saya perhatikan wajah beliau. Baru kemudian saya tersadar bahwa sebenarnya beliau sedang menganalisis dengan gaya berkisah. Ah, kalimat-kalimat yang tertata rapi dan runtut ini muncul terucap tanpa script. Menghipnotis. Meski pemahaman saya tidak sampai separuhnya. 

Merasa kuliah ini standar tinggi dan saya tidak mudeng, saya mencoba mencari cara agar paham isi novel ini. Bayangkan kuliah di tahun-tahun 80-90an, ketika referensi harus dicari di perpustakaan yang masih terbatas koleksinya. Saya belani mencari referensi ke perpustakaan di atas toko buku di jalan Tunjungan. Saya lupa apakah namanya Sari Agung atau sudah berganti menjadi Gramedia. Toko ini adalah jujugan saya sejak kecil. Tapi baru tahu belakangan saat kuliah bahwa di atasnya ada perpustakaan kecil. Di situ akhirnya saya menemukan buku-buku sastra yang tebal dan menyuguhkan kritik sastra karya-karya Hemingway. 

Eureka

Ketika masa UTS datang, kami diminta untuk menjawab beberapa pertanyaan yang bersifat analisis novel The Sun Also Rises. UTS yang open book. Kami tentunya dapat mengutip baris-baris dari novel sebagai bukti. Saya mengambil tempat duduk di belakang. Agar dapat fokus menulis analisis. Tidak pakai tengok kiri kanan. Karena teman-teman saya juga sedang sibuk berpikir. Mau nulis apa. Atau mungkin tidak tahu apa yang mau ditulis. Saya sendiri juga tidak yakin. Pokoknya nulis saja. 

Dua minggu kemudian, beliau memanggil nama kami satu-persatu. Memberikan hasil UTS. Sambil memberikan umpan balik. Rata-rata dikomentari karena kebanyakan menulis analisis seperti menulis daftar menu. Hanya point-point saja. Saya mendengar nama saya disebut. Deg-degan. Takut jawaban saya juga tidak memuaskan. “Pratiwi, would you please come here and read your answer?”

Dengan sangat groggy, karena tidak tahu mengapa saya diminta maju ke depan, saya berjalan ke depan kelas dan menerima kertas jawaban dari tangan beliau. Saya bacakan jawaban saya yang panjangnya kira-kira 2 halaman kertas folio bergaris. Setelah saya selesai membaca, barulah kemudian beliau menyampaikan bahwa analisis sastra seharusnyalah deskriptif seperti itu. Bukan seperti daftar menu atau belanjaan. 

Pengalaman ini sangat membekas di benak saya. Ternyata saya bisa menganalisis karya sastra yang masterpiece. Ternyata begitu caranya interpretasi sastra. Sejak itu saya merasa jatuh cinta pada sastra. Tepatnya, Pak Budi membuat saya mencintai sastra dan mensyukuri pentingnya menulis. Saya punya kebiasaan menulis di buku harian atau surat berpanjang-panjang halamannya. Mungkin saja tulisan saya ada emosinya. Buktinya beberapa coretan yang saya tulis menghasilkan patah hati. 

(bersambung)