Wednesday, June 26, 2013

Upacara, Penghargaan, dan Pendidikan Karakter

Hari Senin adalah hari yang saya sukai di sekolah Adzra. Mengikuti assembly, atau upacara sekolah. Kalau tidak ada keperluan penting, saya biasanya bertahan sampai pukul 9.30, saat upacara berakhir. Di tanah air, kita terbiasa dengan suasana upacara sekolah yang formal, dengan pembacaan Pancasila dan Pembukaan UUD 45, sambutan inspektur upacara, di bawah sinar matahari yang semakin meninggi. Barisan paling belakang seringkali ngobrol sendiri. Dan tak terasa upacara sudah berakhir. Nah, cara assembly berjalan di Moreland Primary School jauh dari gambaran seperti itu.

Ketika bel berbunyi pada pukul 9 pagi, para siswa menuju ke hall, yakni ruang tengah yang menghubungkan sebagian besar ruang kelas dan kantor. Ruang butulan yang lebar, nyaman, dan multi fungsi ini juga ibarat gallery. Seluruh dindingnya penuh dengan pajangan hasil proyek para siswa. Mulai tema lingkungan, seni, olahraga, sampai multikultural bisa dinikmati. Di atas karpet biru yang hangat, para siswa duduk berkelompok dengan kelas masing-masing. Anak-anak Prep dan grade 1 di sebelah kiri dan kanan, diikuti dengan grade berikutnya. Para orang-tua yang ikut hadir bisa duduk di kursi plastik yang ditempatkan mepet di sisi kiri, kanan, dan belakang ruang. Suara tangisan bayi atau balita ikut mewarnai. Maklum tidak ada yang punya pembantu. Para guru duduk di sisi yang sama. Berbaur dengan para orang-tua. Bahkan John Williams, kepala sekolah, sering berdiri di belakang, sambil mengawasi anak-anak yang mungkin telat dan segera mengantar mereka bergabung. 

Yang menarik dalam assembly adalah bahwa acara dibawakan oleh para siswa secara bergantian. Kapan dulu bahkan anak-anak Prep yang masih bau kencur dapat giliran. Beberapa guru mendampingi untuk urusan teknis seperti mengoperasikan laptop dan mengatur sound system. Suasana sedikit formal dan nasionalis hanya ditandai oleh bagian awal. Saat semua hadirin diminta berdiri dan lagu kebangsaan Australia dinyanyikan bersama. Bagian berikutnya sampai akhir adalah lembaran kegiatan dan prestasi masing-masing kelas dalam 1 minggu terakhir. Pembawa acaranya bergantian membacakan skrip. Kadang cuma 2 anak, yakni school captain dan wakilnya. Kadang  bisa melibatkan 5 anak. Saya amati sampai akhir assemby, semua anak memberi perhatian penuh, tidak ada obrolan. Tapi jauh dari suasana tegang. Semua yang hadir bisa menikmati rangkaian acara sambil duduk manis.

Saat assembly kemarin, hasil kegiatan yang ditampilkan di layar adalah interview yang dilakukan anak-anak grade 3/4 dengan beberapa guru. Temanya adalah Nude Food. MPS sangat concern dengan pembiasaan siswa membawa bekal makan siang dalam lunch box. Tanpa pembungkus plastik dari pabriknya. Alias makanan buatan mama. Selama 1 semester ini, tiap minggu dilaporkan hasil nude food survey di tiap kelas. Anak-anak Prep hampir selalu menjadi 'juara,' atau paling banter mlorot ke posisi ketiga. Para 6th graders malah selalu paling buncit. Setengah menyentil, pembawa acara, anak grade 4, memotivasi kakak kelasnya untuk lebih berupaya menjadi role model di semester mendatang. Semua yang hadir ketawa. 

Hasil proyek lain yang menarik adalah kumpulan artikel tentang lingkungan yang dihasilkan oleh anak-anak grade 3/4. Ini bukan kliping, tapi tulisan siswa sendiri. Hasil kerja mereka dikemas dalam e-book. John mengapresiasi karya mereka dan sekolah akan mengunggahnya ke website sekolah. 

Tak perlu heran juga bagaimana teknologi sudah melekat di MPS. Anak grade 3 ke atas sudah pegang Mac Pro atau Mac Air. Satu anak satu laptop. Anak di bawahnya sudah akrab dengan iPad. Itulah mengapa anak setingkat SD di MPS sudah bisa membuat film pendek dokumenter sebagai bagian dari class project. Istilah doing research sudah lumrah, karena ini berarti cara referensi di internet atau buku di perpustakaan untuk mendukung report atau project.Satu hal yang patut ditiru adalah apresiasi sekolah terhadap proses dan kerja-keras. Bukan sekedar hasil dalam bentuk prestasi akademik berbau kognitif. Bila sekolah baru saja mengikuti lomba lari, sepak bola, atau apapun, maka semua siswa yang mewakili akan gantian bicara di assembly. Dua tiga kalimat tiap anak. Kalah menang diceritakan. Dan semua yang hadir memberikan applause. 

Bagian yang paling ditunggu orang-tua adalah pengumuman achievement award mingguan. Biasanya ini bagian school captain yang memberi pengumuman. Dan kepala sekolah atau wakilnya yang menyalami siswa, sambil memberikan sertifikatnya.  Dimulai rombongan Prep, Adzra dipanggil untuk maju ke depan. Putri cantikku ini seperti tahu betul memilih moment yang tepat, saat ayahnya di sini untuk menyaksikan. Dia  menerima sertifikat dengan tulisan  'Congratulations Adzra, for writing more and more each day. Great effort!' 

                          
Sekitar 7 anak Prep juga dapat award untuk berbagai achievement. Empat di antaranya diterima Adzra and the gang. Kecuali Sarah yang sudah dapat award minggu sebelumnya, Senin kemarin giliran Adzra, Nadia, Achia, dan Liana. Dua nama terakhir ini anak Bangladesh. Lima sekawan ini runtang-runtung ke mana-mana. Achia menerima apresiasi untuk ‘writing without copying, dan Nadia diganjar excellence in phonics. Avinash, anak India, dapat award untuk being kind and helpful to friends. Kategori yang lebih kompleks diberikan untuk para seniornya di grade 1-6. Ada award untuk excellent organizational skills, doing lots of maths, producing e-book secara berkelompok, consistency in book report, dan sebagainya.

                    Penerima achievement awards minggu terakhir term 2 di MPS

Berkali-kali menikmati assembly, saya jadi semakin paham bagaimana character building di MPS terinternalisasi di keseharian anak-anak. Kunci keberhasilan yang dipatok MPS adalah Confidence, Persistence, Organisation, Getting Along, and Emotional Resilience. Sementara itu, nilai-nilai moral yang dikembangkan adalah Respect, Responsibility, Excellence, and Honesty. Prestasi tidaklah direduksi ke dalam angka rapot atau bahkan ranking di kelas. Model yang beginian berpotensi menjulangkan segelintir anak, dan menenggelamkan mayoritas menjadi ‘anak-anak biasa saja. Di MPS, boleh dikatakan tiap anak pernah dan akan dipastikan menerima penghargaan atas kerja kerasnya. Baik untuk urusan akademik seperti literacy dan numeracy, maupun social skills. Ken misalnya, anak Indonesia di Prep, pernah harus ikut sesi speech therapy. Itu saking diamnya dan penolakannya untuk berinteraksi dengan teman dan guru. Padahal kalau di rumah, menurut ibunya, paling cerewet dibandingkan kedua kakaknya. Seiring berjalannya waktu, Ken dapat achievement award untuk ‘great improvement in communication and interaction.’ Juga Sarah, sahabat Adzra. Dua kali sudah dia dapat award untuk ‘great improvement in speaking English.’ Pendeknya, peningkatan sekecil apapun akan diamati guru dan layak diganjar penghargaan.  

Ketika John berdiri di samping para pembawa acara, membantu membacakan skrip, Donna, si wakasek, menjadi fotografer, mengambil gambar para awardees untuk newsletter minggu ini, dan guru-guru lain mengoperasikan tayangan di layar, saya merasakan betapa dekatnya interaksi guru-siswa-staf. Pada saat yang sama, saya bayangkan betapa berjaraknya sebagian guru dan staf sekolah dengan para siswa di tanah air. Tak heran anak-anak Sumba merindukan guru-guru SM3-T. Para pendidik yang penuh dedikasi dan komitmenlah yang bisa memenangkan hati siswa.

Di negeri Down Under ini, kami para orang-tua merasa sangat bersyukur menyaksikan anak-anak kami berkembang secara wajar di lingkungan sekolah yang nyaman dan menyenangkan. Chika, mama Nadia, sampai terharu, pingin nangis. “Gak rugi aku mbak, bayar AUD$ 7000 per tahun buat tuition. Pengalaman ini akan nempel seumur hidup di benak Nadia.” Fajar, ayah Nadia memang mahasiswa S2 jalur coursework dengan beasiswa kantor. Non-ADS awardees dengan jalur coursework seperti Fajar rata-rata dapat beasiswa dua kali lipat dari mahasiswa riset beasiswa uni seperti aku. Tapi mereka juga terpaksa harus merogoh saku dalam-dalam untuk sekolah anak. Sementara aku bersyukur bisa dapat bebas SPP untuk Ganta dan Adzra. Bahasa orang Jawa sih, sawang-sinawang. Tiap scholarship scheme ada plus minusnya.

Sambil sarapan, saya dan mas Prapto ngobrol tentang dunia pendidikan di tanah air. Tentang kemungkinan dan tantangannya mengembangkan hal serupa di sekolah. Terutama di sekolah negeri. Tiba-tiba pikiran saya membayangkan pendidikan karakter yang sedang dikembangkan di tanah air. Saya berdoa, mudah-mudahan tidak terbatas pada pengembangan rencana pembelajaran di atas kertas saja. Betapa pembiasaan budi pekerti tidaklah sekedar tertuang di atas kertas, namun membutuhkan konsistensi dan dedikasi para pendidiknya. ‘Pekerjaan rumah’ kita ternyata makin panjang saja. Semoga kita para pendidik tetap istiqomah dengan tujuan mencerdaskan anak bangsa. 






Monday, June 24, 2013

A BESTFRIEND'S POEM

Ella, one of the long-lasting bestfriends I’ve ever had. We’ve been close since we were still at IKIP Surabaya. Being the members of Himapala, the nature society in campus, we spent so much time doing things together. A year after she continued her education to IKIP Yogyakarta for a master’s degree in Education, I followed her, as I entered American Studies program at UGM in 1993. We  stayed in the same lodging house. Strolled along Yogyakarta streets together. Shared many more stories about our dreams, loves, and families. When I took another MA in Texas in 2002, she had just started her doctoral education at UM. And emails and books continued to bond us together. Though in many respects, our paths have gone to different directions. Yet, being Unesa faculty members, both of us, there’s no way that our paths would not cross. And we’ve been crisscrossing eversince.

She’s now the youngest professor we have at Unesa, and I’m juggling with my PhD thesis. Our mailing list, Keluarga Unesa, has become another way that bonds us in ways that we had never imagined before. So, with my health concern at the moment, she’s the first friend I told about it. And here’s what she wrote about us.

Masa-masa itu sudah sejak lama kita tinggalkan
Puluhan tahun silam
Saat kita selalu bersama
Menorehkan jejak-jejak kita di setiap jengkal waktu
Di ketinggian gunung dan perbukitan
Di kerimbunan hutan belantara
Di kegelapan malam di goa-goa
Di dinding-dinding kampus
Bahkan di mall dan gedung-gedung bioskop

Tubuh mungilmu menyimpan sejuta cerita
Untaian perjalanan mengukir sejarah
Romantisme masa muda saat menggapai cinta
Heroisme perjuangan mencapai cita-cita

Jiwamu menyimpan api abadi
Menyulutkan keceriaan pada sesama
Mengajarkan kepedulian dan kesetiakawanan
Mengabarkan kecerdasan dan ketangguhan

Sahabat,
Saat waktu sampai pada titik ini
Saat selaksa kerikil tajam kehidupan musti kau tapaki
Seonggok demi seonggok bukit batu cadas harus kau daki
Kau bahkan tak peduli rasa sakit di diri
Kau terus mengobarkan semangat berbagi
Meneladankan betapa setiap sakit adalah anugerah yang musti dihayati

Hidup bagimu adalah memberi arti
Suka dan duka hanyalah cerita berseri
Perjuangan dan doa adalah makna sejati
Semua demi menggapai keridhoaan Illahi Robbi

Sahabat
Jarak dan waktu tak akan pernah memisahkan kita
Darat dan lautan tak akan membuat persahatan kita jeda
Dan aku di sini
Masih di sini
Selalu bersedia
Kapanpun kau ingin aku ada…

Surabaya, 23 Juni 2013. 05.10 WIB
Wassalam,
Ella
http://www.luthfiyahn.com
Prof. Luthfiyah Nurlaela, our Ella, is truly an inspirational figure. Here’s my poem to reply to the one she had written above.

Sebenarnya
Masa-masa itu tak pernah hilang
Karena kisah kita tertinggal di mana-mana
Menyelinap di balik Welirang, Arjuno, dan Bromo
Mengendap di kapur gua kawasan Dongko
Tersangkut di ranting belakang base camp
Terserak di teras timur Gema
Terukir di surat-surat mengharu biru
Menempel di kain batik Beringharjo
Bahkan di kos-kosan Karangmalang
Ketika aku meringkuk di dipanmu
Sembari mendengarmu melantunkan ayat suci

Sejujurnya
Mata bolamu tak pernah lepas dari benakku
Menyertai jilbab yang kauberikan 
Menjelang keberangkatanku ke negeri Paman Sam
Menyeruak di kaos kaki berajut
Yang kau beli di tanah suci sana
Dan kini menghangatkan kaki melawan dingin 

Jilbab itu masih ada kusimpan
Kaos kaki berlubangpun kan tetap kukenakan
Seawet kekagumanku padamu
Tak akan habis oleh ruang dan waktu

PUISI SAHABAT 3

Another bestfriend I’ve spent my time with so much in college. We took the same classes in our English Dept. Himapala, too, has widened our horizons. Rukin, a senior journalist in Jawa Pos now, seems to find his way back to Unesa, our alma mater, as he’s involved in a number of programs. In fact, Ella, Rukin, and me, our paths are crossing now. And Keluarga Unesa, the mailing list we’re in, has made many things possible. 
Here’s a poem he wrote for me, as he heard about my condition.  
Bayangan itu muncul tiba-tiba
Rekan sekelas saat kuliah
berlari terdepan mengeliling lapangan bola
gambaran itu masih jelas terpampang
rekan sesama anggota himapala
bergelantungan pada seutas tali 
dari plafon gedung gema merayapi dindingnya
Membayangkan sosok itu 
tergolek dengan berbagai selang di badan
sepertinya bukan cerita nyata
wassalam
rukin firda

Sunday, June 23, 2013

PUISI SAHABAT (2)

Habe Arifin, a name I just knew when I joined Keluarga Unesa mailing list. This young man is just a bomb. His words are so strong. An alumnus of Indonesian literature dept at Unesa, a student activist while in college, a journalist, his concerns to national condition have shaped his cynical, yet optimistic remarks in many of his posts and poems he shared in our mailing list. Yet, he’s also a man with a gentle heart. I can sense his fragility when it comes to heartbreaking news. His sincere prayers have encompassed time and distance, as he sent me this poem to boost my inner energy.

Sepuisi untuk Su Tiwik

Suhu Tiwik
langit yang indah itu
karena ia begitu biru
dan sekali-kali kelabu

Taman bunga yang pesona
mekar semerbak warna-warni
merah jingga, hijau kuning
biru ungu juga benalu

Matahari yang hangat
Yang menumbuhkan hijau daun
Memproduksi oksigen
Masih setia mengeja ultraviolet
Menyulut hutan dan menebarkan asap

Bumi menyimpan magma
Bulan memiliki gerhana
Bintang punya supernova

Manusia tak bisa sendiri
ia punya sehat, ia juga sakit
ia punya baik, ia juga buruk
ia punya benar, ia juga salah
ia punya ingat, ia juga lupa

Sebaik-baik kita
Ketika tegar bersyukur alhamdulillah
Seperti batu karang yang tak pernah mengeluh, meski setiap hari sang ombak
datang berdentam

Biarkan angin ini menjadi saksi
Tentang cerita cinta insani
Yang menjadi gaharu
Pada-Mu

Jakarta 23 Juni 2013
HB

Thursday, June 20, 2013

FOOD FOR SOUL

Allah is the Most Loving and Merciful. We will not be given sickness without Him providing the medicine, no hardships without solution. It all depends on how we make meaning of whatever happens to us.

In the face of a series of breaCan treatment procedures, my husband’s presence means a whole world to me, bringing joy and tranquility to me and the kids.  He has been wonderfully doing multitasking house chores, taking over my daily routines. He does the laundry, cooks for us, and get my meals ready before me. I know he enjoys cooking, but washing the dishes is not really his thing. And now he willingly does it.  I really have to pray to Allah for His blessings and protection to be rewarded to mas Prapto. His sacrifice, leaving his job on an unpaid leave, to be able to stay with me and the kids, is certainly not an easy decision to make.

I actually expected to have the surgery done within a half day. That was why the doctor just signed me up at the Day Surgery Unit at Royal Women’s Hospital. I reported to the Admission office early in the morning at 8 a.m. Mas Prapto was with me, while Ganta would drop Adzra to Sarah’s apartment, just upstairs from the unit where we live. Bayu, Sarah’s dad would then take them to school. The plan was that Ganta would leave school after lunch time to accompany his dad. I would be in the operating theater by then.

It turned out that things did not go as expected. While the pre-operative procedures went smoothly, the surgery itself actually started when the clock struck two in the afternoon. Mas Prapto and I kind of anticipated that it would take me hours to regain consciousness. And it did. Well, I’ve had surgery five times, excluding this one. So, it was no surprise. I kind of knew my coping mechanism.  I was still not able to get my eyes wide open and maintain my alertness past 7 pm.  And the day surgery would close at 8.30 p.m. After two shots that unsuccessfully got me on my feet, the doctor decided to send me to the ward. Stay overnight. That’s the best thing to do. I could rest longer, and Mas Prapto and Ganta could go home and pick up Adzra at Diana’s house. Diana is a friend, a neighbour, fellow PhD mommy. She and her husband run a family day care, where Adzra spend two afternoons after school every week.

The next morning, Ganta asked for permission not to attend classes, and he took Adzra to school, before going back to the hospital with his dad. I imagined mas Prapto would be busy in the kitchen, preparing breakfast for three of them and packing up Adzra’s lunch. Meanwhile, I felt much better. Starved for sure. I had not had anything to eat since Tuesday night. Just two sips of hot tea at the recovery room, and I threw up the liquid. This morning, after Amy, the nurse took off the syringe hose, I finished a bowl of nice, hot porridge, prune juice, and a slice of whole grain bread and butter.

One of the doctors came and checked the stitches. Amy checked my blood pressure every hour. Sue Thomas, the breast care nurse, also checked on me. A staff from the pharmacist came over with the medicine. She gave me some more prescribed medicine, which I did not buy. Since I came home, I have not had any unbearable pains. I just swallowed one tablet of Panadol on Thursday night. That’s it.

I was already home by noon, and friends kept coming till Saturday night. Some called me and sent me their prayers, wishing for a speedy recovery. And of course, food. It’s something I’m really grateful for. We’re all in the same boat. Without any support system like parents, relatives, or maids, having some dishes for a couple of days is just the thing that will make our life easier and brighter. Alhamdulillah.

How did my friends find out about my condition? I only told two or three friends. Yet, being part of a close Indonesian community, news travels fast. That was why most of them were surprised by the news. I just met them at Pengajian Aisyah on Saturday, and said hello to some of them, Moreland Primary school Indonesian parents, at Adzra’s school the day before the surgery. It was like breaking news then. And now they heard that I just had an operation. They were even surprised to see my big smile and a fresh look on my face, as well as my normal, yet slower movement. More surprised even, or rather, confused reaction, when I told them that I had an early BreaCan.

The truth is…I am not really sure how I’m supposed to feel. I feel fine. In and out. That I have to walk more slowly is understood, considering that the part that was just cut should be handled with care. Other than that, I’m the same Tiwi. I can easily tell my friends the details of the surgery, how I came to have this BreaCan, and show them how to do early detection as well. I guess it would ease people show their reaction and express their feeling if I feel at ease with it myself. Carrying this ‘burden’ this way actually helps me hear more stories of cancer survivors from my friends. Which really boosts my optimism.

It’s time to be more rational now. Tears should not claim too much of my attention. If I feel like crying, perhaps the best time would be when I kneel down and raise my hands up for His blessings and protection.

No matter how strong I might feel about myself, I have to be aware that internal wound is in its process of healing. And I should not interfere in anyway that might jeopardize my condition. The left, upper part of my body has two long cuts, still covered with transparent dressing. So I let myself be an obedient Tiwi. Following my husband’s advice to sit like a princess while he organizes the service. Well, why not. And the kids have been enjoying their dad’s cooking.

Sickness is part of joy, if we bring wisdom in our attempt to make sense of it. The choices are in our hands, how we want our body to be treated. Never let diseases control your mind. Make the decision. Early detection can save your life.

Thursday, June 13, 2013

I've Saved the Best for Last

Pagi ini saya sudah memulai aktivitas sejak sebelum shubuh. Kalau ukuran Indonesia sih, gak pagi-pagi amat. Lha wong shubuh baru masuk pukul 06.00. Jadi bangun pukul 4 pagi lewat dikitpun masih sempat shalat beberapa raka'at dan menyelesaikan urusan dapur. Eh, tidak biasanya sebenarnya, saya masak sebelum shubuh. Tapi membaca postingan Ella, sohib saya yang ultra hebat di sini, nampaknya saya perlu meniru, supaya tidak gedubyakan memulai hari.

Masak tomyam kepala ikan salmon, ayam teriyaki, dan merebus sayuran untuk urap-urap sudah kelar menjelang pukul setengah tujuh. Itupun sudah bisa saya tinggal sebentar untuk shalat shubuh. Juga mengintip isi laptop di atas meja belajar di ruang tamu. Wira-wiri antara urusan dapur dan utak-utik file sana-sini sudah kadung jadi rutinitas.

Menu sarapan dan makan siang sudah tertata di meja makan. Lunch box Adzra sudah siap. Seragam juga sudah tertata. Lega rasanya. Hari ini insya Allah akan lancar jaya. Saya bangunkan Ganta dan Adzra untuk siap-siap sekolah. Tak dinyana Adzra merengek. "Ibu, bajuku basah." Ya Allah. sudah lama gak ngompol. Lha ini tadi malam sudah menunaikan kewajiban pipis tengah malam kok bocor di pagi hari. Oh no. 'Kalau harus ngompol, kenapa hari ini nak.' Tapi cuma saya batin saja. Sambil menahan diri supaya tidak panik mengejar waktu, segera saya ringkesi sprei dan selimut yang tergambar 'pulau baru.' Masuk mesin cuci, dan segera diputar saat itu juga. 

Hikmahnya sih, Adzra malah langsung saya guyur sekujur badan. Air hangat cenderung panas berlomba dengan udara dingin yang menyusup dari jendela kamar mandi. Tak sampai 10 menit Adzra sudah duduk meringkuk di dekat heater kamar tidur. 

Saat saya menemani Adzra menyelesaikan sarapan, Ganta keluar dari kamar mandi. "Bu, banjir nih, air buangan cucian meluap." Alamak! Ini hal yang saya biasanya sangat hati-hati. Jangan sampai lubang buangan di wastafel khusus mencuci tertutup. Lha kok ini malah kelupaan ada baju-baju Adzra membuntu lubang. Lantai kamar mandi sedikit menggenang. Merembes di karpet ruang mungil yang menghubungkan semua ruangan di apartemen.

Tak ada pilihan kecuali mengepel kamar mandi, mencuci alas yang kadung basah. Ganta saya minta turun tangan menangani karpet agar tidak basah semua. Jam sudah menunjukkan pukul 07.30. Tenang Wik, masih nutut. Untung sarapan sudah siap semua, begitu saya tenangkan diri saya yang mulai senewen. These disasters. Why this morning?

"Adzra pakai seragam sendiri ya nak." Untunglah Adzra tanggap, dan tanpa kerewelan dia siapkan keperluannya sendiri. Namun baru saja mau bernafas lega ketika urusan kamar mandi hampir kelar, saya dengar panggilan Ganta lagi. "Bu, ayah sudah naik bis lho."

Oh my God! Lha jadwal Garuda yang tadi saya intip apa keliru to. Padahal saya sudah mening-mening berencana naik train ke Southern Cross station setelah mengantar Adzra ke sekolah jam 9 nanti. Ini jadwal yang sudah beberapa kali kami pilih ketika ayah Adzra datang. Mas Prapto selalu naik Skybus dari Tullamarine airport. Dan saya tinggal menjemput ke Southern Cross station. Nanti baru naik train lagi, Upfield line, menuju ke rumah. 

Wis ibu budal ae," begitu ujar Ganta. Waduh belum mandi lagi. Terpaksa ber-shower  secepat kilat. Maunya berwangi ria di depan suami jadi gak terpikir lagi. Sambil bergegas mengenakan baju 3 lapis, winter jacket, dan scarf, saya memberi perintah pada Ganta. "Adike diantar ke oom Bayu. Biar nanti diantar berangkat sekolah sama Sarah. Jangan lupa sweaternya, jaketnya. Bekalnya sudah di tas, tinggal angkat. Adzra jangan lupa sikat gigi dulu. Gan, sarapan dulu. Jangan telat ya. Sudah ya. Saya menutup pintu setelah mengucap salam kepada Ganta dan Adzra.

Setengah berlari saya coba mengejar train menuju city. Anstey station hanya 7 menit jalan dari rumah. Tapi jadwal train yang paling cepat baru pukul 08.18. Terpaksa menunggu 10 menit. Barulah saya sempat mengecek pesan di whatsapp. Weleh, ternyata mas Prapto sudah mengirim pesan bahwa dia sudah landing sejak pulu 6.30. Dan saya sedang sibuk mengurusi ompol Adzra dan luberan air di kamar mandi. 

"Aku sudah sampai." Pesan baru masuk dari mas Prapto. "Ya wis, tunggu aja di cafe situ sambil ngopi," jawab saya. Butuh sekitar 30 menit untuk sampai ke Southern Cross. Saya sempatkan telpon Piki, istri Bayu. "Piki, titip Adzra antar sekolah sama Bayu nanti ya." Keluarga kecil dari Jakarta itu tinggal tepat di atas unit saya. 

Sambil berjejal di dalam train, saya berpikir. Semua sudah saya rencanakan baik-baik, kok ya ada saja yang tak terduga. Tapi mudah-mudahan semua lancar setelah ini. Anak-anak sudah berangkat sekolah, dan saya sudah dalam perjalanan. Ayahnya juga mungkin bersantai menikmati dinginnya Melbourne sambil ngopi. It can't be worse than this.

"We're arriving at Flagstaff. Change here for Southern Cross services." Ealah, lha kok train kali ini tidak lewat Southern Cross sih!. Saya harus ganti train lain. Ampun mama. Harus nunggu lagi. Meski cuma 3 menit sebelum saya meloncat ke Craigieburn line, tak urung saya geleng-geleng kepala. Ada saja hal yang tak terduga. 

"Belum sampai ta." Pesan kembali masuk. I know honey. It's longer than expected. Tapi itu batin saya. Dan saya memilih menjawab, "yo, ini dah sampai." Padahal train belum berhenti, dan saya juga masih harus berlari ke sisi lain Southern Cross station untuk menuju ke pintu keluar pemberhentian bus.

Beberapa kali saya harus say sorry kepada orang yang saya senggol atau tabrak tanpa sengaja. Tapi akhirnya wajah arjunaku nampak dari kejauhan. Tangan saya mengembang memeluknya. Cekikikan dengan segala hiruk-pikuk tak terduga. 

Tatap muka yang tertunda selama hampir 6 bulan membuat kami ingin segera sampai di rumah. Seakan memunguti obrolan yang belum tersampaikan, naik Upfield line seperti tak serasa. Sampai tersadarkan bahwa train ini ternyata direct express. Tidak berhenti di stasiun kecil. Dan Anstey station yang dekat dengan rumah terlewat sudah tanpa diampiri. Lah, sama-sama bingung. Iki piye mudun ning endi. Selama hampir 2 tahun di sini, belum pernah saya naik train yang direct express ini. Walah kok ya tambah suwe perjalanane

Untung saja kemudian train melambat, sebelum berhenti di Coburg station, 3 stop dari Anstey. Daripada menunggu train arah sebaliknya, saya ajak saja mas Prapto jalan sedikit jauh menuju tram stop. "wis naik tram aja, nanti turun lebih dekat dengan rumah. Ben olahraga pisan, ben gak kademen

15 menit tidak akan lama. Itu jarak Coburg ke Brunswick. Hanya 8 tram stops saja. Dan anggap saja ini saat yang tepat untuk menghangatkan badan. Hujan rintik sejak pagi. Udara dingin menusuk. Biarlah jadi warming-up sebelum kerinduan tanpa kata terbayarkan. 

Dan ketika mas Prapto sedang mendengkur melepas lelah di kamar dengan semburan heater yang hangat, saya telah membagikan segala beban pikiran ke pundaknya. I've saved the best for last.  

Wednesday, June 12, 2013

How am I Feeling?

I just had a session with Susan Thomas, one of the breast cancer nurses in the team. She gave me a form to fill out, and asked me some questions. That’s the procedure before the surgery. What a way to mark my 20th wedding anniversary.

I don’t remember how many times I’ve been asked this question. “How are you feeling?” Calls from Dr. Judith Hammond, my GP at Unimelb Health service, the breast care nurses at Royal Women’s Hospital, and other hospital staff have come eversince I was diagnosed with BC. How am I feeling?

That was the survey form I just filled out. It’s kind of tricky to put your feeling into scales. But I guess I’ve had that question before. I’m not depressed, but certainly I can’t say I’m not taking this seriously that it doesn’t stay in my head. So I just put number 3 on the scale of 1-10. I have some concerns. How am I going to take care of the family, my study? Will I face some financial issues along the road?

In general, I put marks on NO to most questions that relate to possible causes of anxiety. I hope I’m being honest to myself. I hope it’s not a kind of denial. I do realize that I’m having BC right now. Nothing will change that fact. But what I’m optimistic about is that I have control over most issues. I’m feeling very much OK. Physically, emotionally. I can still do all the tasks I’ve been used to doing for the last two years.

But perhaps what worries me is the idea of not knowing what’s going to happen after the surgery. I have one more week to lead this ‘normal’ life. After surgery, I may be tired for a couple of days, and may or may not worry about the pathology result. If I have the series of chemo and radiotherapy, I may or may not fell well enough to do the routines. I may or may not feel helpless about it.  But that’s my choice how I’m going to feel, isn’t it?

The fact that I’m right here, typing this post on a library PC at least shows that I’m still leading this normal life as a student. That is, if you can call the spending most of your time meditating in the library normal.

Somehow, I’m afraid that my being calm is just a persona. I don’t think people notice any difference in me. In fact, they’ve been blurred by the idea that my husband is coming, and therefore, they see sunshine on my face. Maybe I’m sparkling, because I carry this ‘burden’ gracefully. Or is it just my way of seeing things.
I’m just afraid that, behind the door, there’s a different story. Am I taking it out on the kids? Getting upset easily when things go wrong with them. There you go again! Do they go wrong because they don’t meet the standard I’ve set? What if I’m the one who’s too hard on them, or to be exact, on myself? Sometimes I feel guilty after having reprimanded Adzra. I don’t really like to see her in tears easily for simple reasons. Is it because I don’t want to see myself in tears?

Maybe I’m pushing myself too hard. There’s so much I want to do, but I have to face the fact that I have to cancel or postpone a lot of things. Just now, I finally sent an email to Inter-Asia Cultural Studies conference in Singapore. It’s a relief to finally tell them that I have to withdraw my presentation. I thought I would miss this great opportunity. But then, Fran, my supervisor has been so understanding. She even said that somebody has just got to stop me. And that’s her job. I also want to try tutoring. She said, go ahead and apply. If you don’t have to have chemo, you can do that. But if chemo is waiting, you can still have next year.
Basically, I just have to accept the fact that I will have to slow down a little bit. Taking one or two steps back, but to gain strength to go full gear again when things get better. Health-wise.

What have I got to lose? Health is just the priority right now. Tutoring can wait, there will more other exciting conferences, and PhD is not the only thing in this whole wide world.

What can I do while undergoing all those protocol procedures? Maybe I could write about this journey? or try poems and short stories instead? For sure, I must see this as Allah’s way to give more time for enhance my spiritual well-being. Nobody knows whether this coming Ramadhan will be my last. Shouldn’t we feel that way when Ramadhan is approaching? We just have to make the most of this precious moment.

Ironically, this rings a bell only when you know that your time may run out more quickly that you’d expect.
Oh God, please give me a chance to be a better person. A better mum for my kids, a much better wife for my husband. He’s missed me so much because of my personal pursuit. Please give me strength to face this. Nothing matters anymore but YOUR protection and blessings. Where would I turn to but YOU?

My husband just texted me in Whatsapp. He is ready to start his new life. He’ll be flying tonight, and insya Allah we will be together again tomorrow, and the days after that. As I assure him that things are going fine, tears are claiming their rights.

Tiwi, it’s okay to cry.

Friday, June 07, 2013

Catatan Literasi BMI: Memecah Kebisuan

Enam bulan berlalu, sejak kedatangan saya ke Hong Kong untuk mengamati praktik literasi para buruh migran Indonesia pada bulan Januari 2013 yang lalu. Sampai detik ini, lomba demi lomba bergulir, dan agenda literasi serasa tak berhenti berdenyut di kalangan BMI. Pada paruh pertama tahun ini saja, saya sudah ditarik untuk nyemplung ke berbagai peristiwa literasi BMI. Ini di luar tugas utama menulis tesis saya sendiri. Tak lama setelah balik ke Melbourne, saya memulai proses penterjemahan antologi cerpen Bauhinia Ungu karya Arista Devi ke dalam Bahasa Inggris, yang disponsori oleh organisasi migrant care dari masyarakat lokal Hongkong. Pekerjaan ini hasil dari obrolan selama saya berinteraksi dengan Arista Devi di HK, dan kemudian ditindak-lanjuti oleh Doris Lee, pengurus migrant care

Agenda berlanjut dengan menjadi juri lomba penulisan cerpen yang diadakan oleh FLP-HK. Melalui Dhieny Megawati, ketuanya, FLP-HK juga mengajak saya menulis puisi untuk antologi Senandung Mimpi Hawa yang baru launching bersamaan dengan antologi cerpen The Miracle of Life. Untuk karya yang kedua ini, saya dijawil untuk memberikan kata pengantar. 

Baru saja jeda 2 minggu, dan kembali fokus ke tugas utama saya, gantian Fera Nuraini, seorang BMI blogger/Kompasianer  meminta kesediaan saya untuk menjadi juri lomba penulisan surat. Kali ini, giliran organisasi BMI-HK yang  bernama Pilar (Persatuan BMI Tolak Overcharging) yang mengadakan lomba Surat dari Seberang. Selama 1 minggu, saya selesaikan pembacaan 57 surat dari buruh migran Hong Kong. Temanya bukan sekedar penyampaian kabar kepada keluarga di kampung halaman. Lebih dari itu, Pilar ingin mengajak para BMI-HK untuk 'mendidik' sanak keluarga tentang isu-isu ketenaga-kerjaan transnasional.

Lomba ini mengingatkan saya pada kegiatan serupa pada tahun 2010. Lomba Surat kepada Presiden SBY yang diadakan oleh Dompet Dhuafa Hong Kong mengantarkan Daniella Jaladara menjadi pemenang, melalui suratnya 'Surat Berdarah kepada Bapak Presiden.' Kumpulan surat yang terbaik juga dari lomba itu juga sudah dibukukan dengan judul yang sama. Antologi ini bahkan membawa nilai politis, ketika migrant care di Surabaya membawa buku ini sebagai simbol perjuangan, diserahkan kepada Pakde Karwo dan SBY. Meski orang-orang penting ini belum tentu membacanya, tak urung liputan media mendongkrak nilai politisnya. Cerita 'Surat Berdarah' bahkan berulang-kali dibaca dalam demo perburuhan, dan peragawati kondang Ratih Sanggarwati sempat menjadi pembaca surat itu di depan publik. 

Apakah lomba Surat dari Seberang ini nantinya akan bermuara sama, saya tidak tahu pasti. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa semangat perlawanan memang menjadi nafas berbagai agenda organisasi perburuhan. Nama Pilar sendiri sudah mewakilinya, Tolak Overcharging. Ini untuk menyuarakan perlawanan terhadap praktik-praktik pemerasan, sebagai hasil 'konspirasi ' agen tenaga-kerja di Indonesia, pemerintah Indonesia sendiri, agen di HK, dan juga para majikan. 

Meski mengusung semangat perlawanan seperti itu, toh para BMI yang berpartisipasi memaknai lomba ini secara bervariasi. Cerita beraneka warna tertuang. Isu-isu dari negeri hutan beton diwakili oleh kisah-kisah sedih tentang majikan yang pelit, menahan gaji, underpayment, tidak ada libur. Banyak juga cerita manis seperti persahabatan dengan warga lokal Hong Kong dan aktivitas menulis yang diikuti penulis surat. Di sisi lain, luapan emosi yang bergerak dari kerinduan terhadap anak, suami, dan orang-tua berlomba dengan kekecewaan dan kemarahan atas sikap konsumtif keluarga dan bahkan ketidak-setiaan pasangan. Ungkapan-ungkapan seperti 'apa kalian tidak bisa ikut memikirkan perasaanku, selain minta uang dan uang terus,' 'pikirkan ulang untuk mentalakku,' sampai permintaan cerai bisa ditemui di sebagian surat. 

Tentu saja semangat perjuangan tak lepas dari isi tiap surat. Seperti yang saya duga, dari hasil pengamatan dan wawancara selama ini, dorongan untuk terus mengedukasi diri inilah yang membuat para BMI berani menyuarakan hatinya. Gayatri Spivak, pakar postcolonial studies, melontarkan pertanyaan yang fenomenal, 'Can Subaltern Speak?' Para buruh migran adalah figur 'subaltern,' baik dari sisi gender, ras, maupun kelas. Saya berani memastikan bahwa lomba Surat dari Seberang ini menjawab pertanyaan Spivak. Melalui literasi, sekali lagi BMI meneguhkan bahwa mereka juga punya suara. 

Batas spasial bukan lagi tantangan. Dengan literasi digital yang sudah mereka kuasai, batas darat dan air semakin kabur di udara. Para BMI tak henti berupaya sampai berdarah-darah untuk membuktikan bahwa suara mereka layak didengar. 

Ketika kebisuan harus dipecah, wahana apa yang lebih abadi daripada menuliskan kata-katamu sendiri? 

Wednesday, June 05, 2013

When Skin Colour doesn't Matter Anymore

Setiap hari Selasa, Ganta biasanya pulang sekitar pukul 6 sore. Jadwalnya latihan bola sepulang sekolah. Hari ini, dia pulang dengan 2 orang temannya. Yang satu berwajah Korea. Namanya Jin Yup. Anak ini sudah akrab dengan Ganta sejak masih sama-sama di Brunswick Language Centre tahun lalu. Sudah beberapa kali dolan ke rumah juga. Teman satunya lagi berwajah Asia Selatan setengah Arab. Namanya Omar, dari Maldives (Maladewa). Baru kali ini dia dolan, meski namanya sudah beberapa kali disebut Ganta dalam obrolan di rumah. 

Sejak masih di Kebraon dulu, aku sudah terbiasa melihat lalu lalang teman Ganta di rumah. Jadi markas anak-anak kecil teman Adzra juga sudah jamak. Dan itu berlanjut ketika kami tinggal di Melbourne sekarang ini.

Begitu masuk rumah, mereka langsung ke kamar Ganta, dan ngglenik dengarkan musik sambil ngobrol dan main dart atau apa saja. Adzra, seperti biasa, kalau ada orang yang dolan ke rumah, selalu saja ikut bergabung. Yang pamer mainan atau ikut menyela ngobrol. Weleh, anak remaja laki-laki kok dipameri boneka, diwawancarai 'where are you from?' sampai ditanya 'what's your favourite colour?.'

Aku jadi ditinggal sendiri. Wadah kayak wong melas ae. Tapi lumayan lah ada waktu untuk meneruskan baca-baca. Tapi baru saja mulai tuned in, Ganta keluar dari kamarnya. "Onok makanan bu'?." Habis main bola, udara dingin, apalagi yang dicari selain makanan. Aku buatkan Indomie goreng 3 bungkus dan telur dadar. Dan mereka kusuruh pindah ke ruang tamu. Kebetulan siang ini aku beres-beres rumah, jadi kondisi lumayan rapilah. Mereka pindah ke ruang tamu dan lesehan di atas karpet. Gak sampai 10 menit sudah langsung tandas. Rasa Indomie goreng memang mendunia.

Selesai makan, acara cangkrukan masih berlanjut. Apalagi setelah oom Bayu, tetangga yang tinggal di lantai atas ikut bergabung. Dia adalah guru musik ketika di Jakarta. Di sini dia menemani istrinya studi S2, dan anak mereka, Sarah, adalah teman Adzra di Prep-year, dan pastinya teman main tiap hari. Oom Bayu dan Ganta sudah seperti tumbu oleh tutup. Sama-sama getol musik, dan Ganta akhirnya malah seperti dapat mentor, sementara Bayu seperti nemu partner. Dengan Bayu memegang gitar, kudengar mereka menyanyikan beraneka lagu, mulai Michelle-nya Beatles sampai geremengan K-pop. Kata Jin Yup, "oh, I know that song." Belum tahu dia kalau K-pop juga menjarah menit-menit remaja Indonesia.

Adzra masih saja bertahan di kerumunan Ganta dan teman-temannya. Tak bosannya ngajak ngobrol, meski kadang cuma dijawab sambil lalu. Jin Yup ditanya, can you say, 'ni hau' (karena dikira dari China). Bisa-bisanya juga dia tanya, 'are you going to sleep here?, 'why you not going home?' Weleh, dulu, pertanyaan-pertanyaan ini biasanya meluncur dari mulut Adzra bila ada teman atau mahasiswaku dolan sampai berjam-jam ke rumah. Kalau ada yang pernah bertandang ke rumah, mungkin masih ingat ketika ditanya Adzra, "Mau tidur sini ta?," "kok gak pulang-pulang se?" Tapi Adzra juga betah ikut menemani (menyela) obrolan.

Kecerewetan Adzra memang tetap saja, hanya saja sekarang sudah mulus full Inggris. Meski grammar-nya belum sempurna, untuk urusan fluency, kadang aku merasa 'lewat.' Sepertinya, informasi di otaknya sudah diproses dalam Bahasa Inggris, ngomong kayak gak pakai mikir. 

Aku sudah pindah ke kamar, dan bercanda dengan laptop. Sebenarnya sudah lewat pukul 8 malam. Kuajak Adzra tidur, tapi enteng dijawab, 'I'm not tired.' Jadilah aku merasa 'sendiri.' Bukan hanya secara fisik, ketika anak-anak berkumpul di ruang tamu. Harus kuakui, anak-anakku adalah anak dari jaman mereka sendiri. Jaman yang semakin mengaburkan batas spasial. 

Secara kultural, aku merasa harus banyak belajar dari mereka. Pergaulan di sekolah yang sangat multikultural telah membuat mereka lumer seperti coklat Cadbury yang dikunyah saja. Batas-batas negara akhirnya memang hanyalah garis imajiner saja. Warna kulit tidak lagi menjadi simbol yang memisahkan manusia. Di mata mereka, beda warna kulit, wajah, dan bahasa menjadi daya tarik untuk saling mengenal. Untuk hal yang satu ini, nampaknya orang dewasa harus banyak belajar dari mereka, agar rasa curiga memberi jalan kepada keinginan saling memahami.