Monday, December 22, 2014

MENIKMATI DISKON PERJALANAN BUAT MAHASISWA

Tahukah Anda bahwa memegang status mahasiswa di luar negeri banyak keuntungannya? Berbagai fasilitas ke tempat wisata maupun transportasi sering menawarkan diskon, dan kadang malah gratis. Salah satunya adalah diskon untuk menikmati perjalanan naik kereta New South Wales Link (NSW TrainLink).

Ya, liburan natal kali ini saya dan keluarga memilih main ke Sydney. Sekali-sekali ikut alur mudik orang Australia. Sama seperti halnya lebaran buat kita, natal untuk sebagian masyarakat Australia adalah saat mudik untuk berkumpul dengan keluarga. Kebetulan mas Prapto juga akan datang di hari pertama liburan sekolah di minggu ketiga Desember 2014. Maka satu bulan sebelumnya saya sudah mencari tiket ke Sydney. Setelah mencari informasi penerbangan (dan ternyata sedang tidak ada yang murah), maka saya memutuskan untuk mencoba naik kereta saja. Ini juga setelah saya mendengar cerita dari beberapa teman di Melbourne, Sydney, maupun Canberra yang sudah merasakan fasilitas NSW Link. Bagaimana tidak, ternyata anak di bawah usia 15 tahun hanya bayar 2 dolar untuk perjalanan pulang pergi.

Maka sayapun meluncur ke Southern Cross Station, stasiun kota yang juga melayani perjalanan kereta dan bus antar kota/negara bagian. Sebenarnya saya bisa saja membeli tiket secara online di sini, tapi saya putuskan langsung ke ticket counter.saja. Berbekal student ID punya saya dan Ganta, saya berharap dapat diskon tambahan. Sebagai siswa SMA di negara bagian Victoria, Ganta memegang concession card, kartu diskon separo harga untuk perjalanan di dalam dan luar kota di negara bagian Victoria. Meski Ganta sudah lulus SMA, student ID dan concession card-nya masih berlaku sampai bulan Februari 2015. Masih bisa dimanfaatkan. Dan ternyata kartu ini sakti juga untuk perjalanan ke negara bagian New South Wales. Ganta hanya bayar $130, separo harga untuk perjalanan pp.

Bagaimana dengan saya? Sebenarnya saya sudah antisipasi bayar penuh, karena di website NSW TrainLink tidak ada informasi tentang diskon untuk mahasiswa. Tapi saat di ticket counter, saya ditanya apakah saya juga student. Maka saya sodorkan student ID saya. Voila, dapatlah potongan 15%. Saya sudah senang sekali bisa berhemat berkat potongan berlipat-lipat. Saya dapat 15%, Ganta 50%, dan Adzra cuma bayar 2 dolar. Praktis cuma mas Prapto yang bayar penuh.

Dua minggu kemudian, ndilalah pas ngobrol dengan Lita, teman dari Yogya, yang juga mau ke Sydney naik kereta dengan keluarga, saya dapat info bahwa suaminya, mahasiswa S2 di Unimelb, cuma bayar 50%. Lho kok bisa? Usut punya usut, ternyata suaminya mbelani mengurus International Student Card ke travel agent. Bayar 30 dolar sih, tapi keuntungannya berlipat untuk diskon perjalanan ke mana saja selama 1 tahun.

Namanya student pingin selalu dapat murah untuk bisa pergi ke mana-mana, maka meluncurlah saya ke STA travel di Union House, gedung kampus Unimelb, tempat cafe dan unit kegiatan mahasiswa mangkal. Berbekal student ID dan bayar 30 dolar, difoto di tempat, tak sampai 5 menit kartu bernama International Student Identity Card (ISIC) sudah di tangan. Ini nih model kartunya.


Dengan penuh harap tiket yang sudah terlanjur saya bayar bisa diubah harganya, saya meluncur lagi ke Southern Cross Station. Saya tunjukkan kartu ISIC dan tiket yang sudah saya bayar. Setengah merayu. "Teman saya dapat diskon dengan kartu ini, boleh nggak saya minta tambahan diskon, please, aku mohooon," Hmm, petugasnya kok malah gak yakin. "I'm not sure I can refund this, but.. let me give it a try." Dengan senyum ramah dia langsung menelpon untuk konsultasi. Kalimat yang dia pakai di telpon rada asumtif. "There's a student here who's asking about International student discount for the ticket she already paid. I can't change that, can I? ...I can? Good. Thank you."  Gak penting siapa yang ditelpon, tapi senyumnya yang mengembang memberi tanda bahwa duit saya akan kembali beberapa puluh dolar. Horeee, teriak saya dalam hati.

Dengan tetap tersenyum seraya meminta saya sabar menunggu, si petugaspun membatalkan tiket saya yang lama, dan mengeluarkan tiket baru dengan diskon 50% dari harga penuh. Alhamdulillah. Dengan riang saya sodorkan debet card saya, agar duit yang sudah terlanjur saya bayar bisa di-refund. 2-3 detik kemudian saldo saya sudah bertambah 90 dolar, dari selisih harga diskon 15% ke 50%.

Gembira banget dengan penghematan besar yang berhasil saya lakukan ini. Saya langsung sms Lita, yang sudah berbaik hati berbagi tips. "Lit, tiketnya bisa di-refund. Duitku balik 90 dolar. Makasih yo." Jawab Lita, "wah sip mbak, lumayan, iso nggo maem."

Liburan sekolah telah tiba. Tiket baru sudah di tangan, Rencana perjalanan ke Sydney sudah disiapkan, Suami sudah datang. Ayo kita jalan-jalan.

Melbourne- Sydney NSW Train, 22 Desember 2014

Sunday, October 12, 2014

JUST AN EASY WAY TO FEEL GREAT

Hari Selasa lalu saya menjalani terapi Herceptin yang ke-18. Ini adalah injeksi yang terakhir. Setelah memulai terapi ini tahun lalu, dengan datang ke rumah sakit Western Health tiap 3 minggu sekali, Alhamdulillah semua rangkaian terapi untuk pengobatan kanker payudara saya tuntas sudah. Mau dikatakan cepat ya tidak juga. Satu tahun itu cukup lama. Belum termasuk kemoterapi selama 6 kali, sejak Agustus sampai November 2013,  setelah operasi pengangkatan payudara kiri saya Juli tahun lalu.

Tidak seperti kemoterapi yang membuat saya tepar, turun berat badan drastis, dan praktis meninggalkan studi saya selama beberapa waktu, terapi Herceptin ini tidak banyak efeknya ke aktivitas. Sejak Januari 2014, saya sudah praktis kembali ke aktivitas semula. Efek samping ke fungsi jantung yang dikhawatirkan juga selalu dipantau. Setiap kelipatan 4 kali suntikan, jantung saya akan di-scan. Selain itu pemeriksaan ECG juga dilakukan. Scan jantung terakhir dilakukan sehari menjelang terapi terakhir. Alhamdulillah sampai terapi selesai, semua berfungsi dengan normal dan bagus.

Saat ditanya dokter bagaimana perasaan saya, saya katakan, “I’m so excited that it’s going to be the last injection.” Dokter dan perawat yang selalu mendampingi saya ketawa. “We’ve heard that so many times.”

Salah satu cek rutin yang saya lakukan sendiri di rumah sakit adalah berat badan. Badan saya yang cenderung kurus memang susah sekali naik berat badannya. Flu sebentar saja sudah melorot di bawah 39 kg. Kalau lagi sehat ya Cuma naik 1 kilo. Angka 40 masih susah ditembus.

Itu makanya saya terkejut ketika melihat angka di timbangan digital. 40.2 kg. Wah rekor nih. Alhamdulillah. Saya sempat merunut ke belakang. Kok bisa ya. Ternyata saya pikir-pikir, di tengah-tengah kejar tayang garap tesis, saya mulai banyak ngemil. Porsi makan saya juga mulai menggunung.

Perkembangan ini membuat saya semakin bersemangat saja. Apalagi matahari musim semi mulai sering menghangatkan sekujur tubuh. Tadi pagi ketika saya buka pintu, udara amat cerah. Sejuk seperti udara di Sarangan. Dari langit yang biru bersih, nampaknya hari ini akan panas.

Saya geliatkan seluruh tubuh. Jogging sebentar di depan rumah. Enak banget. Sinar matahari langsung jatuh ke wajah saya. Saya masuk rumah. Mengganti sandal dengan sneakers. Adzra mulai tanya,”where are you going, Mommy? I’m coming with you.”

Saya jadi tergoda untuk mengajak Adzra bersepeda. Selama musim dingin yang berkepanjangan kemarin dulu, sepeda praktis tidak saya sentuh lagi. Baru Kamis yang lalu saya mulai memancal sepeda saya lagi. Berangkat mengaji di rumah teman, daripada naik tram. Ngirit dan menyehatkan.

Adzra sendiri sudah lama tidak berlatih bersepeda lagi, sejak ayahnya balik ke tanah air. Apakah dia masih bisa naik sepeda tanpa roda kecil di sisi kiri.
Can you still ride your bike? tanya saya. “Wanna give it a go?”

Maka saya dan Adzra segera ke halaman belakang apartemen. Mengambil sepeda masing-masing. Pakai helm. Dan mulailah kami mengayuh sepeda, mengambil jalur pejalan kaki di sepanjang jalan. Lebih aman buat Adzra yang masih belajar keseimbangan.

Setelah beberapa kali berhenti, tidak yakin dengan cara mengayuh dan mengendalikan setir yang pas, akhirnya Adzra mulai menemukan ritmenya dengan cepat. Jalan di kompleks dekat rumah masih sepi pada pukul 8 pagi. Hanya satu dua mobil yang lewat. Dari jalur di sepanjang De Carle Street, kami belok kanan, menyeberang ke Davies Street. Ada beberapa keluarga Indonesia yang tinggal di daerah ini. Tapi jalan Davies sama sepinya.

Kayuhan sepeda Adzra semakin stabil. Dari belakangnya, saya memotivasinya untuk terus mengayuh. “Pedal faster. That’s good. You’re doing great. Keep moving.” Sesekali Adzra berhenti, hanya untuk bertanya, “Am I doing good?” Saya jawab, “you really are.”

Sampai di perempatan Davies dan Barrow Street, terlihatlah taman kecil. “Mommy, let’s go to the park.” Adzra kangen dengan taman ini. Dua tahun lalu, saat Adzra masih di Kindergarten, Barrow street adalah route kami sehari-hari. Taman ini adalah jujugan Adzra sepulang dari Kinder.

Kami menyeberang jalan, mengayuh menuju taman. Dan sepeda langsung kami sandarkan di kayu pembatas taman. Tidak ada seorangpun di taman. Suasana sepi hanya dipecahkan oleh teriakan nenek tua yang berjalan tanpa tujuan. Dari bahasanya, nampaknya dia orang Yunani. Dia meneriaki siapa saja yang kebetulan lewat atau dia lihat. Kasihan. Di Melbourne ini, cukup sering saya menemukan lansia yang terganggu jiwanya.

Adzra sudah langsung menikmati slide dan monkey bars. Di manapun ada playground, baik di sekolah maupun di Warr Park dekat rumah, kedua mainan ini adalah favoritnya. Saya perhatikan Adzra cukup atletis dan lentur gerakan tubuhnya. Dia dengan mudah memindahkan tangannya dari satu bar ke bar lain. Persis seperti monyet yang bergelantungan di pohon. Itu sebabnya mainan ini disebut monkey bars.

Di lingkungannya, Adzra bukanlah anak perempuan satu-satunya yang jago di monkey bars. Teman-teman perempuannya, sesama anak Indonesia, suka saling bersaing. Adu cepat atau kekuatan. Itu pemandangan yang acapkali kami lihat saat pulang sekolah. Anak-anak biasanya tidak mau pulang dulu.

Di taman kecil ini, saya mencoba kekuatan tangan saya. Apakah saya bisa bergelantungan di monkey bars juga. Ternyata lengan saya tidak atau belum cukup kuat sebagai tumpuan agar badan saya bisa terayun. Susah juga ternyata. Sementara Adzra dengan ringannya berayun-ayun.

Maka saya ganti acara. Pull-up, dengan menggunakan dua bar sebagai pegangan, dan kaki saya miringkan ke depan. Sukses 10 kali. Akhirnya saya ulangi beberapa kali. Wajah dan tubuh saya terasa dialiri darah. Hangat dan menyegarkan. Saya tambahi lari-lari kecil di sekitar taman. To be honest, I really feel good about myself.

Maunya berlama-lama di taman, kalau tidak ingat belum menyiapkan sarapan. Maka saya ajak Adzra pulang. Adzra sudah semakin menikmati bersepeda ria. Setiap ada jalan agak menurun, dia selalu berteriak, “this is the fun part.” “Another fun part.” Tanpa berhenti mengayuh, anak yang ekspresif ini bilang, “this is the best day of my life.” Ah, Adzra selalu bilang begitu setiap kali dia menikmati pengalaman barunya.

Saya kira Adzra memang benar. Pengalaman seringan apapun akan selalu membawa kebahagiaan. Nampaknya kami perlu lebih sering melakukannya. Mungkin perlu cari sepeda lagi, agar Ganta juga bisa mengawal kami. Dan taman-taman yang sedikit lebih jauh bisa jadi jujugan olahraga pagi.  

Ada banyak cara mudah untuk mensyukuri menit-menit yang kita punya. I’ve started my day feeling great. How about you?

Tuesday, September 30, 2014

MENJELANG REVIEW TAHUN KETIGA

Pagi ini saya baru saja bertemu untuk konsultasi rutin 3 mingguan dengan Fran Martin, supervisor saya yang cantik. Kami membahas draf pertama bab saya tentang Literacy and Capitalism. Di bab ini saya akan menggunakan data wawancara yang saya peroleh dengan 'pembaca' dari berbagai kalangan dan posisi sosial. Bab ini akan menjadi bab analisis terakhir. Setelah itu saya bisa melihat kembali semua bab secara utuh, sebelum masuk ke Conclusion.

Sebelum itu, bulan lalu saya baru saja merampungkan bab tentang para penulis BMI. Bab tersebut lumayan alot selesainya. Hampir 6 bulan saya habiskan untuk menyelesaikannya. Tapi supervisor saya selalu saja mengatakan bahwa progress saya lancar-lancar saja. Maklumlah, dari 6 bulan itu, 2 bulan saya gunakan untuk menata kembali kajian teori yang sedikit berubah haluan ke arah Literacy and Modernity.

Itulah yang kemudian membuat ide awal pengembangan bab yang terakhir ini tidak lagi melulu berbicara tentang pemberdayaan diri dan rekonstruksi identitas, sebagaimana ide awal. Dengan mengemas bab resepsi pembaca ke dalam konsep kapitalisme, saya bisa melihat bagaimana pembaca dari berbagai posisi menunjukkan persepsi yang berbeda terhadap praktik literasi para BMI. Perbedaan persepsi itu, dalam argumen saya, terkait dengan urusan 'capital.' Ada yang melihat literasi BMI sebagai modal untuk masuk ke writer-preneurship, ada yang menilainya sebagai 'gangguan' terhadap stabilitas bisnis 'buruh migran transnational', dan ada pula yang khawatir literasi akan digunakan sebagai komoditi, dengan mengorbankan kualitas tulisan BMI.

Bervariasinya pendekatan dan gaya tiap bab yang sudah saya rampungkan membuat saya berpikir bagaimana mengemas bab terakhir ini. Supervisor saya menyarankan agar saya menggunakan gaya naratif saja. Seperti bercerita tentang perjalanan saya bertemu dengan para responden. Apa yang kami obrolkan. Bagaimana latar-belakang sosial para responden itu. Dari situ kerangka teori bisa dimasukkan sebagai justifikasi.

Dalam rancangan timeline saya, maunya bab ini bisa rampung akhir tahun, menjelang progress review tahun ketiga. Tahun lalu saya menjalani review tahun kedua pada tanggal 20 Desember 2013, hanya 2 minggu setelah kemoterapi terakhir, Itupun sudah diundur 2 pekan, menunggu saya pulih dulu. Dalam perhitungan saya, review tahun ini juga akan jatuh pada bulan Desember.

Ternyata asumsi saya salah. Minggu lalu saya menerima pemberitahuan bahwa review tahun ketiga harus dilakukan paling lambat tanggal 15 November. Alamak. Bab ini baru saja dimulai, sudah harus berhadapan dengan reviewer. Maka saat konsultasi tadi saya sekalian minta masukan apa yang harus saya ajukan untuk review tahun ini. 

Di Unimelb, review tahunan mensyaratkan kandidat PhD untuk menyetorkan sampel tulisan. Bila pada tahun pertama panjangnya 10.000 kata, pada tahun kedua 20.000 kata, dan pada tahun ketiga ini 30.000 kata. Untuk thesis submission sendiri syaratnya 80.000 kata. Acapkali sampel tulisan yang disetorkan adalah bentuk compressed dari bab yang sudah jadi. Seperti saat confirmation seminar di tahun pertama. Proposal saya sudah mencapai sekitar 15.000 kata, tapi untuk review harus dipotong sana sini tanpa mengurangi substansi.

Bila melihat jumlah kata yang sudah saya hasilkan, sebenarnya syarat yang ditetapkan untuk tahun ketiga sudah saya penuhi. Tapi kan ya pointless, menyetor yang sudah pernah disetor sebelumnya. Jadi sebaiknya menyerahkan garapan baru. Nah, saya punya modal sekitar 15.000 kata dari bab yang baru saja selesai. Sementara bab yang baru mau jalan ini dirancang sepanjang itu juga. Namanya juga baru mulai, saya hanya punya modal 2000 kata.

Itung-itungan jumlah kata memang lebih penting di sini. Sementara di Indonesia kita lebih sering menggunakan ukuran banyaknya halaman. Tulisan sebanyak 15.000 kata itu kira-kira 40-45 halaman, dengan spasi 1.5 font 12 kertas A4. Itu artinya tesis sebanyak 80.000 sama dengan 200-an halaman. Perlu dipertimbangkan juga persyaratan jumlah kata untuk skripsi/tesis/disertasi di Unesa, agar ada standard yang lebih ajeg.

Dengan progress yang menurut supervisor saya cukup mulus ini (meski sebenarnya membuat saya jungkir balik), dalam waktu 5 minggu ini saya perlu ngebut untuk menghasilkan analisis sepanjang minimal 10.000 kata. Ini diskon dari yang seharusnya. Pertimbangannya, Kan saya sudah menyetor 30.000 kata sebelumnya dalam dua tahun. Garapan aslinya malah lebih panjang dari itu. Saking harus dikompress untuk pengajuan review (di sini setor lebih panjang daripada persyaratan malah tidak dianjurkan).

Ya sudah, maunya jeda sebentar selama liburan sekolah anak-anak tidak jadi. Harus tancap gas lagi untuk memenuhi target.

Saat membangun visualiasi bahwa saya akan bisa submit tesis pertengahan tahun depan, sms mas Prapto mengingatkan: "atur waktu n jaga kesehatan." Ingatan saya melayang ke rayuan Adzra tadi pagi saat saya antar ke Day Care: "Pick me up at 2 o'clock, mommy. Don't break your promise." Juga 'protes' Ganta bila menu makanan di dapur menjadi terlalu sederhana: "Kok gak tahu mangan enak maneh yo."

Cucian masih menumpuk dan belum sempat dilipat. Masih terngiang pertanyaan Adzra: "what's for dinner, Mommy?" Janji mengajak anak-anak liburan. Materi tutorial dan tugas-tugas mahasiswa yang perlu saya siapkan dan koreksi. Dan data penelitian yang menunggu segera dibedah. Bersama menjalani target One Day Half Juz dengan segenap sahabat. Sesekali ikut menyemarakkan aktivitas di komunitas Indonesia di Melbourne. Betapa aktivitas saya sehari-hari berada di spektrum yang luas, dari studi ke domestik ke komunitas. 

Ah, ini sebenarnya normal-normal saja. Sebagian besar teman Indonesia yang saya kenal di Melbourne juga melakoni pola hidup yang tidak jauh berbeda. Kadang kala terdengar 'keluhan' tentang tugas atau tenggat waktu, tapi acara kumpul-kumpul pengajian, BBQ-an, atau sekedar buka kotak 'mbontot' dan makan siang bareng di bawah sinar matahari tetap lancar-lancar saja. Atau barangkali inilah penyeimbangnya.

Syukur Alhamdulillah tetap diberi kesehatan lahir batin sampai sekarang. Semoga tetap semangat dalam menjalani semuanya. Amiin YRA.


Saturday, September 13, 2014

MEMAHAMI SUSTAINED SILENT READING (2)

Meneruskan tulisan sebelumnya tentang SSR, saya kebetulan sudah membaca tulisan di blog mas Satria Dharma beberapa tahun yang lalu. (Ini saya beri link-nya lagi ya, http://satriadharma.com/2006/02/21/%e2%80%9csustained-silent-reading%e2%80%9d-di-ruang-makan-saya/
dan
http://satriadharma.com/2006/02/23/ssr-di-ruang-makan-saya-part-ii/) Saya suka banget saat baca itu. Terfikir untuk menerapkannya di keluarga. Tapi belum ketuturan sampai sekarang.

Jujur, setelah saya baca lagi kedua tulisan itu, resepsi saya saat ini beda banget. Sekarang saya bisa menkonfirmasi dahsyatnya SSR. Barangkali karena dalam keseharian di sekolah, kedua anak saya, Adzra dan Ganta juga menjalani SSR. Itu bisa dilihat dari perubahan perilaku mereka terhadap buku. Ganta memang masih belum pada taraf avid reader. Tapi setidaknya saya perhatikan dia kadang menyelipkan buku di tasnya, dan saya tahu dia tidak sedang berangkat ke sekolah untuk pelajaran English.

Saya sempat mengamati bagaimana rutinitas SSR dijalankan di kelas Adzra tahun lalu. Saat itu saya membantu kegiatan literasi kelas sebagai parent helper. Di tingkat Prep, mayoritas anak belum bisa membaca, Namun mereka dibiasakan dengan rutinitas duduk bersama secara berpasangan. Satu buku 'dibaca' bareng. Uniknya, tiap pasangan duduk di karpet di dalam hola hoop besar. Cuma 10 menit. Setelah selesai, mereka mengembalikan buku. Rewardnya adalah satu cup susu coklat hangat dan cookies.

Di grade 1 ini, sekarang Adzra sudah mencapai reading level 19. Membacanya sudah cukup cepat. Bukunya juga lebih banyak halamannya, dengan kalimat yang mulai panjang dan lebih kompleks. Tadi pagi sambil sarapan, saya tanya apakah dia sudah bisa membaca diam (silent reading) Maka bercelotehlah dia.

"Of course Mommy, I do silent reading everyday. I do it in my literacy group. We usually do it after the roll."

Jadi SSR sudah menjadi bagian rutin di kelas Adzra. Setiap pagi setelah gurunya mengabsen, anak-anak diminta menukar buku yang dibawa pulang tadi malam. Memilih sendiri buku yang diinginkan sesuai levelnya. (Ada ratusan buku di rak dan box di kelas Adzra). Dan mereka akan membaca diam di kelompok masing-masing, sampai gurunya meminta mereka berhenti. Memasukkan buku tersebut untuk dibawa pulang sebagai home reading. Baru kemudian kegiatan lain berjalan. Dan kegiatan berikutnya ya tetap literasi.

Saya lama termenung sebelum menulis ini. Mengapa hal sesimpel ini tidak pernah diterapkan di sekolah-sekolah di tanah air ya. Padahal ini kegiatan yang cost-effective. Murah meriah. Terutama bila buku dibawa sendiri oleh siswa (seperti yang diterapkan oleh Steve Gardiner). Dan sama sekali tidak mengganggu rangkaian agenda kurikulum yang diwajibkan. Hal yang terakhir ini penting untuk menjawab banyak kekhawatiran apakah SSR akan mengganggu kelancaran proses belajar mengajar dan penerapan kurikulum (Akan saya tuliskan lebih detil di bagian lain nanti). Untuk menjawab pertanyaan saya, mas Satria memberi jawaban yang cukup menohok. "Because reading skill is never our concern as a nation. Never. Unas is.

Melihat besarnya kesenjangan penerapan literasi di negara-negara lain dan di tanah air, saya sampai pada kesimpulan bahwa kita tidak perlu menelusuri salahnya di mana. LPTK harus bisa menjadi garda depan. Bila guru-guru, terutama guru bahasa dan, terutama PGSD (dan pastinya program PPG) dilatih menjalankan SSR, saya optimis beberapa tahun ke depan akan bisa kita lihat perubahan di dunia literasi sekolah.

Salah satu kuncinya sekarang ada di jurusan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Saya berharap sekali kedua tetangga ini bisa berkolaborasi mendalami SSR  sebagai salah satu program literasi sekolah. Menggarap ini saja dulu sudah akan memberi dampak besar.

Saya harap teman-teman pendidik di manapun menyambut ajakan ini. Kita tidak mungkin berjalan sendirian. Ayo berkolaborasi menggerakkan literasi.

MEMAHAMI SUSTAINED SILENT READING (SSR) (1)

Hari-hari terakhir ini saya kembali mengunjungi perpustakaan kampus. Mulai mengerjakan bab baru, saya perlu meruncingkan landasan teori di bab tersebut. Tujuan utama saya sebenarnya adalah mengumpulkan berbagai referensi tentang literasi, modernisasi, dan kapitalisme. Entah kenapa, setiap kali mencari buku untuk bahan tesis, saya selalu terpikat untuk membaca buku lain, meski tetap dalam bidang literasi. Dan sejak dulu, yang membuat saya semangat adalah buku-buku tentang pembelajaran Reading, Writing, dan terutama sastra. Barangkali ini memang sudah passion saja sejak dulu, sehingga buku/artikel apapun yang berbau literacy education dan literacy programs ikut memenuhi daftar bacaan saya.

Kali ini saya sedang membaca beberapa buku tentang Sustained Silent Reading (SSR). Tulisan-tulisan mas Satria, teman di milis Keluarga Unesa, membuat saya ingin menengok bagaimana kajian dan pengalaman SSR ini di negara lain. Silakan tengok pengalaman mas Satria menerapkan SSR di keluarganya di blognya. http://satriadharma.com/2006/02/21/%e2%80%9csustained-silent-reading%e2%80%9d-di-ruang-makan-saya/
dan http://satriadharma.com/2006/02/23/ssr-di-ruang-makan-saya-part-ii/

Sebenarnya di jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Unesa, kami sudah bertahun-tahun menjalankan program yang mirip  SSR sejak tahun 2000. Di rangkaian program Intensive Course untuk mahasiswa baru, kami memberlakukan kegiatan Independent Study (IS) seminggu sekali. Dalam IS ini, mahasiswa membaca simplified novels sesuai pilihan mereka sendiri. Buku-buku disediakan oleh jurusan, dan mahasiswa mencatat progress masing-masing dalam Reading Record. Sayangnya kegiatan ini memang belum pernah diteliti secara mendalam. Saya kurang tahu bagaimana pelaksanaan program Independent Study sekarang.

Buku pertama yang saya baca saat ini berjudul Free Voluntary Reading oleh Stephen Krashen (2011). Mahasiswa pendidikan Bahasa Inggris pasti sudah mengenal nama ini. Krashen adalah  penulis buku The Natural Approach, bersama dengan Tracy Terrel. Buku ini digunakan untuk bahan mata kuliah Teaching Methodology. Saking seringnya saya buku ini untuk mengajar dulu, saya lumayan hafal isinya. Buku satunya berjudul Building Student Literacy through Sustained Silent Reading karangan Steve Gardiner (2005). Gardiner adalah guru Bahasa Inggris di AS yang sudah berpengalaman menerapkan SSR di kelas-kelas yang dia ajar selama lebih dari 27 tahun.

Kedua buku ini berbeda caranya mengupas SSR, tapi saling melengkapi. Bila Krashen memberikan ringkasan dan daftar berbagai penelitian tentang SSR sebagai justifikasi ilmiah, Gardiner menulis secara naratif, berdasarkan pengalamannya sejak menjadi guru pertama kali. Dari kedua buku ini saya mendapatkan beberapa gambaran yang senada. Krashen memberi saya kemudahan menyarikan pemahaman saya di bab tentang karakteristik dan panduan singkat SSR. Di bab 1, Krashen menyampaikan 83 gambaran umum tentang program SSR. Di dalam program SSR, pada dasarnya guru menyisihkan waktu tertentu untuk membaca sebagai kegiatan yang menyenangkan (recreational). Siswa boleh membaca buku apapun yang mereka inginkan (dengan ukuran kepatutan) dan tidak ada kewajiban untuk ujian/penilaian atas apa yang mereka baca.

Saya berikan terjemahan bebas (dan ulasan saya) di bawah ini untuk memberikan panduan singkat dan sederhana bagi teman-teman guru, orang-tua, dan pegiat literasi yang ingin menerapkan SSR. Saya akan tuliskan dulu panduan singkat pelaksanaan SSR. Kemudian nanti di tulisan berikutnya (bila longgar) akan saya sampaikan beberapa gambaran umum (dari ke 83 point) yang menurut saya penting diketahui. Sebagian besar gambaran umum ini berbasis riset dengan bukti empiris, dan sebagian kecil didukung oleh laporan pengamatan yang perlu dikaji lebih mendalam.

Panduan Singkat SSR
1.      Lakukan sedikit namun rutin setiap hari, bukan dalam rentang waktu yang lama tapi hanya 1 minggu sekali. Ini mengingatkan saya pada program Independent Study di jurusan. Karena dilakukan seminggu sekali dalam waktu 90 menit, dampaknya terhadap kebiasaan membaca kurang signifikan. Selain itu, kegiatan ini sendiri menurut saya perlu pencatatan dan penanganan lebih baik sebagai bahan kajian.

2.       Lebih sedikit lebih baik. Bila Anda berasumsi siswa Anda bisa duduk tenang dan membaca selama 15 menit, maka sebaiknya sepakati untuk melakukannya 10 menit saja.

3.    . Pastikan ada banyak buku (dan bahan bacaan lain) tersedia.

4.      Buku komik bisa dipergunakan.

5.     Majalah juga boleh.
Di bukunya, Gardiner memilih untuk tidak menggunakan komik, majalah, dan surat kabar. Sebagai guru Bahasa Inggris, dia memandang bahwa siswanya (tingkat SMA) perlu membaca buku yang lebih focus, di luar bahan-bahan bacaan wajib sesuai kurikulum. Sebagai catatan, pembelajaran Bahasa Inggris di luar negeri berarti bahwa siswa wajib membaca karya sastra klasik dan kontemporer dan mampu menulis analisis sastra. 

6.       Buku berjenjang (graded readers) juga bisa dimanfaatkan. Di jurusan Inggris, jenis graded novels menjadi pilihan kami. Tujuannya adalah memperkenalkan mahasiswa baru dengan karya-karya sastra klasik dengan bahasa yang disederhanakan.

7.       Biarkan siswa memilih buku/bahan bacaan yang mereka inginkan.

8.     Sedapat mungkin minimalkan upaya ‘menyensor’ buku pilihan siswa (selama masih dalam batas-batas yang bisa diterima).

9.       Siswa boleh saja memilih membaca buku yang ‘mudah’ (di bawah tingkat kemampuan mereka).

10.    Siswa juga boleh memilih membaca buku yang ‘sulit’ (di atas tingkat kemampuan mereka).

11.   Siswa tidak wajib menuntaskan setiap buku yang mereka baca. Point ini saya kaitkan dengan buku Gardiner, di mana kadang-kadang siswa tidak menyukai buku yang sudah mereka pilih dan baca beberapa waktu. Dalam hal ini, mereka bisa beralih ke buku yang lain.

12.   SSR bukan program untuk pembaca pemula (yang baru belajar membaca). SSR juga tidak terlalu signifikan dampaknya terhadap siswa yang sudah memiliki kebiasaan membaca yang baik (advanced readers).

13.    Dukung program SSR dengan kegiatan-kegiatan yang bisa membuat pengalaman membaca semakin menyenangkan dan meningkatkan pemahaman (mis: membaca keras, kunjungan ke perpustakaan, diskusi buku, dsb.)

14.   Jangan menggunakan sistem imbalan untuk membaca, jangan menguji siswa atas bacaan mereka, dan jangan mewajibkan tugas laporan buku. Gunakan pola ‘zero or minimum accountability.’ Sekali lagi saya kaitkan point ini dengan buku Gardiner. Dalam menjalankan SSR, Gardiner amat tidak menyarankan pemberian reward. SSR harus didasarkan motivasi internal dari siswa. Satu-satunya reward yang konsisten diberikan oleh Gardiner adalah nilai bagus dalam pelajaran English. Konsistensi siswa bisa diganjar nilai A, tapi keengganan mengikuti SSR bisa saja membawa konsekuensi nilai F (Fail). Selama 27 tahun menggunakan SSR, Gardiner jarang sekali menemukan siswa yang tidak tertarik dengan SSR. Bahkan siswa yang bergelar ‘troublemaker’ pun menemukan kebebasan dalam program SSR.

Silakan dicermati dan dikomentari panduan singkat di atas, agar kita bisa mencari pola yang pas pengembangan program literasi di sekolah.  

Bila longgar lagi akan saya tuliskan daftar 83 gambaran umum SSR yang mendasari panduan singkat di atas.

Referensi:
Gardiner, Steve. 2005. Building Student Literacy through Sustained Silent Reading. Heatherton, Vic: Hawker Brownlow Education.
Krashen, Stephen. 2011. Free Voluntary Reading. Santa Barbara: Libraries Unlimited.

Saturday, August 30, 2014

TUTORING EXPERIENCE

Di paruh kedua tahun ketiga studi saya sekarang, saya harus semakin rajin ngampus untuk nulis tesis. Selain itu saya juga disibukkan dengan tugas mengajar sebagai tutor. Saya didapuk mengajar mata kuliah Media, Identity, and Everyday Life, untuk mahasiswa S1 semester 2. Mayoritas berasal dari Faculty of Arts, seperti Cultural Studies, Media and Communication, Music, atau Linguistics. Namun ada juga mahasiswa Sains. Mata kuliah (di sini disebut dengan Subject) ini memang ditawarkan sebagai breadth subject, semacam Mata Kuliah Umum (MKU), untuk mahasiswa di luar lingkup Arts.

Saya merasa beruntung karena bahan bacaan di mata kuliah ini relevan sekali dengan kajian teori tesis saya. Selain itu, saya semakin merasa bahwa satu kaki saya ada di sastra, dan kaki yang lain di media/komunikasi. Bagaimana tidak, teori-teorinya sudah lumayan saya kenal di dunia bahasa dan sastra, seperti semiotik misalnya. Namun objek yang dianalisis beralih ke iklan, film, TV, dan kehidupan sehari-hari. Tidak lagi bergulat dengan karya sastra.

Di sini perkuliahan berlangsung selama 12 minggu, dan sudah berlangsung lima kali pertemuan. Dalam sistem tutorial ini, jumlah mahasiswa yang mengambil mata kuliah tertentu cukup besar, antara 300-400an. Perkuliahan disampaikan oleh subject coordinator di ruang besar (di sini disebut dengan theatre).  Tiap minggu tugas tutor adalah ikut perkuliahan (2 x 1 jam). Kebetulan kedua subject coordinators adalah supervisor saya. Sementara itu, tutorial dilakukan dalam bentuk kelas kecil (15 mahasiswa). Dengan demikian butuh cukup banyak tutor untuk mata kuliah ini. Saya sendiri memegang dua kelas tutorial. Sebagai tutor selama 1 jam/kelas, tugas saya adalah memberikan latihan-latihan untuk pendalaman materi. Kadang-kadang saya perlu memberikan penjelasan ringkas materi bacaan.

                                                              Modul mata kuliah (dok. pribadi)


Mengajar lagi memang menyenangkan. Tapi saya jadi suka senewen juga. Meski cuma 2 kelas, saya harus membaca dan memahami materi, menyiapkan powerpoint singkat, dan membuat rancangan kegiatan di kelas. Maklum yang diajar mayoritas anak bule yang baru saja duduk di bangku kuliah. Bahasa Inggrisnya sih jelas pinter, tapi belum tentu paham teori yang rada melip. Lha kalau yang ngajar bukan penutur asli seperti saya (tutor yang lain mahasiswa PhD dari Aussie), kuatirnya terjadi lost in translation. Untungnya mahasiswa saya amat respectful. Selama ini belum ada ceritanya mahasiswa ngobrol sendiri atau males-malesan. Entah karena saya buat sibuk dengan tema diskusi atau praktik mini etnografi. Pokoknya saya harus mengerahkan semua jurus mengajar yang pernah saya pakai biar tidak membuat bosan. 

Mungkin saking seriusnya melakukan persiapan mengajar, supervisor saya melihat saya sempat kedodoran dengan tesis. Pernah saya harus minta extension setor draft tulisan karena waktu saya tersita untuk membaca materi mengajar dan persiapan kelas. Alhamdulillah sekarang sudah mulai seimbang. 

Menekuni pekerjaan yang sesuai dengan minat dan kemampuan dan sekaligus memberikan tantangan baru memang mengasyikkan. Waktu perkuliahan baru dimulai, supervisor saya bertanya apakah saya sreg dengan tugas ini. “Are you happy with this Tiwi?” Iya lah, saya boleh mengatakan bahwa mata kuliah ini ‘saya banget.’ Di beberapa topik dibahas di minggu-minggu pertama, kuliah membahas pengaruh budaya komoditas dan pembacaan iklan. Saya cukup akrab dengan topik ini. Saya pernah membahasnya di kelas teori Sastra yang saya ajar beberapa tahun yang lalu. Memang tataran analisisnya belum semendalam yang dilakukan di sini. Saat itu mahasiswa saya di prodi Sastra Inggris Unesa juga saya ajak membedah iklan melalui pisau semiotik. Nah sekarang ketemu lagi hal yang sama. Di tutorial yang saya pegang,saya mengajak mahasiswa membedah iklan yang saya gunting dari majalah. Yang menarik, ternyata ideologi atau mitos white beauty standard atau eurocentrism bertebaran di mana-mana. Mau iklan di negara Barat ataupun di tanah air. Saya tersenyum sendiri ketika mahasiswa berdiskusi dan kurang paham bagaimana membaca simbol-simbol dan menterjemahkannya ke dalam tataran ideologi. Ada kepuasan yang saya rasakan ketika akhirnya mereka bisa menangkap makna ideologisnya.

Latihan semacam ini sebenarnya adalah bagian dari critical literacy, dalam hal ini literasi media. Dalam bahasa mbak Sirikit Syah, ini adalah cara untuk mengajak masyarakat melek media. Saya lihat anak-anak semester dua di sini nampak sekali sudah terlatih berpikir kritis dan mengungkapkan pandangannya. Amat bisa dipahami sih, karena Ganta, anak saya yang di SMA kelas 12, sebenarnya sudah belajar tentang pembacaan iklan di mata pelajaran Media yang diambilnya sejak kelas 11 yang lalu. Baru minggu lalu Ganta bertanya apakah saya paham tentang ‘bullet theory’ dan ‘use-and-gratification’ theory. Hiks, anak saya sudah belajar menjadi audience yang kritis, sementara istilah-istilah itu baru saya pahami beberapa tahun terakhir.  

Dari beberapa referensi yang pernah saya baca, salah satu alasan mengapa Media menjadi mapel di SMA di Aussie (dan banyak negara lain) adalah karena gempuran media dan teknologi yang semakin tak bisa dibendung. Itulah sebabnya anak perlu dibekali ilmu dan ketrampilan agar bisa menyaring informasi secara cerdas dan kritis.

Tugas menganalisis iklan adalah tugas esai pertama yang harus disetor mahasiswa minggu depan. Sementara itu, tugas kedua sudah mulai bergulir. Cultureblogging. Ini tugas yang menurut saya enak banget. Mahasiswa bisa menjadi diri sendiri. Menulis tentang refleksi diri dalam berinteraksi dengan media dan teknologi dalam kehidupan sehari-hari. Di Learning Management System (online learning system) sudah dipasang blog internal yang bisa diakses mahasiswa dan staf pengajar mata kuliah Media, Identity, and Everyday Life. Mahasiswa yang jumlahnya 300an lebih itu diminta menulis rutin antara minggu ke 5-12. Minimal posting 6 kali. Selain itu mereka harus aktif menengok tulisan lain dengan memberikan komentar. Jadi tidak mungkin ada ceritanya mahasiswa baru akan mengerjakan tugas di akhir semester. Pasti akan ketahuan dari tanggal posting.

Buat orang yang suka nulis, tugas seperti ini gurih banget. Tinggal menghubungkan antara praktik sehari-hari dengan bahan bacaan yang dibahas di matkul ini. Itupun tidak perlu ditulis dengan bahasa akademis. Be yourself. Saya sudah melihat tulisan-tulisan mahasiswa tentang sebelnya melihat acara X-Factor, nostalgia acara TV jaman dulu seperti Tom & Jerry, komentar kontroversial tentang sosok Nicki Minaj, dan banyak lagi. Untuk memotivasi, bahkan dosen sendiri juga posting tulisan.

Tugas Cultureblogging ini mengingatkan saya dengan pola yang pernah saya pakai di mata kuliah Cross Cultural Understanding yang saya ajar dulu. Saya meminta mahasiswa untuk menengok blog saya. Saya meminta mereka untuk membaca tulisan saya yang bertema budaya, dan menuliskan komentar mereka dalam bahasa Inggris di blog. Dari tulisan mereka, saya berasumsi bahwa hampir semua mahasiswa menikmati tugas ini (semoga benar begitu), dan komentar mereka mengandung refleksi diri juga. Yang lucu, beberapa di antaranya belum punya email saat itu. Jadilah tugas ini sekaligus memaksa mereka untuk membuka akun baru agar bisa posting. Meski begitu ada juga yang nunut akun temannya. Kalau yang model begini biasanya akan menulis, “Mam, this is …. I’m using …’s account, hehe.”

Rapinya sistem perkuliahan dengan model tutorial untuk mata kuliah content/MKU dengan jumlah mahasiswa ratusan ini membuat saya terpikir untuk bisa mengadaptasinya di Unesa nanti. Selama ini mata kuliah kelas besar cenderung diajar beberapa dosen yang ‘jalan sendiri-sendiri.’ Entah materinya sama atau tidak, apalagi asesmennya. Team teaching kadang juga tidak terlalu jalan. Di prodi Sastra, kami sebenarnya sudah mencoba merintis team teaching yang lebih solid. Bahan bacaan harus sama, meski cara mengajarnya bisa beda.  Ini yang dulu saya dan pak Khoiri selalu lakukan untuk mata kuliah yang kami ajar bareng.  

Saya sempat mengungkapkan usulan mengadaptasi model tutorial ini di grup whatsapp dosen jurusan Bahasa dan Sastra Inggris. Bila di sini mahasiswa PhD yang jadi tutor, maka Unesa bisa memasang dosen-dosen muda. Dengan demikian dosen muda bisa belajar dari yang lebih senior. Kan mereka harus ikut kuliah juga. Tugas mereka adalah membantu mahasiswa mendalami materi melalui latihan-latihan di kelas lebih kecil. Keuntungan yang lain, sistem pencangkokan bisa berjalan lebih efektif. Di sisi lain, dosen yang lebih senior juga didorong lebih ‘serius’ untuk terus memperbarui wawasan keilmuan dan cara mengajarnya. Ada dosen muda yang menjadi ‘audience’ mereka juga. Jangan sampai 'ngisin-ngisini' cara mengajar dan penguasaan materinya, hehe

Kajur jurusan Inggris, Pak Slamet Setiawan mendukung usulan ini. Bahkan beliau sebenarnya sudah melangkah lebih dulu. Beliau sudah mengajukan usulan ini di Unesa. Pak Slamet sendiri pernah menjadi tutor saat kuliah S3 di University of Western Australia. Aslinya saya pingin mencoba jadi tutor karena terinspirasi beliau. Pak Slamet paham betul manfaat model tutorial ini dalam meningkatkan kualitas pembelajaran di perguruan tinggi. Jadi tutor butuh keseriusan yang sama dengan mengajar mata kuliah yang kita ampu sendiri.

Semoga pengalaman ini ada manfaatnya buat lembaga, dan sistem seperti ini bisa meningkatkan kualitas pembelajaran di Unesa.

Surau Kita-Coburg, 30 Agustus 2014
(Sambil menunggu Adzra belajar mengaji tiap Sabtu pagi)

Sunday, August 03, 2014

MENGENANG SEORANG SAHABAT TERBAIK

Jantung saya serasa berhenti berdetak ketika membaca postingan mas Satria Dharma di milis Keluarga Unesa Sabtu kemarin. Beliau meneruskan kabar dari Ella, bahwa rekan kami semua, Rukin Firda, kecelakaan, dan meninggal dunia. Saat berita itu dikirim, jenazah masih berada di RS Khadijah Surabaya. 

Masih tak percaya, saya menelpon suami di Surabaya. Saya tahu mas Prapto sedang menghadiri halal bihalal Himapala Unesa. Saya, mas Prapto, Rukin, dan Ella, adalah senior organisasi pencinta alam di kampus tercinta ini. Yuni, istri Rukin, dan mas Ayik, suami Ella, juga adalah anggota senior. Saya yakin mas Prapto bisa memberikan info lebih jelas. Dan berita kecelakaan itu ternyata benar adanya. 

Innalillahi wa inna ilaihi roji'un.

Kenangan saya bersama almarhum Rukin banyak terukir di masa-masa kuliah. Kami berdua adalah teman kuliah satu angkatan. Di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris IKIP Surabaya angkatan 1985, barangkali banyak yang tahu bahwa saya dan Rukin adalah dua sahabat yang runtang-runtung kemana-mana. Sahabat plek. Apalagi setelah Rukin gabung ke Himapala (saya ikut sejak tahun 1986, sedang Rukin setahun berikutnya). Juga setelah kami sama-sama jadi pengurus Senat Fakultas.

Bersama dengan Rukin, saya menghabiskan banyak menit ngobrol bernas tentang perkuliahan dan kehidupan. Tentang keluarganya. Cita-citanya. Saat itu saya sadar bahwa Rukin adalah sosok yang lembut hatinya.

Ketika banyak teman di jurusan mengira kami punya hubungan spesial, kami suka senyam-senyum saja. Lha wong kita sama-sama tahu kisah pribadi masing-masing di lingkungan Himapala. Itu yang barangkali membuat persahabatan saya dengan Rukin terasa spesial. Murni persahabatan dan saling mendukung, dan kadang diselingi persaingan sehat.

Kami berdua juga hobi mengambil mata kuliah kakak kelas. Kuliah di kampus Pecindilan saat itu juga dilakoni bersama. Padahal kampusnya jauh dari Ketintang. Mata kuliah Olahraga juga kami belani ikut kakak kelas, dan ketika matkul itu muncul di angkatan kami, kami ikut lagi. Bukan untuk dapat nilai. Just for fun. Exercising. Menjadi anggota Himapala dan hobi olahraga, tidak heran badan saya masih 'kekar.'

Saya, Rukin, dan Ella termasuk sering ketemu di kegiatan tingkat institut. Misalnya saja, saat kami ikut Pelatihan Jurnalistik, Rukin mewakili FPBS, Ella mewakili FPTK, dan saya dikirim Himapala. Ini sama saja dengan Himapala diwakili tiga orang (belum termasuk teman lain, Farhan Effendi, sekarang redaktur Surya, yang saat itu mewakili FPIPS).

Kami berdua juga termasuk segelintir mahasiswa yang masuk jalur skripsi dari angkatan kami. Dan kami juga ujian skripsi bareng. Saya salut dan angkat jempol pada Rukin yang berani menulis skripsi tentang sastra. Analisis sastranya di kelas memang ciamik. Dan dia menulis tentang Ernest Hemingway. Saya sendiri saat itu kurang pede menulis tentang sastra. Lebih senang dengan penelitian sosiolinguistik dengan terjun ke lapangan.

Hidup memang unik. Saya yang pada awalnya ingin jadi wartawan malah kemudian menggeluti sastra. Meniti karir sebagai pendidik. Sementara Rukin, yang lulusan SPG Jombang, berjiwa pendidik, kemudian terjun di jurnalistik. Dia bergabung dengan Jawa Pos sebagai wartawan.

Lama tidak ketemu, dan hanya dengar kabar on and off melalui jaringan senior Himapala, saya ketemu lagi dengan Rukin saat dia meliput kegiatan di Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Saat itu saya masih menjadi dosen tetap di sana. Off lagi, tapi saling mengikuti perkembangan masing-masing,

Beberapa tahun kemudian, saya menjadi dosen PNS, kembali ke alma mater yang sudah berubah menjadi Universitas Negeri Surabaya. Menyusul Ella yang sudah lebih lama menjadi dosen di Unesa. Saya kemudian berkesempatan studi ke Texas, mendalami sastra murni.  Rukin termasuk salah satu teman yang suka email saya. Dia bahkan mengenali gaya tulisan saya tanpa melihat nama penulisnya. Itu ketika tulisan saya tentang kehidupan Muslim di Texas muncul di sebuah situs. Tulisan itu kebetulan terpilih sebagai tulisan favorit di lomba penulisan komunitas mahasiswa Indonesia di AS.

Komunikasi saya dengan Rukin menjadi intensif lagi berkat milis Keluarga Unesa, tempat alumni Unesa berjejaring. Di sini, tiga sahabat, Rukin, Ella, dan saya bekumpul kembali. Tidak lagi hanya sekedar saling kirim kabar, Namun sudah meningkat menjadi berjejaring dengan para miliser yang lain. Kepedulian kita terhadap pendidikan literasilah yang menyatukan kita semua. Ella sendiri sudah moncer sebagai profesor.

Dalam menjalankan tugasnya sebagai koordinator SM3-T Unesa dan direktur PPPG Unesa, Prof. Luthfiyah Nurlaela (sering kami plesetkan menjadi Sorella) sering melibatkan Rukin. Tak pelak sentuhan jurnalisme dari tangan Rukin dengan semangat pendidikan banyak mewarnai buku-buku yang mendokumentasikan kegiatan SM3-T Unesa. Ini tak lepas dari latar belakang pendidikan Rukin sendiri.

Saat kedua sahabat saya ini, Rukin dan Ella bergerak cepat, menerobos hutan dan sungai di daerah-daerah tertinggal, terpencil, terluar di wilayah Indonesia, saya suka 'ngiler.' Tulisan mereka sering mengisi milis Keluarga Unesa. Sementara saya dari jauh hanya bisa membayangkan saya bersama dengan mereka. Ingin segera selesai studi, agar bisa bergerak dan bersinergi kembali bersama sahabat-sahabat saya.

Ketika Rukin menyelesaikan S2-nya dengan cum laude di bidang Komunikasi, dan bercerita tentang keinginannya pensiun dari Jawa Pos, untuk kemudian membantu Unesa, saya sangat senang. Dalam angan saya, akan ada banyak kesempatan untuk berjejaring di tahun-tahun berikutnya.

Hari Jum'at yang lalu, Rukin menyapa saya di FB. Mengiyakan komentar Ella tentang foto saya yang katanya suuegger itu. Saya belum sempat menyapa balik. Ketika tersadarkan oleh kabar duka yang dikirim Ella di milis ini. Saya terdiam terpaku. Mata saya nanar. Tidak percaya dengan berita yang terlalu mengejutkan ini. Berharap kabar ini tidak benar. Namun suara suami di seberang sana mengatakan sebaliknya. Engkau memang telah pergi. 

Di hari ulang tahun saya saat ini, hanya sehari setelah meninggalnya Rukin Firda, perasaan saya masih terbawa suasana kehilangan seorang sahabat terbaik. Saya mencari-cari di rak buku. Barangkali ada peninggalan abadi yang menorehkan namanya. Saya raih empat buku. Ibu Guru, Saya Ingin Membaca; Jangan Tinggalkan Kami; Pena Alumni, dan Boom Literasi. Dua buku pertama adalah catatan pejuangan guru-guru muda di program SM3-T Unesa di berbagai pelosok negeri. Buku pertama mencantumkan Rukin Firda sebagai editor, sedangkan buku kedua digawangi bersama oleh Rukin Firda dan Luthfiyah Nurlaela.

Buku ketiga dan keempat adalah antologi tulisan para alumni Unesa yang aktif bergiat di literasi. Di dalam kedua buku ini, nama Rukin, Ella, dan saya termasuk dalam daftar penulis. Sebelumnya kami juga ikut menulis keroyokan dengan teman-teman lain sesama alumni Unesa di antologi cerpen Ndoro, Saya Ingin Bicara.


Berada jauh dari tanah air, saya hanya bisa berdoa agar almarhum Rukin mendapat tempat yang layak di sisi Allah SWT. Dan istrinya, Yuni, yang juga adik angkatan di Himapala tetap tabah menghadapi musibah ini. Saya yakin Yuni dan ketiga anaknya akan kuat menjalani cobaan ini.

Salah satu sahabat telah mendahului kami
Allah telah memanggil sosok yang dicintai banyak orang
Allah meminta dia kembali pulang
Meninggalkan ribuan kenangan manis
Mengetuk semua sahabat untuk melantunkan doa baginya

Innalillahi wa inna ilaihi roj'un

Sahabatku,
Semoga Allah memberikan tempat terbaik bagimu
Sejalan dengan tulusnya kauberikan dirimu
Untuk membawa manfaat bagi orang-orang di sekitarmu.
Insya Allah surga untukmu.

Brunswick, 3 Agustus 2014

Monday, July 07, 2014

Humanity-driven Knowledge

Barangkali ini yang Meaghan Morris maksud dengan humanity-driven knowledge. Profesor Cultural Studies dari Sydney University ini menekankan pentingnya upaya mencari ilmu atas dasar kemanusiaan. Bukan sekedar pemenuhan diri, namun berorientasi pada manfaat buat kemanusiaan.
Hari ini kami, peserta IACS Summer School dijadwalkan melakukan field trip. Kelompok C, di mana saya berada, dan F, akan mengunjungi kantor Taiwan International Workers' Association (TIWA) di Taipei. Sejak awal memang saya sudah mengajukan diri untuk ikut kunjungan ini. Amat relevan dengan penelitian saya. Kelompok lain (A dan B) diarahkan ke asosiasi pekerja seks, sedangkan kelompok D dan E pergi ke kelompok pekerja seni.Pengelompokan ini sesuai dengan minat masing-masing peserta.
Naik bus sekitar 1 jam dari Hsinchu ke Taipei, akhirnya kami sampai di markas TIWA. Di kantornya yang sederhana, saya menangkap suasana Filipina yang kental. Pengumuman dalam bahasa Tagalog dan Mandarin nempel di sepanjang dinding. Foto-foto kegiatan rally dan budaya. Gereja Katolik, di mana TKW Filipina sering bertemu, berada tidak jauh dari kantor TIWA.
Jingru, aktivis buruh dan pengurus TIWA, menyambut kami, dan membuka pertemuan dengan presentasinya. Sempat saya tanya di mana BMI berada. Ternyata memang TKW Indonesia lebih banyak berkumpul di daerah yang lain. Meski mereka juga sering terlibat dalam kegiatan TIWA.
Selama presentasi Jingru, kami disuguhkan jejak-jejak perjuangan TIWA menyuarakan hak-hak buruh migran. Di sinilah emosi saya terasa diaduk-aduk. Sesak mengetahui bahwa ternyata pemerintah Taiwan tidak/belum memiliki peraturan buruh migran yang jelas untuk memberikan perlindungan hukum.

Tiga tahun bergulat dengan berbagai hasil penelitian dan data lapangan, saya paham bahwa kondisi di Hong Kong cukup memihak buruh migran. Ada peraturan gaji minimum, kewajiban majikan memberi hari libur. Bila tidak diberikan, maka majikan wajib memberikan kompensasi. Yang lebih penting lagi, buruh migran mendapatkan kebebasan berorganisasi.

Tidak heran muncul puluhan komunitas di kalangan BMI Hong Kong dengan berbagai aktivitas positif. Dan kondisi yang kondusif ini saja masih memberikan peluang pelanggaran di lapangan. Buruh migran yang masih baru dan naif cenderung tidak memiliki posisi tawar ketika hak-hak itu tidak mereka dapatkan. Karena memang tidak tahu (dan tidak pernah diberitahu oleh pihak agen).
Kondisi di Taiwan belum sebaik Hong Kong. Hak hari libur ternyata belum pernah tertulis di peraturan. Jadi bila buruh migran di Taiwan bisa libur di hari minggu, itu lebih karena 'belas kasihan' majikan. Itu juga bila mereka berani bertanya atau negosiasi dengan majikan. Dan kebanyakan hanya mendapatkan libur 1 kali/1 bulan. Ditambah lagi dengan beban kerja yang berat, yang bisa menguras kondisi fisik dan psikologis.
Ketika fieldwork di Hong Kong, saya sempat datang ke beberapa shelter yang menampung BMI bermasalah. Mendengarkan cerita mereka. Mengapa mereka lari dari majikan. Upaya asosiasi pekerja migran Indonesia berjuang di ranah hukum. Kali ini, di Taiwan, saya dihadapkan dengan pekerja Filipina yang juga lari dari majikannya. Tentang kontrak yang tidak sama dengan kenyataan. Tentang kekerasan yang dialami. Tak terasa mata saya berkaca-kaca. Membayangkan bangsa saya sendiri juga mengalami hal yang sama.
Itu barangkali alasan mengapa para buruh migran mencari pelarian di hari libur mereka. Memenuhi pertokoan yang hanya buka di akhir pekan. Little Manila. Itu julukan area ini. Serasa tidak berada di Taiwan. Penjual makanan. Salon. Kios kirim uang. Warnet. Penjual baju. Semuanya berbau Filipina. Persis dengan nuansa Kampung Jawa di area Causeway Bay dan Victoria Park di Hong Kong. Bedanya, di Little Manila ini, ada gang di mana tempat karaoke dan pub bertebaran. Bau bir dan asap rokok menyeruak dari ruangan yang temaram. Mengapa jadi seperti nuansa Dolly yang baru ditutup bu Risma ya?
Saya tidak tahu bagaimana suasana Kampung Jawa di sini. Kami tidak sempat ke area di mana BMI sering berkumpul. Dalam hati saya berharap tidak seperti Little Manila.
Kami juga berkesempatan menonton film dokumenter tentang perjuangan buruh migran Filipina yang bekerja di pabrik yang terancam ditutup. Sementara mereka belum menerima 3 bulan gaji. Plus terancam harus pulang tanpa hasil apa-apa. Tapi di antara perjuangan itu, terkuak fenomena lesbianisme di antara mereka. Itulah mengapa judulnya adalah The Lesbian Factory.
Saya sebenarnya sudah menonton film ini 3 tahun yang lalu. Supervisor saya, Fran Martin, memutarnya di kelas. Saat itu saya masih dalam tahap memperhalus proposal. Saat menonton kembali, saya merasakan koneksi yang lebih kental. Tentu saja karena saya sudah melihat sendiri fenomena yang sama dan cerita senada di kalangan BMI HK.
Dunia ini memang sempit. Jingru-lah yang ternyata memberikan film ini ke Fran. Dan bahkan buku Our Stories: Migration and Labour in Taiwan, karangan Ku Yu-Ling,  fiksi yang berdasarkan kisah BMI dan BMF di Taiwan, saya temukan di sini. Tahun lalu, Fran menyarankan saya mencari buku ini sebagai referensi. Tidak ketemu di perpustakaan di seluruh penjuru Australia. Siapa nyana ternyata TIWA-lah penggagasnya. Buku ini, versi Mandarinnya, meraih penghargaan sastra Taiwan di tahun 2007, dan baru diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris tahun 2011.

Di antara 18 peserta yang datang ke TIWA, saya satu-satunya yang sedang meneliti isu buruh migran. Di antara serunya sesi diskusi dan tanya jawab, tak pelak saya lumayan banyak tanya dan berbagi cerita tentang kondisi BMI di Hong Kong. Tentang kegiatan penulisan yang cukup berhasil menyuarakan aspirasi mereka. Melihat kondisi Taiwan yang tidak sebagus Hong Kong, Bila buku Our Stories ditulis oleh aktivis buruh berdasarkan testimoni para buruh migran, BMI HK justru menulis sendiri kisah mereka.
Sebenarnya komunitas penulis di kalangan BMI Taiwan juga ada, meski lebih sedikit jumlahnya. Sayang saya tidak sempat bertemu dengan mereka. Padahal ini salah satu tujuan saya ke Taiwan.  

Tapi saya sempat bertemu dengan seorang BMI yang berada di shelter TIWA. Ririn namanya, dari Malang. Menyalami saya sambil mengendong bayi yang mungkin baru berusia 3 bulan. Pertemuan yang singkat. Hanya 10 menit, sebelum dia pamit. Nampaknya siap-siap mau pulang ke Indonesia. Saya tidak sanggup bertanya apa masalahnya. Suara saya tercekat. Saya hanya sanggup merangkulnya, menepuk bahunya. "Ati-ati yo mbak."
Dalam perjalanan pulang di bus, pikiran saya sudah membayangkan akan memasukkan beberapa hasil pengamatan selama field trip ke dalam tesis saya. Mengulas sedikit buku Our Stories yang baru saja saya beli dari TIWA. Namun jauh di lubuk hati, ada rasa perih bagai tertusuk duri. Saya akan amat berdosa bila hanya tesis yang bisa saya hasilkan.
Sebagai peneliti, saya memang harus bisa menjaga jarak psikologis dengan isu yang saya angkat. Namun nurani saya tetap perlu menyuarakan keberpihakan. Bagaimana caranya?

Bisa jadi saya sedikit membantu mengedit tulisan teman-teman BMI HK. Mungkin saya sempat puas menterjemahkan kumpulan cerpen BMI HK ke dalam Bahasa Inggris. Tapi nampaknya itu belum akan cukup membantu menyuarakan perjuangan mereka. Semoga sebuah buku populer bisa saya persembahkan untuk mengangkat derajat para pahlawan devisa negara. Para perempuan tegar yang sudah menjadi bagian perjalanan hidup saya. Memberi inspirasi pada saya untuk tak pernah patah semangat. Semoga ini cara yang tepat untuk menyuarakan hati nurani saya.

Saturday, July 05, 2014

SINAUO BOSOMU DHEWE

Wingi aku ambek konco-konco sing melok Summer School dike'i kesempatan mlaku-mlaku nang Tunjungan. Eh, maksudku nang tengah kota Hsinchu. Tepakan pancene wingi kuliahe dipindah nang Museum Gambar ndhik tengah kota.

Yi Hong, arek ayu, panitia Summer School, sing arep mulai PhD nang Hawaii, Amerika, ngeke'i woro-woro:

"Rek, panitia nyediakno bis loro. Kelas buyar jam 6. Nek koen pingin ndelok-ndelok kota, tak ke'i 3 jam ya. Sak karepmu ate nang endi. Pokoke mbaliko nang Museum sak durunge jam 9. Bis ate nyusul rene jam sak mono. Nek koen telat, aku gak melok-melok. Tapi nek koen wis pingin ndang turu ngiler nang asrama, isok melok bis panitia sing jam 6."

Ya jelas aku milih mlaku-mlaku. Lha wong aku selak kudu buko. Telung ndino wingi buko menu teko panitia. Kotak mangan awan tak gawe buko.  Cek angele golek sing tepak nang ilat. Mau awan, Christen, arek Ostrali sing kuliah PhD nang Universitas Sydney, ngandhani aku. "Onok restoran Indonesia, Wik. Gak adoh kok. Engkok tak duduhi nggone."

Buyaran kuliah, arek-arek wis podo ribut. Terutama sing pingin mlaku-mlaku. "Nang endi enake, rek?" "Wis nurut sikil ae. Pokoke golek mangan." "Aku pingin golek oleh-oleh." Padha cemruwit kabeh.

Aku ambek konco-konco akhire sepakat mlaku nang arah kuil Cino. Jarene onok pasar malem ndhik sekitare. Dalane ya sak arah karo restoran Indonesia sing atene diduduhno Kristen. 

Mlaku-mlaku nang tengah kutho sing bek tulisan pager, apa maneh gak iso ngomong Mandarin. Rasane koyok Lost in Translation. Pancene kudu duwe strategi. Paling gampang sih nempel konco sing iso dadi penterjemah.

Pas ndhik pasar malem jelase akeh wong dodol mie. Martabak Taiwan. Bakso. Tapi ambu babi kabeh. Mulek rasene wetengku.

Tak delok Ellen, arek UI sing njupuk S2 Kajian Budaya, ngadeg nang ngarepe bakul martabak.

"Apa iku Len?" takonku.
"Koyoke cuma endhog mbak. Ditambahi sayur, trus kerang. Aman ketoke gawe sampeyan. Coba' takono."

Aku takon onok babine apa gak. Nggawe boso Inggris. Bakule kangelan njelasno. Tapi ndelok gerak-gerike, jarene gak onok babine.

"Ya wis aku pesen nggawe endhog loro. Gak athik kerang yo." Aku ngomong ngono ambek tanda 'Salam 2 Jari.' Bakule paling ya gak mungkin mikir aku ndukung Jokowi. Paling-paling aku ya kudu golput maneh, wong alamat gak iso nyoblos nang kene. Asline yo aku sik bingung.

Ngenteni bakule nggoreng, aku kok gak enak ati. Ellen iki sakjane ngono keturunan Tionghoa. Tapi kok yo gak isok Mandarin blas. Aku ambek Ellen tolah-toleh. Nggoleki konco peserta sing teka Cino daratan utowo Taiwan.

La kok tiba'e Christen sing dadi penyelamat. Arek sitok iki lanyah pol ngomong 'cang cing cung.' Lha wong pancene lagek neliti tentang budaya Cina gawe tesis S3-ne.

"Kris, takokno ono babine apa gak. Lengone kok meragukan ngono."

Embuh apa sing diomongno Kristen nang bakule. Tapi dheweke langsung ngandhani aku. "Iku lengo babi, rek."

Jam 6.40 sore. Kurang 9 menit maneh wis meh mlebu jam Maghrib. Iki ngono wetengku wis kosong mulai jam 4 isuk. "Wis aku tak mbalik nang depot Indonesia ae," jareku nang konco-konco sing wis mulai golek enggon lungguh.

Ellen melok. Kristen sempat bingung. "aku yok opo iki enake?" Tapi akhire ngomong, "Wis aku melok pisan. Pingin ngrasakno panganan Indonesia."

Mbalik dalan arah nang museum, aku, Ellen karo Kristen sik sempat longak-longong ndelok wong dodolan. Ellen ngiler pingin tuku sosis babi. Nyekel-nyekel daster, pingin nawar regane. Weleh weleh, pancen lucu kok donya iki. Onok arek Indonesia keturunan Tionghoa sing gak isok boco Cino. Kudu ngandhalno arek bule njelasno karepe.

Mangkane yo rek, mumpung sik podho isok boso Jowo, belajaro nulis nggawe boso Jowo. Sak durunge ilang kabur kanginan. Ojok sampek awake dhewe kudu nggoleki wong Leiden nang Londo kono, nek kene pingin sinau budayane dhewe.

                                                 Aku ambek Christen Cornell

                                            Aku, Ellen, pak Nando (sing duwe depot Karimantan)


Salam bonek teko Hsinchu, Taiwan

Wednesday, July 02, 2014

GOING INTER-ASIA, GOING GLOBAL

Menarik sekali mengamati mobilitas manusia dari satu tempat ke tempat lain, dan dari satu negara ke negara lain. Pastilah banyak alasan secara politik, ekonomi, pendidikan, budaya, dan sebagainya. Salah satu pendorong mobilitas ini adalah keinginan untuk lebih mengenal ‘tetangga.’ Tak kenal maka tak sayang. Semakin dekat, semakin kita merasa menjadi bagian di dalamnya.

Saat ini saya berada di Hsinchu, Taiwan. Mengikuti Inter-Asia Cultural Studies Summer School selama 2 minggu. “Kuliah intensif”nya diadakan di National Chiao Tung University. Sedangkan akomodasi peserta di asrama mahasiswa National Tsing Hua University. Kedua universitas besar ini bertetangga. Bahkan ada jalan ‘butulan’ dari asrama NTHU ke kampus NTCU.

Ada 45 peserta, mahasiswa S2 dan S3 dari berbagai negara. Hari pertama ini belum ada kuliah. Kami semua dapat giliran memperkenalkan diri. Darimana asal kami dan sedang meneliti apa. Dan di sinilah cerita Inter-Asia dimulai.

Ada peserta perempuan dari Taiwan yang sedang menempuh PhD di salah satu Pusat Kajian Budaya di India. Ketika dia berbicara, kentara sekali dia sudah mulai terpengaruh aksen India, dengan ‘th’ yang medok. Dengan guyon dia bilang bahwa Taiwan adalah salah satu propinsi negara India.
Sementara itu, Zayid, peserta Bangladesh, belajar di Korea, dan mendalami gerakan aktivis dan representasi budaya Korea.

Ada beberapa wajah bule di antara peserta. Peserta dari Baltimore, Maryland, AS, Ira Roberts namanya (Ira nama laki-laki) adalah mahasiswa PhD di McGill University, Canada. Dan yang dia teliti adalah budaya Cina daratan. Untuk itu dia sedang belajar bahasa Cina untuk bisa membaca arsip-arsip sejarah saat melakukan studi lapangan di Cina nantinya.

Ada lagi Thiti, anak muda dari Thailand, yang cukup bagus bahasa Indonesianya. Saat perkenalan formal, saya baru tahu bahwa dia baru mulai studi PhD di the University of California-Berkeley. Usut punya usut, bahasa Indonesianya didapatkan karena dia sedang meneliti novel-novel Pramudya Ananta Tur. Thiti sangat terkesan dengan gambaran gerakan politik di sastra Indonesia. Dia akan melakukan studi komparatif dengan sastra Thai. Lancar sekali dia bicara tentang Manifesto Kebudayaan dan Pancasila.

Lain lagi dengan Miriam. Perempuan Mexico yang mengaku easy going dan suka pesta ini terbang ke Malaysia. Belajar tentang Asia di University of Nottingham, Malaysia. Salah satu alasannya adalah untuk mencari tahu bagaimana sebenarnya karakter Asia. Stereotip negative tentang Asia cukup kental di kalangan orang Mexico. Harapannya, saat pulang ke Mexico nanti, dia bisa mendekonstruksi stereotip orang Asia.

Ada lagi Risa Tokugawa. Gadis Jepang funky dengan bandananya. Dia kuliah di salah satu universitas di Jepang, belajar tentan Malaysia. Dan logat Malay cukup kentara saat dia berbicara dalam Bahasa Inggris.

Ada juga Nubar Gurbanova, atau Zizi. Gadis cantik dari Azerbayzan ini adalah teman sekamar saya. Bahasa Indonesianya lancar sekali. Saat saya datang dan masuk kamar, saya dengar dia sedang ber-skype. Teman-temannya berbahasa Indonesia dengan logat Surabaya. Ternyata dia adalah mahasiswa S2 di Unair.

Banyak sekali cerita unik dan menarik. Salah satunya adalah ‘dibukanya’ pintu buat mahasiswa dari Cina daratan untuk datang dan belajar di Taiwan. Salah satu peserta bilang, saat rehat, Cina dan Taiwan tidak lagi memandang satu sama lain sebagai ‘musuh.’ Ya mungkin tetangga jauh tapi dekat, dekat tapi jauh begitulah. Yang penting sudah mulai mengakui eksistensi masing-masing dalam konteks hubungan internasional di tingkat kultural. Belum sampai ke hubungan diplomatik.

Dan pastinya ada saya. Orang Indonesia, belajar di Melbourne, meneliti tentang TKW, yang membawa saya ke Hong Kong. Saya sempat pamerkan salah satu antologi cerpen hasil karya FLP HK.

Perjalanan akademik yang unik inilah yang membawa saya dan peserta lain akhirnya bertemu di Taiwan. Negara yang juga unik dalam hal hubungan diplomatik dengan negara lain. Profesor Chen dari NCTU mengatakan bahwa kami semua yang notabene tidak kenal dengan Taiwan akan ‘dipaksa’ memahami dan merespon tentang sastra, budaya, politik Taiwan.

Peserta yang saya temui hari ini adalah sosok-sosok yang tinggi motivasi belajarnya. Nekad belajar tentang budaya yang tidak mereka pahami sebelumnya. Meaghan Morris, professor dari University of Sydney, menyebutkan prinsip yang menarik. Kita semua dalam pencarian ilmu demi kemanusiaan. Humanity-driven knowledge.

Saya pikir itulah yang menyatukan kami. Kami belajar bukan sekedar untuk selembar ijazah atau sertifikat. Keluar dari zona nyaman, masuk ke ‘area berbahaya.’ Namun karena kami ingin mengenal ‘tetangga’ lebih dekat, dan menjadikannya bagian cerita hidup kami.

Hari ini saya belajar bahwa menjadi Asia bukanlah satu pandangan/pemikiran tunggal. Menjadi Asia berarti siap untuk saling terhubung dan bekerja bersama untuk saling memahami. Itulah makna Inter-Asia.
Going Inter-Asia is really going global.

Salam,

Tiwik
Dorm Ching, lantai 10, NTHU
(Hsinchu yang amat gerah)

Serunya Persiapan ke Taiwan

Saya sedang berada di Hsinchu, Taiwan. Kedatangan saya dalam rangka mengikuti program Inter-Asia Cultural Studies (IACS) Summer School, mulai tanggal 1-15 Juli 2014. Meninggalkan dinginnya Melbourne barang sejenak. Merasakan panas dan gerahnya Hsinchu yang mengingatkan saya pada Surabaya.

Keikut-sertaan saya di Summer School (SS) ini adalah buah sebuah 'kenekadan.' Saya mendaftarkan diri saat baru selesai kemoterapi terakhir Desember yang lalu. Saat itu saya masih belum fit benar, dengan wajah menghitam karena efek kemo. Tapi Summer School ini sudah saya incar lama. Dua tahun sebelumnya, IACS Summer School diselenggarakan di Bangalore, India. Salah satu dosen Cultural Studies di Unimelb, Audrey Yue yang berasal dari Singapore, tapi sudah menjadi warga negara Aussie, baru saja balik sebagai narasumber. Dia mendorong saya untuk ikut di SS berikutnya. Agenda ini dilaksanakan setiap 2 tahun sekali, berselingan dengan IACS International Conference.

Tahun lalu, saya tidak jadi ikut IACS conference 2013 di Singapore. Pas hari saya harusnya presentasi, saya tengah ttergolek di rumah sakit untuk operasi payudara kiri.

Jadilah saya nekad bilang ke Fran, supervisor saya, yang juga pengurus IACS Society. Saya bilang bahwa saat ini saya mungkin kelihatan belum sehat, tapi saya optimis di bulan Juli nanti saya sudah pulih kembali. Seperti biasanya, Fran selalu mendukung keinginan-keinginan saya. Surat rekomendasi untuk keikut-sertaan ini segera dia buatkan sebagai salah satu syarat pendaftaran.

Setelah menunggu dua bulan, saya dapat informasi bahwa saya termasuk di antara 40 peserta yang lolos. Lebih gembira lagi, saya dapat travel scholarship sebesar 1000 USD dari panitia. Jadi saya tidak perlu khawatir tentang dana beli tiket. Ditambah dengan 'sangu' sebesar 500 AUD dari the School of Culture and Communication Unimelb, di mana saya belajar.

Tantangan berikutnya adalah memperoleh visa ke Taiwan. Sebagai pemegang paspor dinas, saya sebenarnya tidak bisa masuk ke Taiwan. Tidak ada hubungan diplomatik antara pemerintah Indonesia dan Taiwan.Hubungan bilateral hanya pada level ekonomi dan kebudayaan. Tapi saya spekulasi dengan paspor hijau saya yang masih valid dan belum pernah terpakai. Apalagi paspor dinas saya sudah mau expired di bulan Juli 2014. Kalau saya mau memperpanjang paspor dinas, saya akan butuh surat dari Setkab untuk perpanjangan masa studi. Di surat itu saya hanya dijatah 3 tahun sampai Juli. Itu artinya saya harus pulang ke Surabaya. Kalaupun diperpanjang, saya tetap saja tidak bisa masuk Taiwan.

Sebagai warga negara yang patuh, saya mencoba untuk berkonsultasi ke KJRI Melbourne. Bagaimana enaknya. Saya disarankan untuk terbang ke Taiwan lewat Indonesia. Itu artinya saya pulang ke Indonesia dengan paspor dinas. Dan terbang ke Taiwan dengan paspor hijau. Begitu pula baliknya. Saya mikir-mikir dengan keribetannya. Selain berat diongkos, saya harus pulang dulu untuk memperpanjang paspor dinas. Dan itu butuh waktu. Plus paspor dinas tidak bisa dipakai ke Taiwan. 

Setelah tanya teman-teman sesama pemegang paspor dinas, ternyata banyak yang akhirnya switch ke paspor hijau, menghindari ribetnya urusan perpanjangan di tahun ketiga. Banyak syaratnya. Ini sebenarnya bukan praktik yang disarankan. But many can get away with it. Hehe.

Maka paspor biru dan paspor hijau saya bawa ke kantor imigrasi Australia. Student Visa yang terhubung dengan paspor dinas perlu dipindahkan ke paspor hijau. Alhamdulillah hanya proses 5 menit. Tanpa bayar, karena saya pemegang student visa. Hematlah 70 dolar.

 
Berikutnya saya ke kantor perwakilan Taiwan di Melbourne CBD untuk mengurus visa. Panitia mensyaratkan bahwa visa harus sudah ada sebelum April untuk secara resmi diterima sebagai peserta Summer School.  Eh sampai sana, saya diberitahu bahwa saya tidak perlu visa. Sebagai pemegang visa Australia dan warga negara Indonesia, saya bisa masuk Taiwan hanya dengan entry permit. Dan itu bisa didapatkan secara online, 1 bulan menjelang keberangkatan.

Maka saya infokan ke panitia semua kondisi ini. Syukurlah mereka amat paham, dan saya tidak perlu mengirimkan dokumen apapun kecuali tiket pp yang sudah harus dipegang. Tidak apa keluar modal dulu. Nanti sampai Taiwan akan langsung diganti 1000 US$.

Saya sudah excited dengan rencana ini. Apalagi temanya tentang Modern Asian Thought pas benar dengan perubahan tema sentral tesis saya. Saya mencoba menggandengkan antara praktik literasi BMI HK dengan konsep modernitas alternatif.

Dua bulan menjelang hari H, semua materi sudah mulai dikirimkan untuk mulai dicicil dibaca. Satu bulan kemudian saya apply entry permit secara online. 10 menit langsung approved. Langsung saya print Certificate of Authorization to Enter Taiwan. Lengkaplah semua dokumen yang diperlukan untuk masuk ke Taiwan. Paspor yang masih valid sampai 6 bulan ke depan, visa Australia, tiket pp, dan entry permit.

Hari ini hari kedua. Kuliah akan dimulai jam 1 siang nanti. Waktunya baca materi. Hari ini kelas akan membaca cerpen berjudul Filiality Park. Saya sudah sempat nyicil baca, walaupun harus diulang lagi. Cerita yang menarik, dengan latar belakang sejarah Taiwan saat menjadi koloni Jepang.

Sastra di kajian budaya menjadi semakin berkilau dan relevan dengan kondisi dunia di saat ini. Saya tidak sabar menantikan diskusi di kelas nanti.

Sudah sahur, shubuh, tilawah ODOJ, skype dengan Adzra, Ganta, dan ayahnya yang juga baru usai sahur di Melbourne. Di layar laptop, mereka lengkap dengan baju hangat penghalau dinginnya Melby. Sementara saya sedang gobyos di Student lounge, saat semua peserta masih tidur.

Hal-hal menyenangkan dan menyejukkan sudah memulai pagi ini. Waktunya baca materi.

Wednesday, June 11, 2014

MENANDAI BERKAH HARI INI

Hari ini hari spesial buat saya. Pagi ini, pukul 9:30 saya ada jadwal mammogram dan USG di Pauline Gandel Women's Imaging Centre, Royal Women's Hospital. Ini rumah sakit yang menangani 2 kali operasi payudara kiri saya. Juga tempat saya menjalani kemoterapi 1-3. Hitung-hitung memang sudah setahun sejak lumpectomy, operasi pengangkatan benjolan, pada tanggal 19 Juni 2013, yang kemudian diikuti dengan mastectomy, pengangkatan payudara kiri, dua minggu setelahnya.

Sesuai prosedur, pemeriksaan dilakukan setahun setelah operasi .Pemeriksaan mammogram dilakukan dengan cara memasang alat yang menekan bagian payudara dari sisi atas bawah. Pakaian di bagian atas perlu dilepas semua. Itulah sebabnya disarankan mengenakan celana panjang atau rok. Kebayang nggak sih kalau cuma pakai atasan atau baju terusan, hehe. Tapi buat hijaber kayak saya sih tidak jadi masalah. Toh jilbab juga tetap bisa dikenakan. Hanya saja buat radiographernya memang agak susah menangani klien yang kecil dan 'tipis' seperti saya, hehe. Berkali-kali dia minta maaf karena kuatir saya merasa tidak nyaman. Saya sih relaks saja. Untungnya juga para stafnya perempuan, sehingga mengurangi perasaan risih.

Saya pikir yang akan dicek kembali adalah lokasi sekitar payudara kiri yang sudah diangkat. Di ruang mammogram saya baru tahu bahwa ternyata yang dicek adalah payudara kanan. Radiographernya, yang berwajah India, bahkan terpaksa mengulang pemeriksaan. Entah mungkin karena hasilnya kurang meyakinkan.

Diperiksa di bagian payudara yang lain membuat saya sempat deg-degan juga. Walapun saya tidak punya keluhan sama sekali selama ini. Saya tepiskan jauh-jauh perasaan negatif. Sambil menunggu panggilan untuk USG, saya buka kembali HP saya. Meneruskan jatah tilawah hari ini di grup One Day Half Juz (ODHJ) yang saya ikuti. Sekalian biar hati lebih tenang dan ikhlas menghadapi segala kemungkinan.

Giliran USG, staf lain yang cantik dan ramah ganti menangani saya. Dia minta maaf karena saya harus menunggu beberapa waktu. Sebelumnya saya sempat melihat seorang pasien masuk dan keluar lagi dari ruang USG yang sama. Raunggannya yang mengiris telinga membuat saya iba. Apa gerangan yang dia alami?

Saya sempat tanya kenapa dengan pasien sebelumnya. "Iya, kasihan dia kesakitan di daerah perut. Belum ketemu penyebabnya. Yah begini memang di RS ini, perlu empati menangani berbagai macam kondisi," jawabnya.

Sambil menjalani pemeriksaan USG, saya ngobrol dengan dia tentang banyak hal. Tentang perasaan nyaman saya ditangani di rumah sakit ini. Semua staf ramah dan nampak sekali bekerja dengan tulus.

Sempat saya tanyakan juga mengapa payudara kiri tidak diperiksa. Jawabnya, "kan tidak ada breast tissue lagi di sebelah kiri."

"Mudah-mudahan tidak ada masalah dengan yang kanan ya. Saya tidak merasa ada keluhan apa-apa kok," ujar saya.
"Ya gak apa, saya cuma ingin melakukan pemeriksaan menyeluruh. Prosedurnya begitu," jawabnya.
"Ya betul, setelah apa yang saya alami satu tahun ini, sangat penting melakukan deteksi dini," jawab saya dengan yakin.

Akhirnya terdengar pernyataan yang saya tunggu-tunggu. "Bagus Tiwi, tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan."

Alhamdulillah, ya Allah. Lebih dari setahun saya menjalani serangkaian pemeriksaan dan perawatan kanker payudara. Terapi dengan suntikan Herceptinpun masih terus berjalan sampai Oktober mendatang. Setelah kemoterapi usai pertengahan Desember lalu, saya memang praktis sudah balik aktivitas studi seperti biasa. Namun harus saya akui bahwa pernyataan barusan memberikan semangat luar biasa. Hari-hari ke depan terbayang semakin semarak saja.

Tentu saja saya belum bisa mengatakan bahwa saya adalah cancer survivor, alias bebas dari kanker, sebelum lima tahun. Namun insya Allah semua akan berjalan dengan lebih baik.

Kesehatan jiwa raga adalah rizki yang amat mahal harganya. Dan Allah telah memberikan berkahNya hari ini. Alhamdulillah. Semoga karunia ini semakin meningkatkan imanku padaMu ya Allah.


11 Juni 2014
John Medley Bld
The University of Melbourne

Monday, June 02, 2014

ENGLISH UNESA CONNECTION IN MELBOURNE

Tidak ada rasa yang lebih menggembirakan bagi seorang guru daripada mendengar kesuksesan muridnya. Apalagi bila kemudian guru dan murid bertemu di sebuah tempat nun jauh dari tanah air. Kira-kira begitu perasaan saya ketika menerima pesan inbox di FB.

"Assalamualaikum. Bu Tiwi, sekarang masih di Melbourne? Saya sedang mengikuti pertukaran pemuda muslim di Melbourne. (Sobi)."

Shobikhan Ahmad, yang lebih dikenal jagat seantero Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Unesa sebagai Sobi, bagi saya adalah salah satu mahasiswa yang super. Super aktif, santun, se-super kegiatan yang dia promotori sendiri, Super Teacher. Sobi sebenarnya mahasiswa prodi Pendidikan Bahasa Inggris. Saya lupa angkatan berapa dia. Kalau tidak salah angkatan 2006. Jadi saya sebenarnya hampir tidak pernah melihat dia di kelas saya. Kecuali saya saya mengajar Academic Writing di kelas Pendidikan. 

Dari mbakyu Prof. Lies Amin saya tahu bahwa setelah lulus tahun 2010,  dia kembali pulang ke Yogya. Membesarkan sekolah bapaknya di Bantul. Dan saya juga baru tahu kalau tahun kemarin Sobi berkunjung ke negara Tirai Bambu untuk program pertukaran pemuda juga. Wow, impressive!

Sobi sampai di Melbourne hari Senin yang lalu. Dan bersama rombongan dia akan berada di Melbourne selama seminggu. Nampaknya acaranya padat sekali. Jadi saya cuma bisa mengikuti update dia via ngobrol per telpon dan whatsapp.

"Mam, kami lagi inter-faith dialogue dengan komunitas Kristen."
"Mam, saya lagi makan di Sydney Road."
 "Mam, kami mau berkunjung ke Islamic Museum of Victoria."
 "Mam, nanti mau Jum'atan di Jeffcott Street."

Dan saya cuma bisa bilang,
 "walah, Bi, itu dekat rumah saya."
 "Fotomu di kampus Unimelb itu pas di bawah kantor saya."
 "Makan di resto ini saja."
 "Kalau belanja souvenir di Vicmart di tokonya mas X saja."

Weleh, susah banget mau ketemu. Padahal jarak fisik mungkin tidak sampai 5 kilometer.

Tapi akhirnya kami bisa bertemu juga. Sabtu sore, 31 Mei 2014, kebetulan komunitas Pengajian Brunswick mengadakan pengajian bulanan. Apalagi lokasinya di Warr Park, yang cuma sepelemparan batu dari  unit apartemen saya di De Carle Street, Brunswick. Sekalian saja saya undang Sobi untuk bergabung. Niatnya sih ngompori supaya dia ketemu komunitas mahasiswa Indonesia di Melbourne. Biar segera cari beasiswa untuk bisa sekolah ke luar negeri, hehe.

Saya temui di tram stop 26 route 19 di Sydney Road, stop yang paling dekat dengan lokasi, Sobi muncul dengan wajahnya yang jenaka. Lengkap dengan beanie (topi musim dingin) warna putih model binatang. Pasti hasil hunting di Vicmart (bisa jadi di toko tempat mas Prapto kerja dulu, hehe). Wajahnya lebih bersih. Ya lah, gak kumus-kumus lagi seperti jaman mahasiswa dulu. Segera kami bergegas ke Warr Park yang cuma 2 menit dari Sydney Road. "Sekalian shalat maghrib dulu Bi, kita sudah mau mulai berjamaah."

Bukan Sobi kalau tidak dikenal orang lain. Baru juga seminggu di sini, dia sudah kenal beberapa orang. Singgih, mahasiswa asal Bantul yang dia kenal saat shalat di musholla kampus Unimelb. Bahkan Sobi juga ketemu dengan seniornya di PCMI (Purna Caraka Muda Indonesia). Ini organisasi mantan peserta pertukaran pemuda antar negara (PPAN). Saat saya ngobrol lesehan dengan Sobi selama acara, Pipin, mahasiswi S2 asal Yogya yang duduk di sebelah saya, bertanya,

"sik, sik, iki Sobi ya?"

Saya yang gantian melongo. Ternyata meskipun mereka belum pernah ketemu, nama Sobi cukup tenar di group PCMI. Pastinya berkat kiprahnya di Super Teacher.

 "Sobi iki fenomenal mbak. Wee...tibake muride mbak Tiwik to." (Bolehlah numpang beken).

Kami ngobrol amat gayeng. Tentang program PPAN yang diikuti Sobi di Cina. Dia sempat tunjukkan videonya ketika demo pencak silat. Masih lengkap dengan baju batiknya. "Spontan itu Mam. Gak ada persiapan sama sekali." Ngobrol tentang acara-acaranya selama di Melbourne. Dan yang paling menarik justru kiprahnya di bidang pendidikan. Tentang proyek sekolahnya di hutan.. Tentang SMP Islam di Bantul di mana dia jadi kepala sekolahnya. Saya perhatikan antusiasme Sobi ketika bercerita tentang sekolahnya ini. Jiwa Sobi memang di sini. Nampak sekali dia ingin menerapkan metode-metode visioner. Tak heran sekolahnya terpilih menjadi sekolah berprestasi.

"Ayo Bi, ndang sekolah lagi."
"Iya Mam, sebenarnya istri saya malah yang pingin S3 di Jepang. Saya minta waktu 1 tahun lagi untuk membesarkan sekolah ini. Kalau sudah siap ditinggal, baru saya dan istri akan berencana lanjut studi."

Siapa tidak bangga punya murid seperti ini. Bukan hanya sekedar pinter. Saat baru lulus dia sempat membantu jurusan mengajar di program Intensive Course untuk mahasiswa semester 1. Tapi jiwanya yang selalu ingin memberdayakan komunitas melalui pendidikan itu yang patut diapresiasi dan didorong terus. Maka tak salah saya sangoni dia buku Berbagi untuk Negeri tulisan Prof. Luthfiyah Nurlaela. Kisah-kisah SM3-T Unesa pasti akan semakin menginspirasi Sobi. Tak lupa kumcer Ndoro, Saya Ingin Bicara juga berpindah tangan. Juga beberapa buku yang mudah-mudahan bisa menambah wawasan siswa-siswinya di Bantul.




Saat saya menuliskan kesan saya ini, Sobi sudah berada di Sydney. Saya lihat di status FBnya, Sobi menuliskan tentang mimpinya sepuluh tahun yang lalu yang akan menjadi kenyataan. Mejeng di Sydney Opera House. Setelah itu dia dan rombongan juga akan ke Canberra, sebelum kemudian kembali ke tanah air. Hmm, program pertukaran seperti ini kadang malah memberi kesempatan bagi pesertanya untuk melihat lebih banyak tempat. Saya yang sudah 3 tahun di sini belum pernah ke Canberra. Baru 2 bulan yang lalu bisa ke Sydney. Dan bahkan banyak tempat wisata di negara bagian Victoria yang belum sempat ditengok.

Ketika guru dan murid bertemu seperti ini, rasa gembira dan bangga memang tak seharusnya disimpan saja. Maka ketika saya mengunggah foto saya dan Sobi di FB, tak urung beberapa alumni English Unesa juga ikut nimbrung kasih jempol. Memberikan komentar. Atau bahkan meng-inbox saya. Nampaknya pancingan saya cukup berhasil membangunkan beberapa orang untuk kirim kabar.

Ada Agung Putu Iskandar, alumni Sastra Inggris 2002, salah satu mahasiswa kesayangan saya yang menyempatkan diri untuk ngobrol sebentar di FB. Sambil packing di salah satu sudut di Brazil, siap-siap mau pulang ke tanah air. Orangnya belum nongol, tapi reportasenya sudah muncul terus di Jawa Pos.

"Dicari mbah Kung tuh."
 "Siap, meluncur nanti."

Agung memang sering disebut bapak saya. Saat awal bertugas di Jawa Pos, Agung sempat meliput kegiatan Karang Werdha Ngagel Mulyo, di mana bapak saya menjadi aktivis (hmm.. like father like daughter).

Ada Agung Waskitho, alumni Sastra Inggris 2003, yang mengaku bukan mahasiswa beken (tapi toh saya tetap saja bisa mengingatnya). Dia berjanji untuk menengok saya bila ada jadwal landing di Melbourne. Hmm, jadi flight attendant Garuda Indonesia, dia lebih banyak mampir ke Perth. Dia minta didoakan bisa lolos seleksi jadi Arabic announcer untuk rute ke Jeddah.

Ada lagi yang sering menyapa saya di FB. Teguh Utomo, alumni Sastra Inggris 2007. Katanya sih penggemar tulisan saya di blog.
 "Ma'am," dia menyapa.
 "Apa le," jawab saya.
 "Just saying hello Ma'am. Kangen sih haha."


John Medley Bld
Room 620
2 Juni 2014. 11.33 am