Thursday, April 23, 2015

The Great Good Place: Antara Rawon Paidi, Perpustakaan Koper BMI-HK, dan Starbucks

'Rawon Paidi.' Bila seorang pengamat budaya ingin mengadakan studi etnografi virtual di milis Keluarga Unesa, mungkin nama ini adalah tempat nongkrong yang paling banyak disebut para miliser. Setiap kali ada gagasan bagus dilempar ke milis, maka nama rawon Paidi hampir selalu disebut. Seolah-olah tempat ini akan menjadi saksi gagasan mentah menjadi sebuah proposal yang siap dijalankan.

Bagi yang belum tahu apa itu rawon Paidi, nama ini merujuk ke sebuah warung pojok di dekat pintu gerbang kampus Ketintang Universitas Negeri Surabaya. Lokasinya di Ketintang PTT, tapi saya lupa nama gangnya. Warung ini sangat legendaris bagi mahasiswa, mulai sejak jaman IKIP Surabaya sampai sekarang menjadi Unesa. 

Tak heran teman-teman alumni suka janjian ketemuan di sana bila mau kangen-kangenan. Dua orang sohib di milis, Mas Eko dan mas Habe, bisa saja 'memilih' nama ini demi sebuah nostalgia. Namun sebenarnya, warung ini bisa jadi adalah bagian dari apa yang disebut Ray Oldenburg sebagai the great good place


Front Cover

Dalam bukunya berjudul The Great Good Place (1999), Oldenburg menyebut tempat-tempat publik seperti cafe, warung kopi, toko buku, bar, salon, dan tempat-tempat lain sebagai Third Place, 'home away from home.' Di tempat-tempat inilah sekelompok orang bertemu untuk berbagai tujuan. Mulai dari sekedar kangen-kangenan sampai obrolan tentang sebuah ide besar. 

Lalu apa bedanya rapat di kantor dengan ngobrol tentang hal yang sama di warung kopi? Kalimat dalam bahasa Inggris, 'let's discuss this over a cup of coffee' barangkali bisa mewakilinya.

Salah satu karakter dari Third Place, atau Tempat Ketiga ini adalah suasananya yang 'santai.' Banyak orang meyakini bahwa obrolan serius bila dilakukan dalam situasi yang santai justru akan memberikan hasil yang lebih bernas. Barangkali karena dalam hal mood, mereka yang hadir sudah membawa mood yang menyenangkan. Mau ngopi je, masak sambil mbedodok atine. Beda kan bila mau hadir rapat? Sepertinya serius banget.

Saya dan beberapa PhD mommies kadang-kadang hang out juga ke cafe.Setelah antar anak sekolah, kami bertemu di cafe di sekitar Sydney Road di Brunswick. Tempatnya berpindah-pindah. Dan kami sebenarnya cuma minum kopi atau hot chocolate, plus muffin atau banana bread yang dicuwil bareng-bareng. Nongkrong kurang lebih 1 jam sambil ngobrol tentang progress masing-masing, atau masalah akademik yang sama-sama dialami. Nama grup kami, Srikandi PhD, memang menggambarkan tantangan yang harus kami hadapi sebagai ibu dan mahasiswa. Multitasking tiap hari. Nah, ngobrol santai lintas bidang ilmu membuat kami bisa berbagi solusi. Biasanya, begitu buyar dan balik ke pekerjaan masing-masing, pikiran jadi lebih jernih. Dapat semangat baru. I'm not alone

Saya menyebut konsep Third Place untuk menjelaskan salah satu fungsi perpustakaan koper di kalangan buruh migran di Hong Kong. It's a home away from home. Di tengah tuntutan pekerjaan yang menguras tenaga dan perasaan, perpustakaan koper yang digelar tiap minggu secaran lesehan di pelataran Victoria Park di Hong Kong menjadi 'tempat teduh.' 

Bagi sebagian buruh migran, perpustakaan koper menjadi katalisator untuk rasa haus ilmu pengetahuan. Dan pada dasarnya, membaca adalah kebutuhan siapa saja, tak ada kaitannya dengan kelas sosial, usia, dan gender. Tempat ini juga menjadi hub atau penghubung, yang mempertemukan para pegiat literasi di kalangan buruh migran. Dengan kata lain, perpustakaan koper menawarkan sebuah fungsi demokratis tanpa sekat.

                                                    

Nah, akan menarik untuk disimak apakah perpustakaan di kota Surabaya atau taman baca komunitas sudah berfungsi sebagai Tempat Ketiga. 

Mas Habe, salah seorang miliser bilang bahwa budaya nongkrong di warung kopi ini 'dicuri' oleh Starbucks. Menurutnya, meski kopi di Starbucks harganya mahal dan kopinya gak enak, ternyata pelanggannya banyak. Tapi saya kok tidak terlalu yakin Starbucks 'mencuri' kesempatan di tengah-tengah budaya warung kopi di Indonesia. 

Fenomena coffee house adalah budaya global, sesuai dengan konteks budaya masing-masing negara. Tempat publik seperti ini (dan biasanya untuk laki-laki) berkembang sejalan dengan dinamika ranah publik untuk diskusi dan 'debat' masalah sosial dan politik. Menurut Habermas, filsuf dari Jerman, coffee house adalah simbol demokrasi di ranah publik, yang bisa jadi menjadi 'perlawanan' terhadap penguasa. 

Saya memang tidak suka minum kopi. Tapi saya lihat keberadaan Starbucks di Melbourne tidak mampu mengalahkan pamor cafe yang bertebaran di seluruh penjuru kota dan daerah pinggiran. Ini bukan karena sama-sama negara Barat, tapi barangkali lebih karena Melbourne terkenal dengan budaya kopinya. Di pagi hari ketika orang-orang berangkat kerja atau ke kampus, cafe dipastikan salah satu tempat usaha yang sudah buka. Ini bisa dilihat dari seringnya saya temui orang menunggu tram atau train sambil nyruput kopi atau hot chocolate. Kemungkinan besar itu take-away coffee

Budaya masing-masing negara punya peran penting juga dalam menentukan keberhasilan sebuah warung kopi. Di Australia, orang butuh kopi secara take away, buat sangu berangkat kerja. Itu sebabnya cafe buka sejak pagi. Tidak banyak orang nongkrong di cafe pagi-pagi. Sama halnya dengan Starbucks yang dibentuk seperti itu di negara asalnya di Amrik. Take away service menentukan jalan bisnis Starbucks. 

Lain lagi di sore hari, ketika para profesional muda pulang kerja. Dine-in service menjadi pilihan. Bukan karena butuh minum kopinya, tapi lebih pada fungsi Third Place. A place between home and work

Di Brunswick, tempat tinggal saya, cafe juga menjadi Third Place buat emak-emak yang butuh ngopi (meski pesannya hot chocolate). Tujuannya adalah ketemuan dengan teman sambil momong anak di pagi setengah siang. Tak heran ada cafe di dekat rumah, Crafternoon cafe, yang ramah ibu-anak, dengan menyediakan menu peralatan menggambar dan prakarya. Emak-emak ngobrol sambil menemani para krucil mewarnai, 

Mengapa Starbucks berhasil menancapkan bisnisnya di banyak negara Asia. Salah satu kuncinya adalah kemampuan mereka beradaptasi dengan selera lokal. Di Cina misalnya, Starbucks cukup sukses, padahal Cina kental dengan budaya minum tehnya. Banyak yang pesimis Starbucks bisa sukses di sana. Toh malah meraup keuntungan berlipat-lipat. Apa yang mereka lakukan? Ternyata Starbucks menawarkan minuman coklat rasa green tea, dan mengurangi rasa kopi model Barat (jangan tanya, saya bukan peminum kopi). Selain itu, di Cina, Starbucks juga memulai bisnisnya di siang/sore hari, karena orang Cina dinilai tidak memiliki budaya take-away tea/coffee. Dengan demikian yang lebih didorong adalah dine-in service. Sekali lagi, Third Place menjadi jawabannya. 

Bagaimana dengan di Indonesia? Saya pikir warung kopi tidak akan kalah bersaing dengan Starbucks. Selain pangsa pasarnya beda, nuansanya tidak bisa dibandingkan. Ada kekhasan warung kopi di pinggir jalan yang tidak akan bisa ditemui di Starbucks. Okelah, para lelaki butuh ngopi karena mau cari teman ngobrol tentang bola atau harga BBM yang merangkak naik. Tapi sensasi sapaan bu Atun dan suara gelas beradu dengan sendok, saat bu Atun mengaduk campuran kopi dan gula dalam air panas, tidak akan mungkin ditemukan di cafe-cafe model Starbucks. 

Kecuali bu Atun dapat kredit UKM dari cak Samsul untuk beli coffee machine. Mbuh apa ini bisa membuat cak Slamet masih mau mampir ngopi?

Jadi, apa tempat nongkrong favorit Anda?