Wednesday, July 15, 2015

Kacang ora Ninggal Lanjaran

Sekitar awal bulan Juni yang lalu, saat Ganta dan Adzra baru saja kembali ke tanah air, tiba-tiba saja saya dikagetkan dengan perubahan minat Ganta untuk pendafaran kuliah. Ganta dan Adzra memang pulang duluan ke Surabaya bersama mbah Kungnya. Saya perlu tinggal beberapa bulan lebih lama untuk merampungkan tesis.

Ganta perlu mempersiapkan diri untuk proses pendaftaran kuliah. Meski dia sudah menyelesaikan SMA nya di Brunswick Secondary College (BSC) akhir tahun 2014 yang lalu. Masa menunggu kepulangan dia gunakan untuk bekerja sampingan. Sedangkan Adzra juga melanjutkan sekolah di jenjang kelas 2 di SD.

Ini sekelumit percakapan kami saat itu.

Ganta: Bu, aku tak ambil Antropologi ya.
Ibu     : Oh ya, bagus itu. Tapi kenapa tiba-tiba berubah?
Ganta: Nggak, aku lihat ini kayaknya jurusan menarik. Tapi kenapa tidak banyak yang minat ya.
            Menurutku ini gabungan ilmu ibu dan ayah. Sastra dan psikologi. Jadi aku bisa dapat
            dua-duanya. Tapi aku gak ikut-ikutan kayak ibu dan ayah.
Ibu    : Sudah lihat struktur kurikulumnya? Biar bisa tahu mata kuliahnya seperti apa.

Jawaban saya yang sedikit terkesan datar-datar saja bukan berarti saya kurang sreg. Justru sebaliknya. Antropologi adalah separuh dunia saya. Saya ingin meyakinkan bahwa Ganta memilih dengan alasan-alasan yang tepat. Saya sendiri cukup paham seluk-beluk kajian dan metode di antropologi, meski bidang saya adalah sastra. Di bidang Cultural Studies yang tengah saya geluti di studi PhD saya sekarang ini, metode saya menggabungkan antara analisis tekstual (yang kental di sastra) dengan etnografi (metode utama di antropologi). Bahkan boleh dikata, penelitian saya tentang praktik literasi buruh migran Hong Kong kental dengan nafas antropologi.

Sambil ngobrol via Skype, saya browse struktur kurikulum Antropologi Unair. Saya tunjukkan beberapa mata kuliah yang beririsan dengan penelitian saya saat ini, misalnya Cyberculture, Gender, Media, Stratifikasi Sosial, Linguistik, Komunikasi, dan tentunya metode etnografi itu sendiri. Mendengar paparan ibunya, pertanyaan Ganta adalah: "Asyik yo. Kenapa ibu gak pernah cerita tentang antropologi?"

Saya bingung juga mengapa tidak pernah menyinggung kata antropologi ya. Selama ini minat Ganta bergerak dari Musik ke Sastra Inggris dan Komunikasi. Bahkan alasan utama Ganta mau diajak tinggal dan sekolah di Melbourne 3.5 tahun yang lalu adalah karena ada pelajaran Musik di BSC. Betul juga, minat anak yang diwadahi dan disalurkan dengan baik akan membuahkan kepercayaan diri yang lebih besar. Di BSC, Ganta merasa amat dihargai oleh guru-gurunya. Bila jaman SMP dulu, Ganta main band dan ikut konser sana-sini karena keinginan sendiri, di BSC prosesnya bermusik menjadi bagian dari dunia sekolahnya. Ada saja moment bagi dia untuk tampil di depan publik di lingkungan sekolah. Salah satu penampilannya saya tulis di sini.

Pas parent-teacher meeting, yakni saat ambil school report, saya ingat betul komentar gurunya, Ms. Susan Kurick. "Ganta is a lovely young man. He just can't get enough. He always asks about things that he doesn't know. He is really into music." Perkembangan akademiknya di mapel Music itulah yang kemudian membuahkan perhargaan saat school graduation untuk siswa year 12 pada bulan Oktober 2014 yang lalu.

Achievement Award dan Hadiah buku dari sekolah


Toh minat bermusik yang sudah terwadahi dengan baik ini tidak membuat dia menyimpan mimpi kuliah di jurusan Musik. Suatu saat di Year 11, tiba-tiba saja dia minta pertimbangan. "Bu, aku tak kuliah sastra Inggris ya. Asyik soalnya bisa analisis puisi." (Dan ternyata diam-diam sudah puluhan lirik lagu dia tulis dalam buku catatannya). Kilatan minat yang baru ini cukup membuat saya terharu juga. Nampaknya hasil pembelajaran di kelas English, di mana siswa dipaparkan pada karya sastra dari berbagai genre membuat dia mulai menyukai bidang sastra. Bagi saya sendiri yang berkecimpung di sastra Inggris, mengetahui anak punya minat yang sama tanpa saya pernah mendorong atau menyuruhnya, sudah memberikan kelegaan tersendiri. Dia memilih karena suka.

Tak lama kemudian, pikirannya mulai menerawang ke jurusan Komunikasi. Kebetulan sejak year 11, Ganta memang mengambil mapel Media. Di kelas ini, Ganta belajar Semiotics, bagaimana membaca tanda-tanda, menganalisis film dengan elemen-elemen tertentu, dan memproduksi film pendek sebagai tugas akhir di Year 12. Sejak Ganta masih di Melbourne, kami menghabiskan banyak waktu mencari info tentang jurusan Komunikasi. Sampai saat anak-anak pulang bersama mbah Kungnya akhir Mei lalu, pilihan sudah ditetapkan antara Komunikasi dan Sastra Inggris.

Maka, ketika sudah tiba masanya Ganta melakukan pendaftaran mahasiswa baru jalur mandiri di Unair, pilihannya yang bergeser ke Antropologi adalah sebuah kejutan yang menyenangkan. Sesuatu yang tak pernah terlintas di benak saya. Meski sejujurnya, pilihan ini serasa membangunkan ingatan ketika saya menaruh Antropologi di pilihan kedua Sipenmaru 30 tahun yang lalu (Wow, betapa waktu membentang tanpa menghapus mimpi terpendam).

Selasa malam, 14 Juli 2015, saya deg-degan menunggu hasil tes yang berlangsung dua hari sebelumnya. Waktu berjarak 3 jam antara Melbourne dan Surabaya menjadi semakin lama karena Ganta mengabarkan bahwa pengumumannya diundur dari jam 7 malam ke 9 malam. Dari lantai 6 room 620, kantor saya di John Medley Building, saya memantau perkembangan di grup whataspp keluarga kami. Sejak Sabtu malam lalu, saya praktis tinggal di kampus. Buka, sahur, ngetik, shalat wajib, tarawih, tadarus, tidur. Saya hanya pulang untuk mandi dan ganti baju, dan balik lagi ke kampus. Dalam doa saya mengharapkan yang terbaik di mata Allah. Saya juga mencoba membesarkan hati Ganta, agar siap dengan hasil apapun. Dengan model pendidikan yang berbeda antara Australia dan Indonesia, mengikuti tes masuk perguruan tinggi dengan format Indonesia adalah kejutan budaya yang lumayan buat Ganta. Bagi kami orang-tuannya, yang penting adalah bahwa anak sudah berupaya yang terbaik. He's done his best. Allah will take care of the rest.

Menjelang pukul 11 malam waktu Melbourne, Ganta kirim pesan lagi di whatsapp. "Bu, telpon."
Saya coba telpon ke HP-nya. Tidak nyambung. Saya coba telpon nomor rumah. Tidak nyambung juga. Telpon ayahnya. Gak diangkat. Saya cek lagi pesan di whatsapp group, dan melihat image ini:

Pengumuman online jalur mandiri Unair

Alhamdulillah ya Allah. Saya coba telpon lagi, dan di sisi sana suara riang Ganta dan Adzra membuat saya sejenak melupakan udara dingin yang menusuk di luar gedung. "makasih ya Adzra, you prayed for mas," begitu ujar Ganta ke adiknya.

Anakku, selamat atas keberhasilan ini. Selamat memulai dunia barumu sebagai mahasiswa. Ilmu-ilmu yang ingin kamu rambah sebelumnya--musik, sastra, media dan komunikasi--akan kamu temukan irisannya di antropologi. Lebih dari itu, dunia antropologi akan membawamu ke berbagai lapisan masyarakat, dengan segala keunikannya.  Kamu akan melihat bahwa keberagaman tidak serta merta harus diartikan menjadi sebuah continuum antara baik-buruk, modern-tradisional, atau maju-terbelakang. Setiap masyarakat memiliki perjalanan unik dalam membentuk manusianya. Tugasmu adalah menjadi sosok yang tidak mudah memberikan penilaian tanpa dasar, namun tetap menjaga niat keberpihakan pada kebenaran.

Ilmu menanti untuk engkau reguk. Bacalah dan tulislah apa-apa yang kamu dapati di sekitarmu. Dan catatan itu tidak hanya sekedar menjadi 'field notes,' namun bisa menjadi hikmah dalam perjalanan hidupmu nanti.

Ayah dan ibu selalu berdoa untukmu. Semoga Allah meridhoi. Amiin. 

Room 620. John Medley Bld
Parkville campus
The University of Melbourne





Wednesday, July 01, 2015

Don't tell me how I miss everything in Surabaya!

Saya sebenarnya sudah nekad mau pulang lebih awal untuk berlebaran dengan keluarga dan menyelesaikan tesis dari rumah saja. Tinggal dikit, dan pingin berhemat. Maklum tidak ada lagi beasiswa buat hidup. Meski tuition masih tetap bebas sampai akhir semester di bulan November nanti. Bahkan aku sudah booking one-way ticket. Maunya sih, begitu supervisor okay, tiket akan langsung aku confirm.

Apa daya, Chris, supervisor membujuk saya (eh..memberi pertimbangan) untuk tetap tinggal saja di Melbourne. "It's only a month, Tiwi." Ayolah, kurang sak crit. Sabar ya, toh akhir Juli kamu pasti akan pulang juga buat conference di Unair. Kami yang akan belikan kamu tiket pulang nanti. Would that help? 

Jadi begitulah hari-hari saya saat ini. Setelah anak-anak pulang for good akhir Mei lalu, saya praktis sendirian mengejar waktu agar segera selesai. Alhamdulillah completion seminar saya lalui dengan amat memuaskan pada awal Juni lalu. Sekarang dalam proses pembenahan dan penyempurnaan tesis. Sejak pagi sampai malam, waktu saya habiskan di kantor, baca dan nulis di depan desktop. Penyeimbang hidup adalah sesekali nongol di rumah teman, cari makan gratis, curhat, ngaji, telpon atau skype dengan keluarga. 

Di bulan puasa ini, saya malah sudah menutup dapur saya. Cuma masak nasi saja, dan beli lauk dan sayur take-away di resto Indonesia. Yang menyenangkan, tiap hari Jumat-Minggu, selalu ada iftar di Surau Kita, masjid komunitas Indonesia. Pada akhir pekan, jamaahnya bisa melebihi 100 orang. Jadilah sejak menjelang Maghrib saya sudah berada di tengah para sahabat. Iftar bareng, shalat Maghrib, Isya, dan Tarawih bareng. Ceramah dari para ustadz keren yang didatangkan langsung dari Indonesia. Urusan sahur bisa diatasi dengan sisa makanan iftar yang sudah dipack dan dijual murah untuk infaq. 

Seberapa besarpun rasa kangen saya pada keluarga dan tanah air, saya harus bersabar untuk mendapatkan hasil yang selama ini diperjuangkan. Syukurlah, Ganta dan ayahnya justru menginginkan saya tetap focus ke tesis dan tidak mengkhawatirkan hal-hal yang remeh di rumah. Kalau Adzra sih, namanya juga anak kecil, selalu bilang 'I miss you, mommy.' Untungnya juga bila diajak ngobrol, apakah ingin ibunya segera pulang atau selesaikan tesis dulu, dia selalu jawab, 'I want you to finish your thesis, mommy.'


Bismillah, semoga Allah memberi kemudahan urusan dan kekuatan pada pada kita semua. Aamiin.