Wednesday, September 28, 2011

Hoping to always be on the right track

Apa yang paling membuat seorang mahasiswa deg-degan ketika akan bertemu dengan supervisor skripsi/tesis/disertasinya? Berbagai perasaan pastilah berkecamuk. Tapi barangkali yang paling mengemuka adalah pertanyaan, "is my idea good and interesting enough for a research?" Setidaknya, inilah perasaanku saat akan menemui supervisorku.

Selama tiga minggu ini, aku sudah tiga kali bertemu dengan supervisorku. Pada hari pertama aku tiba, aku datang ke kantornya sesuai janji kami di email sebelum aku berangkat. Aku datang untuk 'setor wajah' saja,  seraya memperkenalkan diri. Dr. Fran Martin namanya. Ya Allah, cantik sekali orang ini. Tinggi semampai, dan masih muda lagi. Aku katakan padanya bahwa baru hari ini aku sampai, dan belum punya bahan apa-apa untuk konsultasi, karena memang aku masih harus menyelesaikan semua administrasi akademik sebagai mahasiswa baru. Dengan ramah dia katakan, "I perfectly understand. Let's set up a meeting next week to have an informal chat about your project." Hmm, istilah yang dia gunakan, 'informal chat' membuatku merasa nyaman. I like this young lady already.

Pertemuan kali kedua terjadi satu minggu kemudian, setelah sebelumnya Dr. Martin mengatur pertemuan via email agar pembimbingku yang kedua juga bisa hadir. Menjelang pukul 2.30 siang sesuai perjanjian, aku menuju ke lantai 2, East Tower, John Medley Building, tempat Centre for Screen and Cultural Studies berpusat. Dua menara yang berdiri menggawangi gedung ini memang menjadi 'welcoming building' di The University of Melbourne. Ini mengingatkanku pada The Two Towers: Lord of the Rings episode kedua.
Di koridor aku bertemu dengan gadis yang amat 'chic' dengan dandanan a la cowboy girl. Kaget sekali ketika si gadis itu menyapaku, "Hi Tiwi, just give me a second, ok." Waduh, hampir pangling aku, si gadis ini ternyata Dr. Fran Martin, supervisor utamaku.

Kali ini aku berhadapan juga dengan co-supervisorku. Dr. Chris Healy, yang menyapaku dengan ucapan "Selamat datang." Aku tertawa riang dan kujawab, "terima kasih." Dr. Healy nampak lebih senior dan jelas lebih matang. Ini pertemuan 'resmi' kami untuk membahas research proposalku. Tak ingin memberikan kesan yang mengecewakan, aku berupaya siap dengan proposal yang sudah sempat aku update sehari sebelumnya. Hasil nongkrong di main library sampai malam di hari-hari pertamaku. First impression counts. Kusodorkan chapter outline yang juga sudah sempat aku susun. Niatnya ingin menunjukkan bahwa ideku sudah lumayan tertata. Mereka berdua sangat attentive dan appreciative. Berbagai pertanyaan yang mereka berikan memang memberi kesan bahwa topikku menarik untuk dieksplorasi, namun pada saat yang sama, membuka otakku bahwa ada masih banyak angle yang menarik dan patut dipertimbangkan untuk diteliti juga. Intinya, take your time, Tiwi. You have 12 months to finalize your proposal. All you need to do now is do a lot of reading on this area. Aku jadi malu sendiri, inginnya memberi kesan bahwa aku siap tempur, tapi ternyata aku masih diminta 'bertapa' dulu mengumpulkan tenaga dalam.    

Topikku, "Unveiling the lives of Indonesian migrant workers; Race, gender, and class in migrant literature" akan masuk dalam ranah Cultural Studies. Ini salah satu pendekatan teori sastra yang 10 tahun belakangan ini semakin merambah dunia kritik sastra, dan semakin mengaburkan batas geografis karya-karya sastra di dunia. Niatku antara lain juga hendak melihat sastra buruh migran sebagai bagian dari transnational literature. Saudara-saudara kita yang menjadi TKW di Hongkong dan Taiwan tidak bisa lagi dinina-bobokkan dengan gelar Pahlawan Devisa. Mereka punya suara. Tulisan mereka, novel, cerpen, dan puisi merekalah yang menjadi corong untuk membuat mereka lebih didengar.


Kedua supervisorku kebetulan juga adalah orang-orang dengan dasar pendidikan sastra yang kuat, dan kemudian menceburkan diri di ranah Cultural Studies, terutama Hongkong dan Taiwanese culture. Klop sudah. Gantilah giliranku untuk mengakui bahwa aku perlu masukan tentang referensi yang terkait dengan research methods in Cultural Studies, selain juga penelitian sebelumnya tentang labour migration dan transnational mobility. Seraya memintaku untuk lebih informal, "Just call me Fran," Dr. Martin berjanji akan segera meng-email-ku untuk reading suggestions dan menentukan jadwal konsultasi berikutnya. In two weeks time. Aku pamit, dan Dr. Healy melambai, "sampai jumpa nanti." Kujawab juga, "sampai nanti."

Tak sampai 1 jam, pesan baru masuk di inbox di email baruku sebagai mahasiswa di sini. Ya, semua korespondensi terkait dengan administrasi akademik harus dilakukan melalui university email system di university portal. Dr. Martin, atau Fran, mengirimkan file attachment berisi daftar bacaan yang panjaaang. Aku ternganga, surprised dengan response yang sangat cepat, dan kukira bahkan sudah disiapkan sebelumnya, bahwa aku perlu membaca semua referensi itu. Ucapan terima kasihku saat menjawab email Fran rasanya tak cukup, dan aku menebusnya dengan segera hunting buku-buku dan artikel yang direkomendasikan. Semuanya ada, kudownload semua yang berbentuk electronic files, dan kupenuhi backpack dan tas kainku dengan buku-buku. Overwhelmed, exhausted, not knowing where to start.

Dua minggu berlalu. Dan siang tadi adalah jadwal konsultasi kedua. Aku tidak yakin apakah aku bisa membawa ide-ide baru dari hasil pembacaanku selama 2 minggu ini. Sejujurnya, ada sedikit rasa bersalah, karena aku tidak setiap hari nongkrong di kampus untuk tekun membaca dan mulai menulis draf. Sebenarnya, sebagian hari-hariku terisi dengan dengan jalan-jalan, bertemu dengan teman-teman baru, dan juga dengan teman-teman lain yang sudah lebih dahulu hadir di Melbourne. Aku masih tetap membaca tiap hari, di sela-sela masak, chatting, skype, ikut pengajian, shopping, dan jepret sana-sini. Entahlah apakah aku agak lengah, tapi Lala, kolega di jurusan yang baru selesai MA nya di Aussie, mengatakan, 'come on bu, you just arrived.' It's ok to enjoy your time.'

Kuketuk pintu kantor Fran yang terbuka, dan senyumnya yang ramah menyapaku. "How is everything, Tiwi. Are you settling in ok?"  Oh, bukan pertanyaan tentang progress proposalku ternyata yang dia tanyakan. Setelah basa-basi, aku ulangi permintaan maafku yang kutulis di email pada hari sebelumnya, bahwa aku belum bisa menyodorkan tulisan dengan ide baru, tapi segudang pertanyaan yang ruwet memenuhi ruang otakku. "It's absolutely fine. In fact, that's what usually happens in the first 3 months of supervision. As I said, just read as much as you can," Fran menenangkan kekhawatiranku. Kusodorkan 1 lembar bolak-balik yang berisi isu-isu penting dan layak diteliti (menurutku) dalam sederetan karya sastra BMI. Di halaman berikutnya, sudah kutuliskan juga beberapa research questions, revisi proposal dari hasil pembacaan selama 2 minggu. Kuberondong Fran dengan berbagai pertanyaan tentang kemungkinan teori dan teknik analisis dan sudut pandang yang bisa aku pakai. "Am I on the right track, Fran?"  Dalam hati, aku ingin ketawa, mengingat sebagian mahasiswa sastra Inggris Unesa yang suka 'menggangguku' via email, YM, dan FB, dengan pertanyaan-pertanyaan mereka untuk persiapan seminar skripsi mereka. Dear students, just as Fran is helping me with her wonderful suggestions, I want to make myself useful too, by trying to help you shape up your topic. That's the least I can do for now. We're on the same boat now. Your confusion is mine, too.  

Langkahku ringan sekali setelah pertemuan siang ini. Fran meyakinkan aku bahwa aku sudah menunjukkan progress yang terarah. "It's been only three weeks, but you already have a clear idea,"begitu katanya. Semoga tetap terjaga arahnya sampai hari-hari mendatang, doaku.

Senja Melbourne semakin gelap, diiringi hujan dan petir yang sesekali menyambar. Aku tidak bisa lari ke Prayer room di Pelham street, dekat Unimelb square untuk shalat Maghrib. Di salah satu sudut study space yang sepi di Baillieu Library, kubentangkan sajadah pemberian Ella, sahabatku. Kusyukuri rahmat yang diberikan Allah padaku hari ini, sehingga urusanku lancar.

Hujan semakin deras ketika aku menunggu tram di seberang kampus. Di sebelahku, pemuda bule Aussie manggut-manggut mengikuti musik di IPhone-nya. Kuselipkan headphone di telingaku. Kupencet icon  IPod di IPhone-ku. Lantunan surah Ar-Rahman mengundang titik haru di pelupuk mataku. Kutundukkan kepalaku menahan rasa.... Dan tram route 19 pun akhirnya datang. Rasa basah di pipiku telah bercampur dengan tetesan hujan, saat aku berlari kecil, meloncat masuk ke pintu tram. Fa-biayyi alaa'i Rabbi kuma tukadzdzi ban. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Brunswick, 28 September 2011.





Saturday, September 17, 2011

Melbourne, a city with four seasons a day


Awal September, saat kedatanganku di Melbourne, sebenarnya telah memasuki musim semi. Itu teorinya. Dalam kenyataannya, cuaca masih terlalu dingin, terutama untuk tubuhku yang kecil dan tidak memiliki simpanan lemak. Temperatur tiap hari juga berubah-ubah, dan berkisar antara 8-180 C. Pada hari pertamaku, aku sudah hunting electric blanket di hypermart, dan akhirnya menemukan sisa stock di Coles, dengan harga diskon 7 dolar dari harga normal 20 dolar. Lumayan. Di K-Mart justru sudah tidak ada lagi, karena sudah dianggap out-of-season. Maka tidurku di malam pertamapun sukses dengan kehangatan mengalir ke seluruh tubuh, sampai aku harus bangun amat kesiangan saking pulasnya. Pada hari kedua, aku harus menambahkan jaket tebal, sweater, topi wool, dan sarung tangan sebagai senjata melawan udara dingin. Dan tidak sampai seminggu aku di sini, koleksi pakaian musim dinginku sudah bertambah lagi, ketika Savers, second-hand store, menggelar diskon 50%. Kuborong legging, long coat, turtleneck sweater, dan jacket. Di mana-mana, baik ke kampus, belanja, maupun cuma di apartemen saja, paling tidak tiga lapis pakaian kukenakan.

Aku pikir cuma aku yang aneh. Tidak heran kalau aku masih berperasaan seperti ini. Ketika pertama kali datang di San Marcos, Texas pada pertengahan Agustus 2002 yang lalu, sebenarnya masih musim panas di Amerika. Namun aku hampir selalu berpakaian minimal 2 lapis, sampai-sampai academic advisorku selalu mengingatku sebagai ‘the little lady from Sumatra who is wearing sweater in this hot sunny Texas day.’ Ya, advisorku, Dr. Paul Cohen, seorang Yahudi tulen yang hanya makan kosher meat (semacam daging halal) selalu mencampur-adukkan antara Indonesia dengan Sumatra. Mungkin dia pernah baca buku tentang Sumatra, yang mungkin berisi tipikal perempuan kecil berjilbab seperti aku.
Melbourne ternyata memang unik dari segi cuaca. Dalam satu hari, cuaca bisa berubah dari berangin, hangat, kemudian hujan, dan menjadi dingin. Tidak heran banyak yang mengatakan bahwa Melbourne adalah kota dengan 4 musim dalam 1 hari. Bahkan ada yang guyon mengatakan, “people say that there are four seasons in a day in Melbourne. They lie. There is autumn, winter, and spring, but without summer.”  

Kalau anda punya kesempatan datang ke Melbourne, tidak perlu khawatir salah kostum. Setiap orang akan cenderung keluar rumah dengan mengenakan beberapa lapis pakaian. Istilah ‘just in case’ menjadi alasan utama. Kalau cuaca menjadi lebih hangat, tinggal lepas pakaian/jaket  terluar, dan bila menjadi lebih dingin, kenakan lagi. Tidak heran kalau kita jalan-jalan, akan selalu ada orang yang hanya mengenakan kaos tipis dan celana pendek bersepeda, atau gadis manis dengan jaket dan syal melilit di lehernya pada saat yang sama. Just in case. Apalagi kekuatan tiap orang terhadap udara dinginpun berbeda-beda.  Aturan tidak tertulis ini kabarnya berlaku pula di musim panas. Hanya saja pakaian yang dikenakan lebih tipis, dari katun misalnya, bukan wool, tapi tetap berlapis-lapis. Just in case, sekali lagi.

Sore hari ini udara nampak sangat ramah. Aku memutuskan untuk ke luar rumah untuk mencari sayur dan daging halal di Sidney Road. Kebetulan daerah di mana aku tinggal merupakan daerah komunitas orang-orang Timur Tengah. Mau masak sendiri atau makan di restoran halal, semua ada di sini, tinggal jalan saja. Prakiraan cuaca di IPhone-ku menunjukkan temperatur 200C. Aku putuskan hanya mengenakan sandal saja. Sweater tentu saja tetap kukenakan. Just in case.

Ternyata ini betul-betul Sabtu yang menyenangkan. Warr Park di dekat kompleks apartemenku sudah ramai dipenuhi beberapa keluarga yang ‘berpiknik, ’ menggelar karpet plastik di taman. Anak-anak kecil bermain ayunan. Tiga orang remaja laki-laki bermain lempar-lemparan. Dua orang sejoli sedang duduk di bangku, bercengkerama hangat, sehangat sinar matahari yang menerpa wajah mereka. Kuayunkan langkahku menuju Sidney Road, hanya 5 menit dari apartemenku. Dan suasana jalan betul-betul seperti menertawakan dua lapis kaos panjang dan sweater yang kukenakan. Di depan cafĂ© di sebelah Madina Halal Meat, berjajar sepeda motor Harley Davidson, lengkap dengan pengendaranya yang rata-rata berbadan besar.  Aku melongok ke dalam salah satu playplace, yang ternyata juga penuh dengan anak-anak bermain trampoline dan beragam permainan lainnya.  Lalu lintas sedikit lebih padat daripada biasanya.  Mungkin karena banyak orang ingin menikmati matahari.

Aku jadi ingin berlama-lama menelusuri Sidney Road. Sayur dan daging sudah terbeli. Lalu ke mana lagi. Aku putuskan untuk menyeberang ke Salvos, salah satu second-hand store seperti Salvation Army, yang menjual barang-barang hasil donasi masyarakat. Bila teliti, seringkali kita dapat barang bagus di sini. Untuk kantong mahasiswa, toko-toko seperti Savers, Salvos, atau Goodwill kalau di Amerika, memang menjadi jujugan mencari barang bagus, berkualitas, dengan harga sangat miring. Bahkan kadang-kadang, barang yang dijual juga masih baru. Kali ini aku tidak melihat deretan baju. Aku langsung menuju ke ujung toko, di mana buku-buku dipajang rapi. Berbagai novel populer dan klasik terpampang di depanku. Aku seperti menemukan harta karun. Akhirnya kupilih 2 novel oleh Maxine Hong Kingston, China Men dan Woman Warrior, Tender is the Night karangan F.Scott Fitzgerald, dan DaVinci Code tulisan Dan Brown, semuanya total . Semuanya aku sudah kenal sebenarnya. Tapi entah, lapar mata kalau lihat buku, selalu ingin menambah koleksi. Masih banyak yang kuinginkan, tapi untuk sementara cukuplah.

Hari semakin malam. Cuaca di luar turun ke level 160C. Masih cukup hangat dibandingkan hari-hari sebelumnya yang bisa sampai 8-90C, ditambah dengan windchill yang membuat udara semakin menggigit. Pada malam-malam yang dingin itu, biasanya aku baru pulang dari kampus sekitar jam 8.30, berbalut pakaian 4 lapis dan pashmina yang kulilitkan di leher. Malam ini, malam minggu, kuhabiskan dengan ber-skype dengan anak-anakku di rumah. Cuaca Surabaya yang panas dan celoteh Adzra membantu menghangatkan kamarku yang cenderung selalu dingin meski di luar bisa lebih hangat.
Aku masih terus beradaptasi dengan cuaca yang berubah-ubah. Aku berharap hari-hari hangat segera datang, namun ingin jauh-jauh hari bersiap-siap untuk musim dingin yang bisa ekstrim. Winter baru akan tiba lagi pertengahan tahun depan. Masih cukup banyak waktu untuk menggemukkan badan dan menambah cadangan lemak. Mudah-mudahan salah satu target ini  bisa aku capai sebelum musim panas awal tahun depan berakhir. Just in case.

Brunswick, 17 September 2011

   

Sunday, September 11, 2011

TUNED IN ALREADY ON MY FIRST DAY


Rabu, 7 September 2011.
Kukeringkan air mataku yang masih berusaha menyeruak setelah 4 jam duduk di pesawat. Kuhadapi segala gangguan rasa dingin di hati dengan jaket, selimut, dan suguhan dari para flight attendant. Aku tidak boleh menyia-nyiakan kepercayaan suami dan keluarga.

07.30. Kujejakkan kakiku untuk pertama kalinya di benua Kangguru. Kusiapkan diriku sepenuhnya untuk menjemput impianku. Melbourne, one of the most livable cities in the world, adalah kota yang sangat multikultural, bahkan sejak aku keluar dari mulut pesawat. Harapanku untuk mendengar celotehan percakapan Bahasa Inggris ala Australia ditenggelamkan oleh cekikikan anak-anak muda dalam bahasa Mandarin. Dan percaya atau tidak, percakapan pertama yang jelas kutangkap di dekatku adalah obrolan dua orang ibu tentang anak-anaknya, dalam bahasa Indonesia, ketika kami sama-sama antri di toilet.

Kesan ini berlangsung praktis tiap jam dalam hari pertamaku di Melbourne. Sambutan Silvi yang hangat di apartemen kami di Brunswick, sekitar 30 menit dari airport, dan juga telpon pak Munir, teman di Jurusan bahasa Inggris yang sedang studi S3 di Monash, menghiasi 2 jam pertamaku.

Karena masih banyak waktu, menjelang tengah hari aku sudah berada di tram 19 menuju kampus. Ditemani Silvi yang menjadi guide sangat baik sekali, aku menyusuri jalan di sepanjang kampus. Aku lakukan banyak hal hari ini. Membuka rekening baru di Commonwealth bank di area kampus, menyetorkan berkas-berkas untuk pencairan beasiswa, memfinalkan enrolment process, bertemu supervisorku yang sangat cantik dan masih muda.Dia bahkan sudah menunjukkan beberapa office space yang aku bisa pakai untuk mulai kerja. Dan pukul 5 sore, aku sudah memegang student ID card. I'm officially a student of the University of Melbourne, the no. 1 University in Australia.

Di tengah-tengah urusan administrasi, bahkan kami masih sempat jalan-jalan ke Central Business District yang tidak jauh dari kampus, makan siang di Nelayan restaurant milik orang Indonesia. Alhasil, celotehan bahasa Indonesiapun tetap terdengar. Aku katakan pada Silvi, kalau kita tidak menoleh keluar pintu kaca, hampir pasti aku masih merasa sedang makan di pecel bu Kus di Pondok Indah Wiyung.

Pukul 10 malam akhirnya kami sampai di apartemen. What a long day, a long walk, a long tram ride I've made today. Tapi tidak ada yang kutunggu selain segera membuka skype untuk videocalling dengan anak-anak dan suami. Wajah ceria Adzra dan Ganta menyeruak, menghangatkan tubuhku yang masih terbalut jaket, ditambah selimut tebal, dan electric blanket di bawah sprei. Meski sudah masuk musim semi, tubuh yang tidak punya cadangan lemak ini masih bekerja keras untuk melawan dinginnya udara bersuhu 8 derejat Celcius. Mas Prapto nongol dengan kaus singletnya, berhaha-hihi sambil menyuruhku untuk makan banyak-banyak ketika melihatku terbungkus berlapis-lapis.

Pukul 12 malam, atau di Surabaya 3 jam lebih lambat, akhirnya mas Prapto ngobrak-ngobrak untuk segera tidur, ya buat Adzra dan aku. Bersama-sama kami bacakan doa sebelum tidur buat Adzra. Have a good night sleep, anakku sayang. 

Hari pertamaku sangat memuaskan. Semua urusan lancar, dan tetap bisa ngobrol banyak dengan anak-anak dan suami. Dua paruh hatiku yang kukira harus terpisah ternyata begitu mudah terpautkan oleh teknologi.Alhamdulillah ya Allah, semoga Engkau ridhoi niatku menuntut ilmu di sini, dan semoga kami selalu berada dalam lindunganMu. 

MELBOURNE...I'M COMING


Meski secara fisik aku tidak lagi bisa menatap wajah-wajah mereka kucintai, hubungan telpon tetap intensif kami lakukan selama perjalanan. Ketika check-in, setiap 10 menit mas Prapto menelpon, memastikan semua proses lancar. Meskipun jatah bagasiku 40 kg, dia takut ada excess baggage. Di rumah sebenarnya sudah kami timbang, dan tidak ada masalah.  "37 kg mas, alhamdulillah lancar, dan bagasi langsung bisa 'check through' ke Melbourne, sehingga tidak perlu kerepotan lagi ketika transit di Denpasar. Untunglah selalu kuturuti kecerewetan suamiku, sehingga aku bisa melenggang hanya dengan backpack dan tas kecil menggantung di bahu. Setelah proses check-in beres, barulah suami dan rombongan meninggalkan bandara.

Pesawat Garuda yang kutumpangi boarding tepat waktu. Penumpang di pesawat menuju Denpasar tidak terlalu padat. Dan aku duduk sendirian di aisle seat. Kubuang pandanganku ke arah jendela, dan lelehan air mata tak henti mengalir di sela-sela deru pesawat.

22.00. Aku sudah berada salah satu depot di bandara Internasional Ngurah Rai. Di depanku ada semangkok soto kudus dan teh hangat. Rasa menjadi tidak penting, karena lidahku terasa kelu, terlalu pahit untuk menelan makanan. Tapi demi kesehatan, aku tetap harus makan. Tidak boleh ada cerita masuk angin selama perjalanan nanti.

Check-in dan pemeriksaan imigrasi berjalan mulus, dan aku langsung meluncur ke waiting room. Pemandangan turis dari Australia yang berlibur mencari hangatnya mentari Bali bertebaran di setiap pojok. Hampir semuanya berpakaian sangat santai, ala pantai. Kulihat diriku yang terbalut kaos panjang, kemeja flanel Ganta yang tadi tiba-tiba saja kusaut dari lemari, dan jaket tebal milik mas Prapto. Maunya, aku ingin tetap merasa hangat 'ditemani' mereka. Beberapa kali masih kuhubungi mas Prapto, Ganta dan bapakku via sms dan telpon. 'Adzra sudah tidur lelap dengan mbah Uti,' 'iya bu, Ganta akan jaga shalat dan jaga adik,' dan 'hati-hati di jalan, salam dari adik-adikmu.' Ini antara lain isi sms dari mas, Ganta, dan bapakku yang bergantian kasih kabar.

23.55. Time to really say goodbye to Indonesia. Kumatikan handphone, kusandarkan tubuhku di seat nomor 27 J, dalam pesawat Airbus yang lapang dan nyaman. Seat di sebelahku tetap kosong. Seperti kosongnya separuh hatiku yang sementara harus pergi. Separuh hati lainnya melihat keluar jendela. "Melbourne .... I'm coming!

MENJELANG KEBERANGKATAN

Selasa, 6 September 2011

Pagi ini aku ingin menghabiskan waktuku dengan anak-anak. Namanya juga hari terakhir, maunya ingin membisikkan pesan-pesan, nasehat-nasehat buat anak-anak dan mbak-nya di rumah, sambil meneruskan packing yang rasanya gak selesai-selesai. Ganta menemaniku sambil tiduran di kasur. Ini membuatku merasa nyaman. Terlebih lagi ketika dia tanya-tanya tentang sekolah di sana, tentang kemungkinan punya teman-teman sebaya dari Indonesia buat dia, keuntungannya kalau jadi ikut sekolah. Kujawab sebaik-baiknya, tanpa nada memaksa. Biarlah dia yang nantinya menetapkan hati, tugasku dan suami adalah berusaha ikhtiar dengan mengurus semua dokumen buat keluarga ikut nantinya.

Di tengah-tengah nyantai, packing, dan ngobrol dengan Adzra, di luar rumah terdengar deru beberapa sepeda motor berhenti di depan rumah. Ternyata 20-an mahasiswa sastra Inggris 2008 nggruduk dolan ke rumah. Meski mereka sudah bilang akan mampir, aku kaget campur senang juga didatangi anak-anak sebanyak itu. Ruang tamu segera diubah jadi lesehan, kue-kue lebaran kukeluarkan semua, dan langsung diserbu anak-anak. Ini terasa jadi the second 'farewel gathering' buat aku, setelah copy darat dengan teman-teman Ganesis di rumah mbak Sirikit. Kami ngobrol seru, tentang persiapan skripsi buat mereka, cara dapat beasiswa, dan curhat-curhat urusan kampus yang tidak pernah ada habisnya. Setelah 'perkuliahan 2 sks,' merekapun pamit pulang, seraya mendoakan aku supaya lancar dalam perjalanan, dan juga minta tetap bisa 'ngganggu' aku di dunia maya nanti.

Menjelang sore, ibu bapakku datang, dan nantinya akan ikut mengantar aku ke airport. Sama seperti ketika aku berangkat ke Amerika tahun 2002 dulu, ibu bapakku selalu hadir memberi restu dan dukungan. Sebentar kemudian, mas Prapto pulang dari kantor. Hal pertama yang dia lakukan adalah melakukan 'inspeksi' packing-ku, dan seperti sudah kuduga, dia menjadi 'cerewet' dengan cara penempatan yang kurang ringkes dan ribet. Mungkin sudah hapal dengan kebiasaanku yang suka lupa dan ceroboh menaruh barang, maka travel documents dan barang-barang penting yang kuperlukan selama perjalanan segera dia pindahkan dari tas jinjingku yang agak besar ke tas kecil yang biasanya dia pakai kerja. Hah, aku tahu dia cinta tas Mont Blanc-nya, tapi aku diam saja sambil senyum-senyum. Tas jinjingku berpindah ke koper. Benar juga, jadi lebih ringkes. 2 koper yang akan masuk bagasi, dan backpack isi laptop serta tas kecil isi travel documents, dompet, dan obat-obatan ringan. Urusan packing memang dia jagonya, tapi selalu aku yang harus memulainya, dan tinggal dia yang membereskan bila kurang pas. Katanya, biar aku juga belajar packing yang nyaman. Ya wis nurut aja, sing penting enak, kataku.

Sekitar pukul 6 sore kami sudah sampai di bandara Juanda. Pesawatku terjadwal pukul 19.50 ke Denpasar, transit 2 jam, dan pukul 23.55 terbang ke Melbourne. Selama menunggu check-in,  kupeluk terus Adzra, kubisikkan lagi pesan-pesan buat Ganta. Rasanya menit-menit ini menjadi sangat berarti. Kulirik ibu dan bapakku yang jadi ikut sentimentil. Juga Zubaidah, si mbak dari Madura yang setia ikut kami selama 2 tahun. Ganta dan Adzra kelihatan tetap riang, tapi ibunya yang tidak bisa nahan air mata. Mas Prapto, seperti biasa, tetap pragmatis. Dia beli beberapa donat dan minuman, dan memberiku beberapa ratus ribu rupiah buat airport tax dan makan selama di Denpasar. 'Aja lali makan, ben gak masuk angin. Wis gak ono sing ngeroki, lho. Hehe, dia tahu aku psikosomatis sejak 2 hari terakhir. Pusing, perut mules, dan kerokan sudah kurasakan sejak hari Minggu. 

Akhirnya detik perpisahan datang juga. Kuciumi dan kupeluk anak-anakku, kubacakan doa-doa di telinga mereka agar mereka tetap dilindungi Allah. Aku bersujud di lutut ibu dan bapakku, berharap doa restu dari mereka berdua, dan menitipkan anak-anak untuk dipantau. Aku rangkul pembantuku, yang dengan berkaca-kaca berpesan, "jaga kesehatan bu." Akhirnya, berlama-lama kusandarkan kepalaku di pelukan suamiku. Aku tidak bisa bilang apa-apa kecuali terima kasih atas dukungan dan restunya yang tidak pernah berhenti. Dia usap kepalaku, berpesan untuk jaga diri baik-baik, dan tidak usah mencemaskan anak-anak.

Time to go now. Kulambaikan tanganku buat suami, anak-anak, ibu bapak, dan si mbak. Diiringi doa mereka, semoga perjalanan lancar sampai tujuan.