Monday, January 25, 2021

KISAH COVID-KU (1): PROKES, POSITIF COVID-19, DAN TRACING

Akhirnya saya terpilih juga diampiri Covid-19. Sejak hari Sabtu, 16 Januari 2021, saya resmi positif Covid-19. Resmi karena sudah berdasarkan hasil swab antigen, dan diperkuat dengan hasil swab PCR. Dengan hasil CT 24/23, artinya sebenarnya virus ini sudah masuk ke tubuh saya beberapa hari sebelumnya.

Bagaimana ceritanya sampai saya bisa kena Covid-19?  Tanpa harus mencari kesalahan diri sendiri atau orang lain, pelacakan aktivitas diri di beberapa hari sebelumnya memang harus dilakukan. Itu juga pertanyaan yang umum ditanyakan beberapa teman baik yang mendengar bahwa saya positif Covid-19. ‘Habis pergi-pergi ta mbak?’, ‘Habis kumpul-kumpul atau ada tugas ke mana mbak?’. 

Sejak pandemi di pertengahan Maret 2020, saya hampir tidak pernah pergi kemana-mana. Kantor Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Unesa jarang sekali saya tengok. Paling sebulan sekali. Itupun bila ada yang betul-betul penting. Selain itu, undangan workshop atau menjadi narasumber atau fasilitator di luar kota tidak lagi saya terima, kecuali bila dilaksanakan secara daring. Anteng di rumah bukan berarti saya jadi pengangguran dan makan gaji buta. Lha selama pandemi ini jam kerja menjadi 24/7. Tidak ada hari libur. Tugas dari kampus dan pertanyaan ini itu dari kolega dan (terutama) mahasiswa bisa datang kapan saja. Tidak peduli pas orang sudah siap-siap mancal kemul

Jadi balik lagi ke tracing. Sejak tanggal 27 Desember 2020 saya tidak pernah lagi ke kampus. Saya juga tidak ada agenda pergi-pergi dengan keluarga. Route saya bila harus keluar rumah hanya ke minimarket terdekat atau ke pasar Kebraon. Itupun tidak setiap hari. Itupun tidak di pagi hari ketika pasar sedang ramai. Itupun paling hanya 2 kali dalam seminggu. Kalau ke pasar, saya biasanya memilih agak siang sekitar pukul 9-10. Sekalian bersepeda cari keringat dan panas matahari. Dan acara ke pasar paling hanya 10 menit. Beli seperlunya. Dan masker tidak pernah lepas. Plus hand sanitizer di kantong celana. 

Hidup di masyarakat komunal seperti di Indonesia, rasanya tidak mungkin saya memutuskan untuk tidak ketemu orang sama sekali. Namanya manusia adalah makhluk sosial. Bisa saja ada virus berseliweran di dekat saya ketika menerima kembalian pas beli martabak sore-sore, atau pas kartu debit saya dikembalikan mas/mbak kasir saat belanja di minimarket. Atau ada virus nempel di bungkus plastik tempe gres yang nangkring di meja kios Mbak Atik langganan saya pasca boikot para pengrajin tempe. Atau bisa saja pas tiba-tiba hati saya bolong dan pingin cuci mobil di bawah sinar mentari pagi. Lalu pas masker saya sedikit melorot, pas ada tukang sayur tak bermasker lewat sambil teriak, ‘sayur sayur.’ 

Embuh lah. Pendeknya, virus Corona sudah merajalela. Selama ada anggota keluarga yang masih keluar masuk rumah, di situlah akan tetap ada potensi kena. Mosok ya saya mau bilang ke suami saya untuk mendekam di rumah saja. Lha wong Adzra juga sesekali pingin ke minimarket. Just to get the feeling of ‘going out.’ Ghanta juga menikmati kegiatannya berpodcast di Bajolball Studio (alias perpustakaan rumah). Itu artinya sesekali akan ada beberapa orang yang dia undang sebagai narasumber. Apalagi ART saya, Abay, datang pagi pulang siang/sore. Dengan dua anaknya setiap kali datang. Dia kos di salah satu kampung Kebraon. Cuma 5 menit dari rumah. Ya wis. Yang penting prokes ketat ditaati dengan baik di rumah. 

Memang seberapa ketat prokes kami di rumah? Siapapun yang baru saja keluar rumah wajib  cuci tangan pakai sabun sebelum melakukan hal-hal lain. Ganta termasuk orang yang paling cerewet mengingatkan hal ini. Dia juga yang menyiapkan tempat cuci tangan dan dilengkapi dengan sabun di depan rumah. Kalau habis ada tamu, Gantalah yang menyemprotkan disinfectant spray ke ruangan dan mengelap meja, kursi, dan gagang pintu. Adiknya pasti akan kebagian disuruh membantu. Nah, orang yang paling tinggi mobilitasnya di rumah kami adalah Mas Prapto. Gak ada cerita WFH, kecuali di 2 minggu awal pandemi dulu. Oleh sebab itu, rutinitas baru sejak pandemi adalah menyediakan handuk setiap kali suara mobilnya terdengar di depan pagar. Wajib mandi dulu. Tidak peduli jam berapapun dia pulang. Tidak ada acara cium tangan, rangkul anak wedok, atau saling njiwit sebelum dia keluar dari kamar mandi dengan bau segar. Pernah suatu kali sepulang kerja, mas Prapto langsung masuk ke ruang perpustakaan dan buka laptop. Lanjut nge-zoom. Maka saya dan anak-anak memilih menjauh dan pindah ke lantai atas. Nah, kalau sudah protokol kesehatan (prokes) ketat seperti masih juga kena, ya sudah mau apa lagi. Ikhlas saja dijalani. Alhamdulillah. Tetap harus bersyukur karena tidak ada gejala berarti. 

Apakah saya mengalami gejala-gejala Covid-19 sehingga harus swab? Sejak habis cuci mobil sambil cari Vit-D di bawah sinar matahari pada hari Sabtu, 9 Januari 2021 yang lalu, saya memang mulai merasa pilek. Ringan saja. Gak pakai demam. Saya pikir hanya karena kelelahan. Memang ini minggu UAS dan koreksi tugas-tugas mahasiswa. Cuaca juga sedang kurang bersahabat. Abay dan anak-anaknya gantian batuk di minggu sebelumnya.  Satu hari kemudian menyusul Ganta ikut pilek dan batuk. Tenggorokan terasa tidak nyaman. Dia bahkan kelihatan loyo. Sudah pindah tidur ke Bajolball Studio di bawah. Kebetulan sofanya bisa disetel menjadi tempat tidur. Mengisolasi diri meski tidak ketat banget.. Alhasil saya jadi cerewet menyuruh dia agar tidak telat makan. 

Repotnya, Ganta tidak pernah mau minum obat. Bahkan yang herbalpun dia sangat hati-hati. Mintanya hanya air hangat, teh panas, air jahe tanpa gula, atau air jeruk panas tanpa gula. Ganta memang punya kelainan bawaan. G6PD deficiency. Intinya dia kekurangan enzim yang berfungsi membuat sel darah merahnya bertahan. Karena pilek 3 hari tidak kunjung sembuh dan kelihatan lemes terus, saya minta mas Prapto untuk mengajaknya swab antigen. Jaga-jaga saja. Alhamdulillah hasilnya negatif. Dampaknya positif banget. Ganta jadi semangat dan mulai beraktivitas. 

Nah, saya sendiri mulai merasakan ada yang berbeda. Kok tidak bisa bau masakan apapun? Baik pas masak di pagi hari maupun pas makan. Saya berdalih. “Ah, memang hidung saya lagi buntu. Pilek belum pulih benar. Yang penting badan tetap segar.” Dua hari merasakan anosmia, akhirnya saya putuskan untuk swab antigen. Sabtu pagi, 16 Januari 2021, saya menyetir sendirian menuju ke klinik Pa*ah*ita di dekat kampus B Unair. Klinik ini langganan kantor mas Prapto. Jadi hasilnya akan dikirim ke suami. Usai swab, saya langsung pulang. Mungkin karena ada rasa cemas, sempat keliru ambil jalan. Sejujurnya saya sudah merasa kemungkinan akan positif. Jadi saya mampir ke apotek dekat rumah, membeli masker dan beberapa multivitamin yang direkomendasikan untuk penderita Covid-19. Sedia payung sebelum hujan. 

Sesampai di rumah saya langsung ikuti vERtual talk, webinar tentang Extensive Reading. Sengaja saya lakukan di kamar agar tidak lagi ada kontak dengan yang lain. Habis webinar langsung lanjut rapat kecil dengan teman-teman IERA dan Binus untuk mempersiapkan sesi berikutnya. Di tengah-tengah rapat itulah saya mendapatkan kiriman hasil swab. Mas Prapto yang mengirimkannya di grup keluarga kami. Saya mungkin kurang fokus karena sedang rapat, jadi sempat salah baca. Saya kira negatif. Sudah girang di grup, ‘Alhamdulillah ya Allah.’ Ganta yang kemudian mengetuk pintu kamar. Memberitahu ibunya bahwa hasilnya positif. Saya yang belum percaya langsung membandingkannya dengan hasil Ganta sebelumnya dari klinik yang sama. 

Meski agak cemas, saya berusaha tenang. Untunglah rapat pas mau usai. Mas Prapto yang sedang berada di luar kota meminta saya untuk kembali ke klinik untuk swab PCR. Akhirnya kami berinisiatif agar Adzra sekalian swab antigen. Ganta yang sdh sudah sehat mengambil alih semua urusan, dan dia mengantar kami ke klinik. Di mobil saya sudah mulai jaga protokol lebih ketat. Duduk di belakang. Tanpa ada sentuhan fisik dengan anak-anak. 

Swab PCR akan memberikan konfirmasi dengan CT value, jadi kami sudah menganggap bahwa saya memang positif. Meski hasilnya baru akan keluar esok harinya atau bahkan Senin, kami sudah mulai mengatur bagaimana mengelola isolasi mandiri. Diskusi tentang skenario yang perlu diterapkan. Alhamdulillah punya anak-anak yang terbiasa tenang dan tidak emosional. Tidak ada drama. Mungkin karena sudah banyak baca informasi tentang apa dan bagaimana isolasi mandiri. Mungkin juga karena mereka sudah ditempa pengalaman saat saya menjalani kemoterapi selama 5 bulan di Melbourne dulu. 

Sesampai di rumah, saya langsung ke kamar dan mengambil beberapa setel pakaian. Masukkan ke koper. Ganta menyiapkan Bajolball studio alias perpustakaan untuk ruang isolasi mandiri (isoman). Adzra membantu menyiapkan bantal, selimut, dan peralatan makan minum. Tak lupa mengusung laptop dan buku-bukunya sendiri ke atas. Setelah mandi, saya masuk ruang isoman. Memberikan instruksi ini itu. Termasuk memberitahu dan meminta ART saya, Abay, untuk tidak datang dulu selama 2 minggu ke depan. 

Pakaian sudah. Bantal dan selimut tersedia. Teko listrik siap. Persediaan air mineral cukup. Laptop, HP, dan charger aman. Resmilah saya isoman!
Bismillah semoga tetap sabar dan segera negatif. 


Ruang isoman 


Bajolball Studio, Kebraon, Surabaya

Isoman hari ke-9