Tuesday, December 31, 2013

MENJADI BUGAR YANG MURAH MERIAH

Kemarin pagi saya, mas Prapto, dan anak-anak niat jogging. Cuaca semakin enak buat olahraga pagi. Kami meluncur ke Edwardes Lake Park, sekitar 15 menit dari rumah. Adzra sudah sempat ngambek di dalam mobil. Dalam benaknya, jogging berarti lari-lari sejak dari rumah menuju ke seputaran kompleks, melewati rumah teman-temannya. Kalau bisa malah dolan.

Di area tempat kami tinggal, yakni di Brunswick, city of Moreland memang banyak taman. Tapi dasar suka keluyuran, taman-taman di kecamatan tetangga sering dijelajahi. Edwardes Lake Park sendiri terletak di city of Darebin. Kenapa juga disebut city, saya juga kadang bingung. Padahal jaraknya yang berdekatan bisa dibandingkan dengan jarak antara Karangpilang dengan Ketintang (ukuran Surabaya tanpa macet lho). 

Sebagaimana kota-kota besar di negara-negara maju, taman kota adalah tempat di mana masyarakat bisa melakukan berbagai aktivitas bersama. Lahan yang luas, dengan pohon-pohon rindang dan rumput hijau, tempat bermain buat anak-anak, dan tak lupa BBQ-pit, adalah fasilitas yang cukup umum ditemui di semua taman. Taman-taman yang besar bahkan memiliki kolam, air mancur, danau kecil, atau anak kali (orang di sini menyebutnya creek) yang membelah taman. Benar-benar memberi suasana tenang. Enaknya lagi, semua fasilitas gratis.

Nah, yang membuat Edwardes Lake Park istimewa adalah karena adanya fasilitas outdoor fitness dan athletic track. Ini sesuai dengan komitemen dewan kota untuk mengajak masyarakat aktif secara fisik dan memanfaatkan keberadaan taman-taman lokal di Darebin. Di taman seluas 26 hektar ini tersedia peralatan fitness yang tersebar di 4 sudut.  

Begitu melihat taman yang rindang dan luas, serta masih sepi, Ganta dan ayahnya langsung ke arah jogging track. Adzra yang sempat ngambek langsung belok ke playground. Main sebentar, saya dan Adzra kembali ke niat berolahraga. Tak jauh dari playground, ternyata peralatan fitness yang sudah terlihat dari kejauhan adalah bagian dari station 1: Stretching and Warm Up.



Gak pakai lama, saya dan Adzra langsung menjajal peralatan untuk peregangan otot, body twist, sit up, dan push up yang cukup enteng. Tak usah bingung dengan cara penggunaan alat, atau bahkan mencari trainer. Instruksi sudah tersedia dengan jelas, baik dalam bentuk procedure text maupun gambar. Kalau mau dikaitkan dengan literasi, inilah ciri pendidikan literasi yang nyata di masyarakat yang berbudaya tulis. Semua penjelasan diberikan secara detil, sehingga kita tidak perlu tanya orang lain. Yang pingin berolahraga juga tidak kemudian menjadi 'wegah' karena tidak tahu cara penggunaannya. 



Setelah tubuh lumayan hangat dan lebih lentur, Adzra mulai tolah-toleh cari ayahnya. Kami menyusuri jalur pejalan kaki di sepanjang danau kecil, sambil sekalian mencari lokasi fitness di station 2 sesuai peta. Mengambil jalan naik ke bukit kecil, ternyata malah nemu athletic track. Ganta dan ayahnya sedang keliling lapangan di running track.



Saya takjub. Taman yang luas, hijau, bersih, dan gratis ini punya fasilitas olahraga yang ciamik. Athletic track-nya memiliki 6 jalur mulus. Garis batasnya jelas terawat. Lengkap dengan nomor track untuk kompetisi. Baik untuk lari jauh maupun sprint 50 meter. Di tengahnya ada arena untuk baseball kalau tidak salah. Di sisi kanan running track terdapat 2 area sandpits. Awalnya saya kira buat mainan pasir, ternyata baru sadar bahwa itu adalah arena lompat jauh, lengkap dengan garis untuk ancang-ancang lompatan. 

Tergoda ingin mengukur kekuatan fisik setelah 'turun mesin' hampir 6 bulan,  saya menjajal satu jalur di running track. Niatnya, harus bisa tuntas 1 lap saja tanpa berhenti. Entah kapan terakhir saya betul-betul berolahraga lari. Mas Prapto menyemangati, "Ayo dijajal ben gak gampang capek. Alon-alon ae." Ganta berlagak fotografer memotret ibunya yang mencoba mengatur nafas stabil.


Ternyata saya masih kuat berlari 1 lap tanpa berhenti, meski langkahnya belum bisa cepat seperti dulu. Saya dan Adzra juga menikmati berlompat jauh dan berguling-guling di pasir yang putih, bersih, dan kering. 

Semakin siang, taman mulai lebih ramai dengan orang-orang ber-jogging atau sekedar jalan-jalan dengan anjingnya. Ada pemandangan menarik di depan kami. Dua orang perempuan, tua dan muda bersama anjing yang besar, juga berjalan di jalur pejalan kaki. Si ibu memegang tali kendali, dan anaknya (mungkin) memegang tas kresek, terlihat memungut sesuatu di jalur. Eh, ternyata dia mengambil kotoran anjingnya yang sempat ditinggal yang empunya di beberapa titik. Beberapa saat kemudian, dia membuang tas kresek ke tong sampah yang sedang dibawa petugas kebersihan. Saya jadi ingat film Minggu Pagi di Victoria Park. Titi Syuman memerankan Sekar, seorang TKW di Hong Kong. Terjerat hutang, dia akhirnya bekerja serabutan, dan salah satunya adalah menjadi 'pengasuh' anjing, dengan tugas mengajak jalan-jalan, dan konsekuensinya, memunguti kotoran yang tlecekan di jalan. Raut wajahnya yang terlipat menahan bau (dan derita) masih jelas di ingatan saya. Mungkin saja aktingnya yang natural ini yang membuat dia memenangkan kategori Aktris terbaik FFI 2011. 

Puas di athletic track, kami berempat kembali menyusuri danau, menikmati bebek-bebek yang berjajar bak akan bersiap lomba berenang. Begitu ketemu station 2 untuk penguatan otot dan jantung, kami langsung menjajal peralatan fitness. Mulai alat untuk sit up, pull up, elliptical trainer yang seperti sepeda, dan juga alat untuk menguatkan lengan dengan cara menarik dua tuas di kiri dan kanan di atas kepala (entah apa itu namanya). Atau juga untuk menguatkan otot kaki. Asal saya masih kuat berdasarkan ukuran yang dijelasan di intruksi, yakni 5 - 20 kali, ya saya lakoni. Yang jelas badan jadi terasa bugar. 







Bisa ke taman yang segar, hijau, dan luas, berolahraga, jalan-jalan, menikmati bebek-bebek di danau dan burung-burung yang makan biji-bijian, gratis lagi. Alhamdulillah, betapa nikmat dan murahnya sebenarnya cara kita menikmati hidup ini. Oftentimes, the best things in life are free. 

Thursday, December 26, 2013

Membuat Peringkat Buku Bacaan

Beberapa bulan yang lalu saya sempat mengamati daftar buku bacaan yang direkomendasikan Dinas Pendidikan di sebuah daerah di AS. Daftar itu diberikan mulai K1-12, ditentukan berdasarkan hasil rembugan kluster sekolah di wilayah tersebut. Ada daftar untuk fiction maupun non-fiction, dan pemilihan buku sudah mempertimbangkan berbagai faktor gender, kultural, usia, latar belakang ekonomi, dsb.

Saya lihat sebagian judul yang direkomendasikan untuk grade rendah ternyata juga dibaca alias tersedia di sekolah Adzra. Memang buku-buku tersebut bisa diperoleh secara luas, seperti seri Dr. Seuss, buku anak-anak karangan Pamela Allen, atau bahkan Roald Dahl.

Saya tergugah untuk melakukan hal yang sama, terutama untuk pendidikan tingkat dasar dulu. Tentu saja saya tidak mungkin bekerja sendirian. Dan pemilihan judul buku yang baikpun akan melibatkan proses pembacaan yang benar dan kritis. 

Saya ingat teman saya dari Universitas Muhammadiyah Surakarta yang sedang studi PhD di Victoria University. Penelitiannya tentang buku cerita anak-anak di Indonesia. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa banyak buku yang beredar di pasaran yang masih amat bias gender, menonjolkan KDRT, dan beberapa nilai yang kurang mendidik. 

Kami punya keinginan suatu saat berkolaborasi untuk melakukan pemilihan buku yang baik dan mempromosikannya di sekolah-sekolah tingkat dasar. 

Ketika kemudian membaca rencana Gus Mush membukukan cerpen pilihan di milis IGI beberapa saat yang lalu, saya semakin bersemangat (meski saat itu belum bisa mikir betul karena masih kemo). 

Bila ada yang tertarik, ayo kita garap misi ini. Membuat daftar buku bacaan untuk anak-anak SD dan mempromosikannya di sekolah-sekolah yang mau dibina.
 

Monday, December 09, 2013

ADZRA, RAWON, DAN MITOS KECANTIKAN KULIT PUTIH

Pagi-pagi sambil sarapan cereal, Adzra ngecipris dengan berbagai cerita. Sudah biasa begitu tiap hari. Bahasa Inggrisnya yang semakin natural sering membuat saya melongo. Serasa kalah jauh dari segi natural fluency. Saya bilang ke Adzra, "kalau ketemu bude Lies, kamu pasti dikruwes." 

"Who's bude Lies?" tanya Adzra
"Remember my friend who told you not to eat rawon? Jangan makan rawon Dzra, nanti kulitmu hitem lho." Jawab saya, mencoba mengingatkan dia saat digoda bude Lies Amin di kantor jurusan beberapa tahun lalu.

Saat itu, ketika Adzra masih belum genap 4 tahun, dia sempat tidak mau makan rawon. "Kan kata temennya ibu, nanti kulitku jadi hitam."

Siapa sangka ini jawabannya sekarang :You don't have to worry about your skin, mommy. Some people are black. Some are white. It doesn't really matter if your skin is dark."

Sempat speechless mendengar jawaban tak terduga ini, saya tepuk pipinya. "That was a fantastic answer, sayang." 

Bertahun-tahun saya belajar teori feminisme. Saya baca banyak novel yang menyiratkan tema white beauty standard dan dampaknya terhadap citra diri perempuan. Saya menulis artikel jurmal tentang itu, dan mengompori para mahasiswa untuk sensitif terhadap isu ini. Tapi saya tidak menyangka seorang anak perempuan yang baru genap 6 tahun ini bisa mengeluarkan pernyataan di atas dengan ringan dan spontan. Bahkan tangannya masih bermain-main dengan laptop mainan. Yet, it's so deep in meaning.

Saya ingat beberapa mahasiswa bimbingan saya yang mengangkat tema white beauty standard di dalam novel The Bluest Eye karya Toni Morrison. Novel ini berkisah tentang seorang anak kecil berkulit hitam bernama Pecola. "She's black, poor, and ugly." Di kelas sastra saya, kutipan ini kami bahas, membayangkan betapa rendahnya citra diri kita bila berada di sisi Pecola. Bagaimana gempuran iklan pemutih di TV mencerminkan citra diri kita inferior di bawah didominasi kecantikan standar kulit putih. 

Secara umum, skripsi-skripsi tersebut mengupas bagaimana novel The Bluest Eye mengkritisi dampak negatif white beauty standard terhadap citra diri perempuan kulit hitam di Amerika. Pentingnya identitas kultural juga dinilai amat penting dalam membentuk kepercayaan diri perempuan. Mereka yang kuat identitas kulturalnya akan mampu menyaring dan menolak dominasi standar kecantikan kulit putih. Sebaliknya, tanpa identitas budaya yang melekat pada diri, banyak perempuan yang menjadi inferior dan tidak tahan dengan gempuran konsumerisme, yang lagi-lagi merujuk pada standar kulit putih.

Apakah anak kecil punya kesadaran terhadap perbedaan kulit? Saat di Kinder dulu, Adzra pernah bertanya, "Ibuk, kenapa kulit Mary kok hitam banget?" 
"Mary itu dari Afrika. Orang Afrika banyak yang kulitnya hitam. Rambutnya juga curly. 
"Tapi Mary temanku kan?" tanya dia lagi. 
"Semua teman Adzra. Ada yang hitam kayak Mary, putih kayak Hanna. Coklat kayak Adzra dan Alifya. We're all friends."

Mengetahui bahwa tiap orang punya warna kulit yang berbeda mungkin sudah menjadi realita sehari-hari di sekolah. Teman-temannya di Moreland Primary School amat multikultural. Namun memahami bahwa perbedaan kulit bukanlah penghalang dalam bergaul adalah cerita yang berbeda. Perlu pembiasaan dan contoh yang konsisten dari orang-orang di sekitarnya. Barangkali  sebagai ibu yang lumayan sensitif gender,  tanpa sadar saya menanamkan nilai ini kepada dia melalui obrolan, mainan, dan buku-buku yang saya pilih untuk dia. 

Di rumah, salah satu buku favoritnya berjudul Children around the World. Ada foto-foto anak dari berbagai belahan bumi. Dengan warna kulit dan dandanan baju yang beragam. Dia suka buku itu karena amat colorful, dengan berbagai kisah unik tentang kebiasaan anak-anak dari berbagai negara. 

"Mommy, I have a story about a girl." sambung Adzra. Lalu dia mengarang cerita dengan lancar tentang seorang gadis cilik bernama Sasha. Setelah makan rawon pada siang hari, tiba-tiba kulitnya jadi hitam pada malam harinya. "Mommy, why is my skin darker? I can't take it off. And then her mom said, you can't take it off. Because that's how it goes. Our skin is dark. People look different. It doesn't matter. Don't worry about it."

Saya jadi bengong lagi. Cepet banget dia berimajinasi dan menghasilkan sebuah cerita. "I hope you'll be a great writer someday, Adzra," sambil saya uyel-uyel badannya.

"Has Kerry or Kelly ever told you that? You know, stories about people and their skin colour?" tanya saya, menyebut nama dua orang gurunya di kelas Prep. Adzra mengangguk mengiyakan

Pendidikan karakter barangkali sudah menjadi bagian dari kurikulum sekolah di banyak negara. Namun menanamkannya dengan cara yang pas sesuai usia anak didik adalah tantangan tersendiri. Nampaknya guru-guru di MPS sudah berhasil menjalankan tugas mereka. Baru saja minggu lalu Adzra bertanya tentang mengapa banyak orang dari negara lain pindah ke Australia. Saya tersadar bahwa gurunya sedang menanamkan nilai empati terhadap nasib para imigran gelap di Australia  Sekarang nampak lagi nilai yang lain. Nilai kesetaraan tanpa membedakan warna kulit.

Saya sudah lama mengikuti bahwa tema pembelajaran di MPS amat sadar terhadap isu multikulturalisme. Kebanggan atas identitas kultural tertanam melalui Asian Studies. Setelah belajar budaya Jepang pada semester 1 yang lalu, kini tema Indonesian studies amat berhasil membuat anak-anak kami bangga dengan identitas budayanya. Puncaknya, tari Saman yang ditarikan 39 anak Indonesia, semua siswa MPS, menjadi pusat perhatian dalam acara sekolah minggu lalu. Ini apresiasi kami atas pengakuan keberadaan komunitas Indonesia di MPS. 

"It's far more difficult to murder a phantom than a reality," begitu quote dari Virginia Woolf, pengarang novel Mrs. DallowayKetika seorang anak seperti Adzra sadar bahwa dirinya perempuan, berasal dari Indonesia, kulitnya sedikit gelap, belajar main dakon, suka Barbie dolls, suka bermain Three Musketeers dengan teman-teman bulenya, mudah-mudahan Adzra dan teman-temannya belajar meyakini bahwa warna kulit bukanlah hantu yang mati-matian ingin mereka bunuh.