Tuesday, October 30, 2012

RINDUKU AKAN MENTARI, RINDUKU PADA SURABAYA



Setengah sepuluh pagi. Agak sedikit terlalu siang untuk memulai hari, saat aku mengayuh sepedaku, membonceng Adzra menuju ke Bindi.  

Di ujung jalan gedung apartemen 53 DeCarle Street, tempatku tinggal, kusapa Jujuk, anak Master program ADS, sembari membelokkan sepeda ke arah jalan. “Oi, mau kemana, Juk?” “Ke rumah Elli mbak,” jawabnya, sambil menyebut nama anak Yogya yang tinggal di lantai dua, tepat di atas unitku.

Hari begitu hangat. Matahari mulai menyapa punggungku. Nikmatnya. Betapa nyamannya bisa mengenakan hanya satu lapis kaos lengan panjang dan tunik kaos lengan pendek. Musim semi sudah berjalan 2 bulan, namun kota dengan 4 musim dalam 1 hari ini masih suka mempermainkan penghuninya. 2 hari hangat, kemudian cuaca anjlok dan berangin dingin. Begitu terus. Untuk hari ini, sejenak kutinggalkan jaket dan sweater untuk tetap tergantung di lemari. 

Sambil mengayuh, aku ngobrol dengan adzra. “It's gonna be a lovely day, sayang.”
Yeah, mommy. I can play outside,” ujarnya riang.
Adzra senang karena hari ini dia tidak harus mengenakan jaket atau sweater. Dia paling ribet kalau disuruh pakai jaket dobel, bahkan saat cuaca dinginpun.

Masuk ke ruang Kindergarten di Bindi, Dong, salah satu guru Adzra, sedang membagikan mangkok kecil berisi irisan buah untuk anak-anak. Saatnya morning tea. Adzra sendiri sudah sibuk menyapa Mary dan Hanna, dua temannya yang paling dekat.

Good morning. It will be hot today, 30 degrees,” kata Dong.  Yes, her hat is there,” jawabku sambil menunjukkan topi adzra yang sengaja ditinggal di gantungan topi di sekolah. Sepanjang musim semi dan musim panas, anak-anak memang wajib mengenakan topi saat main di luar, untuk melindungi kulit mereka dari sengatan matahari yang bisa lebih kuat daripada di tanah air sekalipun.  No hats, no outside play. Begitu peraturan dituliskan di dinding sekolah.

Kembali kukayuh sepeda, mengambil rute yang berbeda. Hari begitu cerah. Sayang dilewatkan bila aku harus bersepeda cepat-cepat. Kuarahkan sepeda ke Moreland Road yang mulai ramai. Kulihat Ika dan Lugin baru saja turun dari mobil. “Teko endi, dik?” kusapa Ika, dosen Unair yang juga sedang studi S3 di Unimelb. Kuhentikan sepeda, dan sambil tetap duduk di atas sedal, kuraih pegangan di pagar batu bata di depan rumah mereka. “Eh mbak, teko ngedrop Rayyan nang Child Care.” Si kecil Rayyan yang menggemaskan, sekitar 6-7 bulan usianya, sudah mulai ditinggal di Child Care, agar Ika bisa ngebut menyelesaikan tahun terakhirnya.

Di pinggir trotoar depan rumah mereka, kami ngobrol gaya Suroboyoan. Tentang rencana kepulanganku, tawaran Lugin untuk mengantar ke airport, field work-ku, blog para TKW yang sedang kuteliti, goda Lugin agar istrinya juga naik sepeda seperti aku, goda Ika pada suaminya yang gak punya blog, dan dibalas dengan mimik wajah ngantuk Lugin karena kerja part-time-nya yang mungkin melelahkan, sampai ajakan mereka agar aku mampir sarapan. Kutolak dengan halus, karena aku harus segera ke kampus, selain karena kutinggalkan cucian yang sedang berputar di mesin cuci. Hari panas adalah hari menjemur pakaian.

Jauh dari tanah air, orang dewasa seperti aku tidak mungkin bisa meninggalkan cultural bag. Celotehan Suroboyoan memberikan penegasan akan identitas kultural yang tidak bisa aku, Ika, dan Lugin lepaskan. Tubuh bisa berada di Brunswick, namun guyonan medok mampu sejenak mengubah ruang menjadi laksana kampung di Surabaya. Bahkan saat kukayuh sepedaku kembali, jalan-jalan kecil seperti berubah menjadi perkampungan Kebraon. Nampaknya aku sudah rindu pulang!

John Medley Bld, East Tower, Room 627
Unimelb