Wednesday, April 11, 2012

Ingin studi ke Luar Negeri?

Beberapa kali saya menerima email senada dari teman atau mantan mahasiswa saya tentang tips persiapan studi ke luar negeri. Akhirnya saya putuskan untuk menuangkannya dalam satu tulisan. Saya kira kita semua sudah paham bahwa studi ke luar negeri tidak hanya sekedar mengandalkan ijazah dan transkrip semata, namun juga kemampuan bahasa yang akan digunakan sebagai media komunikasi di negara yang dituju. Dan tak kalah pentingnya, sumber dana yang akan dibidik untuk menopang biaya studi dan biaya hidup.

Pada saat Anda berkeinginan melanjutkan studi ke luar negeri, model perkuliahan seperti apa yang Anda inginkan? Apakah Anda ingin merasakan duduk di bangku kuliah, ataukah ingin langsung terjun menulis tesis, atau mungkin ingin keduanya? Setiap negara dan bahkan universitas memiliki sistem pendidikan yang berbeda bergantung pada jenjang pendidikan yang ingin di tempuh. Studi S2 di Amerika Serikat, misalnya, berlangsung 4 semester, dengan komponen coursework dan pilihan thesis atau non-thesis track. Ini artinya kita bisa memilih menulis tesis atau tidak.  Pilihan non-thesis akan menghadapkan kita pada kewajiban untuk membaca sejumlah buku dan mengikuti ujian tentang isi buku-buku tersebut. Sementara itu, thesis track ada seperti halnya skripsi, dengan persyaratan antara 20.000-40.000 kata. Kedua jalur ini tetap mensyaratkan mahasiswa untuk mengikuti comprehensive exam tentang kemampuan analisis dan sintesis dalam bidang sastra, sebelum diijinkan untuk mengajukan ujian thesis atau reading comprehension.  Sementara itu, sejauh pengamatan saya tentang studi S2 di Australia,  lama waktu antara 1-2 tahun, bergantung program yang diambil. Ada yang ‘hanya’ bersifat coursework, ada yang by research, di mana tidak ada perkuliahan yang wajib diikuti, maupun kombinasi coursework dan thesis.

Hal yang sama juga berlaku untuk studi jenjang S3. Di Amerika Serikat, kebanyakan studi S3 merupakan kombinasi coursework dan dissertation. Di Australia lain lagi. Studi PhD yang saat ini saya jalani tidak mewajibkan saya untuk mengambil mata kuliah apapun. Meskipun begitu, sejak tahun 2012 ini, jenjang S3 sudah memasukkan komponen coursework selama 2 semester, dan thesis proposal tetap jalan. Mahasiswa PhD angkatan sebelum 2012 diperkenankan untuk mengikuti kuliah secara resmi atau memilih untuk audit kelas saja. Apapun model studi yang ditawarkan, persiapan studi untuk jenjang S3 membutuhkan kerangka proposal penelitian.

Langkah-langkah apa yang perlu dipertimbangkan dalam persiapan studi ke luar negeri? Untuk studi di negara-negara yang berbahasa Inggris (Inggris, Amerika Serikat, Australia, New Zealand), saya sangat menyarankan agar kemampuan bahasa (Inggris) sudah memenuhi persyaratan. Berikut ini beberapa tips berdasarkan pengalaman pribadi yang bisa diikuti, terutama untuk Anda yang ingin memperoleh Letter of Offer lebih dahulu, sebelum kemudian berburu beasiswa. 

1.       Mempersiapkan kemampuan bahasa Inggris dengan mengambil tes yang disyaratkan. Studi ke AS membutuhkan TOEFL (Internet-based, IBT TOEFL). Kebanyakan universitas di Australia juga menerima skor TOEFL, selain IELTS yang lebih umum digunakan. Carilah informasi tentang skor minimum yang disyaratkan. Setiap disiplin memiliki persyaratan yang berbeda, baik untuk overall band maupun untuk masing-masing skill yang diujikan. Misalnya, bidang TESOL (pembelajaran bahasa Inggris) dan Literature memiliki syarat tinggi, baik untuk overall band maupun untuk writing skill. Idealnya, skor minimal yang disyaratkan sudah bisa kita capai dengan bukti hasil tes sekitar 2 bulan sebelum kita berencana untuk melamar ke universitas yang dituju.

2.       Browsing informasi tentang disiplin ilmu, jurusan, dan universitas yang diinginkan. Memilih universitas memang cukup tricky. Namun ada patokan yang layak dipertimbangkan. The best university is the one that caters your needs. Universitas terbaik adalah yang paling bisa memenuhi kebutuhan Anda. Memang akan membanggakan bila kita bisa menembus universitas terbaik di satu negara, atau yang masuk the Ivy League di perguruan tinggi di AS, seperti Harvard, Princeton, Yale. Namun bukan berarti bahwa universitas ‘kecil’ atau yang ada di kota kecil mutunya kurang baik. Boleh dikata tidak ada hubungan antara kota dengan mutu universitas. Meski begitu, universitas yang lebih 'kecil' (ranking tidak terlalu tinggi) bisa saja lebih memberikan perhatian kepada mahasiswanya, karena hubungan antara mahasiswa dengan professor atau dengan staf universitas bisa lebih dekat. Setidaknya, itu yang saya alami saat studi S2 di Texas State University-San Marcos. Universitas ini tidak terlalu besar, dan terletak di San Marcos, kota kecil antara Austin, ibukota Texas, dan San Antonio, kota besar di mana tim bola basket San Antonio Spurs bermarkas. Di sini, staf di International Office bisa saya kenal lebih personal selayaknya teman. Bahkan kantor ini sudah seperti rumah buat saya. Begitu juga dengan staf administrasi di English Department. Meski begitu, tidak berarti universitas yang besar kurang memberikan perhatian. Studi S3 saya saat ini di the University of Melbourne, yang merupakan the no.1 university in Australia, memberi saya pengalaman komunikasi yang sangat baik dengan kedua supervisor saya. Yang terasa bedanya adalah interaksi dengan sistem pendukung lain di universitas. Di Unimelb, pelayanan bagus yang saya terima terasa lebih mengarah ke profesionalisme. Maklum saja, ini universitas besar di kota besar, di mana mahasiswa internasional bertebaran dari seluruh penjuru dunia (terutama Asia). Beda dengan di Texas State University, di mana saya mengenal sebagian besar mahasiswa internasional di sana. Jadi, kembali ke proses pencarian universitas, tanyakan pada diri sendiri, seberapa jauh fasilitas, sistem pendidikan yang ditawarkan, dan sistem pendukung yang lain sesuai dengan kebutuhan Anda.

3.       Pertimbangan lain adalah cuaca dan iklim. Tanyakan pada diri sendiri apakah Anda ingin sekolah di kota besar yang penuh keramaian dan dekat dengan pusat-pusat hiburan, ataukah Anda lebih suka tempat yang tenang, tapi masih bisa akrab dengan tetangga. Ataukah Anda ingin tinggal di salah satu negara bagian yang cuacanya hangat dan cenderung lebih tropis, ataukah Anda ingin mendapatkan pengalaman hidup di kota dengan cuaca ekstrim dengan 4 musim, di mana Anda bisa menikmati indahnya perubahan warna daun di musim gugur, merasakan dinginnya salju dan udara minus yang mematikan jari-jari, menyambut berkembangnya bunga di musim semi, dan akhirnya berlindung dari sengatan 40 derajat Celcius di puncak musim panas? Semua ini menjadi pertimbangan penting yang bisa menentukan nyaman tidaknya hidup Anda selama 2-4 tahun di negeri orang.

4.       Bila beberapa pilihan sudah ditentukan atau masuk dalam dalam pertimbangan, sudah saatnya mengirimkan dokumen-dokumen yang disyaratkan. Studi S2 biasanya tidak membutuhkan research proposal, dan study objective mungkin sudah cukup, kecuali bila Anda ingin mengambil MA by research, sebagaimana proses untuk studi S3. Sebagai langkah awal, sebaiknya kita melakukan korespondensi dengan seorang profesor/senior lecturer di universitas yang dituju. Kirimkan email tentang niat Anda menempuh studi di sana dan keinginan untuk dibimbing oleh profesor tersebut. Jangan lupa sertakan proposal penelitian yang singkat. Korespondensi semacam ini biasanya direspon cukup cepat. Pengalaman saya, jawaban dari Unimelb dan Monash University saya terima hanya dalam waktu 1 hari. Tapi ini bukan berarti Anda sudah diterima. Ini lebih berarti bahwa perjuangan baru dimulai. Biasanya supervisor tersebut akan menghubungkan kita ke Research coordinator, yang kemudian akan meminta kita untuk mengirimkan beberapa syarat awal, antara lain:
      -  proposal yang lebih lengkap (sekitar 2000 kata, dengan referensi. Biasanya panduan penulisan research design juga akan diberikan.
            -  Salinan Skor TOEFL/IELTS (untuk proses awal, salinan hasil tes bisa dipakai)
            -  Salinan Ijazah S1 yang dilegalisir (dan S2, untuk melamar ke jenjang S3) dan terjemahannya
-                     -  Salinan transkrip yang dilegalisir dan terjemahannya
            -  Sample writing (contoh tulisan ilmiah kita, untuk mengukur kemampuan menulis ilmiah dalam Bhs. Inggris).
            - Curriculum vitae
            -  Salinan bukti identitas (paspor bila ada)
Bila semua syarat ini sudah dipertimbangkan dan dianggap memenuhi syarat, maka kita akan diminta untuk melamar secara formal.

5.       Untuk proses formal application, Anda memiliki pilihan untuk melakukan sendiri secara online atau pengiriman dokumen langsung. Di tahap ini, persyaratan lain seperti reference letters dari 2-3 dosen atau supervisor di jenjang pendidikan sebelumnya juga akan diminta untuk dilengkapi. Untuk menjalani proses aplikasi secara resmi,  Anda bisa memilih melakukannya sendiri atau menggunakan jasa lembaga konsultan pendidikan yang resmi dan terpercaya. Dari pengalaman saya, lebih nyaman menggunakan jasa konsultan sejak awal proses aplikasi formal sampai proses keberangkatan. Enaknya, saya tidak perlu bayar apa-apa untuk semua bantuan yang saya peroleh, kecuali yang memang harus dibayar seperti legalisir dokumen. Selain itu, konsultan pendidikan yang saya pakai juga sudah memiliki link dengan banyak universitas. Ini menguntungkan, karena biaya aplikasi bisa digratiskan (bila mengurus sendiri, perlu biaya 100 dolar). Apapun pilihan Anda, pastikan bahwa semua dokumen yang diminta sudah Anda siapkan. Siapkan dokumen yang sama dengan yang dikirim langsung ke Research coordinator pada saat proses awal, dan lengkapi yang masih kurang, misalnya: 
            -  Hasil tes TOEFL/IELTS yang asli (dan copy yang dilegalisir). Hasil tes yang asli bisa juga dikirimkan langsung ke universitas yang dituju, saat kita mengikuti tes tersebut. Peserta tes bisa memperoleh 2 dokumen asli (1 untuk diri sendiri, 2 untuk dikirimkan ke 2 universitas yang dituju)
            - Pas foto.
Anda tetap perlu memberikan berkas-berkas yang sama untuk proses aplikasi resmi, karena berkas-berkas ini akan dikirimkan ke International Office untuk diproses secara administratif. Nantinya dokumen Anda juga akan dinilai oleh tim asesmen di jurusan yang Anda tuju. Dengan begitu, proses bisa berjalan lebih lancar.

6.       Semua berkas sudah terkirim. Apa langkah berikutnya?  Kini saatnya menunggu dengan harap-harap cemas untuk memperoleh Letter of Offer (LO). Masa tunggu bervariasi, dari 1-6 bulan. Itulah sebabnya persiapan dokumen perlu dilakukan lebih awal, terutama bila kita sedang mengejar beasiswa-beasiswa tertentu yang juga memiliki deadline. Misalnya Fulbright punya deadline di bulan April, Endeavour Award di bulan Juli, ADS di bulan Agustus, dan Dikti (dengan 2-3 batches/tahun) memiliki beberapa tenggat waktu.

7.       Sambil menunggu datangnya LO, Anda perlu mempersiapkan proses berburu beasiswa. Sekarang ini, semakin banyak beasiswa yang tersedia untuk belajar ke luar negeri. Untuk belajar ke AS, Anda bisa mempertimbangkan beasiswa Fulbright yang sangat prestisius. Bila Anda ingin merambah ke negeri kangguru, ada ADS, ALA, dan Endeavour Award yang bisa dicoba. Bila ingin ke Inggris, beasiswa Chevening menanti aplikasi Anda. Belum lagi beasiswa dari negara-negara maju lain seperti Jepang, Jerman, Belanda, dsb. Selain itu, bukalah kemungkinan untuk menembus beasiswa dari universitas yang Anda tuju. Universitas besar biasanya memiliki banyak dana untuk pengembangan riset, dan salah satunya untuk membiayai studi S3. Setiap beasiswa memiliki persyaratan dan model tunjangan yang berbeda pula. Hal ini berdasarkan pengalaman saya sendiri. Saat menempuh S2 yang kedua di bidang Literature di Texas State University-San Marcos, Amerika Serikat, saya mendapatkan beasiswa Fulbright. Di scheme beasiswa Fulbright ini, semua biaya mulai pengurusan paspor, visa, tiket, asuransi kesehatan, SPP, dan biaya hidup. Untuk studi S3 saya kali ini, beasiswa saya peroleh dari kampus Unimelb, dan mencakup bebas SPP dan biaya hidup. Urusan paspor, visa, tiket, dan asuransi ditanggung pribadi. Alhamdulillah, saya memperoleh bantuan dana dari Unesa untuk meringankan biaya persiapan keberangkatan.

8.       Kembali ke urusan LO, ada kalanya pihak universitas mengeluarkan conditional LO. Ini berarti bahwa ada syarat yang perlu dilengkapi, misalnya nilai TOEFL/IELTS masih kurang, tapi kita sudah mendapatkan tempat di bidang studi yang dituju. Dari pengalaman pribadi, saya harus menunggu mulai bulan Maret sampai Oktober untuk menerima LO. Deadline beasiswa Endeavour dan Dikti yang saya harapkan sudah lewat, meskipun proses aplikasi sebenarnya sudah saya lakukan.  Namun penantian panjang selalu ada hikmahnya. Karena semua persyaratan yang saya kirimkan lengkap dan memenuhi syarat, saya langsung memperoleh Unconditional LO, alias diterima tanpa syarat. Yang lebih menggembirakan, ternyata unconditional LO merupakan syarat untuk dipertimbangkan di scheme beasiswa dari universitas. Sebenarnya saya tidak mengajukan permohonan beasiswa dari Unimelb (lebih karena tidak tahu). Itu sebabnya saya kaget campur girang ketika ditawari beasiswa Melbourne International Research Scholarship (MIRS) yang meng-cover biaya hidup penuh dan Melbourne International Fee Remission Scholarship (MIFRS) yang membebaskan saya dari kewajiban membayar SPP.

9.       Bila LO sudah diterima, dan beasiswa sudah jelas, maka langkah selanjutnya lebih ringan. Kita perlu menyatakan bahwa kita menerima tawaran studi dan beasiswa tersebut. Keduanya merupakan hal yang berbeda. Tawaran penerimaan beasiswa hanya punya tenggat waktu 2 minggu-1 bulan, dengan mengirimkan form isian Scholarship Acceptance Form. Sedangkan untuk menyatakan secara resmi bahwa Anda menerima tawaran studi, Anda harus membayar asuransi kesehatan, kemudian pihak universitas akan mengeluarkan Confirmation of Enrolment (CoE). Surat ini nantinya akan menjadi syarat pengajuan visa ke kedutaan besar.

Dari pengalaman persiapan studi di atas, saya sangat menyarankan teman-teman untuk melengkapi semua persyaratan dan memenuhi semua kualifikasi pada saat formal application. Implikasinya ternyata cukup signifikan di kemudian hari, untuk mengatasi melesetnya beasiswa yang diharapkan. Beasiswa dari universitas cukup bergengsi, karena standar kualifikasinya tinggi. Biaya hidup langsung ditransfer ke rekening kita setiap dua minggu sekali. Jumlah yang kita terima juga cukup untuk hidup sederhana. Selain itu, dengan status sebagai research student, banyak kemudahan yang bisa kita dapatkan. Saat ini, saya studi dengan membawa serta dua anak saya. Dengan status tersebut, anak saya yang pertama masuk SMA  dan memperoleh bebas SPP. Selain itu, anak yang kedua masuk Child Care, dan sekitar 70 persen biayanya ditanggung pemerintah Australia, melalui tunjangan Child Care Benefit dan Child Care Rebate. Intinya, selalu ada jalan untuk menyiasati biaya hidup yang cukup mahal di Melbourne ini. Tentunya bisa saja nanti mencari tambahan uang saku dengan kerja part-time atau casual. Cukup mudah mencari pekerjaan sambilan di Melbourne ini. Namun bila manajemen waktu antara studi dan keluarga sudah membuat kita jungkir balik, tanpa bekerjapun, beasiswa masih cukup untuk hidup hemat a la keluarga Indonesia, asalkan mau masak sendiri dan tidak tergoda shopping barang-barang bermerk.

Langkah-langkah di atas bisa bermanfaat untuk Anda yang ingin memperoleh LO sebagai syarat beasiswa. Namun tentu saja langkah bisa berbeda bila Anda memang membidik beasiswa yang bisa mengurusi semuanya dari awal, termasuk pencarian universitas. Setidaknya, itu yang saya alami saat memperoleh beasiswa Fulbright dulu.
 
Nah, bila Anda sudah ancang-ancang studi ke luar negeri, selamat berburu universitas dan beasiswa.

Thursday, April 05, 2012

BMI DAN MENULIS KREATIF: SEKELUMIT TENTANG TULISAN RINI WIDYAWATI


Berbicara tentang TKW adalah menguak migrasi tenaga kerja transnasional yang bersifat massif. Ribuan perempuan meninggalkan desa-desa di pelosok Indonesia, menuju negara-negara yang secara ekonomi lebih makmur di Asia. Dalam bukunya Modernity at Large (1996), TKI/TKW merupakan bagian dari apa yang disebut Arjun Appadurai sebagai ethnoscape. Istilah ini mengacu pada lansekap kelompok orang dan individu yang bergerak dari satu tempat ke tempat lain, dengan potensi memberikan pengaruh politik pada negara pengirim dan negara penerima.  Mobilitas yang menembus batas negara ini sendiri merupakan simbol modernitas. Masyarakat Indonesia pada umumnya menyebut mereka sebagai TKW, namun mereka sendiri lebih suka disebut sebagai BMI. Sementara itu, buruh migran dari Filipina dengan profesi yang sama menolak disebut maid dan lebih suka menyebut diri mereka DH. Domestic helper ? Secara literal jawabannya ya. Namun mereka lebih menyukai inisialnya. “It’s cool.”

Menyimak tulisan-tulisan para buruh migran Indonesia (BMI) yang tengah atau pernah mengais dolar di negara-negara yang lebih makmur seperti Hong Kong, Taiwan dan Singapore, kita seakan diajak menelusuri perjalanan mereka menembus batas ruang (space). Apakah mobilitas transnasional yang dilakukan para BMI ini menjanjikan kebebasan? Curahan hati Rini Widyawati dalam bukunya Catatan Harian Seorang Pramuwisma (JP Books, 2005) memberikan jawaban yang berbeda. Baginya, Hong Kong adalah paduan antara harapan dan kegamangan. Sebagaimana dia ungkapkan, Hong Kong “telah mengubah banyak tetangga saya, perempuan-perempuan sebaya saya, menjadi perempuan-perempuan gemerlapan. […] Ataukah justru saya akan mati di negeri ini, dan mayat saya saja yang akan melewati bandara ini, seperti halnya nasib beberapa TKI lain, yang kadang tidak jelas sebab kematiannnya” (1-2). 

Bagi sebagian buruh migran, harapan untuk mereguk kebebasan melihat dunia luar seringkali hanya terwakili oleh pemandangan lansekap kota yang hanya bisa dinikmati dari balik jendela apartemen tingkat 10. Pei-Chia Lan dalam bukunya Global Cinderellas: Migrant Domestics and Newly Rich Employers in Taiwan (2006) menyebut mereka global Cinderellas. Mereka mengejar mimpi untuk mengubur kemiskinan dengan meninggalkan desa dan negerinya, namun sebagian besar menit dalam kehidupan mereka harus dilewati di balik tembok apartemen, di bawah pengawasan majikan. Ruang privat bukanlah pilihan yang bisa mereka minta. Rini mengungkapkan ketidak-nyamanannya berada di bawah ‘tatapan’ majikannya, bahkan ketika larut sudah tiba. 

Sudah pukul 02.00…Tak tahu mengapa, saya juga masih belum bisa tidur…Cahaya lampu masuk ke kamar saya yang terbuka lebar. Ingin sekali saya menutup pintu itu. Tapi, saya tahu pasti, nanti nyonya majikan saya akan membukanya kembali tanpa alasan. Mungkin, nyonya itu takut kalau-kalau saya akan menjahili anaknya, yang memang tidur sekamar dengan saya (19).

Resistansi atau perlawanan seringkali muncul dalam kondisi tekanan. Namun resistansi tidak harus selalu dimaknai sebagai upaya untuk menyerang balik sebuah kekuasaan. Dalam pandangan Foucault, kekuasaan tidak selalu bersifat menekan atau membatasi, namun juga memberdayakan pihak subordinat. Dengan demikian, melawan tidak selalu berarti ‘mengatakan tidak,’ namun lebih sebagai proses kreatif untuk menciptakan atau mengubah situasi, dan menjadi bagian aktif dari proses kekuasaan itu. Dalam konteks ini, upaya Rini untuk mengatasi keterbatasan ruang gerak adalah strategi perlawanan. Rini memiliki kebiasaan menulis buku harian. Baginya, menulis adalah sebuah obsesi untuk ingin berbagi cerita. Pengalamannya menjadi asisten plus juru ketik novelis perempuan Ratna Indraswari Ibrahim banyak membentuk harapannya untuk suatu saat bisa menulis buku. Ironisnya, majikan Rini, seorang sopir truk, tidak mengijinkannya untuk kelihatan nganggur sedetikpun, meski apartemen mereka sangat kecil. Rini bisa mengerjakan semua pekerjaan hanya dalam beberapa jam, dan menyisakan begitu banyak waktu untuk menulis di buku hariannya. Dengan cerdiknya, Rini menyimpan buku hariannya di dalam panci yang tidak terpakai, dan dia akan duduk di lantai dapur, dekat pintu masuk apartemen: 

Saya hafal betul suara dan irama langkah kaki majikan saya. Kalau saya mendengar langkah kaki itu, saya akan segera memasukkan buku harian ke dalam panci. Majikan saya tidak pernah membuka panci. Bisa saya bayangkan, kalau majikan saya tahu ada pulpen dan buku di dalam panci, mungkin akan memakannya mentah-mentah (23).

Penuturan Rini menunjukkan betapa rumitnya sebuah proses kreatif bagi seseorang, namun pada saat yang sama menggambarkan strategi yang cerdar untuk memberdayakan diri sendiri dan memberikan identitas baru di luar perannya sebagai seorang pembantu. Dalam konteks ruang, upaya ini juga bisa dikatakan sebagai privatisasi ruang publik. 

Contoh privatisasi ruang publik yang lebih gamblang juga bisa ditelusuri di bagian lain dari tulisan Rini. Sesuai kontrak, seorang BMI biasanya baru bisa memperoleh day-off seminggu sekali setelah 7 bulan bekerja. Itulah saat pertama kali seorang BMI betul-betul melihat dunia luar tanpa embel-embel tugasnya sebagai pembantu rumah tangga.  Rini menggambarkan hari libur pertamanya setelah satu tahun bekerja. “Saya merasa seperti ayam yang baru saja keluar dari kandang saja. Tidak tahu harus melangkah ke mana ketika keluar rumah, dan gagap saat ketemu orang. Selama ini saya seperti burung di dalam sangkar saja, sangkar yang begitu sempit dan menyesakkan” (75). Langkah Rini mengarah ke Victoria Park. Taman ini memang sangat terkenal sebagai tempat ratusan buruh migran dari berbagai negara berkumpul dengan teman sekampung. Film Minggu Pagi di Victoria Park (2010) yang disutradarai Lola Amaria memotret fenomena ini dengan sangat baik.  Berbagai sudut taman dikuasai buruh migran dengan berbagai aktivitas. Hal yang sama juga tertangkap di pengamatan Rini. “Hampir tidak ada tempat kosong di tempat ini. Semua penuh dan itu semua teman Indonesia. Bahkan lapangan sepakbola itu-mereka rupanya ngawur juga-dijadikan tempat duduk. Mereka menggelar tikar atau plastik untuk makan bersama atau tidur” (77). 

Interaksi Rini dengan sesama BMI menyiratkan bagaimana ethnoscape tidak hanya mengacu pada perpindahan invididu secara fisik, namun juga perubahan perilaku, seperti halnya yang umum terjadi pada masyarakat diaspora. Saat saya studi di Texas dulu, teman saya dari Pakistan mengatakan, “here, either you go to the right or you turn left. There’s no such thing as staying where you are.” Hal yang sama juga tercatat oleh Rini. Dia tuliskan rasa syukurnya bertemu dengan teman satu penampungan, yang dulunya judes dan cuek, sekarang ramah dan berjilbab. “Di negeri ini aku akan belajar untuk menyikapi hidup dengan lebih dewasa  yang tentunya berada di jalan Tuhan” (78). Namun di sudut lain, Rini juga tergagap mempertanyakan logika. “Saat itu tampak di depan mata saya, perempuan yang tinggi besar hitam, rambutnya habis dikerok, sedang memeluk perempuan cantik di bawah pohon itu. Apakah ketidakbahagiaan mereka di negeri ini sudah merusak akal sehat mereka”? (82). 

Hari pertama Rini penuh sesak dengan kilasan hidup para BMI. Sama halnya dengan Victoria Park dan  jembatan penyeberangan yang juga penuh sesak diprivatisasi oleh para buruh migran. Rini bertanya dalam hati, “kalau memang nggak seperti ini, mau ke mana lagi” (82). 

Kegalauan Rini menyiratkan betapa pentingnya sebuah sarana ekspresi diri diperlukan oleh para BMI, tidak hanya untuk membantu mereka mengisi hari libur yang hanya beberapa jam seminggu sekali, namun untuk memberdayakan diri agar tetap bisa melakukan manejemen identitas yang positif dan produktif. Menengok kembali kegiatan kreatif penulisan yang marak di kalangan BMI, apresiasi dan dukungan patut diberikan bagi para BMI yang konsisten menulis dan bahkan telah menerbitkan karya-karya mereka. 

Tuesday, April 03, 2012

NAFAS BERBAGI DI FORUM ILMIAH AKADEMIK

Membaca pengalaman `baru' mbak Sirikit Syah tentang suasana intimidatif forum ilmiah akademik di lingkungan perguruan tinggi, saya jadi ingat pengalaman saya saat ikut Masterclass hari Jum'at yang lalu. Bermula dari kebuntuan saya dalam meneruskan draft proposal, supervisor menyarankan untuk ikut Masterclass series dengan isu `Reception and Readerships.' Saya langsung sign up, karena topic ini memang
menjadi bagian penelitian saya. Dalam bayangan saya, masterclass ini adalah semacam seminar atau kuliah umum, yang pesertanya mahasiswa S2/S3 di sekitar Melbourne area. Masterclass ini sendiri diadakan oleh Media & Communication Program di Monash University. Meski begitu, kuliah diadakan di The Wheeler Centre di pusat kota Melbourne.

Saya masuk ke gang kecil di Little Lonsdale Street, di sisi kiri belakang Victoria State Library, mencari-cari di mana letak The Wheeler Centre. Begitu saya mendapati gedung berarsitektur Victorian ini, saya tercenung dengan berbagai tulisan dan poster tentang event-event yang diselenggarakan institusi ini. Atmosfer dunia menulis dan sastra sangat terasa di sepanjang lorong. The Wheeler Centre. Books. Writing. Ideas. Pantas saja Unesco memberi gelar Melbourne sebagai the city of literature. Komitmen pemerintah kota terhadap perkembangan dunia literasi nampak dari penuhnya kalender resensi buku, diskusi film dan media, dan berbagai kegiatan tentang literasi. (www.wheelercentre.com).

Di ujung tangga, seorang gadis cantik dengan busana yang fashionable menyapa. "Hi, are you here for the masterclass.? I'm Jinna. Let's go upstairs." Saya dan Shu Min, teman satu jurusan yang berasal dari Singapore beranjak ke ruang atas mengikuti dia. Baru saya tahu kemudian bahwa gadis modis itu adalah Dr. Jinna Tay, ketua panitia, yang juga dosen di Media & Communication Program di Monash. Satu persatu peserta datang. Ruang yang digunakan ternyata kecil. Kursi ditata saling berhadapan. Saya hitung, kursi yang disediakan tidak lebih dari 20 buah. Padahal kuliahnya mulai pukul 9 pagi sampai 4 sore. Wah, ini kayaknya bukan kuliah umum deh!

Begitulah, ternyata forum-forum akademik yang selama ini sempat saya ikuti lebih terasa seperti diskusi daripada kuliah umum yang cenderung one-way interaction. Tidak peduli pembicaranya professor ulung, jumlah peserta tidak akan mempengaruhi kualitas diskursi akademik. Di forum yang satu ini, pembicaranya adalah Prof. Sue Turnbull dari Media and Communications, The University of Wollongong. Sosok akademisi yang cukup terkenal sebagai `celebrity' di radio dan TV.' Beliau acapkali berbicara sebagai komentator media. Minat penelitiannya di bidang audience research, dan juga sedang mendalami representasi kriminalitas di media, termasuk di antaranya crime fiction. Dengan reputasi seperti ini, berbicara di depan `hanya' 18 orang, yang 5 di antaranya adalah panitia dari Monash (semuanya doctor atau Associate Professor), semangat berbagi yang ditunjukkan Prof. Turnbull terasa mengagumkan. Saya tidak tahu apakah suasana yang sama akan ditemukan juga bila seorang professor terkenal diundang berbicara, dan pesertanya ternyata hanya kelas kecil.

Dengan durasi kelas yang panjang itu, tidak mengherankan bila memang panitia dan Prof. Turnbull menginginkan partisipasi aktif peserta. Ini satu hal yang saya kagumi juga. Baik peserta yang sudah professor maupun yang baru merangkak di tangga studi S3 diperlakukan sama. Kami semua diminta menyampaikan minat penelitian, dan bagaimana kaitannya dengan reception studies dan audience research. Ada mahasiswa S2 dari RMIT yang meneliti product design and reception of IKEA. IKEA adalah produk furniture gaya Scandinavia yang sudah terkenal di seluruh penjuru dunia. Yang menarik dari penelitian si Melissa dari Colombia itu, ternyata ada persepsi berbeda antara consumer di negaranya dengan di  Australia. Bagi orang Kolombia, IKEA adalah prestige. Simbol modernitas dan status sosial. Bagi orang Australia, IKEA adalah jaminan mutu barang bagus dengan harga terjangkau.  Shu Min meneliti reception of sexual minorities in Japanese mainstream media and subculture. Saya sendiri akan menengok berbagai sisi budaya yang bisa terkuak dari karya-karya buruh migran, termasuk di antaranya, bagaimana `sastra Buruh Migran' diresepsi oleh masyarakat pembaca di Indonesia.

Dengan berbagai topik dan model penelitian yang bergulir dalam diskusi, Prof. Turnbull ikut lebur dalam antusiasme diskusi. Baik saat sesi kelompok maupun panel. Peserta yang lebih senior juga memberi masukan bagi peserta yang masih `krucuk' seperti saya. Bahkan saat kelas berakhir, Prof. Turnbull menawarkan diri untuk menjadi referee bagi siapapun yang hadir yang berminat mengirimkan artikel ilmiah di jurnal yang dia review. Saya membatin, beginilah seharusnya seorang akademisi membagikan ilmunya. Yang lebih pinter dan berpengalaman mencoba menunduk dan berjongkok agar bisa sejajar dengan mereka yang butuh dibimbing.

Mengingat kembali suasana akademik di institusi pendidikan di Indonesia, sudah bukan jamannya lagi forum ilmiah diisi dengan pertanyaan yang maunya kritis tapi sebenarnya membantai. Meski saya pribadi selalu berupaya berbicara semenarik mungkin agar menimbulkan banyak pertanyaan, banyak juga teman yang sudah keder dengan intimidasi tembok ruang seminar. Mungkin di mata mereka, forum ilmiah bisa membuat mereka tersudut atau salah menjawab, dan barangkali si penanya akan 'puas' sudah bisa mengintimidasi.

Sudah saatnya diskusi akademik bernafaskan niat untuk saling berbagi. Dengan niat begitu, even the hardest comments can be successfully tackled. Itu artinya, si pembicara tidak hanya datang demi selembar sertifikat sebagai presenter. Kalau yang model begini nih, biasanya malah bisik-bisik dulu, "aja melu takon lho ya."