Sunday, May 26, 2013

Towards a Literate Society

Tahukah beda antara masyarakat yang berbudaya lisan dan tulis? Walter Ong menuliskan dengan gamblang betapa jauhnya disparitas antara orality dan literacy dalam bukunya Orality and Literacy: The Technologizing of the World (1982).  Dalam masyarakat lisan, tidak ada istilah ungkapan seperti ‘coba dicek di buku,’ atau kalau dalam bahasa Inggris dengan idiom ‘look up something.’ Itu karena kata-kata memang tidak pernah divisualisasikan, dan hanya berupa bunyi. Dan karena hanya bunyi, maka akan cepat punah bila tidak dilestarikan. Kalaupun diabadikan, masyarakat lisan harus bergantung pada 'para tetua' yang dianggap lebih bijak dan berpengetahuan. 

Dalam masyarakat lisan, pemikiran (dalam bentuk tulisan) cenderung dianggap kurang penting, karena asumsi-asumsi sebagai berikut:

1.       Expression is additive rather than subordinative
Ekspresi dan pemikiran yang dituangkan dalam tulisan dianggap hanya tambahan saja, bukan subordinatif. Saya memaknainya sebagai cara berpikir di mana masyarakat lisan cenderung mengabaikan tulisan. Kalaupun ada, tidak terlalu dianggap keberadaannya, karena mereka lebih percaya ‘kata orang’ daripada ‘menurut buku.’ Sebaliknya, pemikiran yang subordinatif melihat tulisan sebagai rujukan yang diperlukan untuk memastikan kebenaran akan sesuatu.

2.       It is aggregative rather than analytic
Masyarakat lisan cenderung membawa kebenaran kolektif, apa kata kebanyakan orang, dan tidak membuka peluang untuk dikritisi. Itulah yang kemudian mengapa masyarakat lisan cenderung menjadi ‘follower,’ bukan ‘pioneer.’

3.       It tends to be redundant or "copious." 
Apa yang terungkap dari benak masyarakat lisan tidak terekam dalam teks, sehingga akan cenderung kabur dan gampang hilang. Teks itu sendiri berada ‘di luar’ benak, yang bisa senantiasa dirujuk bila pemikiran perlu dicek kembali kebenarannya. Teks yang dibaca akan membawa pikiran lebih lambat memproses informasi, dan memungkinkan masukkan pertanyaan-pertanyaan kritis.  Masyarakat lisan tidak memiliki ritual seperti ini.

4.       There is a tendency for it to be conservative
Pengetahuan yang tidak diulang-ulang akan mudah hilang, dan untuk itu, masyarakat lisan berupaya keras mengingatnya. Ini membawa konsekuensi cara yang konservatif, dengan mengandalkan ‘para tetua’ yang dianggap lebih bijak dan berilmu sebagai sumber informasi. Akibatnya adalah tertutupnya peluang ‘bereksperimen.’ Sementara itu, masyarakat tulis menempatkan ilmu keluar dari pikiran dan menuangkannya di teks, dan merevolusi anggapan bahwa yang senior adalah yang lebih paham. ‘Repeaters of the past’ digantikan perannya oleh mereka yang lebih muda dan berani berinovasi.

5.       Out of necessity, thought is conceptualized and then expressed with relatively close reference to the human lifeworld
Pemikiran yang dianggap tidak ada kaitannya dengan kehidupan nyata atau yang dialami langsung pada saat itu cenderung dianggap tidak bermanfaat. Barangkali ini alasannya mengapa dunia literasi (baca-tulis) dianggap tidak popular atau penting bagi sebagian orang-tua. Buku tidak membuat kenyang, dan tidak nampak hasilnya secara langsung.

6.       Expression is agonistic ally toned
Dalam masyarakat lisan, orang-orang yang ‘literate’ cenderung dianggap memicu perilaku agonistik. Perilaku ini lebih dari sekedar agresif, dan mengacu pada pergulatan dan persaingan. Jangan heran bila kemudian kita melihat reaksi masyarakat terhadap sebuah buku atau pemikiran yang controversial atau dianggap keluar dari pakem sosial. Tulisan tidak dilawan dengan tulisan tanding, namun dengan kebrutalan yang bahkan melibatkan konflik fisik.

7.       It is empathetic and participatory rather than objectively distanced
Dalam masyarakat lisan, pengetahuan baru dilihat sebagai sarana untuk identifikasi komunal dan menimbulkan kedekatan emosional. Sebaliknya, dalam masyarakat tulis, pemikiran yang didapat dari proses pembacaan memungkinkan mereka untuk mengambil jarak antara diri dengan pemikiran baru tersebut. Membaca pemikiran Karl Marx bukan berarti setuju dengan Marxisme. Namun bagi masyarakat lisan, mengenal pemikiran Karl Marx bisa dianggap sebagai pendukung komunisme.

8.       It is Homeostatic
Masyarakat lisan hidup pada jaman kekinian, dan mengambil makna ujaran atas dasar apa yang ditangkap pada saat itu. Sementara itu, tulisan tak lekang dimakan waktu, dan membuka peluang berlapis-lapis pemaknaan. Karena masyarakat lisan tidak memiliki kamus, maka makna sebuah kata atau konsep bergantung pada kondisi ‘sekarang dan di sini.’

9.        It is situational rather than abstract.
Tanpa tulisan, konsep pemikiran akan bergantung pada situasi di mana satu kejadian berlangsung.


Kita lihat sekarang betapa dahsyatnya kebodohan dan pembodohan berlangsung bila literasi tidak menjadi nafas masyarakat kita. Jalan satu-satunya adalah mentransformasi diri dan memberdayakan masyarakat kita menjadi bangsa yang ‘literate.’ Sejujurnya, Islam adalah agama yang sangat advanced dalam hal pentingnya tulisan. Lima ayat Al-Qur’an yang pertama kali diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW menjadi dasar yang tidak bisa dibantah. Menurut Yedullah Kazmi, dalam artikelnya, "The Rise and Fall of Culture of Learning in Early Islam (Islamic Studies 44, no. 1 (2005)), posisi ayat-ayat ini begitu berdaya untuk mentransformasikan masyarakat dari yang berbasis orality menuju literacy

Masyarakat lisan adalah mereka yang terkungkung dalam mitos, dan Allah menurunkan Al-Qur’an, mewajibkan manusia untuk tidak hanya membaca dan membaca kembali, namun juga untuk menciptakan kondisi yang mendorong masyarakat meninggalkan mitos dari kebiasaan hidupnya. Sebagai gantinya, mereka harus menumbuhkan kebiasaan berpikir melalui pembacaan terhadap dunia dengan cara yang ilmiah, dengan tetap berpegang pada Allah sebagai pencipta alam semesta.

Jadi, apalagi yang kita tunggu? Ayo menuju masyarakat berbasis literasi. Sekarang!


Monday, May 20, 2013

Hujan di Penghujung Autumn


Hujan pagi ini baru menetes di pipi
Membawa angin mematikan jemari
Kugandeng anakku setengah berlari 
Menghindari basah mengejar assembly*

Hujan kali ini belum lagi tumpah
Ketika tangis Adzra tiba-tiba pecah
Terjerembab kala jarak baru setengah
Tak ada pilihan selain membalikkan langkah

Hujan saat ini menggigilkan sendi
Merah memar Adzra meronai pipi
Menelpon kesana-sini menunda janji
Urusan diri menjadi tak penting lagi

Hujan siang penuh keraguan
Cucian berulang kali digantung disimpan
Entah keringnya sampai kapan
Tanpa sempat pikirkan kerapian  

Hujan yang tak pernah menggenang
Dingin 12 derajat menguasai siang
Hangatnya heater tak kuasa ditentang
Cekikan rekening listrik sudah terbayang

*Assembly: upacara sekolah

Krisis Literasi di Era 2.0

Ada yang sudah pernah nonton film The ReaderDalam film ini, Kate Winslet melakonkan peran sebagai Hanna, seorang wanita yang terancam dihukum berat dalam kasus pembantaian ratusan orang di kamp Nazi Jerman. Michael, mahasiswa hukum yang pernah ditolongnya dan sempat menjadi teman dekatnya meyakini ada satu kondisi yang akan membebaskan Hanna dari vonis berat. Sayangnya, Hanna sendiri menolak mengungkapkan ini, karena dia anggap sebagai aib moral. Aib itu adalah kenyataan bahwa dia tidak bisa membaca. Pengakuan ‘krisis literasi’ dalam hidupnya ini diyakini Hanna sebagai sumber jatuhnya harga dirinya di mata masyarakat. Itulah sebabnya Hanna melakukan serangkaian defence mechanism untuk menjaga harga dirinya sebagai orang yang tidak bisa membaca. Dalam perjalanan cerita, Hanna memang akhirnya belajar membaca selama di tahanan. Salah satu mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Inggris pernah menggunakan novel The Reader karya Bernard Schlink (1995) dan mengangkat tema pentingnya membaca dalam kaitannya dengan self-esteem. Saya hafal karena saya ikut dalam tim pengujinya. 

Besarnya dampak  ‘krisis literasi’ secara individu sudah sering dibahas di dunia sastra. Celie dalam The Color Purple (1982) karya Alice Walker menemukan literasi sebagai kekuatan untuk pemberdayaan diri. Dalam versi filmnya, tokoh Celie dimainkan apik oleh Whoopi Goldberg. Novel dan filmnya termasuk yang paling sering saya bahas di kelas-kelas saya dulu. Masih banyak lagi karya sastra yang membahas pentingnya literasi dalam kehidupan sosial.

Di sisi lain, kita tahu bahwa krisis literasi sebenarnya bukanlah sekedar masalah pribadi, namun adalah tantangan sosial yang terjadi di seluruh penjuru dunia. Di negara kita sendiri, praktis tiap hari kita mengungkapkan keprihatinan kita terhadap rendahnya budaya membaca menulis di masyarakat Indonesia. Bolehlah kita berpendapat bahwa bangsa kita tengah, atau bahkan sudah lama mengalami krisis literasi. Di seluruh dunia, perhatian terhadap perkembangan literasi memang semakin meningkat, dengan anggapan bahwa di mana-mana sedang terjadi krisis literasi. Apakah krisis yang kita bayangkan ini memang ada, dan bila iya, apakah dimaknai sama? Sebenarnya definisi krisis ini amat beragam, bergantung di mana krisis itu dianggap terjadi. Dalam buku Literacy and Motivation (2001), Ludo Verhoeven dan Catherine E. Snow memberikan beberapa contoh krisis literasi. Di negara-negara berkembang misalnya, istilah krisis literasi mengacu pada pentingnya peran literasi dalam pembangunan ekonomi, namun dihadapkan pada kondisi keterbatasan ketrampilan literasi di kalangan masyarakat, akses pendidikan, dan tantangan dalam menerapkan sistem pendidikan secara universal bersamaan dengan program literasi untuk orang dewasa. Bila melihat ciri-cirinya, kita harus mengakui bahwa bangsa Indonesia masuk dalam kategori ini.  Sulitnya kondisi pendidikan seperti terbatasnya jumlah guru, minimnya fasilitas, dan sulitnya menjangkau lokasi sekolah di daerah-daerah binaan program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3-T) menjadi bukti lebarnya disparitas pendidikan di negara kita.

Di negara-negara maju, dengan tingkat literasi yang tinggi, termasuk di dalamnya adalah Amerika bagian utara (AS dan Canada) dan Eropa, krisis literasi berarti terdapatnya ketimpangan dalam distribusi ketrampilan literasi. Hal ini disebabkan oleh lebarnya jurang penguasaan ketrampilan literasi dalam konteks pendidikan formal antara masyarakat imigran dan kelompok minoritas dengan populasi negara-negara tersebut secara keseluruhan. Bahkan di negara-negara maju yang boleh dikatakan sudah mencapai tingkat literasi yang merata, krisis literasi juga terjadi, dalam konteks ketidak-mampuan kelompok masyarakat angkatan kerja untuk menjawab tantangan teknologi canggih yang digunakan di peralatan-peralatan pekerjaan untuk jenis pekerjaan kasar sekalipun. Dengan kata lain, literasi digital di kalangan masyarakat pekerja di negara maju ada pada tingkat mengkhawatirkan.

Makna lain dari krisis literasi adalah kondisi di mana orang-orang yang secara teknis sangat ‘literate,’ dalam artian mampu membaca buku-buku yang kompleks, malah menunjukkan gejala aliterasi. Misalnya, anak-anak sekolah yang berprestasi terbukti menghabiskan waktu lebih sedikit untuk membaca dibandingkan dengan anak-anak di usia sama pada 50 tahun yang lalu; buku-buku ‘best-seller’ untuk orang dewasa tidak lagi berupa sastra berkelas, namun adalah how-to books atau fiksi murahan; dan diskusi atau obrolan bermutu tentang pengarang besar dan karya-karyanya sudah digeser oleh obrolan tentang program televisi dan software komputer.  Jujur saja, kondisi aliterasi seperti ini juga terjadi di masyarakat urban di Indonesia, dengan variasi yang lain. Yang terjadi bukanlah penurunan tingkat membaca atau pergeseran topik obrolan, namun rendahnya kebiasaan membaca di kalangan masyarakat terdidik, terutama di sekolah. Kalau karya sastra anak bangsa sendiri saja hampir tidak pernah disentuh, bagaimana mau terlibat dalam obrolan cerdas tentang sastra.

Menyedihkan memang menyadari bahwa semua makna krisis literasi di atas terjadi pada bangsa kita, mulai hulu hingga hilir, dari daerah tertinggal hingga rumah-rumah mentereng di kota besar. Krisis literasi yang terjadi di dunia ternyata lengkap tersedia di masyarakat kita, mulai tingkat functional literacy yang dibutuhkan untuk sekedar baca tulis untuk kehidupan sehari-hari dan untuk belajar di bangku sekolah, digital literacy untuk meningkatkan posisi tawar di dunia kerja, sampai critical literacy untuk mengasah sensitivitas dan kesadaran berkehidupan yang manusiawi.

Upaya untuk mengembangkan literasi memerlukan redefinisi literasi itu sendiri. Literasi bukan hanya pencapaian kognitif, dalam arti bahwa seseorang mampu membaca dan menulis. Pandangan ini akan cenderung membawa kita pada keyakinan bahwa literasi adalah tanggung-jawab sekolah. Kita perlu menyadari bahwa literasi membutuhkan komitmen secara afektif. Hanya dengan melihat makna literasi secara holistik ini kita bisa mencetak ‘pembaca aktif,’ yang punya motivasi internal untuk membaca, memahami kenikmatan dan manfaat yang diperoleh dari kegiatan membaca, dan menyediakan waktunya untuk membaca dalam keseharian. Literasi yang bernafaskan komitmen afektif sebenarnya adalah bagian dari pemikiran bahwa literasi adalah praktik sosial, yang mengandung nilai-nilai, perasaan, dan perilaku individu/masyarakat. Literasi sebagai praktik sosial, sebagai vernacular practice memiliki berbagai fungsi, untuk mengatur kehidupan sehari-hari, komunikasi personal, kesenangan pribadi, dokumentasi kehidupan pribadi, pemaknaan diri dan lingkungan, dan partisipasi sosial.  Hanya dengan melihat literasi sebagai satu praktik sosial kita bisa menemukan faktor-faktor sosial budaya yang mempengaruhi motivasi baca-tulis, untuk kemudian bisa membentuk (kembali) peran literasi untuk meningkatkan kualitas hidup bermasyarakat.      

Kehadiran media dalam kehidupan sehari-hari memang mengubah hidup kita secara drastis. Lalu bagaimana kita menyiasati krisis literasi , sementara dalam keseharian kita terpapar pada media? Dunia berbasis web 2.0 seperti sekarang ini sebenarnya malah membuka banyak peluang. Sebagai orang yang sering mengamati karya seni dalam bentuk film dan dan artefak budaya lain seperti iklan dan acara TV, saya termasuk yang percaya bahwa ada konvergensi antar praktik literasi. Konsep literasi sekarang ini sudah masuk ke third wave, dengan istilah New Literacy Studies (NLS). Literasi tidak hanya terbatas pada printed form, namun juga dalam bentuk media digital. Itulah yang kemudian membuat Cultural dan Media Studies semakin beririsan dengan Literacy Studies. 

Pemanfaatan media untuk critical engagement justru sangat dianjurkan dalam proses belajar mengajar sekarang ini, terutama dengan kondisi bahwa mayoritas siswa sekolah (terutama di masyarakat urban) sudah menjadi digital natives. Di sisi lain, guru-gurunya masuk dalam golongan digital immigrants. Untuk bisa memenangkan hati mereka, memotivasi mereka untuk cinta literasi, satu-satunya cara adalah memahami cara berpikir 'digital' mereka, bukan sebaliknya, memaksa siswa masuk ke dunia 'primitif' guru-gurunya. Bukankah akan sangat menarik bila siswa/mahasiswa diajak berdiskusi tentang film atau media apapun dan melatih mereka menuliskan pandangan kritis mereka. Tidak masalah nantinya mau dituangkan bentuk print atau digital (mis. blogging). 

Media dan teknologi hadir tidak untuk mengganti buku dalam bentuk cetak, namun melengkapi pengalaman pembelajaran tatap muka. Ini juga untuk merespon kebutuhan tiap anak dalam gaya belajar yang pasti berbeda. Pemahaman guru tentang kecerdasan majemuk akan bisa memperkaya metode dan strategi pembelajaran yang dilakukan di kelas. Contoh yang saya amati di kelas English di sekolah Ganta, versi novel dan film sama-sama dinikmati dan dibahas di kelas. Pada akhirnya, siswa tetap dituntut menghasilkan sesuatu dalam bentuk tulisan. 

Dalam kaitannya dengan digital literacy, di lapangan sebagian guru/dosen sebenarnya malah membukakan pintu teknologi bagi sebagian (maha)siswa. Semua bergantung pada masanya. Setidaknya itu yang saya alami dulu. Saya pertama kali menggunakan milis untuk forum diskusi kelas sastra saya pada tahun 2005. Tidak terlalu jalan, karena banyak yang masih belum punya email, dan tidak ngeh dengan forum milis. Pada tahun-tahun berikutnya, saya mulai pakai blog untuk posting bahan kuliah dan forum diskusi. Lumayan lancar dan engaging, meski sebagian tidak punya akun, sehingga harus nunut akun temannya bila mau posting. Saat penggunaan Facebook menjamur, saya menambah jalur, dengan menggunakan FB group khusus untuk forum diskusi. Pada titik ini, rasanya lumayan lancar jaya dan interaktif. Saya kira karena model mahasiswanya sudah beda banget. Model yang terakhir ini nampaknya yang sudah digital natives. Bahan obrolan di FB group malah kemudian bisa memperkaya diskusi di kelas, atau sebaliknya, menjadi tindak lanjut pembahasan di kelas yang belum tuntas. 

Sebagai guru, kita memang harus merangkul model pembelajaran konvensional dengan model digital. Seberapa cinta saya dengan penggunaan teknologi dalam pembelajaran, saya  masih menikmati romantisme memegang novel untuk mengajar kelas Prose misalnya. Rasanya nikmat ketika bisa memegang bukunya, membaca kalimat-kalimat indah dan imajinatif untuk menghidupkan suasana dramatis dan  memancing diskusi, serta tidak ribet dengan powerpoint. 

Pembelajaran yang holistik sudah menjadi keniscayaan. Pertanyaannya, siapkah kita sebagai guru menjawab tantangan ini? 

Friday, May 17, 2013

I've Got Breast Cancer

So this is it. I wonder why I was not ready for the bad news when I realized that it was actually the reason why I decided to have a series of doctors’ consultations and lab examinations. When I felt a small lump on my left breast last February, the first thing I wanted to avoid was the danger of not knowing the worst. I had had surgery on the same breast before, plus the fact that my younger sister died of late breast cancer last year, so I supposed I should have anticipated the worst.

Anyway, after spending around two months with all the tests and consultations, the news came. It’s there on the same spot, it’s just that now, it’s cancerous, rather than being just a benign lump like what I had back in 2006.

So what do I do now? I have to prepare myself, physically, psychologically, and financiallly, for a series of upcoming treatments. Surgery, radiation, and most likely chemotherapy. I have my study underway, and with the children with me, I don’t have to pretend that I will be strong enough to deal with everything myself. I certainly don’t want to put the kids in jeopardy in the first place.

Here’s the plan for the next 12 months. It’s going to change the course of our life, me and my husband, who is still in Surabaya. But it’s for the best. Alhamdulillah, it didn’t take him days to decide that he would join us and stay here in Melbourne. I know it’s a big sacrifice. He will have to take an unpaid leave from his job, leave his business for a while. I pray to Allah that he will be granted better things for this sacrifice.

In the meantime, I’m educating myself with all the books the doctor and hospital gave me. That’s the good thing about health system overseas. Patients are always given sufficient information package about their health concerns, ask a lot of questions during consultations without the fear of being considered fussy or pushy, and eventually have the freedom to choose what treatments suit them best.

I have a month to go before the scheduled surgery, and I promise myself to work harder and finish the chapter I’m working on now. I want to have more peace of mind when the surgery is done, more time to recover after that, and think about what’s next, before jumping back to this seemingly never-ending project.
PhD is not a joke, but my supervisor is so thoughtful as to tell me that in the next five years, PhD course will appear only as a small dot in the big frame of my life. It seems it’s one thing that matters most, but this BC has warned me that health and well-being are what matter most. Thanks a million, Fran, for being so understanding and reassuring. This thesis will be done, maybe not as swift as I had expected. But I’ll be there.

Having BC is one thing, but seeing it as a means to reach to next level of spirituality is worth considering and inhaling in every breath I take.

Sunday, May 12, 2013

Quick Notes on Creative Project

Di milis Keluarga Unesa ada kabar bahwa BEMJ jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Unesa akan mengadakan acara Bincang Sastra pada tanggal 22 Mei 2013 nanti, dengan pembicara Prof. Mochtar Pabotinggi. Pakar intelektual dari LIPI ini juga menulis buku a la novel berjudul Burung-burung Cakrawala. Saya senang mendengar kabar ini, dan berharap bahwa acara diskusi sastra dan budaya bisa menjadi agenda rutin di jurusan tercinta. Bagaimanapun, sebuah jurusan yang berbasis tulis menulis akan kehilangan maknanya bila forum sastra, budaya, dan literasi, justru kurang mewarnai keseharian civitas akademikanya.  

Sukses untuk acara Bincang Sastranya nanti. Saya berharap sekali pernyataan kolega dan sahabat dekat saya, pak Khoiri, bahwa agenda seperti ini akan menjadi awal yang baik forum serupa bisa direalisasikan ke depan, tidak hanya dengan mahasiswa, namun juga dengan siswa SD-SMA. Saya percaya bahwa cara terbaik untuk mengajak anak-anak usia sekolah cinta sastra dan literasi adalah dengan langsung berdialog dengan mereka, mendatangkan penulis langsung di hadapan mereka. Ini bisa mempersempit jarak antara dunia sekolah dengan kepenulisan atau kegiatan kreatif apapun. Saya pribadi ingin menyimpan keinginan ini untuk rancangan agenda selepas studi nanti dan kembali ke tanah air, insya Allah.

Omong-omong tentang dunia kreatif dan pembelajaran di sekolah, kebetulan sekolah Adzra juga sedang menjalankan proyek pembuatan film pendek, yang digarap oleh siswa kelas 5/6. Salah satu langkah yang dilakukan adalah mengundang film maker untuk berbagi tips. Mereka akan melakukan proyek ini selama 3 minggu, dengan mengambil tema Reconciliation. Moreland City Council menjadi teman kolaborasi, dengan mendatangkan Kimba Thompson, seorang seniman dan sutradara, yang akan berbagi tentang sejarah orang-orang Indigenous di Australia, serta betapa pentingnya Sorry Day dalam proses rekonsiliasi masyarakat Australia dengan penduduk asli Australia. 

Sekolah memang perlu punya peran lebih aktif dalam mendekatkan anak-anak dengan dunia profesi, dan tentunya memahami dunia secara umum. Yang saya tahu, sejak di Kinder, Adzra dan teman-temannya sudah beberapa kali bertatap-muka dengan orang-orang dari berbagai profesi. Dari para polisi, Adzra jadi paham pentingnya safety and security dan disiplin lalu-lintas, dan punya image positif tentang polisi. Kalau ada mobil polisi lewat, Adzra suka berhai-hai melambaikan tangan. Adzra juga pernah bertemu dengan penyayang binatang, yang membawa binatang-binatangnya langsung di sekolah. Tidak main-main, ada buaya dan ular. Wedeh, saya saja sudah ngeri membayangkan bagaimana safety-nya saat itu. Kindernya juga pernah mengagendakan pengamatan chicken hatch, dengan menghadirkan ayam-ayam yang mau bertelur, dan selama 2 minggu, anak-anak diajak mengamati telur mana yang sudah menetas. 

Di sekolah Moreland Primary School, berbagai hasil proyek kelas berkeliaran di dinding kelas dan aula. Praktis tidak ada tembok yang kosong. Sekolah sedang menjalankan program cinta lingkungan, dan anak-anak kelas 3/4 dan 5/6 melakukan proyek pengamatan dan menerapkan solusi secara berkelompok. Bagusnya, semua project design ditempel dalam bentuk poster di aula sekolah. Poster yang melibatkan anak-anak contohnya seperti di bawah ini. 
         



Melihat poster pertama, saya jadi ingat 'gerakan pemilahan sampah mandiri' yang sempat saya rintis di kampung di Kebraon. Bagaimana nasib komposter Aerobnya ya, setelah 'bu Kompos' nya terbang ke Melbourne? Mudah-mudahan ibu-ibu PKK masih semangat memilah sampahnya.

Poster kedua adalah contoh kampanye 'nude food,' di mana siswa sangat dianjurkan membawa bekal yang tidak pakai factory packaging seperti kertas atau plastik. Hasil pengamatan tim lingkungan dari anak-anak kelas 5/6 diumumkan di newsletter yang dibaghikan ke orang-tua tiap bulan. Di edisi bulan ini, anak-anak Prep menjadi 'juara kebersihan' karena lebih dari 80 persen membawa 'nude food.' Masih ingat cerita saya tentang bekal Adzra kan. Nah, itu kira-kira contohnya. Kalau sudah lupa, tengok di sini.

Ada banyak proyek lain yang berjalan. Kelas Prep sendiri riuh dengan museum project pada term I yang lalu (Feb-Mar). Tiap anak diminta membawa beberapa barang yang menjadi bagian sejarah diri dan keluarganya. Tujuannya adalah agar anak mengenal identitas diri dan budayanya, serta bisa menceritakannya pada teman di kelas. Show and tell presentation gitu lah. Ini salah satu kegiatan yang Adzra sukai juga. Saat 'show and tell presentation' lain di minggu lalu, meski niatnya bercerita tentang salah satu boneka (dan sudah disiapkan), diam-diam Adzra membawa arloji saya. Adzra malah lebih sering pakai arloji tersebut buat gaya-gayaan. Seneng rasanya waktu Adzra cerita bagaimana presentasinya berjalan. Bagaimana dia harus membuka presentasi dengan 'greetings' dan kalimat 'today, I wanna tell you something about ....' dan 'bla..bla..bla..' termasuk mengundang temannya untuk bertanya. "do you have any questions?" Aku tanya dia, ''did anybody ask you questions?'' Katanya, ''of course, I got three." Lucunya, ada temannya yang tanya, "where did you buy it?" Jawab Adzra, "I told you, it's a gift from my mum." 

Project-based learning memang sudah seharusnya menjadi nafas pembelajaran sejak di tingkat awal. Bukan modelnya lagi guru menyuruh siswa mengejarkan soal-soal latihan dan PR menggunung. Aku ingin nantinya selesai sekolah bisa terjun kembali, mengajak guru-guru mengembangan project-based learning di kelas masing-masing. Setelah ikut PBL online course pada awal 2011 dulu, saya belum sempat menularkannya secara langsung, kecuali menerapkan lebih serius ke kelas-kelas saya sendiri, dan malah sudah keburu ditinggal sekolah. 

Bagaimana dengan proyek saya yang sedang berjalan sekarang ini? Sudah 3 bulan lebih, satu bab tentang 'suitcase libraries and Indonesian domestic workers' belum juga final. Banyak perspektif baru yang membuat saya jadi harus banyak lagi baca referensi dari disiplin lain seperti geography, migration studies dan urban planning. Ada masa-masa di mana saya sendiri bingung, which discipline do I actually belong toSo, inikah yang dimaksud bahwa 'cultural studies is an anti-disciplinary approach.' Gak mau dikotak-kotakkan, dan bergerak dari satu disiplin ke disiplin lain untuk menjelaskan fenomena literasi di kalangan BMI. 

Hari-hari semakin dingin, dan mengungsi ke library tiap hari untuk bekerja dan mencari 'kehangatan' adalah jawabannya. Dalam tuntutan proyek menulis yang begitu demanding dan intense ini, menatap Adzra dalam setiap performance-nya adalah oase. Dua minggu yang lalu, dia tampil bersama anak-anak Indonesia lain, bernyanyi lagu Bunda-nya Melly Guslaw dan berpuisi di panggung Indonesia Street Festival. Jum'at kemarin dia dan teman-teman Prep bernyanyi lagu Aborigine di depan orang-tua, saat Mother's Day morning tea di sekolah. Minggu-minggu ini dia dan teman-teman ngajinya di masjid kami, Surau Kita, sedang berlatih Saman dance, untuk performance di Muslim festival minggu depan. 

Lha kok anakku jadi lebih sibuk daripada ibunya!