Tuesday, November 17, 2015

Tetap Ikut Ujian S-3 meski Wajah Menghitam Akibat Kemo

Tulisan ini adalah hasil wawancara Jawa Pos dengan saya. Sebenarnya saat itu kami sedang meresmikan pendirian Pusat Literasi Unesa. Kami menandainya dengan Bedah Buku. Tapi ternyata wartawan malah tertarik dengan kisah saya sebagai berjuang melawan kanker payudara di tengah-tengah perjalanan studi saya di Melbourne. Semoga tulisan ini memberikan semangat bagi para perempuan untuk pantang menyerah saat menghadapi cobaan dan musibah. Ikhtiar, pikiran positif dan ihkhlas adalah kuncinya.

==============================================


Tetap Ikut Ujian S-3 meski Wajah Menghitam Akibat Kemo

Kisah Dosen Unesa Pratiwi Retnaningdyah Berjuang Melawan Kanker Payudara Mengidap kanker payudara bukan akhir dari segalanya. Pratiwi Retnaningdyah buktinya. Kendati divonis kanker payudara, dia mampu menyelesaikan studi S-3 di Australia.

PUJI TYAS/ JAWA POS
shock.Suroboyo PANTANG MENYERAH: Pratiwi Retnaningdyah tetap tegar saat divonis mengidap kanker payudara.

TIWIK –panggilan Pratiwi Retnaningdyah– lemas lunglai saat divonis mengidap kanker payudara pada awal 2013. Saat itu, Tiwik adalah mahasiswi S-3 yang sedang memasuki tahun kedua di University of Melbourne, Australia. Vonis itu sangat mengguncang hati Tiwik. Dia
Semua bermula saat Tiwik merasa ada yang tidak beres pada payudara kirinya. Perempuan yang juga dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu merasakan ada benjolan pada payudaranya. Meski tidak merasakan sakit apa pun, Tiwik memutuskan untuk memeriksakan diri. Arek
kelahiran 3 Agustus 1967 tersebut lantas bertandang kepada dokter umum di klinik kampusnya. Dokter lantas merujuk ke laboratorium agar Tiwik melakukan serang- kaian pemeriksaan. Mulai mammogram, USG, hingga biopsi. Saat itulah, Tiwik didiagnosis kanker payudara. ’’Stadium awal tidak, lanjut juga tidak. Stadium tengah,” tuturnya.
Kesadaran untuk memeriksakan diri itu bukan tanpa alasan. Dia punya pengalaman tidak menyenangkan terkait kanker payudara. Tiwik mengaku, adik perempuannya yang ketiga meninggal karena kanker payudara. Tepatnya enam bulan sebelum Tiwik divonis kanker. Saat itu, Tiwik berada di Melbourne.
Saat didiagnosis, Tiwik mencoba tegar. Namun, setegar-tegarnya perempuan, air matanya jatuh juga. Ibunda Ganta dan Adzra itu lantas menuju perpustakaan kampus
Dia menangis sambil terus menulis. Air matanya bercucuran. ”Saya ngetik tentang perasaan saya sambil menangis,” katanya.
Menumpahkan unek-unek dalam sebuah tulisan membuat Tiwik merasa lega. Tulisan yang diketik dalam bahasa Inggris itu pun disimpan rapi. Setelah beberapa waktu dan Tiwik yakin bahwa tulisan tentang kanker yang dideritanya tidak membuat orang sedih atau membuat dirinya dikasihani, Tiwik mengunggahnya dalam blog. Dia berharap ada manfaat yang bisa dipetik bagi orang lain atas peristiwa yang dialaminya.
Sekecil apa pun kanker harus ditangani. Dokter mengatakan, Tiwik harus segera dioperasi. Payudara kiri Tiwik pun diangkat. Serangkaian proses kemoterapi dijalaninya. ”Saya tahu kemo akan betul-betul melemahkan. Saya butuh suami untuk datang menemani saya,” terangnya. Suami Tiwik, Prapto Rusianto, yang berprofesi sebagai guru, psikolog, konselor, sekaligus konsultan psikologi pun lantas cuti. Dia mengambil pekerjaan sampingan di Melbourne. Di sana, sang suami mendampingi Tiwik selama total satu tahun. Kedua anaknya juga diboyong ke Melbourne. Mereka lebih dahulu sampai di Melbourne sejak awal Tiwik kuliah.
Dia bersyukur, perawatan kesehatan di Melbourne sangat bagus. Sebagai seorang mahasiswa, Tiwik di- cover oleh asuransi kesehatan. Semua biaya ditanggung asuransi. Tiwik hanya mengeluarkan uang untuk menambal biaya pengobatan yang kira-kira hanya Rp 40 juta dari keseluruhan biaya yang mencapai ratusan juta rupiah. ”Itu pun saya bayar nyicil,” tuturnya.
Vonis kanker payudara tidak lantas menjadikan studi Tiwik keteteran. Kepada supervisornya, Tiwik menyampaikan bahwa studi lapangan sudah dilakukannya. ”Saya bilang ke supervisor bahwa tidak ada masalah dengan penelitian saya. Tapi, saya sedang sakit. Perlu cuti beberapa bulan karena harus operasi dan kemo,” katanya.
Beruntung, jawaban sang supervisor sangat melegakan Tiwik. Dia meminta Tiwik tidak khawatir dengan studi. Toh, selama ini tidak ada kendala. Hal yang harus diprioritaskan adalah kesehatan. ”Lima tahun lagi PhD hanya menjadi satu bagian kecil dari hidup. Yang penting sekarang sembuh,” kata Tiwik menirukan jawaban sang supervisor. Tiwik pun mendapat izin cuti selama tiga bulan.
Perkembangan studi Tiwik berjalan dengan baik. Saat kemo keenam atau terakhir, cuti sakit Tiwik juga berakhir. Pada November 2013, dia mendapat e-mail dari kampus untuk melakukan progress review tahun kedua pada Desember 2013. ”Karena saya habis kemo, butuh istirahat dua minggu. Saya tanya ke supervisor apa bisa progress review diundur dua minggu saja,” katanya.
Tiwik meminta reschedule agar kondisi kesehatannya lebih kuat dan bisa membuat ringkasan untuk progress review- nya. Namun, kepada sang supervisor, Tiwik memastikan bahwa bab-bab untuk review sudah siap. Tiwik mengaku selama masa sakit, dirinya meluangkan waktu untuk ngebut mengerjakan riset. ”Jadi, pas kemo selesai, garapan sudah ada,” jelasnya.
Tidak mudah menjalani masa pengobatan sambil tetap belajar. Sebelum kemo dimulai setelah operasi, ada jeda waktu satu bulan. Tiwik mengisinya dengan ngebut mengerjakan tesis. Saat masa kemo, Tiwik mengisi waktu dengan membaca. Itu pun kalau kondisi badan mendukung.
Tiwik memang bertekad untuk tidak menunda studi. Dari faktor usia, Tiwik sudah di atas 45 tahun. Jika terus-menerus meratap, tentu tidak akan mengubah apa-apa. Dia juga tidak punya asisten rumah tangga, sementara studi harus tetap jalan. ”Sedih oke, tapi tidak boleh terpuruk,” tuturnya. Ya, Tiwik memang menangis. Tapi, dia berusaha untuk tidak menangis di depan dua anaknya. Tiwik menyampaikan kepada buah hatinya bahwa dirinya sedang sakit. Secara fisik, kondisinya tidak akan optimal beraktivitas untuk sementara waktu. Karena itu, dia meminta kepada anaknya untuk membantu dan bekerja sama dengan ayah dalam menjaga urusan rumah.
Beruntung, dua anak Tiwik bisa memahami kondisinya. Bahkan, ketika Tiwik tidak bisa menemani ke sekolah dan membacakan buku cerita, sang anak menenangkan. Begitu pula ketika mereka tahu Tiwik gundul karena sakit. ”Ibu tidak usah risau. Nanti rambutnya bisa tumbuh lagi,” katanya mengenang support buah hatinya.
Selesai kemo terakhir, Tiwik ikut ujian tahun kedua dalam kondisi badan lebih kurus. Wajahnya pun menghitam akibat kemo. Saat datang ke kampus untuk tanda tangan beberapa berkas, supervisor menyangsikan kondisinya. ”Kamu yakin akan ujian sekarang? Kami bisa mundurkan sampai Februari,” kata Tiwik, menirukan sang supervisor. Tapi, Tiwik bersikukuh ikut ujian. Dia sudah punya bahan untuk diujikan dalam progress review tahun kedua. Bahkan, bertandang ke Hongkong untuk riset lapangan sempat dilakukannya sebelum divonis kanker. Selama ujian, Tiwik mengakui kondisi fisiknya masih tidak fit. Namun, dia berhasil melaluinya dengan cukup baik.
Sepanjang 2013, Tiwik menjalani pengobatan selama setahun penuh. Kemoterapi dilakukan empat bulan. Selain itu, Tiwik mendapat treatment lain, yakni targeted therapy herceptin. ”Itu berlangsung 18 kali selama tiga minggu sekali,” katanya. Tiwik mengungkapkan, keseluruhan treatment- nya berakhir pada Oktober 2014 ketika dirinya berada di tahun ketiga S-3. Bagi Tiwik, kemoterapi utamalah yang membuat kondisi fisiknya sangat lemah. Namun, terapi herceptin tidak terlalu mengganggu aktivitasnya.
Sambil studi dan mengasuh anak, dia tetap aktif dalam kegiatan komunitas masyarakat Indonesia di Melbourne. Tiwik juga tetap bisa mengikuti kegiatan akademik seperti diskusi ilmiah dan presentasi di berbagai seminar secara aktif. Bahkan, dia menjadi tutor di kampusnya selama satu semester. Saat ini, perkembangan kesehatan Tiwik semakin baik. Dia sudah kembali mengajar di Unesa. Umumnya, kata Tiwik, penderita kanker payudara punya waktu lima tahun untuk dikatakan menjadi survivor, sembuh dari kanker.
Meski payudara kiri sudah diangkat, Tiwik tidak risau. Dia tidak mengkhawatirkan image tidak sempurna sebagai perempuan. Tiwik memang ditawari rekonstruksi payudara selama masa pendampingan. Namun, dia memilih tidak menerima tawaran itu. ”Suami juga bilang tidak perlu. Saya tenang karena ada support keluarga dan temanteman,” katanya.
Semasa sakit, Tiwik tetap rajin menulis. Ya, menulis memang menjadi minat dan perhatian Tiwik. Bahkan, studi S-3 Tiwik adalah tentang praktik literasi para buruh migran Indonesia di Hongkong. Dia mengakui sangat berkaca pada para tenaga kerja wanita (TKW) yang menjadi informan dalam penelitiannya. ”Saya punya banyak teman TKW yang nulis dan menerbitkan buku, seperti novel, cerpen, dan kumpulan puisi. Itu sangat menginspirasi,” terangnya.
Terkait studi, saat ini Tiwik sudah merampungkannya. Tesisnya sudah diserahkan. Sekarang masih dalam masa underexamination atau masa pengujian. ”Mudahmudahan akhir tahun ini bisa memperoleh hasilnya,” ujarnya.
Tiwik berharap tulisan dan ujian hidup selama didiagnosis kanker payudara bisa memberikan semangat kepada masyarakat, terutama teman-teman perempuan yang mengalami hal serupa. Sebab, akan selalu ada harapan dan jalan selama mau berusaha. ”Harus positive thinking, umur di tangan Tuhan,” terangnya. (*/c6/oni)