Friday, December 21, 2012

HARI-HARI LITERASI


Hadiah yang paling saya sukai adalah buku. Baik untuk diberikan kepada orang lain maupun saat menerima hadiah dari sahabat dan saudara. Nah, kemarin saya dapat hadiah buku dari mas Satria Dharma. Beliau termasuk salah satu orang di milis Ganesa yang sukses merongrong saya untuk lebih banyak membaca dan menulis. Meski sebenarnya dua kegiatan ini sudah menjadi hobi saya sejak kecil. Bedanya, sekarang saya lebih berani dan percaya diri membagikan tulisan saya. Terutama yang bersifat kreatif. Selama ini saya cenderung berada di zona nyaman saya, menulis secara akademik. Kalaupun catatan pribadi, hanya saya simpan dalam tumpukan buku harian saya.

Penelitian yang saya tekuni sekarang ini, tentang literasi, ternyata malah menawarkan cara yang betul-betul saya nikmati. Menulis sesuatu yang sebenarnya akademik dalam kemasan kreatif.  Peluang ini saya dapatkan ketika riset saya mengawinkan antara analisis teks dengan etnografi. Jujur, metode ini membuat saya jadi lebih terlatih membuat fieldnote yang dengan rasa cerpen atau feature.

Sejak saya terima kemarin siang, buku berjudul Twenty Years of Joy and Happiness sudah langsung saya buka-buka dan pilih halamannya. Saat saya duduk di atas becak menuju Rolak Gunungsari, menunggu bemo lyn G, dan berlanjut ketika bemo mulai melaju.

Subjudul yang dibesut cukup menarik perhatian saya. Menuju Budaya Literasi. Subjudul ini juga muncul di setiap halaman di bagian bawah. Mengenal mas Satria selama ini, saya cukup paham gairah, kalau tidak bisa disebut obsesi, mas Satria untuk menyebarkan budaya literasi secara masif.

Kita selalu bertanya-tanya, apakah bangsa Indonesia memang belum berbudaya literasi? Apakah literasi itu sendiri adalah budaya? Bila ya, praktik literasi seperti apakah yang akrab dengan kita? Apakah kita termasuk dalam golongan a bad reader atau a good reader. Selain itu, bila literasi adalah praktik budaya, maka literasi bisa dikonstruksi. Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita tengok sejenak konsep literasi dari dimensi sosial budaya.

Untuk memahaminya, cara terbaik adalah melakukan refleksi pada kehidupan kita sehari-hari. Apa yang kita baca dan tulis dalam keseharian kita. Ayo kita sama-sama menggunakan diri kita sebagai objek pengamatan. Saya mulai dengan diri saya sendiri dulu, dengan menengok hari-hari saya saat di Melbourne.

Sebagai mahasiswa, tentunya waktu saya cukup banyak tersedot untuk urusan baca tulis. Saya menggunakan website perpustakaan untuk mengecek katalog dan mencari artikel di e-journal. Untuk memperpanjang peminjaman, saya lakukan secara online. Portal kampus juga menjadi jujugan saya paling tidak 3 kali sehari. Untuk mengecek akun email kampus dan banyak keperluan administratif lainnya.

Hampir semua artikel jurnal saya baca dari laptop atau komputer di kampus. Hanya buku perpustakaan saja yang saya baca dalam bentuk cetak. Semua kegiatan ini jelas punya tujuan akademik, sesuai dengan peran dan tuntutan sebagai mahasiswa.

Di luar itu, dengan peran saya sebagai ibu, saya juga melakukan kegiatan literasi. Mengecek resep secara online atau membaca buku resep yang saya punya. Jadi biasanya laptop saya usung ke dapur untuk panduan memasak.  Bila banana bread atau macaroni schotel yang saya bawa ke pengajian atau kirimkan ke tetangga dipuji, maka file resep atau websitenya berpindah ke FB group teman-teman pengajian. Media ini yang juga saya pakai untuk menengok resep maknyus yang pernah dibagikan teman lain.

Saya juga perlu membaca kandungan bahan makanan yang tercantum di kemasan ketika saya belanja. Maklum, harus hati-hati dengan bahan yang tidak halal. Informasi seperti ini juga menghiasi FB group yang sama. Alhasil kami jadi tahu supermarket mana yang perlu jadi jujugan bila ingin membeli bahan tertentu. Atau mengingat kode bahan kimia apa yang dianggap halal.

FB group pengajian Aisyah menjadi wadah komunikasi kegiatan utama kami, yakni pengajian dan TPA anak-anak kami. Untuk peran sosial ini, literasi dalam bentuk digital kental mewarnai kegiatan saya. Yang menarik, bahkan ketika pengajian, banyak di antara kami yang menggunakan IPhone atau IPadnya. Untuk bergantian membaca Al-Qur’an, mengecek surat dan ayat yang sedang menjadi pokok bahasan, dan juga mencatat point-point penting dalam tausiyah.

Sebagai bagian dari komunitas, hidup saya juga praktis diwarnai oleh teknologi komunikasi. Milis keluarga unesa, jurusan, dan indomelb misalnya, sering menggoda saya untuk sering-sering cek email dan melihat postingan baru atau mengirimkan postingan saya. Semua milis saya arahkan ke akun saya di yahoo, sedangkan urusan lain yang lebih pribadi mengumpul di gmail. Akun email kampus tentunya lebih banyak untuk urusan administrasi dan akademik.

Sementara itu, update status Facebook saya semakin jarang saya lakukan. FB praktis lebih banyak berfungsi untuk menjaga komunitas saya di pengajian, melakukan pengamatan virtual FB group teman-teman BMI, dan membagi postingan yang baru saya unggah di blog saya. Yah, baru tersadar bahwa saya juga masih sering sekali menggunakan FB. Perasaan saya tentang FB masih terbelah. Di satu sisi, saya butuh untuk penelitian saya, di sisi lain, seliweran status baru kadang menggoda saya untuk ikut berkomentar. Beberapa teman yang sudah masuk tahun kritis biasanya men-deaktivasi akun FBnya. Saya lihat beberapa teman buruh migran di Hong Kong juga melakukan hal sama bila sibuk dengan tugas-tugas domestiknya.

Bagaimana dengan interaksi saya dengan anak-anak? Dengan Adzra, saya lebih suka menggunakan cara yang lebih konvensional. Buku-buku cerita yang saya beli di secondhand stores banyak mengisi jam-jam menjelang tidur, atau saat menemani Adzra bermain. Cerita-cerita tentang Adzra juga menginspirasi saya untuk menulis catatan harian di blog saya. Adzra sendiri suka fanatik dengan buku-buku tertentu. Meski sudah dibaca bolak-balik, dia sering minta dibacakan cerita yang sama. Biasanya dia akan menyela dan meneruskan ceritanya dengan versinya sendiri.

Ganta sendiri lebih banyak terpapar dengan literasi digital. Setiap hari dia mengecek portal sekolah untuk mengunduh tugas atau melihat pengumuman terbaru. Saya juga punya akses ke portal sekolah, dengan akun sebagai orang tua. Di situ saya bisa melihat status presensi Ganta, jadwal pelajaran, pengumuman terbaru, termasuk misalnya mengirimkan email kepada gurunya. Beberapa guru Ganta juga suka mengirimkan email kepada orang-tua untuk memberitahukan tugas dan materinya. Dasarnya saya sendiri punya rasa ingin tahu yang tinggi, saya hampir selalu ikut membaca materi pelajaran Ganta. Dari situ saya ikut belajar tentang Nazi dan Hitler yang menjadi pokok bahasan pelajaran Sejarah, melihat rubrik penilaian yang digunakan untuk mengevaluasi esai siswa, atau mengikuti bagaimana pelajaran Physical Education kental sekali dengan materi Biology.

Kadang saya merasa capai karena terpapar dengan screen. Mulai pagi sampai malam, di rumah, di jalan, dan di kampus, mata saya tertuju pada IPhone, laptop, dan desktop. Bila begitu, saya suka refreshing. Sekedar jalan saja ke secondhand store dekat rumah. Herannya juga, setelah pegang-pegang barang tanpa beli, saya malah suka mengitari rak buku. Yang terjadi, keranjang belanja malah terisi dengan novel-novel yang belum pernah saya baca. Yah, mau bagaimana lagi, apa saya harus menyalahkan bapak saya yang suka melepas anaknya berjam-jam di Sari Agung atau Gramedia pada masa kecil dulu?

Refleksi diri seperti ini menyadarkan saya bahwa ternyata saya memang suka membaca dan menulis. Baik dalam memainkan peran saya sebagai mahasiswa, ibu, maupun bagian dari komunitas, tulisan mewarnai hari-hari saya. Yang berubah secara drastis (dan baru saya sadari) adalah ketergantungan saya dengan teknologi informasi dan komunikasi untuk melakoni praktik literasi saya.  Jujur, saya rindu suasana menenangkan di masa kecil ketika saya menghabiskan siang hari di atas atap rumah dan membaca komik pinjaman. Ketika pohon jambu kami ditebang, saya termasuk yang paling sedih. Batang pohon yang kokoh yang menjulur sampai ke atap rumah itulah yang mengantarkan saya ke tempat persembunyian favorit. Sekarang, gadget screen-lah yang menyambungkan saya dengan dunia lebih luas, dan ironisnya, memutus saya dari lingkungan terdekat.

Saya kok jadi bingung sendiri, maunya menulis literasi sebagai praktik budaya, ternyata ending-nya malah bernostalgia. Atau memang seperti ini yang diharapkan dalam penelitian literasi dalam dimensi sosial budaya ya?

Tuesday, December 18, 2012

ETIK JUWITA, TULKIYEM, DAN CEK YANG MENJADI PEMBATAS BUKU


Siang ini saya ada janji untuk bertemu dengan Etik Juwita. Sosok ini sudah setahun lebih menghiasi draft proposal penelitian saya tentang dunia literasi buruh migran Indonesia.  

“Ada kuliah tadi pagi, mbak?” tanya saya, sembari merangkul bahunya, ketika kami bertemu di dekat pintu gerbang Universitas Gajayana Malang.

Etik di hadapan saya nampak lebih nyempluk dengan rambut pendeknya. Beda dengan foto-fotonya yang sempat saya cari di google image. Wajahnya segar, dan perutnya  membuncit. Ada jabang bayi yang akan mencerahkan hari-harinya dalam 2 bulan mendatang.

“Kosong tadi, bu. Dosennya pergi.”

Etik tengah belajar di jurusan Bahasa Inggris di Uniga, dan menginjak semester 7, setelah kurang lebih 9 tahun bekerja di luar negeri. Selepas sekolah di SMA Talun Blitar di tahun 2000, Etik memulai perjuangannya memperbaiki nasib dengan bekerja di Singapura selama 2 tahun. Modal yang masih belum cukup dan keengganannya untuk menjadi sekedar penjaga toko membawanya kembali ke luar negeri. Kali ini tujuannya Hong Kong, yang dilakoninya selama 2 kali masa kontrak.

Seberapapun menariknya berbincang tentang suka dukanya menjadi BMI, bagi saya, jauh lebih menarik mengungkap kreativitasnya di bidang literasi. Di bemo dalam perjalanan ke Matos, kami memulai obrolan tentang karya-karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris. Cerpen “Bukan Yem,” adalah salah satu cerpen yang pertama kali saya kenal dari kalangan BMI.  Cerpen ini dimuat di Jawa Pos, dan kemudian termasuk dalam 20 cerpen terbaik Anugerah Sastra Pena Kencana 2008.

Pernahkah Anda mendengar seramnya Terminal 4 bagi para TKI? Cerpen “Bukan Yem” bolehlah dianggap mewakili cerita serangkaian mafia yang berupaya menjerat dolar, ringgit, atau riyal yang dikais para BMI dengan keringat dan air mata. Versi bahasa Inggrisnya, “Maybe Not Yem,” boleh dikatakan sebagai indikator keberhasilannya menembus batas dunia sastra. Cerpen ini masuk dalam koleksi Tropical Currents: Writings by Indonesian Women, dan dianggap mewakili sastra transnasional di website Words without Borders.

Bila kita menggunakan mesin pencari Google, kita akan temukan bahwa nominasi cerpen ini sebagai salah satu cerpen terbaik juga menimbulkan polemik. Sebagian juri menganggap bahasanya terlalu lugas dan polos, namun sebagian lain melihat itu sebagai kekuatan yang mencerminkan tema cerita. “Dengar-dengar, pak Budi Darma termasuk salah satu yang mempertahankan cerpen saya,” begitu tutur Etik. Budi Darma memang menjadi salah satu jurinya.

Persinggungan Etik dengan Budi Darma bukanlah pertama-kalinya. Tiga tahun sebelumnya, di tahun 2005, Etik pernah menerima SMS dari Budi Darma. ““Bu Etik, selamat ya, cerpennya dimuat di Jawa Pos. Bagus.” (Budi Darma).” Begitu kira-kira bunyi pesan singkatnya, saat cerpen “Seharusnya Berjudul Celana Dalam” dimuat.

Pak Bon, Budi Darma iku sopo?” tanya Etik dengan polosnya kepada Bonari Nabonenar, seraya mem-forward sms itu. Bonari, alumnus Sastra Indonesia IKIP Surabaya, sudah cukup lama dikenal Etik melalui milis Kosa Kata. Etik menilai Bonari sebagai sosok yang selama ini banyak membantunya memoles tulisan-tulisannya. Bonari pulalah yang diam-diam mengirimkan cerpen itu ke JP. Etik mengakui bahwa milis seperti inilah yang dia pandang sebagai komunitas satu dunia, di mana semua anggota memiliki minat yang sama, yakni bahasa tulisan.

Memperoleh apresiasi dari sastrawan besar sekelas Budi Darma tak ayal memberikan dorongan pada Etik untuk terus menulis. Waktu-waktu senggang yang dihabiskannya di Hong Kong Central Library membuahkan berbagai tulisan dalam bentuk opini dan cerpen yang dimuat di berbagai media di Indonesia dan Hong Kong. Yang menarik, Etik juga menjadi salah satu kontributor cerita bersambung tentang Tulkiyem di koran Suara yang terbit di Hong Kong. Tugas ini dilakoninya selama kurang-lebih 4 tahun, dan berlanjut ketika dia sudah kembali ke tanah air dan duduk di bangku kuliah. Keseharian Tulkiyem, nama yang dipilih untuk mewakili sosok domestic helper, menjadi sosok yang lumayan ditunggu sebagian BMI, saat mereka menghabiskan hari liburnya. Si Tulki, dengan segala kenorakannya dan ke-ndeso-annya, dilihat sebagai bagian dari diri kebanyakan BMI.

Tulki ngopo saiki?,” begitu celetukan teman-teman Etik. Mengetahui tulisannya ditunggu pembaca memberikan kepuasan baginya. Di satu sisi, teman-temannya tidak tahu bahwa dialah penulisnya. Nama pena Etik Juwita memberikannya kebebasan untuk bersuara apa saja dan menjadi siapa saja. Tulki, tokoh BMI yang berasal dari Banyumas, khas dengan celotehan ngapak-ngapaknya. Ketika akhirnya sebagian besar BMI tahu bahwa Etik penulisnya, mereka malah tidak percaya, “ngapusi. Kok ora ngapak.”

Selama penerbitannya, Tulkiyem membawa pembaca pada isu-isu kekinian di kalangan BMI saat itu. Etik menggunakan tokoh Tulki untuk menyampaikan uneg-unegnya. Mungkin saking akrabnya dengan kondisi BMI, ada yang percaya bahwa Tulki itu sosok nyata. Ada proses resepsi yang kreatif, ketika demo perburuhan di kalangan BMI Hong Kong juga diwarnai dengan hadirnya sosok-sosok yang mengaku “Aku lho Tulkiyem,” dengan dandanan yang diyakini mewakili gambaran tokoh tersebut. Sayangnya, pada akhirnya Tulki terpaksa harus  ‘dipulangkan’ ke tanah air karena terminate contract. Itu ketika Etik mulai kewalahan membagi waktunya antara kuliah dan seabreg kegiatan lain setelah beberapa lama kembali ke tanah air.

Dalam perbincangan kami di salah satu sudut food court di Matos, saya melihat Etik sebagai sosok dengan kepribadian yang kuat. Bahasanya lugas, dengan suara yang tegas dan penuh percaya diri. Pernyataan tentang lekatnya hari-hari dia dengan literasi begitu kental. Salah satu temannya di penampungan PJTKI di Singosari memiliki kesan tentang itu. “Yang paling saya ingat tentang Etik, tidak satu haripun terlewat tanpa membaca,” begitu tiru Etik. Diakuinya sendiri, segala jenis yang mengandung tulisan akan dia baca. Apakah itu koran bekas pembungkus ataukah brosur dan pengumuman.

Terlebih lagi, buku memang menjadi sahabat Etik sejak kecil. Etik mengisahkan kenakalannya ‘mencuri’ buku perpustakaan di SD dekat rumahnya. Dia mengambil buku hampir tiap hari untuk dibaca. Diam-diam pula dia kembalikan setelah selesai, untuk kemudian mengambil buku yang lain. Sampai kemudian dia marah ketika semua buku di rak perpustakaan sudah habis dia baca. Kecintaaannya pada buku dan bahasa itu pulalah yang membawa dia pada keputusan untuk bersekolah di SMA Talun Blitar. Hanya sekolah ini yang saat itu mempunyai jurusan Bahasa.

Dalam hal kesempatan membaca, Etik melihat dirinya sebagai BMI yang amat beruntung. Tugas dia sebagai aged carer saat bekerja di Singapura boleh dikata cukup ringan. Koran dan majalah berbahasa Inggris dia baca, bahkan ketika majikannya belum menyentuhnya. Kemudian itu menjadi tugasnya, menceritakan isi berita kepada majikannya.

Tidak seperti kebanyakan BMI di Hong Kong, Etik hanya mengandalkan bahasa Inggris sebagai sarana komunikasi. Ini dia lakoni baik di kontrak pertama dengan majikan orang Hong Kong, maupun di kontrak kedua, dengan majikan orang bule. Selama itu pula Etik bisa menikmati me-time yang cukup leluasa.  Bahkan majikannyalah yang menyarankan Etik untuk memanfaatkan hari liburnya di public library. Itupun akhirnya dirasa Etik tidak cukup memuaskan hobi membacanya. Saat belanja di hari kerja, dia suka mencuri waktu mampir ke perpustakaan. Novel-novel Inggris menjadi salah satu jenis bacaan yang dilalapnya.

Keterpaparannya terhadap karya sastra asing ini pulalah yang mengajarkan Etik menulis dengan bahasa lugas. Menyebut Hemingway sebagai salah satu contohnya, Etik tidak terlalu suka dengan bahasa yang flowering. Maka ketika cerpen “Bukan Yem” menjadi polemik, dia cukup memahami bahwa sebagian sastrawan Indonesia masih mengedepankan permainan kata-kata sebagai tolok ukur kualitas tulisan.

Etik termasuk salah satu BMI yang cukup sering menjadi jujugan peneliti asing. Interaksi keilmuan ini berlangsung baik ketika Etik masih berada di Hong Kong, maupun ketika sudah kembali ke tanah air. Prof. Ming-Yan Lai, seorang pakar Cultural Studies dari Chinese University of Hong Kong, adalah salah satu scholar yang menggali profil Etik dalam kegiatannya di dunia perburuhan. Bukan sebuah kebetulan ketika Etik menyebut nama Prof. Lai. Saya menggunakan beberapa artikelnya sebagai referensi saya. Saya bahkan ingin menemuinya saat ke Hong Kong nanti. Sayangnya, Prof. Lai sudah meninggalkan perguruan tinggi tersebut, dan tidak memberikan alamat terbarunya kepada koleganya.

Etik memandang penulisan kreatif sebagai proses belajar yang tidak instant. Menengok dirinya sendiri, Etik melihat bahwa tulisan-tulisannya dibentuk dari kesukaannya membaca, bahkan ketika dia sendiri tidak sadar bahwa dia cinta pada dunia buku. Lebih dari itu, Etik menyebut menulis sebagai katarsis. Meski tidak mengalami sendiri, cerita-cerita miris berkelebat di sekitarnya, di antara hari-hari teman-temannya. Kalau dikatakan balas dendam, tulisannya adalah bentuk resistansi atas kondisi yang dialami sebagian besar BMI.

Menyoal tentang keberadaannya di dunia sastra, Etik tidak terlalu sepakat dengan sebutan sastra BMI. Apakah tulisannya dan teman-teman BMI lainnya digolongkan sebagai sastra BMI karena mereka adalah pelaku, ataukah karena isunya tentang BMI. Etik juga mempertanyakan, apabila dia terus menulis tentang BMI pada saat dia tidak lagi bekerja di luar negeri, apakah karyanya tidak lagi dimasukkan dalam kategori itu. Siapapun bisa menulis tanpa harus terjebak dalam kategorisasi, karena sastra harusnya membebaskan.

Meski begitu, Etik cenderung tidak terlalu mempersoalkan cara pembaca meresepsi karya-karyanya. Sikapnya sedikit cuek ketika saya beritahu bahwa cerpen tentang celana dalam kemungkinan besar dijiplak oleh penulis sesama BMI dari Taiwan. Ada cerpen dengan alur praktis sama dan judul senada diterbitkan pada tahun 2010. Dia sudah mendengar isu ini baru-baru ini juga dari teman lain, dan komentarnya, “karepmu.” Dia melihat ini sebagai satu apresiasi juga.

Etik bahkan merelakan ketika cek yang dia terima dari ijin penterjemahan “Bukan Yem” ke dalam Bahasa Inggris ternyata tidak bisa dicairkan. Pasalnya, cek tersebut menggunakan nama penanya, Etik Juwita. Meski jengkel juga pada awalnya, Etik menceritakan ini sambil ngakak saja. “Cek-e malah tak laminating, bu. Tak jadikan pembatas buku.”

Dua jam dengan Etik Juwita adalah menit-menit yang bernas. Sarat dengan kalimat cerdas dan pemahaman yang cukup dalam tentang dunia penulisan kreatif. Dengan pencapaian seperti itu, saya pribadi ingin melihat nama Etik Juwita tetap berkibar di dunia sastra Indonesia. Saya bahkan melihat potensi karya Etik sebagai salah satu representasi Indonesia di kancah sastra dunia, atau setidaknya di Asia. Ketika sebuah karya sudah menyebar dalam versi bahasa Inggris, maka kaburlah batas negara dalam dunia kata.

Friday, December 14, 2012

MENGENTAS KEMISKINAN MELALUI PENDIDIKAN: SOSOK ANI EMA SUSANTI, EX-BMI, SANG SUTRADARA FILM

Sabtu, 8 Desember 2012, pukul 9 pagi. Saya sedang menikmati segelas hot chocolate di J Co Cilandak Town Square Jakarta. Dua donat dan satu sandwich tersuguh di piring kecil. Baru saya makan satu. Perut masih kenyang, setelah sarapan di Wisma Makara UI tadi pagi, sebelum check-out. Saya sedang menunggu kedatangan Ani Ema Susanti, seorang mantan buruh migran Hong Kong. Sekarang dia sudah asyik dengan dunia penyutradaraan film dokumenter. Saya mengontak Ani dua hari sebelumnya, saat saya baru sampai di Jakarta. Tujuan utama saya memang untuk menghadiri konferensi internasional di bidang komunikasi di UI Depok. Saya punya satu hari bebas pada hari Sabtu, sebelum balik ke Surabaya di sore harinya. Hari ini akan saya gunakan untuk mewawancarai Ani untuk kepentingan penelitian S3 saya.

Saya sudah mengenal Ani sejak satu tahun yang lalu. Akhir tahun 2011 silam, ketika kami baru berkenalan di Facebook, Ani meminta bantuan saya untuk menggarap English subtitle untuk film pendeknya, Donor ASI. Film ini kemudian dinobatkan sebagai film terbaik untuk kategori film documenter di FFI 2012. Tentu saja kemenangan ini tidak ada kaitannya dengan bantuan yang saya berikan. Ani sudah meraih sederetan penghargaan di berbagai festival film di tingkat nasional dan internasional.

Coklat panas baru sedikit saja saya seruput ketika sms dari Ani masuk ke HP saya. “Kita jalan ke Blok M Plaza aja mbak. Lebih dekat dengan bis Damri nanti kalau mau ke bandara.”  

Lima menit kemudian, saat saya menunggu di bawah tangga dekat Baskins and Robbins, sebuah mobil abu-abu bergerak mendekati.  Seorang perempuan muda keluar dari pintu depan sebelah kiri. “Dik Ani?” “Mbak Tiwik, ya,” seru kami hampir bersamaan. Kami berpelukan dan saling mencium pipi. Laksana teman lama yang sudah bertahun-tahun berpisah.

Dengan baju panjang bermotif bunga dan kaos panjang polos warna coklat, serta jilbab simple warna senada yang menutupi hamper seluruh bagian dadanya, Ani nampak amat sederhana. Tanpa make-up. Suaranya lembut, bahkan cenderung pelan. Dari pintu kanan sopir keluar seorang laki-laki muda, ganteng, dan kalem. “Ibnu, mbak. Suami Ani.” Kami bersalaman, dan Ibnu meraih koper kecil saya untuk ditaruh di bagasi. Saat saya duduk di jok belakang, seorang ibu setengah baya, dengan bayi berusia 10 bulan di gendongannya, menggangguk manis. Saya meraih memeluknya. Ibu Ani nampak seperti kebanyakan orang-orang kampung yang polos dan tulus. Sama seperti sosok saya yang selalu kurus, namun selalu menjaga modal senyum.  Saya seperti berada di tengah-tengah keluarga saya. Apalagi setelah mengetahui bahwa keluarga besar Ani berasal dari Tembelang, Jombang. Bahasa Jawa Timuran yang mewarnai percakapan kami membuat suasana semakin cair dan mengalir.

Meski saya belum lagi memulai wawancara saya, obrolan kami sudah sarat dengan data bermakna. Dari jok depan, Ani bercerita tentang film terbarunya tentang pemuda dan gerakan anti korupsi. “Masih fresh, mbak. Bahkan belum ada masternya. Ini mau aku berikan ke Nia, tapi kok ketinggalan di rumah tadi.” Ani menyebut  Nia Dinata, produser film yang selama ini banyak mewadahi karya-karya Ani di rumah produksi Kalyana Shira. Ani juga menyebut hari-hari sibuknya berkuliah di program Film Production di SAE Institute cabang Jakarta. Sekolah industri kreatif berskala internasional model franschise ini memberikan beasiswa penuh kepada Ani. “Banyak tugas mbak, kuliah pakai Bahasa Inggris lagi.” Ibunya ikut menimpali, “nggih niku, wangsul kuliah nggih terus ngadep computer ngantos dalu. Ning kula dorong mpun putus asa...wis tak jagane si thole.”

Pukul 10.30 lebih sedikit. Solaria Blok M Plaza masih belum buka, tapi kami diperbolehkan duduk di dalam. Kami mengambil kursi di pojok, agar bisa lebih tenang, terutama untuk menjaga kualitas rekaman percakapan nanti. Ani nampak tenang dan nyaman dengan IPhone yang saya taruh di meja. Dia sudah cukup sering diwawancarai media. Suaranya berubah menjadi kokoh dalam kelembutannya, saat cerita-cerita tentang buku dan film mengalir dari bibirnya.

Saya sudah cukup lama mengikuti sepak terjang Ani. Meski begitu, banyak informasi tak terduga muncul dalam percakapan kami. Saya bertanya tentang filmnya yang pertama, Helper Hong Kong Ngampus. Film yang dibesut saat Ani masih kuliah di Fakultas Psikologi Untag Surabaya termasuk sebagai finalis Eagle Award Metro TV di tahun 2007. Namun bukan cerita filmnya yang lebih membuat perhatian saya tersedot. Dampak film itulah yang menurut saya lebih penting saat ini. Ani menggunakan film ini untuk memberikan pembekalan kepada BMI yang akan berangkat. Seorang pengusaha PJTKI di Surabaya memintanya untuk terlibat dalam pelatihan. Saya pikir sang pengusaha ini orang yang open-minded. Ketika membaca di Jawa Pos bahwa Ani masuk seleksi Eagle Award tahap skenario, dia bahkan mengijinkan Ani menggunakan fasilitas di tempat penampungan untuk keperluan shooting. Menurut Ani, pihak PJTKI ini memang berniat untuk ‘bebas masalah,’ dan menganggap bahwa tahap pembekalan selama 3 bulan berperan penting untuk itu.

Media memang punya kekuatan besar untuk mengubah persepsi orang. Ini yang diyakini Ani, meski tidak dia sadari sampai dia buktikan sendiri. Film Helper Hong Kong Ngampus berhasil mengubah pola pikir sebagian besar BMI tentang motivasi mereka bekerja di luar negeri. Sebagian BMI memang memutuskan pergi ke luar negeri sebagai pelarian, namun banyak juga yang bertujuan mencari uang tanpa tahu jelas peruntukannya. Film ini tentang dua orang BMI muda yang bekerja di Hong Kong untuk menabung demi tujuan kuliah. Yang satu untuk dirinya sendiri, satunya untuk menyekolahkan adiknya di perguruan tinggi. “Kok bisa?,” begitu komentar para calon BMI setelah menonton film itu. “Kenapa tidak, buktinya saya bisa,” jawab Ani.

Menelusuri motivasi Ani bekerja di luar negeri juga menimbulkan keharuan tersendiri. Ani dan ibunya kompak bercerita tentang bagaimana keluarga besar mereka memandang bahwa perempuan tidak perlu kuliah. Paklik Ani kebetulan berkuliah di jurusan Bahasa Indonesia IKIP Surabaya, dan lulus sekitar tahun 1991 atau 1992. “Kalau paklik saya dikuliahkan, kenapa ibu saya tidak?,” begitu protes Ani dalam hati. Saya jadi menebak-nebak, jangan-jangan saya kenal dengan Ridwan, nama paklik Ani ini.

Bahkan ketika Ani menyelesaikan kontrak kerjanya di tahun 2003, dan langsung berkuliah di Surabaya, banyak tetangga yang mencibir. “Walah, paling yo mari ngono nang luar negeri maneh,” ujar ibu Ani, menirukan komentar tetangga. Seolah menyiratkan bahwa sekali menjadi TKW akan tetap ada di lingkaran itu. Pernyataan Ani amat kuat menggaris-bawahi pentingnya pendidikan. “Saya percaya bahwa saya bisa mengentaskan diri dari kemiskinan melalui sekolah.” Tentu saja saya sepakat 100%. Buku dan film-film Ani sudah mewakili semangat Ani.

Ani adalah pencinta dunia literasi. Dia sudah sering menulis sejak SMA. Selama di Hong Kong, dia menuliskan hari-harinya ke dalam 3 buku harian. Setelah dia rangkum menjadi satu, mencoba mengubah format ke dalam bentuk novel, dan ditolak oleh beberapa penerbit, akhirnya catatan hariannya, Once Upon a Time in Hong Kong, terbit juga. Setelah selang beberapa tahun, mengikuti jejak filmnya yang sudah moncer duluan.

Tentu saja banyak faktor yang membuat Ani bisa seperti ini. Ani termasuk BMI yang sangat beruntung mendapatkan majikan yang berpendidikan. Meski dia ditawari untuk memperpanjang kontrak, Ani malah diberi bonus pulang  1 bulan lebih awal dari kontrak. Ini setelah mereka tahu bahwa Ani harus segera pulang mengejar jadwal registrasi kuliah di Surabaya. Seperti pengakuannya sendiri, Ani tidak termasuk dalam kelompok BMI yang sering mengalami diskriminasi. Bahkan dia diberi kepercayaan penuh untuk mengelola keuangan keluarga majikan. Itu yang membuat dia tahu apa pekerjaan kedua majikannya dan berapa gaji mereka. Kamar Ani juga menawarkan ruang privat yang amat layak.

Hubungan majikan-pekerja yang cukup egaliter ini terbawa melewati masa kontrak. Saat Ani mengambil gambar untuk filmnya yang lain, Mengusahakan Cinta (2010), majikan perempuannya ikut menjadi figuran. Film ini berhasil membawa Ani ke ajang festival film internasional di beberapa negara.

 “Dari film-film yang sudah dihasilkan dik Ani, mana yang paling berkesan?,” begitu tanya saya. Dengan tegas Ani menyebut film Helper HK Ngampus. Buku dan filmnya sudah beberapa kali dibedah di berbagai event. Agaknya kesempatan berbicara di depan publik ini membuatnya berubah dari gadis pemalu menjadi perempuan muda yang penuh percaya diri. Ani mengaku bahwa sebelumnya dia menyembunyikan statusnya sebagai ex-BMI. Namun setelah menerima tanggapan positif dari publik, akhirnya Ani menyadari bahwa statusnya dulu bukanlah hal yang patut dirahasiakan. Bahkan akan sangat bermanfaat untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya rencana matang dan motivasi jelas untuk menjadi BMI. Ani memutar cerita lama tentang tanggapan negatif tetangganya di Jombang. Sekarang, setelah mengetahui reputasi Ani di dunia perfilman, mereka menempatkan Ani sebagai role model“Aku pingin anakku kaya Ani. Kerja dhisik nang luar negeri terus kuliah,” ujar Ani, menirukan kalimat tetangganya.

Membaca berbagai penelitian tentang BMI di dunia akademik di luar negeri membuka mata saya. Stereotip negatif BMI yang dungu dan pasrah cukup rata menyebar di Malaysia, Singapura, Hong Kong, Taiwan, dan tentu saja Arab Saudi. Dalam kenyataannya, identitas ini dikonstruksi oleh konteks sosial budaya. Artinya, citra buruk ini juga bisa direkonstruksi. Dengan meyakini bahwa media punya potensi besar untuk rekonstruksi identitas, saya menawarkan diri untuk ikut menyebarkan film Helper Hong Kong Ngampus. Setidaknya, ini yang bisa saya lakukan sementara ini. Ani menyanggupi untuk mengirimkan filmnya nanti kepada saya.

Mengentas kemiskinan melalui pendidikan. Keluar dari penderitaan melalui buku. Pesan-pesan ini terus terngiang di benak saya. Saat saya tak sabar menuangkan kisah ini di salah satu Business Lounge di bandara Soetta. Saat saya dengarkan kembali rekaman percakapan. Dan saat saya gubah lagi ke dalam bahasa Indonesia sekarang ini.  Saya yakin cerita-cerita lain sudah menunggu di Hong Kong. Bukan sekedar cerita tentang derita BMI. Namun tentang kekuatan dunia kata yang diolah teman-teman di sana. Dunia literasi BMI menjadi bukti bahwa mereka juga punya suara yang amat patut didengar.

Friday, November 23, 2012

MY KIDS' BIG DAY


This is a big day for both Ganta and Adzra. Hari ini anak-anakku mulai orientasi ke jenjang pendidikan berikutnya. Ganta mulai pengenalan mata pelajaran Year 11, setelah 4 hari kemarin dia mengikuti internal exam kelas 10. Adzra sendiri, karena sudah menginjak 5 tahun, bisa mulai masuk SD di level Preparatory Year, semacam SD kelas 0. 

Aku mau cerita tentang Ganta dulu. Tadi malam matanya berbinar ketika mengecek timetable yang sudah diposting di portal sekolah. Dia bisa mengambil VCE subjects yang dia inginkan. Untuk year 11, dia memilih 5 subjects, yakni English as ESL, Music, IT, Psychology, dan Media Studies. "Weenak bu', katanya. Barangkali batinnya malah meneriakkan kebebasan dari Matematika. Yang ini sepertinya tidak mengikuti jejak emaknya yang cinta banget dengan Math.  Hal yang aneh juga, karena guru Matematikanya di sini bilang bahwa kemampuan statistiknya cukup bagus. 

Tahun ajaran baru sebenarnya baru mulai awal Februari, namun 2 minggu terakhir sebelum summer holiday 2012 sudah diisi dengan pengenalan silabus dan materi di kelas baru. Aku sendiri juga sudah mulai hunting buku-bukunya di second-hand bookstore atau online. Maklum, 1 buku paket yang gres bisa mencapai 70 dolar. 

Kapan dulu aku bilang ke Ganta, bahwa kepakaran dia akan menjadi gabungan antara disiplin ibunya (English dan media studies) dan ayahnya yang berprofesi konselor  sekolah dan psikolog. Plus kemampuannya di musik dan IT. Senyumnya merekah, sambil bilang ke adiknya, "nanti Adzra lebih pinter lagi ya."

Hampir 1 tahun di sini, sudah beberapa kali aku menikmati kilatan cahaya mata Ganta. Tidak satu dua kali aku mendengar dia bilang, "aku ingin pinter, aku nanti kuliah di   mana, kapan aku punya student account di Unimelb (kalau pas lihat aku melototi student portal unimelb)." Kekecewaan sementara dan wajar sesekali masih terungkap, ketika teman-temannya di Surabaya sudah masuk kelas 12 pada awal Juli lalu  sementara dia merasa downgraded. Maklum saja, year 10 adalah persiapan pemilihan VCE subjects yang akan menentukan ke mana langkah dia setelah lulus SMA. Dia tidak bisa serta merta masuk year 11 di tengah-tengah. Tapi nampaknya ini terbayar oleh assessment report yang dia terima. Misalnya, di kelas Music dapat penilaian very high untuk 5 aspek penilaian dan high untuk 2 yang lain. Atau critical composition yang dia tulis di kelas English dan History. Pendeknya, mendapatkan penilaian bukan dari benar dan salah (menurut guru), tapi lebih pada kreativitas dan critical thinking membuat dia lebih bebas dan berani bereskpresi. Dari anak yang sering menyembunyikan hasil ulangan atau cemberut karena omelan ibunya gara-gara nilai rapot yang 'belum tuntas,' Ganta pelan namun pasti beralih menjadi sosok yang yakin akan kemampuan dirinya, tanpa harus pusing dengan nilai teman-temannya. Setiap siswa punya pilihan subjek yang berbeda, dan rapot tidak pernah mencantumkan rata-rata kelas atau bahkan ranking.

Aku akan menunggu ceritanya tentang orientasi sepulang  sekolah nanti. Aku juga akan menuliskan bagaimana aku juga ikut menikmati materi belajar History dan English, bagaimana model asesmennya. Ada banyak hal yang sudah bisa kurekam di  catatanku. Aku membayangkan bagaimana dahsyatnya anak-anak Indonesia bila diajar dengan cara yang menyenangkan, diajak berfikir kritis, berani tampil ke depan, dan digabungkan dengan penanaman nilai-nilai agama yang kuat. Rasanya sudah tidak sabar bisa membaginya dengan teman-teman di jurusan dan guru-guru di tanah air. 

Victoria Market, Shed RK-55

Friday, November 02, 2012

BELAJAR DARI ANAK TK

Beberapa waktu yang lalu, saat saya mengantar Adzra ke sekolah dengan berjalan kaki, saya dikejutkan oleh celotehan Adzra tentang bagaimana menyeberang jalan. 

"You know mommy, if you cross the street, you have to do like this."
"Ok, what is it? Show me!"
"You have to STOP...THINK...AND GO!"
"Allright, let's do it.

Adzra memberi aba-aba. STOP. Kami berhenti di pinggir jalan. THINK. Kulihat Adzra menaruh jari telunjuknya ke sisi kening sambil menoleh kiri kanan, AND GO. Kamipun bergandengan menyeberang jalan di sekitar kompleks tempat tinggal kami, yang sebenarnya hampir selalu sepi.

Menarik mengamati bagaimana life skills diajarkan sejak dini di Bindi Kindergarten. Laporan tentang materi pembelajaran memang rutin saya terima setiap bulan melalui newsletter yang dikirim via email. Isi newsletter bukanlah tentang apakah anak saya sudah bisa membaca, mengeja, atau berhitung. Sebaliknya, kami selalu diberi informasi tentang project yang dikenalkan kepada dan dilakukan anak-anak. Nah, bulan lalu, tema kegiatan adalah I Feel Safe. Tema ini dipilih karena kebetulan bulan lalu Melbourne digemparkan oleh berita penculikan dan pembunuhan seorang reporter ABC. Jill Meagher diculik dan diperkosa saat dia pulang berakhir pekan di sebuah club di area Brunswick, tempat tinggal saya. Mayat reporter cantik itu akhirnya ditemukan 1 minggu kemudian di pinggiran kota. Kasus ini membuat banyak sekolah mengajarkan siswa-siswanya tentang pentingnya being aware and how to protect yourself.

Membaca newsletter dan melihat foto-foto kegiatannya, saya jadi paham mengapa Adzra menjadi ikut waspada. Setiap kami pergi, Adzra sering mengingatkan saya dan kakaknya tentang traffic lights, road signs, mencari helmnya setiap kali mau naik sepeda, "and I have to hold your hand, too, mommy," katanya setiap kali kami menyeberang jalan.

Untuk belajar bijak tentang kehidupan, kita memang tidak harus menunggu sampai dewasa. Ini yang nampaknya ingin diajarkan para gurunya di sekolah. 

All I really need to know I learned in kindergarten
by Robert Fulghum

All I really need to know about how to live, and what to do, and how to be, I learned in kindergarten. Wisdom was not at the top of the graduate school mountain, but there in the sand pile at school. 

There are the things I learned:
• share everything
• play fair
• don’t hit people
• put things back where you found them
• clean up your own mess
• don’t take things that are not yours
• say you’re sorry when you hurt somebody
• wash your hands before you eat
• flush the toilet
• warm coolies and cold milk are good for you
• live a balanced life – learn some and think some and draw and paint and sing and dance and play and work some every day
• take a nap every afternoon
• when you go out in the world, watch out for traffic, hold hands and stick together
• goldfish and hamsters and white mice and even the mud seed in the Styrofoam cup – they all die. So do we.
• and then remember the Dick-and- Jane books and the first word you learned – the biggest word of all –LOOK! 

Take any one of those items and extrapolate it into sophisticated adult terms and apply it to your family life or your work or government or your world and it holds true and clear and firm. Think what a better world it would be if we all – the whole world – had cookies and milk at about 3 o’clock in the afternoon and then lay down with our blanket for a nap. Or if all governments had as a basic policy to always put things back where they found them and to clean up their own mess!

Tuesday, October 30, 2012

RINDUKU AKAN MENTARI, RINDUKU PADA SURABAYA



Setengah sepuluh pagi. Agak sedikit terlalu siang untuk memulai hari, saat aku mengayuh sepedaku, membonceng Adzra menuju ke Bindi.  

Di ujung jalan gedung apartemen 53 DeCarle Street, tempatku tinggal, kusapa Jujuk, anak Master program ADS, sembari membelokkan sepeda ke arah jalan. “Oi, mau kemana, Juk?” “Ke rumah Elli mbak,” jawabnya, sambil menyebut nama anak Yogya yang tinggal di lantai dua, tepat di atas unitku.

Hari begitu hangat. Matahari mulai menyapa punggungku. Nikmatnya. Betapa nyamannya bisa mengenakan hanya satu lapis kaos lengan panjang dan tunik kaos lengan pendek. Musim semi sudah berjalan 2 bulan, namun kota dengan 4 musim dalam 1 hari ini masih suka mempermainkan penghuninya. 2 hari hangat, kemudian cuaca anjlok dan berangin dingin. Begitu terus. Untuk hari ini, sejenak kutinggalkan jaket dan sweater untuk tetap tergantung di lemari. 

Sambil mengayuh, aku ngobrol dengan adzra. “It's gonna be a lovely day, sayang.”
Yeah, mommy. I can play outside,” ujarnya riang.
Adzra senang karena hari ini dia tidak harus mengenakan jaket atau sweater. Dia paling ribet kalau disuruh pakai jaket dobel, bahkan saat cuaca dinginpun.

Masuk ke ruang Kindergarten di Bindi, Dong, salah satu guru Adzra, sedang membagikan mangkok kecil berisi irisan buah untuk anak-anak. Saatnya morning tea. Adzra sendiri sudah sibuk menyapa Mary dan Hanna, dua temannya yang paling dekat.

Good morning. It will be hot today, 30 degrees,” kata Dong.  Yes, her hat is there,” jawabku sambil menunjukkan topi adzra yang sengaja ditinggal di gantungan topi di sekolah. Sepanjang musim semi dan musim panas, anak-anak memang wajib mengenakan topi saat main di luar, untuk melindungi kulit mereka dari sengatan matahari yang bisa lebih kuat daripada di tanah air sekalipun.  No hats, no outside play. Begitu peraturan dituliskan di dinding sekolah.

Kembali kukayuh sepeda, mengambil rute yang berbeda. Hari begitu cerah. Sayang dilewatkan bila aku harus bersepeda cepat-cepat. Kuarahkan sepeda ke Moreland Road yang mulai ramai. Kulihat Ika dan Lugin baru saja turun dari mobil. “Teko endi, dik?” kusapa Ika, dosen Unair yang juga sedang studi S3 di Unimelb. Kuhentikan sepeda, dan sambil tetap duduk di atas sedal, kuraih pegangan di pagar batu bata di depan rumah mereka. “Eh mbak, teko ngedrop Rayyan nang Child Care.” Si kecil Rayyan yang menggemaskan, sekitar 6-7 bulan usianya, sudah mulai ditinggal di Child Care, agar Ika bisa ngebut menyelesaikan tahun terakhirnya.

Di pinggir trotoar depan rumah mereka, kami ngobrol gaya Suroboyoan. Tentang rencana kepulanganku, tawaran Lugin untuk mengantar ke airport, field work-ku, blog para TKW yang sedang kuteliti, goda Lugin agar istrinya juga naik sepeda seperti aku, goda Ika pada suaminya yang gak punya blog, dan dibalas dengan mimik wajah ngantuk Lugin karena kerja part-time-nya yang mungkin melelahkan, sampai ajakan mereka agar aku mampir sarapan. Kutolak dengan halus, karena aku harus segera ke kampus, selain karena kutinggalkan cucian yang sedang berputar di mesin cuci. Hari panas adalah hari menjemur pakaian.

Jauh dari tanah air, orang dewasa seperti aku tidak mungkin bisa meninggalkan cultural bag. Celotehan Suroboyoan memberikan penegasan akan identitas kultural yang tidak bisa aku, Ika, dan Lugin lepaskan. Tubuh bisa berada di Brunswick, namun guyonan medok mampu sejenak mengubah ruang menjadi laksana kampung di Surabaya. Bahkan saat kukayuh sepedaku kembali, jalan-jalan kecil seperti berubah menjadi perkampungan Kebraon. Nampaknya aku sudah rindu pulang!

John Medley Bld, East Tower, Room 627
Unimelb

Wednesday, September 19, 2012

DARI MEREKA AKU BELAJAR HIDUP LEBIH BERMAKNA

Dua hari ini saya mendapat kabar menyenangkan dari teman-teman saya dari kalangan buruh migran. Kabar pertama datang dari Ani Ema Susanti. Di inbox FB, pesan yang saya terima tadi pagi mewakili kegirangannya. "Mbak Tiwik, saya menang mbak. Alhamdulillah..." 

Ya... Ani berhasil mendapatkan beasiswa penuh untuk studi S1 di bidang Film Production di SAE Institute. Lembaga pendidikan di bidang Creative Media ini prestisius, dengan jaringan 55 kampus di seluruh dunia, dan salah satu kampusnya ada di Jakarta. Kebetulan akhir Agustus yang lalu Ani meminta bantuan untuk 'menghaluskan' study objective di dalam proposalnya yang ditulis dalam bahasa Inggris. 

Keinginan Ani untuk studi lanjut di bidang yang dia minati ini insya Allah akan melengkapi kompetensinya, setelah gelar Sarjana Psikologi dia raih beberapa tahun yang lalu. Gelar ini juga dia dapatkan melalui hasil keringatnya menjadi BMI di Hong Kong. Pengalaman ini jugalah yang menjadi bahan film Hong Kong Helper Ngampus.

Sebagai mantan BMI di Hong Kong, sosok Ani memang luar biasa. Sebagaimana judul buku motivasi yang sudah pernah dia tulis, Anda Luar Biasa.  Profil pencapaiannya di bidang produksi film sudah seringkali dimuat di media. Ani menjadi finalis di Eagle Award 2007 untuk film Hong Kong Helper Ngampus. Dia juga tercatat masuk dalam movie screening di Berlin Film Festival untuk film dokumenternya, Mengusahakan Cinta. Ini film pendek tentang fenomena lesbianisme dan konflik batin para pelakunya, yakni segelintir BMI Hong Kong. Yang terakhir dia catat adalah kemenangannya melalui film Donor ASI di FFI 2012 untuk kategori film dokumenter. Pengalaman di bidang produksi film ini dia kuatkan juga melalui magang di production house ternama seperti Kalyana Shira dan Mizan Production. Lebih dari itu, selama 4 tahun terakhir Ani juga menjadi sukarelawan dalam program KidFest, festival film untuk anak dan remaja.

Era digital nampaknya sudah menjadi milik siapa saja. Atau lebih tepat dikatakan, siapa saja perlu memiliki literasi digital di jaman ini. Tak terkecuali para buruh migran. Bila Ani dengan penguasaan literasi medianya berkiprah di dunia film setelah tidak lagi menjadi buruh migran, teman-temannya yang masih mengais dolar di Hong Kong sedang bergairah di dunia blogging. Tak tanggung-tanggung, lomba blogging di kalangan buruh migran sedang digelar untuk memperingati Bulan Bahasa. Workshop tentang blogging diselenggarakan tidak di ruang nyaman ber-AC, namun cukup dengan lesehan di Victoria Park (http://babungeblog.blogspot.hk/2012/09/bertemu-blogger-dan-calon-blogger-tkw.html). Narasumbernya adalah teman sendiri, Rie Blora, yang sudah nge-blog sejak tahun 2007, dan sudah menghasilkan lebih dari 150 posts. 

Selain sebagai 'suhu' dalam urusan literasi digital di kalangan BMI, Rie Blora juga berada di balik layar lomba blogging antar BMI. Inbox FB saya rutin berisi update informasi dan link ke blog para BMI. Lomba blogging yang sedang bergulir telah berhasil membangunkan blog-blog yang sempat mati suri, dan mengundang blogger baru. Setidaknya, ada 15 blog yang sudah saya intip satu-persatu. Ini belum lagi ditambah dengan para Kompasianer dari kalangan BMI, yang jumlahnya juga tidak kurang dari 15 orang. 


Mengenal Ani dan Rie hanya melalui pertemanan di Facebook sejak tahun lalu membuat saya banyak belajar tentang tekad dan perjuangan untuk terus belajar dan berkarya. Di mata saya, yang mereka lakukan sudah tidak lagi dalam tataran mencari identitas, namun sudah mencerminkan tindakan altruistik yang nyata, memberdayakan komunitas di sekitar mereka. Lagipula, apalah artinya ilmu yang kita punya, bila kita tidak mampu menularkannya pada dunia yang dekat dengan kita?

Saturday, September 01, 2012

IT'S SPRING AGAIN: A ONE-YEAR REFLECTION OF A PHD MOMMY


September 2012. Tidak terasa genap 1 tahun sudah aku meninggalkan tanah air tercinta. Saat aku menginjakkan kakiku pertama kalinya di negeri kangguru, aku disambut oleh musim semi yang masih malu-malu. Aku diingatkan oleh sebutan Melbourne, a city with four seasons a day. Itu judul posting awalku di blog saat hari-hari pertamaku di sini. Angin dingin yang tak henti menerobos seolah memberi tanda, “life is not gonna be predictable, here.” 

Menengok kembali ke belakang, terlihat kilatan kenyamanan hidup yang kulepaskan. Mulai jajanan di warung yang hanya sejengkal dari rumah, pekerjaan yang meski melelahkan namun amat menyenangkan, atau keberadaan suami, keluarga, dan tetangga yang siap sedia bila dibutuhkan. Kutinggalkan zona nyamanku, dan kutapakkan langkahku pada hidup penuh tantangan dan gulatan emosi. Status baru yang kusandang: I’m just a struggling PhD mommy.  Menyeimbangkan antara tuntutan studi yang membutuhkan konsentrasi dan kemandirian tingkat tinggi dengan tanggung-jawab seorang ibu untuk dua anak yang juga belajar dengan cara yang baru. Ditambah dengan hubungan jarak jauh dengan suami yang membutuhkan kesabaran, ketahanan, dan saling pengertian tanpa syarat.

Tantangan dan pencapaian dalam 1 tahun ini bisa kugambarkan seperti pendakian gunung. Kalau dianalogikan dengan gunung Semeru, boleh dikata Ranu Kumbala sudah tercapai. Mengingat bulan-bulan saat proposal tidak kunjung kelar, anak yang kadang rewel atau sakit, sampai keuangan cepak sehingga perlu mengais dolar dengan kerja sambilan, sekarang aku bisa sejenak tersenyum lega. Dengan berbagai tanjakan dan turunan, alhamdulillah masa probationary candidature di tahun pertama bisa kulalui 1 bulan lebih awal daripada tenggat waktu. 

Masa rehat yang menenangkan, meski tidak lama, sempat kunikmati bersama, lengkap sekeluarga.  Itu saat suami datang menemani aku menghadapi ujian konfirmasi, dan yang terpenting, bersama dengan anak-anak berpuasa minggu terakhir dan berlebaran bersama. Mas Prapto ikut masak, bersih-bersih rumah, mengantar-jemput Adzra, menemani ke kampus, atau sekedar jalan-jalan tiap hari selama 10 hari. Aku sempat bilang padanya. “Mas ada di sini, hidupku serasa normal.” Biasanya serasa living around the clock. Belum lagi obrolan amat produktif tentang instrumen penelitianku. Mas Prapto menjadi informan uji coba interview questions yang sudah kusiapkan. Alhasil, beberapa perbaikan berhasil kulakukan berkat masukan kritis yang dia berikan. Hmm, kehadirannya benar-benar paket lengkap. Adzra sendiri punya cara sendiri mengungkapkan perasaannya. “Daddy, I don’t want you to go. Stay here with me. Please. Because I love you, forever.” Aku tahu, saat mas Prapto melambaikan tangannya di Skybus menuju bandara Tullamarine, sejatinya batinnya tidak mampu beranjak pergi.
Keberadaan ayahnya nampak membekas bagi Adzra. Sampai beberapa hari setelah ayahnya kembali ke Surabaya, Adzra menjadi agak sensitif. Bila pulang sekolah, yang ditanya adalah kenapa ayahnya harus pulang. Pola makan menjadi berubah. Kadang makan terus seperti tidak pernah kenyang, kadang tidak mau makan. Saat ber-skype dengan ayahnya, dan ditanya “How are you?,” jawabnya, “I’m not happy, I’m angry. Because you’re not here with me.” Seminggu setelah kepulangan mas Prapto ke tanah air adalah hari-hari penyesuaian kembali. Bila ingin jujur dengan perasaan, ternyata terasa sedikit lebih berat menjalani hari-hari sendiri lagi.

Bagaimanapun, kami harus kembali pada realitas. Hidup harus tetap berjalan, tanggung-jawab terhadap pekerjaan masing-masing harus tetap dilaksanakan. Pikiranku yang masih melayang dibuat terbangun oleh pesan-pesan YM mas Prapto. “Ayo ndang diurus travel grants untuk fieldwork. Mumpung masih anget informasinya dari supervisor.” Kebetulan saat ujian konfirmasi, kedua pembimbingku mengupayakan agar School of Culture and Communication mengupayakan dana talangan, mengingat beberapa travel grants dari kampus sudah lewat deadlinenya. Aku bilang ‘iya, iya,’ namun akhirnya sedikit panik setelah tahu bahwa ternyata ada travel grant dari Graduate School of Humanities and Social Sciences, yang deadline tinggal 3 hari. Itupun aku temukan saat iseng browsing di tengah kegalauan hati. Aku merasa tolol menjadi sosok yang terlalu melankolis. Kemana saja aku selama ini? Wake up, girl! Tanpa travel grants, hampir tidak mungkin aku bisa melaksanakan fieldwork di tanah air dan Hong Kong selama 2 bulan. Untunglah aku punya supervisor yang sangat supportive. Alhamdulillah akhirnya semua berkas persyaratan bisa aku serahkan 1 hari sebelum tenggat waktu.

It’s spring again. Datangnya musim semi kembali menjadi penanda tahun pertama studi lanjutku. Target-target penting seperti penyelesaian proposal, pengajuan beasiswa, dan etika penelitian bisa kuselesaikan lebih awal dari rencana. Hari-hari yang lebih menantang telah menanti di depan mata. Bab-bab berikutnya menunggu sentuhan, ada conference paper yang harus segera disiapkan, fieldwork yang aku geber 3 bulan mendatang juga memerlukan persiapan matang. Life is not a picnic, here. Semoga tempaan perjalanan sebelumnya memberikan arah dan cara melangkah yang lebih mantap untuk meneruskan pendakian. Puncak gunung mungkin masih belum akan terlihat. But I’ll be there eventually, insha Allah!    

Brunswick, 1 September 2012