Wednesday, March 20, 2013

Tanggapan atas tulisan 'Literasi dan Budaya Pop,' dan jawaban saya

Saya merasa mendapatkan kehormatan memperoleh tanggapan kritis dari seseorang yang saya kagumi. Senang sekali bisa sedikit memancing diskusi kritis tentang budaya. Banyak juga tanggapan-tanggapan lain yang saya terima di milis. Untuk yang ini, sengaja saya tidak cantumkan namanya (Entar deh, kalau ybs sudah memberi ijin, hehe). Ini dia tanggapan beliau yang beredar di milis Ganesa. Di bawah tulisan beliau saya sertakan juga jawaban saya. Mudah-mudahan beliau sempat membaca juga.


Mohon maaf, saya sadar bahwa saya tidak memiliki kompetensi ngomong mengenai literasi, budaya pop, dan Cultural Studies. Tetapi, karena lagi nganggur, dorongan ngomong saya saya salurkan lewat e-ngomong.
Literasi, sepanjang pemahaman saya adalah membikin orang melek. Dalam arti sempit, atau arti awal, adalah melek huruf. Proses bikin melek huruf ini berlangsung di ranah apa yang disebut pendidikan, baik formal mau pun kasual. Tujuan bikin melek ini lebih menyiapkan anak untuk menghadapi tantangan hidup kelak. sebab dengan melek anak akan lebih dapat melihat, lebih dapat memahami apa yang dia hadapi. Tentu saja literasi dalam pengertian melek huruf ini hanya merupakan bagian kecil apa yang harus dimiliki anak untuk menjalani hidup.

Marilah kita coba bayangkan masyarakat di jaman lampau, misalnya masyarakat pemburu. Dalam proses pertumbuhan, seorang anak masyarakat pemburu menjalani serangkaian pembelajaran mengenai dunia buru-berburu. Dia dikenalkan kepada alat berburu, apakah panah atau tombak. Dia diajari mencari kayu yang tepat untuk busur, dan serat kayu yang baik untuk tali busur, diajari membuat anak panah dan mata anak panah. Lalu dia belajar membidik sasaran, sasaran diam, baru kemudian sasaran bergerak. Itulah proses memelekkan anak akan alat utama berburu. Kemudian dia mulai diajak masuk hutan. di situ dia diajar mengenal karakteristik hutan, dan mengenal arah di dalam hutan. Dalam pada itu dia pun belajar karakteristik dan tingkah laku binatang buruan, sehingga dia tahu ke arah mana anak panah harus dilesatkan.
Itulah proses (the rite of passage) yang harus dia lalui sebelum dia diwisuda sebagai anggota masyarakat pemburu. Apakah dia nantinya akan menjadi pemburu handal atau hanya sedang-sedang saja sangat tergantung kepada kemampuan melek masing-masing individu, sebagaimana halnya di bidang akademik 'moderen', ada sarjana beneran, ada sarjana karena namanya tercantum dalam diploma dan buku wisuda.
Kembali ke literasi seperti apa yang saya tangkap dalam tulisan Bu Pratiwi. Kayaknya secara tradisi bangsa Indonesia adalah bangsa 'lisan.' Tahun 1945 kita baru lepas dari status dijajah, status kasta yang tidak jauh dari kaum budak. Dan budak tidak seharusnya dibikin literate sebab mereka akan melek, sadar, dan menuntut kebebasan. Berbahaya bagi penjajah. Kalau saya boleh mengatakan, sekian lama bangsa Indonesia tidak dimelekkan, sehingga literasi pada hakekatnya belum dan tidak masuk ke dalam ranah kesadaran,  apalagi ketidaksadaran manusia Indonesia.

Dengan demikian wajar saja bila literasi tidak atau belum muncul dalam produk budaya bangsa. Bangsa ini lahir saat dunia sudah begitu 'maju.' sehingga menyebabkan bangsa ini kaget,   setelah mengalami perubahan status mendadak, dari bangsa budak menjadi bangsa merdeka. Keinginan untuk bisa dikatakan sederajat dengan bangsa lain menyebabkan seringkali kita lebih terpana akan hal-hal yang kasat mata, yang bersifat fisik, material dan mewujud (mengejar ijasah, misalnya), ketimbang hal-hal yang lebih hakiki.

Sebagai penutup, saya pengin mengingatkan bahwa penolakan atas literasi sudah lama pula ada. Ada sajak, sayang saya lupa judulnya dan juga pengarangnya, yang mengajak menjungkirbalikkan meja (belajar) dan membuang buku-buku agar terbebas dan keluar ke alam. Juga Emerson menganjurkan para cendekiawan untuk bisa melepaskan diri dari pengaruh buku, mencari jalan sendiri dan menumbuhkan apa yang dia katakan sebagai "self-reliance." (kayaknya ini bertentangan dengan tradisi akademik: yang dinamakan ilmuwan adalah orang yang berkutat di atas teori dan gagasan pakar lain, dan tidak diharuskan menelurkan teori sendiri).

====

Ini dia jawaban saya untuk menanggapi tulisan di atas:

Mari kita bersepakat dulu bahwa literasi yang sedang kita perbincangkan di sini adalah literasi dalam tataran ideologis, bukan proses psikologis tentang bagaimana otak memproses kata menjadi bermakna. Pandangan yang kedua ini cenderung netral dan bebas nilai. Yang ini biarlah diurusi oleh para pakar psikolinguistik. Dalam tataran ideologis, literasi dilihat sebagai praktik sosial, dan tentunya membawa nilai-nilai komunitas atau masyarakat di mana literasi itu berjalan. Dari tanggapan di atas, saya meyakini bahwa pijakan awal saya dan beliau sudah sama, yakni literasi sebagai praktik sosial. 

Tidak ada yang akan menyanggah bahwa sebagai sebuah negara, Indonesia masih dianggap remaja, apalagi dibandingkan dengan Amerika Serikat yang merdeka di tahun 1776. Jauh sebelum itu, nenek moyang bangsa Amerika yang bermigrasi dari daratan Eropa-pun sudah membawa 'dunia' literasi dengan mereka. Dengan analogi ini, maka Indonesia sebagai bangsa sebenarnya juga punya jejak-jejak literasi. Ini terbukti dari tulisan-tulisan kuno para Empu di jaman Singasari dan Majapahit. Serat Pararaton, misalnya, membuat kita yang hidup pada jaman digital ini bisa tetap menikmati legenda Ken Arok dan Ken Dedes dalam bentuk pdf. 

Bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa 'lisan,' saya juga sependapat. Sedikitnya budaya pop yang memotret peristiwa literasi dalam adegan-adegan film dan sinetron menjadi secuil buktinya. Ini setidaknya juga sejalan dengan konsep bahwa 'literacy is historically situated.' Bagaimanapun, karya seni dan sastra (kanon maupun klasik) memang berperan sebagai cermin sosial. Apa yang kita lihat di karya tersebut, sedikit banyak memang seperti itulah kenyataannya. Ini sebenarnya bisa diperdebatkan juga lebih jauh, karena acara-acara 'reality show' mengedepankan 'imagined reality,' sebagai kenyataan sebagaimana kita bayangkan kebenarannya (yang belum tentu benar). 

Di sisi lain, budaya pop sebagai artefak budaya sebenarnya juga berfungsi membawa peran untuk transformasi sosial. Dalam proses produksinya, yang melibatkan penulis skenario, sutradara, artis, dan pastinya produser, budaya pop tidak luput juga dari nilai-nilai. Di sinilah kita boleh berharap, andaikan aktor di belakang layar memiliki sedikit kepedulian, sedikit saja, terhadap nasib anak-anak bangsa, mestinya mereka juga bisa menyelipkan pesan 'gerakan literasi' dalam adegannya. Saya bayangkan dengan kacamata saya yang polos, menunjukkan adegan anak-anak usia sekolah di sinetron sedang membaca buku cerita di atas pohon jambu (ini sih kelakuan saya di masa kecil) tentunya tidak sesulit memaksakan iklan 'Kacang Garuda' muncul di adegan film Di Bawah Lindungan Ka'bah yang bersetting tahun 1920-an. 

Sampai di titik ini saja, kita sebenarnya baru berbicara tentang ada tidaknya adegan literasi, belum sampai bagaimana literasi direpresentasikan. Di sinilah kita bisa mengamini pendapat bahwa ada masa dalam sejarah Amerika di mana literasi ditolak. Tentunya pernyataan itu harus kita maknai lebih mendalam., karena memang ada pemikiran yang mendasarinya. Saya akan sangat bodoh bila menganggap bahwa Emerson 'menolak gerakan literasi.'  Ketika Emerson menganjurkan para akademisi untuk melepaskan diri dari buku-buku, pada dasarnya ini adalah simbol penolakan Emerson terhadap apapun yang berbau konvensional dan ritual. Emerson mengajak masyarakat untuk menjadi non-conformist dan berjiwa 'self-reliant.' Emerson sendiri pernah menyatakan bahwa menjadi pendeta yang baik bisa jadi ditempuh dengan cara meninggalkan gereja (beserta ajarannya). Ini juga yang dilakukan Emerson, yang kemudian dikenal sebagai 'The Father of Transcendentalism.' Secara singkat, pemikiran ini memandang bahwa manusia bisa menemukan realitas melalui proses berpikir, bukan pengalaman, dan kedekatan dengan alam akan membawa manusia 'bertemu' dengan penguasa alam spiritual yang dia sebut sebagai Over-Soul

Lalu apakah Emerson tidak suka buku? Jangan salah teman-teman, cari saja di google, berapa banyak memorable quotes dari Emerson yang berbicara tentang pentingnya literasi. Ini beberapa yang saya suka: 

"Books are the best of things if well used; if abused, among the worst. They are good for nothing but to inspire. I had better never see a book than be warped by its attraction clean out of my own orbit, and made a satellite instead of a system."

"If we encounter a man of rare intellect, we should ask him what books he reads."

Pemikiran Emerson tetap bisa diperbincangkan sampai sekarang karena dia meninggalkan warisannya. Essay dan jurnal harian Emerson dianggap sebagai karya sastra, yang membuat kita paham bagaimana konteks budaya pada masa itu. Salah satu pertanyaan Emerson yang mempengaruhi Henry David Thoreau, teman baik dan  'murid'nya adalah 'do you keep a journal?' 

Maka kita punya contoh James Bond yang menolak membaca manual sebagai simbol penolakannya terhadap conventional kind of literacy, kita memahami Emerson yang mengusung pemikiran 'non-conformist,' dengan institusi (agama dan sekolah) yang dianggap mengekang kebebasan berpikir. Dengan demikian, saya bisa simpulkan dari pernyataan pemberi tanggapan di atas, bahwa penolakan terhadap literasi di sini adalah literasi yang dianggap sebagai alat pemasung kreativitas dan kebebasan berpikir, bukan literasi yang dimaknai sebagai kegiatan membaca dan menulis semata. 

Saturday, March 16, 2013

LITERASI DAN BUDAYA POP


Saya sedang membaca (lagi) buku Popular Culture and Representations of Literacy, yang ditulis oleh Bronwyn T. Williams dan Amy Z. Zenger, terbitan Routledge tahun 2007. Buku beraliran Cultural Studies ini membahas bagaimana budaya baca tulis dipotret dalam budaya pop. Fokus analisisnya diarahkan pada film-film Hollywood atau yang blockbusters. Sejak awal kuliah dulu, buku ini sudah bolak-balik saya pinjam dari Baillieu Library, untuk melihat bagaimana caranya mengungkapkan elemen-elemen literasi dalam budaya pop.



Banyak yang bisa diungkap dan dipelajari dari bagaimana literasi direpresentasikan sebagai aspek kehidupan sehari-hari para tokoh dalam film, apakah itu yang ber-genre drama sosial, komedi romantis, fantasi, sampai action. Hal yang menarik di buku ini adalah pernyataan penulis bahwa sangat susah memilih film untuk objek analisis, karena saking mudahnya menemukan scene bernuansa baca tulis di hampir setiap film. Ini menunjukkan bahwa literasi sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat di Amerika. 

Dengan asumsi seperti ini, maka representasi literasi dalam film Hollywood tidak hanya sekedar diarahkan pada ada tidaknya potret literasi, namun lebih pada bagaimana literasi dimaknai. Membaca buku ini menjadi asyik, seperti memutar kembali film-film yang pernah saya tonton, atau membaca ulasan singkat film yang belum sempat saya nikmati. Misalnya saja, kita semua pasti tahu bagaimana mudahnya James Bond menguasai penggunaan senjata baru tanpa harus baca manual. Bahkan ketika M memberi briefing tentang tugasnya, dengan memberikan segepok file, Bond sudah tahu profil musuh yang harus dihadapi tanpa membuka dokumen. Atau file-in-the-desk moment di banyak film action, ketika sang lakon dipanggil atasannya, dan disodori dokumen yang berisi daftar pelanggarannya. Padahal aksi-aksi di luar jalur itu dilakukan untuk ‘menyelamatkan dunia.’ Contoh-contoh seperti ini dimaknai sebagai penolakan ‘the hero’ terhadap literasi gaya konvensional, yang biasanya diusung oleh sosok birokrat.

Contoh besarnya peran literasi bisa ditemukan di film-film yang oleh penulis disebut sebagai ‘the triumph of literacy’ films. Para pencinta sastra pasti sudah menonton Dead Poets’ Society. Judul ini mengacu pada kelompok pembaca dan penulis yang rutin bertemu secara rahasia di hutan kecil pada malam hari. John Keating, seorang guru Bahasa Inggris, diperankan sangat apik oleh Robin Williams, dan mengusung misi literasi sebagai ‘emotional salvation.’ Film ini juga memotret benturan pandangan tentang literasi di masyarakat. Apakah siswa perlu menguasai ketrampilan literasi sebagai komoditi untuk terjun ke masyarakat, agar bisa meraih profesi bergengsi, ataukah literasi menjanjikan transformasi emosional dan intelektual. Tantangan seperti ini seringkali menimbulkan jarak antara anak dan orang-tua. Potret sejenis juga bisa ditemukan di novel Hard Times karya Charles Dickens. Mana yang lebih penting, sains atau seni dan sastra?



Banyak lagi jenis film yang mengangkat bagaimana literasi mentransformasi perempuan menjadi sosok yang lebih mandiri atau punya posisi tawar yang lebih tinggi seperti Monalisa Smile, Nanny McPhee, dan My Big Fat Greek Wedding. Ada juga yang merepresentasikan literasi sebagai kekuatan dunia hitam dan membahayakan, seperti pada Harry Potter and the Chamber of Secrets (2002) dan The Lord of the Ring: The Fellowship of the Ring. Harry Potter, Ron, Hermione, dan juga Gandalf menemukan kekuatan hitam melalui akses ke buku-buku kuno.



Bagaimana dengan film-film Indonesia? Saat pertama kali membaca buku ini, saya terpancing untuk mencari-cari apakah ada film atau sinetron Indonesia yang mengandung peristiwa baca tulis. Ternyata kok ya susah banget menemukannya, berbanding terbalik dengan susahnya mencari film Hollywood yang tidak ada scene bernuansa literasi. Apakah ini mengindikasikan bahwa literasi belum menjadi bagian dari budaya Indonesia? Hanya sedikit sekali yang saya temukan. Beberapa contoh yang bisa saya sebut antara lain film 5 cm. Saya nonton film ini saat pulang kampung akhir tahun lalu, ada scene di mana tokoh Riani dan Zafran sedang chatting. Ini setidaknya menggambarkan penguasaan literasi digital.  Yang paling menonjol malah sosok Zafran (Herjunot Ali) yang pencinta sastra dan jago berpuisi. Coretannya berserakan di dinding. Dia gunakan kemahiran menulis kata-kata indah ini untuk menarik hati Dinda, adik Ian, salah satu sahabatnya.



Laskar Pelangi jelaslah mengusung pentingnya literasi sebagai bagian dari pendidikan  Sosok Lintang menjadi bintang karena kegilaannya membaca, dan juga Mahar sang pencinta seni, dan pastinya Ikal sendiri. Atau bisa juga kita tengok Ada Apa Dengan Cinta, yang lumayan kental dengan nuansa buku, mading, dan sastra. Tokoh utamanya, Cinta (Dian Sastro) dan Rangga (Nicholas Saputra), diprotret sebagai sosok pecinta buku dan jago berpuisi.



Seorang penulis Indonesia, Gol a Gong, juga menyiratkan keprihatinannya tentang sedikitnya potret literasi di budaya pop Indonesia. Kebetulan pas ke Bailleu Library, saya ‘nemu’ buku Gempa Literasi: Dari Kampung untuk Nusantara (2012) yang ditulis bareng oleh Gol A Gong dan Agus M. Irkham. Di tulisan ‘Jangan Matikan Televisi, Gol A Gong juga menunjukkan kontrasnya film Barat dan film Indonesia tentang kebiasaan membaca para tokohnya (hal. 26).



Sepengetahuan saya, topik literasi belum tergarap dengan baik di khasanah penelitian di Indonesia. Oops, sebenarnya saya sendiri juga baru ‘ngeh’ akan luasnya kemungkinan menggarap topik ini di bidang apapun. Di bidang sastra dan budaya saja, kayaknya tidak akan habis dikupas untuk skripsi 100 mahasiswapun. Saya optimis gambaran literasi bisa ditemukan di budaya pop di Indonesia. Setidaknya, komik-komik silat sering menunjukkan bagaimana sang lakon berlatih jurus baru secara sembunyi-sembunyi dari kitab kuno jurus persilatan. Literasi dan budaya pop adalah topik yang amat maknyus. Inilah barangkali menjadi salah satu alasan mengapa sekarang ini saya ‘jatuh cinta’ dengan dunia ini. Rasa-rasanya, sejauh mata memandang, yang terlihat adalah peristiwa literasi. Well, what you see is what you want to see.

Ada yang mau menjawab tantangan ini?

Catatan: Gambar-gambar diunduh dari google image

Thursday, March 14, 2013

Katulistiwa, Equinox, dan Daylight Saving

Pagi ini salah seorang sobatku, Much. Khoiri, mengirimkan catatan hariannya di milis Keluarga Unesa tentang pengalamannya di Pontianak. Emcho, begitu kami biasa memanggilnya, berada di kota katulistiwa dalam rangka tugasnya sebagai Tim IDB Unesa. Catatan hariannya juga  bisa dibaca di sini

Milis Ganesa memang salah satu 'rumah singgah' yang sering membuat penghuninya berlomba-lomba posting dan saling memberikan komentar. Pada akhirnya, ketrampilan menulis kami juga semakin terasah. Tulisan Emcho sendiri menggelitikku untuk mengulas sedikit tentang pengalamanku hidup di belahan bumi utara dan selatan, di mana Daylight Saving diberlakukan sebagai salah satu pengaruh dari Equinox


Kebetulan aku suka dengan hal-hal yang berbau geografi dan astronomi. Waktu SMP dulu, aku suka pinjam buku tentang Bumi dan antariksa di perpustakaan sekolah. Menikmati gambar konstelasi bintang yang indah, saat itu aku bermimpi ingin jadi ahli astronomi. Meski mbleset dan akhirnya jadi dosen, astronomi tetap bisa kunikmati lewat puisi Chaucer, penyair Inggris jaman medieval (alasan.com).

Omong-omong tentang equinox, dulu aku pikir daylight saving ditetapkan pas dengan equinox (20/21 Maret dan 22/23 September). Penduduk Indonesia sih gak terlalu terpengaruh banget, perbedaan panjang siang dan malam tidak pernah terasa jauh berbeda. Sepertinya sama-sama 12 jam saja.

Aku mengalami daylight saving untuk pertama kalinya ketika tinggal di Texas dulu. Pada saat autumn, jarum jam diundurkan 1 jam, dan pada saat spring, jam ditambah/dipercepat 1 jam ke depan. Dan ternyata daylight saving dimulai/diakhiri bukan pada saat equinox, tapi di awali di bulan Maret dan diakhiri di November, dengan tanggal yang sedikit bergeser tiap tahunnya. 

Sekarang karena aku berada di belahan bumi selatan, yang terjadi adalah sebaliknya. Daylight saving akan berakhir di bulan April (7 April 2013) dan dimulai lagi tanggal 6 Oktober 2013. Kadang masih bingung apakah jarum jam harus dipercepat atau diperlambat? Cari-cari di internet, nemu kuncinya, yakni: Fall Back and Spring Ahead. Artinya, kalau fall/autumn season, jamnya diundurkan, kalau spring, jamnya ditambah.  

                                                                    (courtesy: google image)

Saat ini secara resmi sudah masuk autumn di Australia, meski beberapa hari terakhir masih panas mlethek. Tapi hari ini dan mudah-mudahan hari-hari ke depan sudah mulai terasa semilir sejuk anginnya. Yang sudah mulai terasa beda adalah jatuhnya waktu shalat. Adzan Shubuh baru menjelang pukul 6 pagi, dan matahari terbit sekitar 7.15. Enaknya, kalau mau bangun malam masih bisa sekitar jam 4-5 pagi. Maghrib juga sudah mulai lebih cepat, yakni hampir pukul 8 malam. Beda dengan 1 bulan yang lalu, ketika harus menunggu lebih dari pukul 8.30-an untuk shalat Maghrib, apalagi Isya yang baru masuk lewat pukul 10 malam. Nunggunya sampai ngantuk-ngantuk. 

Tanggal 7 April besok, ketika Daylight Saving berakhir, jarum jam akan dikurangi 1 jam. Dengan demikian waktu Maghrib terasa lebih cepat, sekitar pukul 7 malam. Saat bulan Ramadhan nanti, insya Allah akan pas winter, sehingga siang akan terasa lebih cepat berlalu. Sahur pukul 6 pagi, dan buka puasa kurang dari pukul 6 sore. 

Kalau diberi berkah oleh Allah seperti ini, maka nikmat mana lagi yang akan kamu dustakan?

Tuesday, March 12, 2013

BRAIN FOOD AND CULTURAL BAG


Ini cerita tentang bekal makan siang anak sekolah. Kalau saat di Kinder dulu, morning tea, lunch, dan afternoon tea menjadi tanggungan sekolah Adzra, maka semenjak dia masuk SD, menyiapkan snack dan isi lunch box menjadi kewajiban baru yang harus saya lakukan. Maklum, jam sekolahnya sudah full-day, mulai pukul 09.00-15.30.

Urusan makan menjadi lebih ribet ketika budaya cenderung memiliki penanda berbeda. Perut orang Indonesia (setidaknya untuk ukuran saya) suka bilang ‘belum makan’ bila belum diisi nasi. Di rumah, saya juga praktis masak tiap hari, dengan menu a la Indonesia. Maksudnya, nasi harus selalu ada.

Membawakan bekal nasi dan lauk tentunya kurang pas untuk anak usia 5 tahun. Dengan lunch break dibatasi 15 menit khusus untuk makan, dan 15 menit untuk bermain, makan nasi akan cenderung ‘messy.’ PR menyiapkan bekal ditambah lagi dengan persyaratan bahwa tidak boleh ada junk food. Pihak Moreland Primary School rupanya cukup tegas untuk masalah ini. Mereka memegang teguh pendapat, ‘Brain Food for Kids: Feed your Children so They Excel at School.’ Bahkan untuk itu sampai diberikan sosialisasi ke orang tua siswa baru. Diberi brosur tentang makanan sehat untuk otak, tentu saja disertai gambar the ‘Do’s and Don’ts.’ No deep-fried food, chocolate, sweetened biscuits.

Saat sosialisasi dulu, bahkan Kerry, guru Prep Year, menegaskan hasil pengamatannya terhadap siswa. It’s easy to distinguish those kids who keep awake from those who get sleepy after lunch time. Just look at their lunch box. Sedihnya, karbohidrat yang terlalu banyak (maksudnya lebih banyak nasi daripada lauknya) termasuk dalam daftar makanan kurang sehat.

Jadilah lunch box Adzra berputar-putar antara roti tawar dengan isi bervariasi. Kadang telur ceplok, telur rebus, sosis panggang, irisan ayam, nugget panggang, sampai dimsum. Bagaimana dengan snack-nya? Snack terbaik adalah buah. Duh, gak pernah terbayang di benakku bahwa buah adalah snack

Typical lunch buat Adzra: roti tawar, dimsum, potongan apel, unsweetened biscuits

Makanan pendamping jenis lain adalah plain biscuits. Boleh juga dilapisi cheese spread, tapi peanut spread yang yummy seperti Nutella tidak disarankan. Jangan harap bisa membawakan cookies model Oreo dan sejenisnya. Bila ini terjadi, maka saat pulang sekolah, makanan tersebut akan masuk ke kantong kertas bertuliskan ‘No junk food.’ Bila beberapa kali terjadi, maka orang-tua akan diajak ‘conference’ oleh gurunya. Ini yang pernah terjadi pada teman Adzra. Ada anak baru dari Indonesia yang suka membawa cookies atau roti tawar isi coklat. Kulihat beberapa kali dia disangoni kantong kertas bertuliskan ‘no junk food.’

Otak saya yang sudah kadung terbentuk model Indonesia kadang suka khawatir. Kenyangkah anakku makan bekal seperti itu? Kalau pagi jelas kusiapkan sarapan gaya Indonesia, meski itu artinya adalah nasi dan telur ceplok atau ayam goreng. Dan itu kadang masih diawali dengan semangkuk cereal atau roti bakar. Tapi untunglah perut Adzra mulai terbiasa dengan tanpa nasi. Bekal buah hampir selalu habis. Bekal makan siang yang kubawakan tadi, Lebanese bread isi ayam panggang, juga bersih. Dimsum isi udang dan sayur yang tinggal di-steam juga jadi favoritnya. Kecerewetan ibunya bila bekal tidak dimakan membuat Adzra suka laporan, ‘mommy, I finished my lunch,’ atau mommy, I don’t want the bread. You put something in it.’ Itu pas kuselipkan beberapa lembar bayam. Susahnya membuat dia suka sayur, kalau tidak diakali cara masaknya.

Melihat Adzra tetap berenergi sepulang sekolah, kadangkala saya ingin ikut membawa bekal a la brain food. Ke kampus bawa pisang atau apel, dan setangkup roti isi yang lumayan bergizi. Ternyata untuk urusan lapar dan kenyang, pikiran memegang peranan penting. Badan saya dengan cepat akan terasa meriang. Bekerja menjadi kurang konsentrasi. Hanya nasi dan tumis atau sayur berkuah dan ikan goreng yang mampu meredamnya.

Tinggal di luar negeri tidak berarti bahwa kebiasaan lama ditinggalkan. Cultural bag akan selalu mengikuti kita. Inilah yang menjadi penanda siapa kita sebenarnya, yang menjadikan kita sama atau berbeda dengan orang lain secara budaya. Jenis makanan terbukti ada di dalam cultural bag yang saya bawa dari tanah air.

Ah, andai saat melek malam ini bisa makan tahu campur langganan yang suka lewat depan rumah.     

Friday, March 08, 2013

BELAJAR MEMBACA


Sejak Senin kemarin, Adzra pulang sekolah dengan menenteng tas biru. Tas ini simbol bahwa reading program untuk Prep Year di Moreland Primary School sudah mulai. Tiap hari selalu ada buku baru yang jadi PR membaca. Jadilah saya dan Adzra menjalankan rutinitas baru, di luar acara baca buku cerita seperti biasanya. Kali ini ditambah dengan membaca buku dengan graded level, sambil bermain-main dengan sounds

Kalau dilihat isi bukunya, sebenarnya amat sangat simpel. Buku pertama yang dibawa pulang misalnya, cuma berisi satu kalimat pendek di tiap halaman. Tiap kalimat hanya terdiri dari 3-5 kata, dengan 3 kata yang diulang-ulang dari halaman pertama sampai terakhir. Yang gede dan memenuhi halaman adalah gambarnya.

Ini bunyi isi bukunya:

I Like Rice
I Like Rice
I Like Rice with Beans
I Like Rice with Fish
I Like Rice with Chicken
I Like Rice with Sausages
I Like Rice with Tomato
We Like Rice

Bisa ditebak gambarnya adalah anak bawa piring dengan kacang-kacangan, ayam, sosis, tomat, dan halaman terakhir semua anak memegang piring nasi dengan isi macam-macam.

Lalu bagaimana Adzra memproses kata dan kalimat-kalimat tersebut. Namanya anak, pasti gambarnya yang jadi pegangan. Seperti kata 'sausages' ya cuma dibaca 'sausage,' atau 'tomato' malah dibaca 'tomatoes.' Jadi sebenarnya dia belum bisa dikatakan mengenal kata-kata di atas dalam bentuk tulis. Ketika gambarnya coba saya tutup, baru ketahuan kalau dia baru bisa menebak kata kalau ada gambarnya. Meski Adzra sudah tahu bunyi alphabet dalam bahasa Inggris, dia belum bisa merangkaikan bunyi. Hmm, harus cari cara nih, bagaimana sebenarnya metode yang pas. 

Perbedaan antara letters dan sounds dalam Bahasa Inggris membuat saya mencari-cari referensi bagaimana sebenarnya Phonics model berfungsi membantu anak membaca. Apalagi sounds dalam Bahasa Inggris sifatnya irregular. Dalam bahasa anak-anak, 'sounds can work together like friends in a team, but sometimes they don't behave appropriately, just like a six-year old kid does.' Kalau pembelajar dewasa sih sudah jelas bisa memproses kata lebih cepat karena memorization.

Metode phonics mengajak anak untuk bermain-main dengan sounds. Jadi bukan hanya bisa mengucapkan ei bi si di i ef i seperti ABC song, namun membaca bunyi, seperti æ bəh kəh dəh e fəh. Akhirnya malah jadi guyon, seperti membaca kata fish dengan cara 'fəh fəh  fəh i i i ʃ ʃ ʃ,  / fiʃ /. 

Namun apakah cara ini satu-satunya yang dipakai untuk belajar membaca. Saya pikir, daya memori anak juga mampu mengenal kata dan bunyinya dalam satu kesatuan dengan melihat kata tersebut muncul secara berulang dalam buku. Rasanya ada benarnya, karena di cover belakang buku itu memang disebutkan high frequency words yang ada di dalamnya, yakni I, Like, Rice. with. Ini yang disebut dengan sight reading

Berdasarkan referensi dan pengamatan, plus pengalaman langsung mengajari Adzra, bolehlah sementara ini saya mengambil simpulan bahwa metode yang pas untuk mengajari anak membaca adalah dengan menggabungkan antara sight reading dengan phonics. 

Melafalkan kata nampaknya bisa jadi permainan yang menyenangkan. Setidaknya, itu yang saya lihat pada Adzra. Dia kebetulan punya teman baru, Sarah, yang baru 2 minggu masuk MPS ke Prep. Tinggalnya pas di atas unit saya. Jadilah mereka berdua bermain bersama setiap hari. Sarah yang baru belajar bahasa Inggris malah jadi 'sasaran' Adzra yang suka bermain peran jadi guru. Ini yang terjadi kemarin, ketika Sarah ikut bergabung belajar membaca.

Ibu'e Adzra: Ayo Sarah, tirukan tante, I Like Rice with Fish
Sarah (masih malu-malu), membunyikan fish dengan 's' biasa.
Adzra: Sarah, look at me, /fiʃ/,  sambil memonyongkan mulutnya untuk membunyikan ʃ.                              

Weleh, lha kok jadi kayak ibunya waktu ngajar Pronunciation di jurusan Inggris. 

Tuesday, March 05, 2013

Literacy Program di SD di Australia


Anak-anak di Indonesia rata-rata sudah bisa membaca saat masuk SD, bahkan sejak di TK. Tapi mengapa minat baca anak Indonesia amat rendah? Pertanyaan ini sering mengganggu pikiran saya. Pasti ada yang salah dengan program literasi kita (bila memang ada).

Saya tahu bahwa metode Phonics digunakan untuk memulai program literasi di Australia, namun saya belum tahu pasti bagaimana modelnya. Selama ini, saya hanya mendengar cerita teman-teman yang anaknya di SD di sini. Waktu masuk di Prep Year, rata-rata belum ada yang bisa membaca. Tapi tak satupun teman yang resah. Setidaknya, saya bisa melihat hasilnya dari anak-anak Indonesia yang sudah di Grade 1. Dari hanya mengenal alphabet pada bulan pertama, pada akhir tahun pelajaran anak Prep sudah bisa menulis surat sederhana dalam bahasa Inggris. Tak usah heran sebenarnya. Tiap hari anak-anak kelas Prep sampai Grade 3 menenteng tas biru milik tiap siswa, membawa pulang buku bacaan dari sekolah sebagai tugas membaca.

Kesempatan untuk mengamati bagaimana program literasi diterapkan di sekolah-sekolah Australia akhirnya saya dapatkan sekarang. Adzra sudah menjadi anak Prep. Saat masuk ke Moreland Primary School (MPS), satu-satunya kriteria diterima adalah usia, yakni sudah (akan) berusia 5 tahun pada bulan April di tahun berjalan. Syarat ini berlaku untuk semua SD. Kemampuan literasi dan numerasi tiap anak dideteksi melalui interview secara individu dengan tiap anak. Di MPS, interview ini dilaksanakan pada hari Rabu selama bulan Februari kemarin. Secara bergiliran, Setiap anak dijadwalkan interview selama 40 menit dengan satu guru, dan kemudian 10 menit dengan speech pathologist. Dengan demikian hari Rabu adalah hari libur untuk anak Prep selama 1 bulan pertama.

Menarik kiranya menyimak bagaimana interview ini dilakukan. Adzra mendapat giliran di minggu pertama. Saya lihat dari jauh, Adzra diajak bermain-main oleh Kerry, salah satu gurunya. Saya tidak terlalu asing dengan cara ini, karena beberapa kali melihat bagaimana mas Prapto melaksanakan tes psikologi dengan anak-anak. Setelah 40 menit berlalu, barulah Kerry ngobrol dengan saya, sementara Adzra berpindah ke speech pathologist. Dari penjelasan Kerry, kemampuan numerasi dilihat Adzra diminta mengeluarkan boneka-boneka kecil dari kotak, dan menghitungnya, baik secara urut maupun menghitung mundur. Kerry bilang, “Adzra is very organized.” Ternyata ini hasil pengamatan bagaimana Adzra menata dulu mainannya berdasarkan warna atau model, sebelum dia mulai menghitungnya. Saya mengiyakan. Lha wong di rumah hobinya adalah menata mainannya dengan cara dia sendiri. Tidak heran bila Adzra suka ngambek bila posisi mainannya berpindah, ketika saya merapikannya (dengan kacamata orang dewasa). Sementara itu, kemampuan literasi diamati melalui storytelling. Kerry membacakan buku cerita bergambar. Setelah itu Adzra diminta menceritakan kembali. Menurut Kerry, Adzra memiliki comprehension yang baik. Dengan melihat gambarnya, dia bisa merekonstruksi cerita, dengan menggabungkan versi buku dan versinya sendiri. Jadi ternyata bukan dites bisa membaca atau tidak. Sementara itu, speech pathologist berupaya menggali apakah si anak punya masalah dengan komunikasi atau tidak. Dari obrolan kami, Adzra punya kepercayaan diri yang cukup tinggi untuk berkomunikasi. Untuk ukuran anak yang baru bisa bicara dalam Bahasa Inggris (production stage) kurang dari 1 tahun, Adzra cukup mampu mengkomunikasikan pikirannya.

Masalah komunikasi dan sosialisasi dianggap penting. Ini saya ketahui ketika salah seorang teman Adzra di Prep, anak Indonesia juga, diikutkan Friendship program. Program ini akan melatih anak bersosialisasi, seperti kontak mata, bermain dalam kelompok, mengatakan 'thank you,' excuse me, dan sejenisnya. Ketika saya tanyakan mengapa Adzra tidak mendapatkan note tentang Friendship program ini, kata Kerry gurunya, "Oh, Adzra is just a confident girl. I don't know. She seems to know many things. She's a bright little chicken.'

Pihak sekolah dan Victorian Education Department menganggap pentingnya peran orang-tua dalam mendukung program literasi di sekolah. Banyak brosur dan poster yang disediakan pemerintah untuk tujuan ini. Pada prinsipnya, kegiatan sehari-hari di rumah harus diwarnai dengan literasi. Itu tidak hanya berarti bahwa kita mengandalkan buku cerita. Lebih dari itu, bermain peran, bernyanyi, bercerita tentang foto-foto keluarga, membaca label di kemasan makanan atau billboard di jalan adalah latihan membaca dan menemukan ide untuk menulis. Hasil coretan dan gambar yang dihasilkan anak perlu kita gali dengan banyak pertanyaan, agar dia bisa bercerita dengan imajinasinya.

Pikiran saya melayang ke keseharian Adzra. Sebagaimana anak-anak pada umumnya, Adzra suka sekali corat-coret. Setiap pegang kertas, dia akan menirukan tulisan di mana saja. Tulisan ‘ASTOR’ di kaleng, ‘Toshiba’ dari laptop, ‘Happy Holiday’ dari kartu ucapan. Setelah itu dia akan bertanya, ‘ini bacanya apa?’ Adzra juga punya buku tulis kecil bergambar Hello Kitty. Di setiap coretan atau gambar, selalu ada namanya. Adzra memang sudah bisa menulis namanya sendiri. Suatu saat saya buka, ternyata ‘buku harian’nya sudah hampir penuh. Ini salah satu gambarnya:

Gambar sisip 2

Cerita versi Adzra:

This is mas Ganta. This is me. Ini Love-nya dicoret. Karena aku gak love mas.

‘Kenapa?’ tanya saya

“Because I don’t like him. He’s always joking.”


Imajinasi anak memang betul-betul bisa dieksplorasi bila orang-tua selalu siap menjawab pertanyaan dan ocehan yang tak ada habisnya. Sekedar mencari penguatan, saya mau berbagi salah satu pamphlet yang diberikan kepada semua orang-tua murid di Prep Year.
In the early years of primary school, students learn through rymes, storytelling, and following along with their favourite bookand following along with their favourite book. Learning to write begins with scribble and drawings. The activities below will help your child develop these skills.

  1.  Share rhymes and songs and encourage your child to join in.   
  2. Save safe cardboard and household items for your child to build with. Ask your child to describe what they are building.                                            
  3. Have a dress-up box for your child to use for imaginative play.
  4. Listen to your child and respond to their ideas with questions and ask for more information. 
  5. Write down your child’s stories as they tell you and encourage him or her to read it back to you.
  6. Point out and talk about letters and words all around you. For example, on cereal boxes, car number plates, signs.
  7.  Cook simple things together. Read out the recipe, talk through what you are doing.
  8. Join a toy library and choose toys together. 
  9. Look at junk mail and talk about the things for sale.
  10. Provide materials and create a writing/drawing table or area.
  11. Talk about family photos and histories.


Siapa menyangka bahwa obrolan remeh-temeh tentang hal di atas ternyata bisa menumbuhkan kemampuan literasi anak. Insya Allah saya akan berbagi cerita lagi tentang bagaimana menjadi Parent Helper untuk program literasi. Hobi saya ikut volunteering program membawa saya pada peran yang akan saya awali minggu depan. Membacakan buku cerita, dan ikut mendampingi anak-anak Prep belajar membaca. I can't wait to experience this!