Monday, December 18, 2006

REPRESENTASI ISLAM DALAM SASTRA BARAT

Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh

Yang terhormat para Pejabat Pemerintah baik Sipil maupun TNI,
Yang terhormat Dewan Penyantun Universitas Negeri Surabaya,
Yang terhormat Rektor Universitas Negeri Surabaya/Ketua Senat Universitas Negeri Surabaya,
Yang terhormat Sekretaris Senat Universitas Negeri Surabaya beserta anggota Senat,
Yang terhormat para pembantu Rektor, para Dekan, para Kepala Biro, Ketua Lembaga, Ketua UPT, para dosen, karyawan, dan para mahasiswa,
Yang terhormat para undangan lain dan segenap yang hadir,

Hadirin yang saya muliakan,
Sudah sepatutnya kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena hanya atas rahmat dan berkahNya kita semua dapat berkumpul dalam Sidang Senat Terbuka sebagai rangkaian peringatan Lustrum ke-8 Universitas Negeri Surabaya yang kita cintai ini.
Patut kiranya saya ucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya oleh Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya, selaku Penanggung Jawab Lustrum ke-8 Universitas Negeri Surabaya untuk menyampaikan pidato ilmiah dalam Sidang Senat Terbuka yang terhormat ini. Saya terima kepercayaan ini sebagai satu kehormatan.
Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan sebuah wacana sastra yang erat kaitannya dengan kondisi sosial budaya, dengan mengambil tema Representasi Islam dalam Sastra Barat: Sebuah Pendekatan Interdisipliner.


REPRESENTASI ISLAM DALAM SASTRA BARAT: SEBUAH PENDEKATAN INTERDISIPLINER

Hadirin yang terhormat,
Sekitar satu setengah tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 3 Maret 2003, di kota Seattle, negara bagian Washington, Amerika Serikat, dua orang anggota dewan (House of Representatives) keluar dari tempat sidang ketika seorang imam, kebetulan dari Indonesia, memimpin doa pembuka di gedung dewan. Salah seorang di antaranya beralasan bahwa secara pribadi dia tidak ingin menjadi bagian dari agama yang yang menjadi inti sentimen anti-Amerika, dan bahwa “my God is not Mohammed.”[1] Kedua anggota dewan ini dalam waktu singkat diminta untuk membuat pernyataan maaf secara terbuka setelah CAIR (The Council on American-Islamic Relations) memprotes kejadian ini. Reaksi terhadap Islam ini menunjukkan persepsi yang keliru, namun nampaknya sudah tertanam di benak sebagian besar masyarakat Barat.
            Di dunia Barat, kata Islam sering dihubung-hubungkan dengan terorisme, kekerasan, keterbelakangan dan penindasan terhadap perempuan (Esposito, 1992:5). Contoh yang jelas adalah larangan berjilbab yang diberlakukan di sekolah-sekolah negeri di beberapa negara bagian Jerman, dengan dalih bahwa jilbab dianggap sebagai simbol agama yang melanggar kebebasan berekspresi dan netralitas dalam beragama.[2] Kebijakan ini telah lebih dahulu diterapkan di Perancis, dimana larangan berjilbab didasarkan pada kekhawatiran bahwa jilbab identik dengan keterbelakangan dan penindasan terhadap perempuan, dan juga ancaman terhadap ideologi sekuler pemerintah Perancis.[3]
            Beberapa contoh di atas hanyalah sedikit dari banyak kejadian yang memojokkan Islam. Dalam bukunya The Clash of Civilizations, Samuel Huntington (1996: 209) mengelak anggapan banyak kalangan di dunia Barat, termasuk Bill Clinton, bahwa dunia Barat tidak menganggap Islam sebagai musuh, namun hanya para ektrimis fundamentalis saja yang menjadi pihak oposisi. Buku Huntington yang cukup kontroversial ini mengulas bahwa sejak dulu hingga sekarang Islam sebagai sebuah peradaban tetap menjadi ancaman bagi peradaban Barat (1996:217-218).
Tesis Huntington boleh dikatakan cermin dari Islamophobia, yang mengabaikan hubungan harmonis antaragama yang ada. Meskipun begitu, sejarah memang menunjukkan bahwa selama beratus-ratus tahun, seringkali ditemukan kesalahpahaman orang terhadap Islam. Terlebih lagi pada pasca pemboman World Trade Center di New York, AS, pada tanggal 11 September 2001, kita lihat sikap-sikap negatif dunia Barat terhadap Islam muncul lagi ke permukaan. Mengemuka lagi pandangan lama bahwa Islam merupakan agama “pedang,” dan Nabi Muhammad SAW sebagai sosok pemimpin yang menonjolkan kekerasan.
Media ikut berperan dalam menyebarkan potret Islam dari sisi negatifnya ke kalangan Barat. Citra Islam sebagai peradaban yang runtuh, sebagai simbol dunia yang terbelakang, irasional dan sensual diperkuat dan dilebarkan jalannya menjadi bagian dari budaya populer (popular culture) melalui cerita-cerita fiksi, imej di televisi, produksi-produksi Hollywood, dan liputan-liputan media.
Maurice Bucaille (1986: 118) dalam bukunya The Bible, the Qur’an, and Science menyatakan bahwa Islam seringkali menjadi objek pelecehan di dunia Barat. Siapa pun di Barat yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang Islam tentunya mengetahui seberapa jauh telah terjadi distorsi sejarah Islam. Sementara itu, Karen Armstrong (1992) mengatakan bahwa Barat cenderung membalik stereotip Islam. Di masa lalu, ketika nilai-nilai Kristen membatasi seksualitas, Islam dianggap sebagai agama yang agresif secara seksual, dengan contoh praktek poligami dan keberadaan harem. Sekarang sterotip malah dibalik, dan Barat menuding Islam sebagai agama yang membatasi seksualitas. Tujuannya tetap sama, yakni mendefinisikan identitas diri dengan menggunakan “counter-image,” yakni Islam.  
Bila kita melacak sejarah perkembangan hubungan antara Islam dan Barat, pada dasarnya terdapat dua pandangan yang berbeda. Pandangan yang umum berkembang adalah sebagaimana yang dikemukakan diatas. Bila dirunut kebelakang,  sentimen anti-Islam berakar pada penolakan kalangan Kristen terhadap Islam sebagai agama yang mulai berkembang luas di abad ke-8. Dalam waktu singkat, Islam dipersepsikan sebagai ancaman secara teologis dan politis bagi Kristen. Pandangan medieval (abad pertengahan) melihat Islam sebagai aliran sesat dari Kristen dan Nabi Muhammad SAW sebagai nabi palsu. Sedangkan pandangan yang kedua melihat Islam sebagai agama dan peradaban yang hidup berdampingan dengan agama lain, sebagai “sister religion,” bagian dari agama-agama tauhid. Pandangan yang kedua ini menunjukkan bahwa sebenarnya terdapat upaya-upaya alternatif yang lebih akomodatif terhadap Islam.   

Islam dan Barat: Oposisi Biner?
Hadirin yang saya muliakan,
Kedua pandangan terhadap Islam sebagaimana tersebut di atas dapat ditelusuri dalam karya-karya sastra, baik fiksi maupun non-fiksi. Kita akan mulai pembahasan dengan bukti-bukti sejarah dan sastra yang merujuk pada pandangan negatif terhadap Islam. 
Studi yang membahas oposisi biner antara Islam dan Barat biasanya dimasukkan dalam ranah teori postkolonialisme. Buku Orientalism (1978) karangan Edward Said dianggap sebagai teks yang mendasari studi-studi Postkolonialisme. Said berpendapat bahwa teks-teks Eropa (sastra, seni, dan non-fiksi) mencerminkan dunia Timur (Orient) secara negatif dan tidak objektif, dan menempatkan bangsa dan budaya Timur sebagai “the other.” Akibatnya, pengetahuan yang beredar di dan ditanamkan oleh Barat menimbulkan dikotomi antara keunggulan Barat diatas bangsa dan budaya non-Barat.  
Menurut Budi Darma (2000), oposisi biner sebenarnya adalah fenomena yang wajar, misalnya atas/bawah, timur/barat, pendek/tinggi, besar/kecil, dan laki-laki/perempuan. Oposisi ini menjadi bermasalah ketika salah satu pihak diposisikan sebagai pihak yang tertindas. Dari perspektif kolonial, pihak penjajah menjadi subjek, sehingga memiliki kebebasan untuk memperlakukan objek, pihak yang terjajah, sebagai subordinat.
Meskipun teori postkolonial pada dasarnya mencakup masa sejarah pasca kolonialisme, teori ini sudah memperluas wawasannya ke “any time or place where one social group dominates another” (Cohen, 2000: 3). Dengan demikian, dapat diterima apabila karya sastra abad Pertengahan sampai beberapa abad sesudahnya dibedah dari perspektif postkolonial.
Dalam karya sastra, sebenarnya oposisi biner antara Islam dan dunia Barat sudah lama terekam. Karen Armstrong (1993) mendokumentasikan dan menganalisis sikap dunia Barat terhadap Nabi Muhammad SAW. Secara umum, dia menunjukkan bukti-bukti bahwa pandangan yang berkembang di abad pertengahan adalah bahwa Nabi Muhammad SAW adalah sosok yang anti-Kristus dan penipu ulung. Anti-Kristus akan menancapkan kekuasaannya di kuil Jerusalem dan menyesatkan banyak orang Kristen dengan doktrin-doktrinnya yang masuk akal. Phillip K. Hitti juga mengungkapkan hal yang sama, yakni bahwa Nabi Muhammad SAW digambarkan dalam sastra medieval sebagai seorang nabi palsu, Al-Qur’an adalah karangannya yang dibuat-buat, dan Islam merupakan cara hidup yang merusak, baik didunia maupun diakhirat nanti (1962: 48).
Perlakuan yang kasar terhadap Islam dan pemotretan Islam secara negatif sebenarnya muncul dari rasa keingintahuan tentang Islam. Para pemikir Barat pada era itu ingin mengetahui ada apa sebenarnya dibalik penyebaran Islam yang begitu luas melampaui Semenanjung Arabia. Meskipun begitu, pemahaman mereka tentang Islam tidak membuat mereka mau menerima Al-Qur’an dan doktrin-doktrin Islam lain sesuai dengan keyakinan umat Muslim (Daniel, 1960:259-60). Bernard Lewis juga menguraikan bahwa pembelajaran tentang Islam di abad pertengahan oleh kalangan non-Muslim ditujukan untuk melindungi umat Kristen dari serangan Muslim dan juga untuk menarik Muslim agar berpindah agama. Tulisan tentang Islam dibuat bukan untuk memberi informasi, namun untuk melindungi dan melemahkan (1993: 85-6).

Potret Nabi Muhammad SAW dalam Sastra Barat
Penyelewengan citra Islam dan Nabi Muhammad SAW sudah sering dibahas di kalangan sejarawan. Pada dasarnya, disepakati bahwa penyelewengan ini berakar pada tulisan-tulisan di abad pertengahan, abad yang menjadi saksi baik harmoni maupun konflik antaragama. Keberadaan tiga tradisi agama monoteis, yakni Yahudi, Kristen dan Islam meninggalkan catatan sejarah tentang perebutan hegemoni dan superioritas sejak ekspansi Islam diabad ke-7. Agama Kristen tumbuh subur di bumi Barat, sedangkan Islam berkembang pesat di dunia Timur.
Apabila ditelusuri sejarah peradaban Islam, akan diketahui betapa besar pengaruh Islam terhadap dunia Barat, dan begitu juga sebaliknya. Tercatat tiga tempat yang menjadi jembatan hubungan ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan, dan agama antara Timur dan Barat, yakni Syria (Suriah), Spanyol, dan Sicilia. Spanyol Andalusia dan Syria merupakan tempat berinteraksinya peradaban Barat dan Islam, sedangkan Sicilia sempat menjadi kota Muslim dijaman kekhalifahan Fatimid sekitar tahun 948, dengan sedikitnya 3000 mesjid berdiri dikota ini (Hitti, 1962: 71).
Meskipun begitu, dampak yang utama justru pandangan negatif terhadap Islam. Islam sebagai ancaman terhadap dunia Kristen (Christendom) menjadi alasan terjadinya Perang Salib I ditahun 1095, sebagai reaksi ekspansi Islam di Eropa dan penaklukan Jerusalem oleh tentara Muslim. Dengan tujuan mengkonversikan pemeluk Islam ke Kristen, tentara Perang Salib selanjutnya menanamkan pandangan tentang Islam dan Timur sebagai “the other.” Pada masa-masa Perang Salib itu, diabad kedua belas dan ketiga belas, kekeliruan pandangan tentang Islam berkembang subur ditangan para penulis yang menggambarkan Islam melalui cerita-cerita, puisi-puisi, dan catatan-catatan perjalanan mereka. Karya-karya mereka mengkristalkan sentimen anti-Islam, dan selanjutnya susah sekali menghapus stereotip negatif tentang Islam.
Islam dianggap sebagai ancaman terhadap Kristen, justru karena banyak kesamaan antara kedua agama ini. Pandangan ini kemudian mengarah pada tuduhan bahwa Islam adalah aliran yang sesat (heresy). Kata “heresy” menunjukkan bahwa bahwa Islam sebelumnya dianggap sebagai bagian dari agama Kristen, dan Nabi Muhammad SAW dulunya beragama Kristen.
St. John dari Damascus (675-749), yang di dunia Islam dikenal dengan nama Yahya al-Dimashqi) adalah orang yang pertama kali melemparkan tuduhan bahwa Nabi Muhammad adalah nabi palsu.  St. John, yang merupakan seorang pejabat di jaman dinasti Umayyad di Damascus, Syria, memahami sejarah Islam, termasuk fakta genealogis Nabi Muhammad SAW sebagai keturunan Nabi Ismail AS. Dari sudut pandangnya sebagai pemeluk Kristen, kemudian St. John mengambil simpulan bahwa Islam adalah agama yang tidak sah, sebagaimana Nabi Ismail juga dianggap sebagai anak haram dari Nabi Ibrahim AS (Smith, 1999: 322).
Tuduhan ini semakin dalam tertanam ketika Peter the Venerable memimpin upaya menterjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Latin pada tahun 1143, semata-mata untuk mencari kelemahan Islam dan menyerangnya secara intelektual (Smith, 1999: 323). Dalam argumennya, Peter mengacu pada wahyu-wahyu dalam Al-Qur’an dan menyimpulkan bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang menyimpang, karena mendukung sebagian isi Injil, namun juga menolak sebagian lainnya. Seperti St. John, Peter juga menuduh Islam sebagai agama sesat. Peter menuduh bahwa Nabi Muhammad SAW belajar pada pemikir-pemikir Yahudi yang sesat untuk menghasilkan Al-Qur’an (Kritzeck, 1964:132). Catatan sejarah ini sangat besar pengaruhnya pada tulisan-tulisan sesudahnya, sebagaimana yang terekam dalam beberapa karya sastra berikut ini.
            Dante (1256-1321), penyair Italia dari abad ke-13, menempatkan Nabi Muhammad SAW dan Ali bin Abi Talib pada neraka lapis kedelapan, bersama-sama dengan tokoh-tokoh sesat lain yang “dihukum” Dante. Dalam karyanya yang menjadi tonggak sastra Barat kanon (sastra yang sudah mapan dan menjadi tolok ukur kualitas sebuah tulisan), yakni The Divine Comedy (terdiri dari Inferno, Purgatorio, dan Paradiso), Dante mengisahkan tentang perjalanan imajiner dirinya melewati neraka, alam barzakh (purgatory), dan surga. Dengan ditemani oleh Virgil, penyair jaman Romawi, sebagai pembimbingnya, Dante bertemu dengan berbagai tokoh terkenal di dunia pada masa-masa sebelumnya. Di Inferno (Canto XXVIII.28-36), dineraka lapis bawah, Dante bertemu dengan Nabi Muhammad yang digambarkan sedang meratapi penderitaan karena siksaan yang diterimanya.
            Nabi Muhammad SAW dan Ali ditempatkan bersama-sama dengan tokoh-tokoh lain yang menurut Dante memikul dosa sebagai pemecah belah masyarakat. Gambaran siksaan kepada Nabi Muhammad SAW bisa dikatakan amat kejam dan mengerikan. Dengan tubuh yang terbelah menjadi dua, lalu utuh kembali, dan terbelah lagi, dan seterusnya, Nabi Muhammad SAW dianggap pantas menerima hukuman atas dosanya menjadi pemecah belah dunia menjadi dengan mendirikan agama baru. Kemungkinan besar Dante juga mengetahui sejarah Islam tentang pecahnya umat Islam menjadi Sunni dan Syiah, karena dia juga menempatkan Ali di lingkar yang sama. Dengan menghukum dua figur Islam yang paling berpengaruh di neraka lapis bawah, Dante telah menunjukkan kebenciannya terhadap Islam.

Hadirin yang terhormat,
            Seberapa jauh sebuah karya sastra dapat mempengaruhi pandangan dan tindakan pembacanya? Banyak karya sastra dihasilkan sebagai cermin kondisi sosial pada masanya, dan juga merupakan respon terhadap kondisi masyarakat. Namun jangan lupa bahwa karya sastra juga bisa menggerakkan emosi pembacanya untuk bereaksi. Besar kemungkinan Dante tidak memperkirakan betapa besar dampak tulisannya dimasa kini. Untuk diketahui, gambaran penempatan Nabi Muhammad SAW dan Sayyidina Ali di neraka menjadi inspirasi bagi Giovanni da Modena pada tahun 1415 untuk memahatnya didinding salah satu gereja  di Bologna, Italia. Lukisan kontroversial ini sudah lama menjadi sasaran protes komunitas Muslim di Italia. Salah satu insiden yang berkaitan dengan reaksi terhadap lukisan fresco ini tercatat di berbagai media, ketika pada tahun 2002, empat pemuda Maroko ditahan pihak kepolisian Italia atas dasar kecurigaan bahwa mereka berencana untuk menyerang gereja tersebut. Catatan lain juga menunjukkan kecurigaan pihak inteligen Italia akan adanya serangan Al-Qaida dengan gereja yang sama sebagai targetnya, tentunya dengan alasan adanya fresco yang melecehkan Nabi Muhammad SAW.[4]
            Beralih ke sastra yang berasal dari bumi Inggris satu abad kemudian, yakni abad ke-14, kita juga bisa menemukan tulisan-tulisan yang mendiskreditkan Nabi Muhammad SAW. William Langland (1332-1400), penyair yang dikenal dengan karyanya yang disebut sebagai “dream vision,” yakni Piers Plowman, memiliki agenda senada dengan Dante. Langland mengikuti jejak Peter the Venerable dengan melemparkan tuduhan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai nabi palsu yang menyebabkan kerusakan moral para pendeta Kristen. Nabi Muhammad SAW digambarkan sebagai seseorang yang gagal menjadi Paus, dan kemudian mendirikan agama baru.
            Dalam Piers Plowman, kita juga dikenalkan dengan sebuah mitos, “the myth of the dove,” yang berkaitan dengan pemberian wahyu Allah. Diceritakan bahwa Nabi Muhammad SAW menyebarkan cerita bohong tentang burung merpati yang sering hinggap ditelinga beliau, yang dikatakan sebagai jelmaan dari malaikat Jibril. Dengan meletakkan biji-bijian ke daun telinga untuk menarik perhatian burung merpati tersebut, Nabi Muhammad SAW mengatakan kepada umat Muslim Syria bahwa malaikat Jibril sedang menyampaikan wahyu Allah kepadanya. Demikianlah akhirnya umat Muslim di Syria jatuh ke dalam perangkap tipuan Nabi Muhammad SAW (Passus XV.393-410).
            Mitos ini cukup dikenal pada masa itu di kalangan umat Kristen di Barat. Bahkan seorang dramawan sekaliber Shakespeare juga menyebutkan mitos ini dalam drama Henry VI, “Was  Mahomet inspired by a dove?” (I.ii.140). Uniknya, mitos ini praktis tidak dikenal di kalangan umat Muslim. Mitos yang terekam dalam karya sastra seperti Piers Plowman ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW memang dianggap sebagai nabi palsu, karena menebarkan cerita palsu tentang bagaimana Nabi menerima wahyu. Pada akhirnya, sejalan dengan semakin banyaknya teks berbahasa Arab yang masuk ke daratan Eropa, mitos ini disadari sebagai cerita bohong tentang biografi Nabi Muhammad SAW. Banyak penulis Barat yang menunjukkan telah terjadi penyelewengan cerita hidup Nabi. Mitos burung merpati ini sudah tidak lagi dipercaya kebenarannya (Carlyle, 1911:59; Gibbon, 1845:378; Hitti, 1962  :54-55; Lewis, 1993:94).
            Pada bagian lain, Langland juga menggunakan figur Nabi Muhammad SAW sebagai contoh kebobrokan moral. Selain itu, Langland juga menuduh para pemuka agama Kristen karena meniru gaya hidup duniawi Nabi Muhammad SAW sehingga mereka kehilangan integritasnya (Passus XV.411-17). Gaya hidup materialistik dalam kehidupan beragama seseorang barangkali sangat mengganggu Langland. Dalam konteks sejarah Kristen di Inggris pada abad ke-14, masyarakat dibagi menjadi tiga kategori, yakni: Knight (Bangsawan), Parson (Agamawan), dan Ploughman (Pekerja). Kategorisasi ini menuntut para pemuka agama untuk hidup sederhana dan menjauhkan diri dari urusan duniawi, karena tugas mereka adalah memberikan khotbah dan mendidik. Apabila kehidupan para pemuka agama cenderung bermewah-mewahan, maka mereka dianggap menyimpang dari standard normatif kehidupan sosial dan beragama yang diidealkan.
            Kehidupan duniawi di kalangan pemuka agama memang menjadi salah satu masalah di Inggris pada abad ke-14, sehingga mendorong rakyat Inggris untuk mendesak dilakukannya reformasi Gereja. Pemberontakan Petani (Peasant’s Revolt) yang terjadi pada tahun 1381 dibawah pimpinan John Wycliff mengecam gaya hidup berlebihan dikalangan gereja. Beberapa bait Piers Plowman dikutip untuk membakar semangat selama pemberontakan, antara lain karena Piers Plowman memang berisi protes terhadap korupsi dikalangan gereja (Kirk dan Anderson, 1990:xi).
            Ironisnya, Langland sebagai penyair tidak berusaha melacak masalah didalam gereja itu sendiri; sebaliknya, ia membutuhkan kambing hitam, dan Nabi Muhammad SAW menjadi target yang tepat. Menarik untuk dicatat disini bahwa John Wycliff sebagai pemimpin pemberontakan melihat naiknya pamor Islam dimasa itu disebabkan oleh kehidupan duniawi di Gereja, dan kejayaan Islam tidak akan pudar selama pihak Gereja tetap dengan kebobrokannya (Southern, 1962:80).
            Tuduhan kehidupan duniawi yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW tentunya jauh dari kebenaran. Umat Muslim dan intelektual non-Muslim yang memahami kehidupan Nabi pasti menolak penyelewengan fakta ini. Seorang penulis Inggris dari akhir abad ke-18, Thomas Carlyle, misalnya, dalam bukunya On Heroes, Hero-Worship, and the Heroic in History, mengutip satu hadist tentang kehidupan Nabi yang amat sederhana, yakni bahwa Nabi biasa makan roti dan air saja; kadang-kadang selama beberapa bulan api tidak menyala di perapian beliau (1911:93).
            Tentunya banyak sekali hadist yang menyebutkan kehidupan Nabi yang sederhana dan mau melakukan tugas-tugas rumah tangga. Belum lagi ayat-ayat Al-Qur’an yang menganjurkan hidup sederhana, karena kehidupan duniawi bisa menjauhkan manusia dari kebenaran, sebagaimana yang disebut dalam surat At-Takatsur.[5] Namun informasi seperti ini, yang sebenarnya dibutuhkan di dunia Barat, yang justru tidak banyak mereka kenal.
Seorang penyair dari Inggris pada abad ke-14, Chaucer, juga menunjukkan sentimen terhadap Islam. Dalam cerita The Man of Law’s Tales yang menjadi bagian dari karya besarnya, The Canterbury Tales, Chaucer mengutuk salah seorang tokoh dalam cerita, ibu Sultan Syria, karena telah membunuh anaknya sendiri, sang Sultan Syria, bersama-sama pengikutnya. Sang Sultan diceritakan telah berpindah ke agama Kristen demi memuluskan niatnya menikahi seorang puteri dari kerajaan Romawi. Penokohan ibu Sultan sebagai pembunuh berdarah dingin bisa diinterpretasikan sebagai simbolisasi dari sifat kejam dan penuh kekerasan yang ditempelkan pada Islam.
Meskipun begitu, Chaucer boleh dikatakan menunjukkan sikap yang lebih positif dibandingkan dengan Dante dan Langland. Chaucer menyebut Muhammad sebagai utusan Allah, dan Al-Qur’an, yang keliru dipahami Chaucer sebagai Hukum Muhammad, disebut sebagai hukum yang mulia.
            Chaucer bisa jadi memang mengakui bahwa Islam adalah agama yang baik meski berbeda dengan Kristen. Namun Chaucer mempunyai agenda untuk menyatukan perbedaan ini dengan jalan berpindah agama, dari Islam ke Kristen, yang akan menjamin keselamatan seseorang. Agenda ini sekaligus juga berfungsi sebagai pembelaan Chaucer terhadap keunggulan Kristen diatas Islam. Dalam cerita, disebutkan bahwa ayah sang Putri, yakni Kaisar Romawi menyetujui pernikahan putrinya dengan Sultan Syria. Dengan dukungan dari Paus, sang raja melihat bahwa konversi Sultan dan pengikutnya ke agama Kristen merupakan realisasi tujuan “the destruccioun of mawmettrie.” Kutipan ini menarik untuk disimak, karena kata “mawmettri” berasal dari Mahomet, atau Muhammad, yang kemudian berubah makna menjadi penyembahan berhala. Dengan demikian, sebenarnya Chaucer sendiri menyimpan sentimen terhadap Islam.
            Pertanyaan kita sekarang yaitu, adakah karya sastra Barat yang mengangkat figur Nabi Muhammad SAW sebagai figur teladan, dan melihat Islam dari sisi positif? Dengan semakin banyaknya teks berbahasa Arab yang beredar di Eropa, dan juga pengamatan-pengamatan yang langsung dialami para penulis ketika tinggal di negara-negara Islam, muncullah tulisan-tulisan yang meluruskan kesalahpahaman terhadap Islam. Pada abad ke-18 misalnya, Lady Mary Wortley Montagu mengoreksi pandangan Eropa yang salah tentang Al-Qur’an, dan mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah “the purest morality deliver’d in the very best language.”[6] Sementara itu, Thomas Carlyle menempatkan Nabi Muhammad SAW sebagai sosok pemimpin dunia yang seharusnya diteladani oleh orang Barat, namun mereka tidak melakukannya. Carlyle menyebut Nabi sebagai orang yang jenius dan karismatik (1911:87-9). Tak kurang pula Bernard Shaw, seorang dramawan besar dari Inggris di abad ke-19, dalam tulisannya The Genuine Islam menyat akan:
I have always held the religion of Muhammad in high estimation because of its wonderful vitality. It is the only religion which appears to me to possess that assimilating capacity to the changing phase of existence which can make itself appeal to every age. I have studied him - the wonderful man and in my opinion far from being an anti-Christ, he must be called the Saviour of Humanity. I believe that if a man like him were to assume the dictatorship of the modern world, he would succeed in solving its problems in a way that would bring it the much needed peace and happiness: I have prophesied about the faith of Muhammad that it would be acceptable to the Europe of tomorrow as it is beginning to be acceptable to the Europe of today. (Vol. 1, No. 81936)
           
Pengaruh Islam terhadap Sastra Barat Kanon
Peradaban Barat seringkali menjadi panutan dan tolok ukur dalam menilai berbagai aspek dalam kehidupan manusia, termasuk dalam dunia sastra. Namun tak banyak yang menyadari bahwa sebenarnya peradaban Islam memberikan pengaruh yang signifikan terhadap sastra Barat. Dalam bagian terdahulu dijelaskan bahwa Dante menempatkan Nabi Muhammad SAW dan Sayyidina Ali di neraka lapis ke-8. Namun sebenarnya Dante sedikit banyak menunjukkan simpatinya kepada Islam, khususnya dalam bidang filsafat dan kenegaraan. Di karya yang sama, Inferno, Dante menyebut tiga tokoh yang berpengaruh dari dunia Islam, yakni Avicenna (Ibn Sina), filsuf dan ilmuwan dari Baghdad di abad ke-9 yang karya-karyanya menjadi acuan ilmu kedokteran di Timur dan Barat selama berabad-abad lamanya (Fakhry, 1999:275); Averroes (Ibn Rushd), filsuf Andalusia/Spanyol Muslim di abad ke-11 yang lebih dikenal di Barat sebagai komentator Aristoteles, dan Sultan Saladin dari Mesir yang berhasil merebut Jerusalem dari tangan penguasa Kristen. Ketiga tokoh ini ditempatkan di Limbo, tempat orang-orang baik dikumpulkan tetapi tidak ditempatkan di surga karena mereka tidak dibaptis. Dengan menempatkan ketiga tokoh ini di Limbo, berarti Dante membuka kesempatan bagi mereka untuk memperoleh keselamatan (salvation). Pertanyaan yang muncul adalah mengapa Dante memberi penghargaan tinggi kepada dua filsuf Muslim yang juga adalah pakar ilmu Al-Qur’an, dan kepada seorang negarawan yang menjadi simbol jihad melawan penguasa agama yang dianut Dante. Bukankah lebih masuk akal bila Dante memasukkan Saladin ke neraka? Bila kita telusuri sejarah perkembangan Islam pada masa itu, Saladin banyak disebut sebagai tauladan seorang ksatria dan negarawan sejati, yang memperlakukan musuhnya dengan cara-cara yang baik dan manusiawi. Ini sangat jauh berbeda dengan perlakuan para tentara Kristen yang secara membabi buta membunuh orang-orang tidak berdosa, terutama di Perang Salib ke-1 (Munro, 1931;338).
            Averroes sendiri banyak memberikan pengaruh kepada perkembangan pemikiran di Barat pada abad ke-13. Karya-karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin sehingga filsafat Aristoteles lebih mudah dipahami di dunia Barat. Dante sendiri bahkan dituduh sebagai pengikut Averroes dan dikucilkan dari kota kelahirannya, dan karya-karyanya dibakar oleh penguasa (Cantor: 1996:138).
            Pengaruh yang lebih mengejutkan lagi, terutama bagi dunia Barat adalah kritik terhadap keaslian The Divine Comedy. Karya besar yang menjadi bacaan “wajib” bagi mereka yang menekuni Sastra Barat, ternyata banyak sekali kesamaannya dengan kisah perjalanan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Adalah Miguel Asin Palacios, seorang pastur dari Spanyol, yang telah menghabiskan sekitar dua puluh lima tahun untuk menelusuri sumber-sumber yang menjadi inspirator Dante, dan menyatakan bahwa Dante mengambil kisah Isra’ Mi’raj dan tulisan-tulisan dari dunia Islam. Dalam bukunya yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris, Islam and The Divine Comedy (1919), Palacios memberikan begitu banyak detil kesamaan dalam membandingkan keduanya, sehingga hampir mustahil kesamaan-kesamaan itu hanyalah kebetulan saja.
            Penelitian Palacios patut diakui kebenarannya. Apabila kita betul-betul menelusuri episode-episode yang menggambarkan neraka, alam barzakh, dan surga, dan lebih-lebih lagi gambaran siksaan terhadap berbagai macam dosa di setiap lapis neraka yang didisain Dante pada The Divine Comedy, maka kita bisa temukan begitu banyak kemiripan dengan gambaran neraka dan siksaan-siksaan sebagaimana tertulis di Al-Qur’an dan Hadith. Ambil saja sedikit contoh: Baik kisah Isra’ Mi’raj[7] maupun Dante[8] menggambarkan siksaan yang sama kepada orang yang meribakan uang. Mereka ditenggelamkan kedalam sungai darah, dan dilempari batu yang kemudian mereka telan. 
            Kemiripan yang patut disebut juga adalah bentuk siksaan yang terus menerus, misalnya kondisi fisik yang pulih dan utuh kembali untuk kemudian disiksa lagi. Dante memberikan gambaran dihampir seluruh bagian di Inferno. Sementara itu, umat Muslim sudah akrab dengan gambaran seperti ini, sebagaimana yang tersebut di Al-Qur’an.[9]
            Mungkinkah seorang Dante membaca Al-Qur’an dan/atau hadist secara langsung sebagai sumber inspirasinya? Isu tentang keaslian The Divine Comedy ini cukup kontroversial. Untuk memberi jawaban yang singkat, penjelasan yang sementara ini dianggap paling memungkinkan adalah bahwa Dante terinspirasi oleh karya seorang Sufi dari Andalusia pada abad ke-13, Muhyiddin Ibn ‘Arabi. Karyanya, Futuhat Al Makkiyah, adalah kisah perjalanan mistis Ibn ‘Arabi, yang ditulis dengan menggunakan kisah Isra’ Mir’aj sebagai dasar (Morris, 1987). Ada pula banyak bukti bahwa pada masa hidup Dante, kisah Isra’ Mi’raj dalam versi bahasa Latin cukup dikenal.[10]
            Masih banyak lagi pengaruh kebudayaan Islam terhadap sastra Barat. Cerita-cerita seribu satu malam (The Thousand and One Nights) yang terkenal dari abad ke-9 dianggap memberikan inspirasi bagi pengarang-pengarang besar seperti Boccaccio dari Italia dengan Decameron pada abad ke-12. Dalam Decameron ini jugalah ditemukan kekaguman Boccaccio terhadap Saladin.[11] Sedangkan Chaucer menyiratkan ketertarikannya pada astronomi dan kekagumannya pada ilmuwan-ilmuwan Muslim. Istilah-istilah yang diambil dari bahasa Arab banyak ditemui di dalam karya-karya Chaucer. 
Potret Islam dan Nabi Muhammad SAW sebagaimana digambarkan oleh Dante dan Chaucer menunjukkan adanya dua persepsi yang berbenturan. Disatu sisi, Dante memberi hukuman kepada Nabi Muhammad SAW atas “dosa”nya mendirikan agama sesat. Begitu juga Chaucer,  yang menggambarkan ibu suri sebagai tokoh Muslim yang jahat, kejam, dan pembunuh berdarah dingin. Namun disisi lain, Dante memberikan penghargaan tinggi kepada Avicenna dan Averroes, serta Saladin. Chaucer juga sedikit banyak terinspirasi oleh peradaban Arab, dalam hal ini astronomi, dalam menghasilkan karya-karya besarnya. Disini kita bisa berasumsi bahwa Islam ditolak dan dibenci sebagai sebuah agama, namun dikagumi sebagai sebuah peradaban. Sekali lagi, pandangan ini mencerminkan kondisi masyarakat pada jaman pertengahan. Akan halnya Langland, dia memiliki agenda teologis yang lebih kental, sehingga tidak memberikan ruang untuk apresiasi terhadap Islam, kecuali tawaran kepada umat Muslim untuk memperoleh keselamatan melalui konversi agama.[12] Dalam posisi ini, baik Dante, Langland, maupun Chaucer berketetapan untuk mempertahankan hegemoni Kristen.

Imej Islam dalam Era Globalisasi
Hadirin yang terhormat,
            Meskipun banyak upaya untuk meluruskan pandangan tersebut sepuluh abad sesudahnya, imej buruk tentang Islam yang sudah tersebar sejak ke-8 tetap ada sampai kini. Apabila pada masa lalu citra buruk ini dibawa oleh para pelancong, maka pada jaman kolonialisme cerita negatif tentang Islam dibawa oleh para penjajah ke negara masing-masing. Dengan demikian, pandangan tentang Islam menjadi bersifat monolitik. Citra buruk inilah yang sampai sekarang masih terekam dibenak sebagian besar masyarakat Barat.
            Media sudah sangat sering menyuguhi kita dengan berita tentang konflik-konflik yang terjadi di Timur Tengah, dan gerakan terorisme oleh kelompok-kelompok anti-Amerika yang dicap sebagai sebagai fundamentalis, meskipun kata fundamentalis ini sendiri layak diperdebatkan. Pada tanggal 8 Januari 2004, salah satu jaringan televisi terkemuka di Amerika Serikat, CNN, menyuguhkan satu liputan eksklusif dengan judul “Seeds of Terror.”[13] Program ini merupakan ulasan pasca pemboman di Bali. Beberapa cuplikan menunjukkan kegiatan di pesantren di Indonesia, selain juga wawancara dengan para pengamat politik seperti Dewi Fortuna Anwar dari Indonesia dan Tony Tan, Deputy Prime Minister of Singapore. Narasi nampaknya dibuat sedemikian rupa sehingga memberi kesan bahwa pesantren merupakan tempat subur untuk menyebar bibit-bibit terorisme.[14] Audiens CNN tentunya tidak hanya masyarakat Amerika saja. Satu minggu yang lalu, dalam seminar internasional tentang kebudayaan Jepang dan ASEAN yang diadakan oleh UNESA, seorang pembicara dari Filipina, Prof. Lily Rose Tope mengatakan  bahwa masyarakat Filipina tidak banyak mengenal Islam, meskipun mereka punya saudara-saudara Muslim di Mindanao. Sudut pandang mereka cenderung berorientasi ke Barat (baca Amerika), dan CNN menjadi salah satu rujukan utama. Hal ini mengingatkan kita pada sebutan Islam sebagai agama “pedang,” sebagaimana digambarkan oleh Edward Gibbon.[15] Hal ini disadari sebagai satu kelemahan Filipina, yang secara emosional tidak merasa menjadi bagian dari Asia Tenggara. Meskipun begitu, perkembangan baik patut dicatat karena sudah dua tahun terakhir ini Filipina menetapkan Idul Fitri sebagai hari raya nasional, yang menunjukkan bahwa masyarakat Muslim semakin diakui keberadaannya.
            Perbedaan persepsi tentang Islam ini sedikit banyak menjadi ganjalan bagi negara-negara ASEAN untuk menjalankan “perang melawan terorisme.” Apalagi CNN menyebutkan ASEAN sebagai negara yang subur untuk perkembangan terorisme. Singapura dan Filipina cenderung keras terhadap pergerakan Islam, sedangkan Indonesia dianggap menjadi surga bagi para teroris.
              Umat Muslim perlu merunut kembali sejarah mereka dan memahami bahwa peradaban Islam di masa lalu yang unggul selama berabad-abad lamanya telah mengakibatkan keengganan untuk menoleh kepada dan menghargai budaya Barat, terutama setelah tahun 1500. Dibandingkan dengan belahan bumi Eropa yang menjadi saksi revolusi sosial politik, kerajaan-kerajaan Islam pada masa itu, misalnya kerajaan Osmani (Ottoman Empire) di Turki malah semakin stagnant. Secara intelektual, para pemikir Islam tetap konservatif, dan sedikit yang menyadari betapa berpengaruhnya perubahan yang terjadi di Eropa. Pembelajaran ilmiah  dianggap sebagai suatu penyimpangan, seringkali dengan didasari oleh hadist seperti “setiap inovasi adalah bid’ah, bid’ah adalah kesalahan, dan setiap kesalahan berujung ke neraka” (Goffman, 2002: 117).
            Umat Muslim terlambat menyadari mundurnya peradaban Islam. Seiring dengan jatuhnya Mesir ketangan Napoleon Bonaparte pada tahun 1798, sejumlah negara Islam atau yang berpenduduk mayoritas Islam jatuh ke tangan penjajahan negara-negara Eropa. Pengambil-alihan kekuasaan oleh negara-negara Eropa, terutama Inggris dan Perancis, pada dasarnya disebabkan oleh dibatasinya pembelajaran ilmiah dan dibatasinya pengetahuan hanya pada masalah-masalah agama saja.
            Mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad mengangkat isu tentang tertinggalnya umat Islam dalam pengetahuan pada pidatonya di Konferensi Negara-Negara Islam pada bulan Oktober 2003. Mahathir Mohammad memperingatkan umat Muslim untuk bangun dari sikap minder atau inferiority complex, dan juga ingat pada kejayaan Islam di masa lalu, untuk bisa mengejar ketertinggalannya secara teknologi dengan dunia Barat yang lebih maju. Hanya dengan cara ini negara-negara Islam bisa membela diri dari  penghinaan yang sekarang ini harus dihadapi oleh sebagian besar negara Islam.
Pidato ilmiah ini tidak berupaya untuk memberikan solusi terhadap masalah terorisme yang amat pelik. Meskipun begitu, melalui tulisan ini, diharapkan kita semua sadar bahwa ketidaktahuan masyarakat awam non-Muslim tentang Islam adalah akar dari Islamophobia. Kita bertetangga dengan berbagai pemeluk agama, namun tahukah kita, atau pernahkah kita saling bertanya dengan tulus tentang makna peringatan hari raya agama lain? Kita diharapkan untuk menunjukkan toleransi terhadap agama lain, namun apalah artinya toleransi bila tidak disertai dengan keterbukaan terhadap adanya perbedaan?   Di jaman yang bersifat multikulturalis ini, perbedaan bukanlah sesuatu yang perlu disembunyikan demi sebuah keseragaman, karena pada dasarnya perbedaan membuat kita semakin kaya, tanpa harus kehilangan identitas masing-masing.
            Sudah banyak yang dilakukan untuk menjembatani kesenjangan antara Islam dan Barat, namun jalan yang harus ditempuh masihlah sangat panjang. Benturan peradaban masih campur aduk dengan konflik agama. Barangkali tak perlu diperdebatkan mana yang ayam, mana yang telur. Kita benar-benar membutuhkan upaya yang keras dan terus menerus untuk membuka mata dunia bahwa batas-batas dan dikotomi Timur/Barat, Superior/Subordinat, dan Modern/Tradisional hanyalah garis maya.
Satu-satunya cara untuk membangun kesepahaman adalah dengan mengupayakan keterbukaan terhadap satu sama lain dan kesungguhan untuk menghargai tradisi masing-masing. Bukankah Allah telah menciptakan dunia ini penuh dengan perbedaan agar manusia bisa mengenal satu sama lain. Allah berfirman:
Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakanmu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS Al-Hujuraat: 13).
            Apabila yang saya sampaikan dalam pidato ilmiah ini benar, semata-mata karena semua kebenaran datangnya dari Allah SWT, namun apabila ada kekhilafan dan kekeliruan, itu sebagai cermin kekurangan saya, sebagai manusia yang jauh dari sempurna. Saya mohon maaf, apabila ada hal-hal yang kurang berkenan dalam penyampaian pidato ini.

                                                                                    Surabaya, 18 Desember 2004




[1] Angela Galloway, “2 Lawmakers Spurns Muslim’s Prayer,” Seattle PI 4 Mar. 2003, 18 Mar. 2003 <http://seattlepi.nwsource.com/local/110881­_prayer04.shtml>.
[2] Lawrence Smallman, “Germany to Ban Teachers’ Scarves,” AlJazeera.net 11 Nov. 2003, 26 Nov. 2003 <http://www.english.aljazeera.net/NR/exeres/8FF980B-320C-4FF7-A08F-AAD05394DD90.htm>.
[3] Elizabeth Bryant, “Secular France Struggles with Veil,” Washington Times 14 Sept. 2003, 10 Nov. 2003 www.washtimes.com/world/20030913-112055-9770r.htm>.


[4] 
[5] QS At-Takatsur:1-8. Lihat Tafsir Ibn Kathir pada bab ini, Surat At-Takatsur, untuk mendapatkan komentar-komentar yang lebih rinci dan  hadist-hadist yang menjelaskan bahayanya kehidupan duniawi.
[6] Dalam kumpulan surat-suratnya, Turkish Embassy Letters, Lady Mary Wortley Montagu menuliskan pengalamannya sebagai istri duta besar Inggris di Turki. Lih. Montagu, The Complete Letters of Lady Mary Wortley Montagu. Vol.1.1708-1720. Ed.  Robert Halsband. London: Oxford UP, 1965
[7] Sahih Bukhari, Kitab 23, no. 468.
[8] The Inferno, Canto XII.46-8.
[9] QS An-Nisa: 56.
[10] Mentor Dante, Brunetto Latini, pernah bekerja untuk Raja Alfonso X di Toledo, Spanyol. Alfonso X memerintahkan penterjemahan banyak karya bahasa Arab ke bahasa Latin, dan salah satunya adalah kisah Isra’ Mi’raj. Kita bisa berspekulasi bahwa Dante juga mendapatkan sumber-sumber ini dari gurunya.  Lihat Asin Palacios, 1926:248-9; Chejne, 1974: 405
[11] Dalam Decameron X.9, Boccaccio menggambarkan Saladin sebagai pemimpin yang tahu berterima kasih kepada orang Kristen yang pernah menolongnya, dan setelah perang, menjadi tawanannya.
[12] Dalam Piers Plowman, Passus XV.501-515, orang Yahudi dan Islam dikatakan akan mudah diajak masuk Kristen, karena pemeluk kedua agama ini sama-sama menyembah satu Tuhan.
[13] 
[14] Untuk detil, baca transkrip lengkap program ini. Lih. Catatan kaki no. 13.
[15] Dalam bukunya  yang fenomenal dijamannya, The Decline and Fall of the Roman Empire (1894), Edward Gibbon mengacu pada Islam dengan simbol seorang tentara Muslim menunggang kuda,. dengan memegang pedang ditangan kanan dan Al-Qur’an ditangan kiri. Gambaran ini menyesatkan, karena Qur’an dimata umat Muslim tidak seharusnya dipegang di tangan kiri.  


DAFTAR PUSTAKA

Alighieri, Dante. 1980. The Inferno. Trans. Allen Mandelbaum. New York: Bantam.
Asin Palacios, Miguel. 1926. Islam and the Divine Comedy. New York: E.P. Dutton.
Armstrong, Karen. 1992. Holy War: The Crusades and their Impact on Today's World. New York: Anchor. 
---. Muhammad: a Biography. 1993. San Fransisco: Harper.
Benson, Larry D, ed. 1987. The Riverside Chaucer. Boston: Houghton.
Boccaccio, Giovanni. 1993. The Decameron. Trans. Guido Waldman. Oxford: Oxford UP.
Bryant, Elizabeth. “Secular France Struggles with Veil.” Washington Times. 14 Sept. 2003. 10 Nov. 2003 www.washingtontimes.com/world/20030913-112055-9770r.htm>.

Bucaille, Maurice. 1986. The Bible, The Qur’an and Science. Paris: Seghers.
Carlyle, Thomas. 1911. On Heroes, Hero-Worship, and the Heroic in History. London: Wardlock.
Carosa, Alberto. 2002. “Tax Breaks for Terror?” 2 Dec. 2004 <http://www.chroniclesmagazine.org/Chronicles/October2002/1002Carosa.html>.
Chejne, Anwar G. 1974. Muslim Spain: Its History and Culture. Minneapolis: The U of Minnesota P.
Cohen, Jeffrey J., ed. 2000. The Postcolonial Middle Ages. New York: St. Martin’s.
Daniel, Norman. 1984. Heroes and Saracens: An Interpretation of Chanson de Geste. Edinburgh: Edinburgh UP.
---, 1960. Islam and the West: the Making of an Image. Edinburgh: Edinburgh UP.
Darma, Budi. 2000. “Ironi Kajian Budaya Sastra dalam Perspektif Kajian Budaya.” Seminar Kajian Budaya dan Kajian Sastra. Surabaya: Universitas Kristen Petra.
Esposito, John L. 1992. The Islamic Threat: Myth or Reality? New York: Oxford UP.
Fakhry, Majid. 1999. “Philosophy and Theology from the eighth century C.E to the present.” The Oxford History of Islam. Ed. John L. Esposito. New York: Oxford UP. 269-304.
Galloway, Angela. “2 Lawmakers Spurns Muslim’s prayer.” Seattle PI 4 Mar. 2003. 18 Mar 2003 <http://seattlepi.nwsource.com/local/110881_prayer04.shtml>.
Gibbon, Edward. 1845. The Decline and Fall of the Roman Empire. New York: T.Y. Crowell.
Goffman, Daniel. 2002. The Ottoman Empire and Early Modern Europe. Cambridge: Cambridge UP.
Hitti, Philip K. 1962. Islam and the West: a Historical Cultural Survey. Princeton: Nostrand.
Huntington, Samuel P. 1996. The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. New York: Touchstone.
Kirk, Elizabeth D. and Judith H. Anderson. 1990. Introduction. Piers Plowman. By William Langland. Trans. E. Talbot Donaldson. New York: Norton.
Kritzeck, James. 1964. Peter the Venerable and Islam. Princeton: Princeton UP.
Langland, William. 1990. Piers Plowman. Trans. E. Talbot Donaldson. New York: Norton.
Langland, William. 1995. The Vision of Piers Plowman. Ed. A.V.C. Schmidt. London: Everyman.
Lewis, Bernard. 1993. Islam and the West. New York: Oxford UP.
MSA-USC Hadith Database. 8 Mar. 2004 <http://www.usc.edu/dept/MSA/reference/searchhadith.html>.
Mohammad, Mahathir. Speech at the Opening of the Tenth Session of the Islamic Summit. 16 Oct. 2003. 2 Feb. 2004 <http://www.oicsummit2003.org.my/speech_03.php>.
Montagu, Lady Mary Wortley. 1965. The Complete Letters of Lady Mary Wortley Montagu. Vol. 1. 1708-1720. Ed. Robert Halsband. London: Oxford UP.
Morris, James. 1987. “The Spiritual Ascension: Ibn ‘Arabi and the Mi’raj Part I.” Journal of the American Oriental Society 107: 629-52.
2000. Tafsir Ibn Kathir: Abridged Explanation and Commentary of the Entire Qur’an. Vol. 5. Riyadh: Darussalam.
Said, Edward. 1978. Orientalism. New York: Vintage.
Salter, E. 1962. Piers Plowman: An Introduction. New York: Oxford.
 “Seeds of Terror.” CNN.com. 8 Jan. 2004. 2 Dec. 2004 <http://www.editor.cnn.com/CNN/Programs/presents/index.seeds.of.terror.html>.
Shaheen, Jack G. 2000. "Hollywood’s Muslim Arabs.” Muslim World 90: 22-42.
Shakespeare, William. 1997. Henry VI. The Norton Shakespeare. Eds. Stephen Greenblatt, et.al. New York: Norton.
Smallman, Lawrence. “Germany to Ban Teachers’ Scarves.” AlJazeera.net. 11 Nov. 2003. 26 Nov. 2003 www.english.aljazeera.net/NR/exeres/8FF980B-320C-4FF7-A08F-AAD05394DD90.htm
>.
Smith, Jane I. 1999. “Islam and Christendom: Historical, Cultural, and Religious Interactions from the Seventh to the Fifteenth Centuries.” The Oxford History of Islam. Ed. John L. Esposito. New York: Oxford UP. 305-46.
Southern, Richard W. 1962. Western Views of Islam in the Middle Ages. Cambridge: Harvard UP.