Tuesday, September 30, 2014

MENJELANG REVIEW TAHUN KETIGA

Pagi ini saya baru saja bertemu untuk konsultasi rutin 3 mingguan dengan Fran Martin, supervisor saya yang cantik. Kami membahas draf pertama bab saya tentang Literacy and Capitalism. Di bab ini saya akan menggunakan data wawancara yang saya peroleh dengan 'pembaca' dari berbagai kalangan dan posisi sosial. Bab ini akan menjadi bab analisis terakhir. Setelah itu saya bisa melihat kembali semua bab secara utuh, sebelum masuk ke Conclusion.

Sebelum itu, bulan lalu saya baru saja merampungkan bab tentang para penulis BMI. Bab tersebut lumayan alot selesainya. Hampir 6 bulan saya habiskan untuk menyelesaikannya. Tapi supervisor saya selalu saja mengatakan bahwa progress saya lancar-lancar saja. Maklumlah, dari 6 bulan itu, 2 bulan saya gunakan untuk menata kembali kajian teori yang sedikit berubah haluan ke arah Literacy and Modernity.

Itulah yang kemudian membuat ide awal pengembangan bab yang terakhir ini tidak lagi melulu berbicara tentang pemberdayaan diri dan rekonstruksi identitas, sebagaimana ide awal. Dengan mengemas bab resepsi pembaca ke dalam konsep kapitalisme, saya bisa melihat bagaimana pembaca dari berbagai posisi menunjukkan persepsi yang berbeda terhadap praktik literasi para BMI. Perbedaan persepsi itu, dalam argumen saya, terkait dengan urusan 'capital.' Ada yang melihat literasi BMI sebagai modal untuk masuk ke writer-preneurship, ada yang menilainya sebagai 'gangguan' terhadap stabilitas bisnis 'buruh migran transnational', dan ada pula yang khawatir literasi akan digunakan sebagai komoditi, dengan mengorbankan kualitas tulisan BMI.

Bervariasinya pendekatan dan gaya tiap bab yang sudah saya rampungkan membuat saya berpikir bagaimana mengemas bab terakhir ini. Supervisor saya menyarankan agar saya menggunakan gaya naratif saja. Seperti bercerita tentang perjalanan saya bertemu dengan para responden. Apa yang kami obrolkan. Bagaimana latar-belakang sosial para responden itu. Dari situ kerangka teori bisa dimasukkan sebagai justifikasi.

Dalam rancangan timeline saya, maunya bab ini bisa rampung akhir tahun, menjelang progress review tahun ketiga. Tahun lalu saya menjalani review tahun kedua pada tanggal 20 Desember 2013, hanya 2 minggu setelah kemoterapi terakhir, Itupun sudah diundur 2 pekan, menunggu saya pulih dulu. Dalam perhitungan saya, review tahun ini juga akan jatuh pada bulan Desember.

Ternyata asumsi saya salah. Minggu lalu saya menerima pemberitahuan bahwa review tahun ketiga harus dilakukan paling lambat tanggal 15 November. Alamak. Bab ini baru saja dimulai, sudah harus berhadapan dengan reviewer. Maka saat konsultasi tadi saya sekalian minta masukan apa yang harus saya ajukan untuk review tahun ini. 

Di Unimelb, review tahunan mensyaratkan kandidat PhD untuk menyetorkan sampel tulisan. Bila pada tahun pertama panjangnya 10.000 kata, pada tahun kedua 20.000 kata, dan pada tahun ketiga ini 30.000 kata. Untuk thesis submission sendiri syaratnya 80.000 kata. Acapkali sampel tulisan yang disetorkan adalah bentuk compressed dari bab yang sudah jadi. Seperti saat confirmation seminar di tahun pertama. Proposal saya sudah mencapai sekitar 15.000 kata, tapi untuk review harus dipotong sana sini tanpa mengurangi substansi.

Bila melihat jumlah kata yang sudah saya hasilkan, sebenarnya syarat yang ditetapkan untuk tahun ketiga sudah saya penuhi. Tapi kan ya pointless, menyetor yang sudah pernah disetor sebelumnya. Jadi sebaiknya menyerahkan garapan baru. Nah, saya punya modal sekitar 15.000 kata dari bab yang baru saja selesai. Sementara bab yang baru mau jalan ini dirancang sepanjang itu juga. Namanya juga baru mulai, saya hanya punya modal 2000 kata.

Itung-itungan jumlah kata memang lebih penting di sini. Sementara di Indonesia kita lebih sering menggunakan ukuran banyaknya halaman. Tulisan sebanyak 15.000 kata itu kira-kira 40-45 halaman, dengan spasi 1.5 font 12 kertas A4. Itu artinya tesis sebanyak 80.000 sama dengan 200-an halaman. Perlu dipertimbangkan juga persyaratan jumlah kata untuk skripsi/tesis/disertasi di Unesa, agar ada standard yang lebih ajeg.

Dengan progress yang menurut supervisor saya cukup mulus ini (meski sebenarnya membuat saya jungkir balik), dalam waktu 5 minggu ini saya perlu ngebut untuk menghasilkan analisis sepanjang minimal 10.000 kata. Ini diskon dari yang seharusnya. Pertimbangannya, Kan saya sudah menyetor 30.000 kata sebelumnya dalam dua tahun. Garapan aslinya malah lebih panjang dari itu. Saking harus dikompress untuk pengajuan review (di sini setor lebih panjang daripada persyaratan malah tidak dianjurkan).

Ya sudah, maunya jeda sebentar selama liburan sekolah anak-anak tidak jadi. Harus tancap gas lagi untuk memenuhi target.

Saat membangun visualiasi bahwa saya akan bisa submit tesis pertengahan tahun depan, sms mas Prapto mengingatkan: "atur waktu n jaga kesehatan." Ingatan saya melayang ke rayuan Adzra tadi pagi saat saya antar ke Day Care: "Pick me up at 2 o'clock, mommy. Don't break your promise." Juga 'protes' Ganta bila menu makanan di dapur menjadi terlalu sederhana: "Kok gak tahu mangan enak maneh yo."

Cucian masih menumpuk dan belum sempat dilipat. Masih terngiang pertanyaan Adzra: "what's for dinner, Mommy?" Janji mengajak anak-anak liburan. Materi tutorial dan tugas-tugas mahasiswa yang perlu saya siapkan dan koreksi. Dan data penelitian yang menunggu segera dibedah. Bersama menjalani target One Day Half Juz dengan segenap sahabat. Sesekali ikut menyemarakkan aktivitas di komunitas Indonesia di Melbourne. Betapa aktivitas saya sehari-hari berada di spektrum yang luas, dari studi ke domestik ke komunitas. 

Ah, ini sebenarnya normal-normal saja. Sebagian besar teman Indonesia yang saya kenal di Melbourne juga melakoni pola hidup yang tidak jauh berbeda. Kadang kala terdengar 'keluhan' tentang tugas atau tenggat waktu, tapi acara kumpul-kumpul pengajian, BBQ-an, atau sekedar buka kotak 'mbontot' dan makan siang bareng di bawah sinar matahari tetap lancar-lancar saja. Atau barangkali inilah penyeimbangnya.

Syukur Alhamdulillah tetap diberi kesehatan lahir batin sampai sekarang. Semoga tetap semangat dalam menjalani semuanya. Amiin YRA.


Saturday, September 13, 2014

MEMAHAMI SUSTAINED SILENT READING (2)

Meneruskan tulisan sebelumnya tentang SSR, saya kebetulan sudah membaca tulisan di blog mas Satria Dharma beberapa tahun yang lalu. (Ini saya beri link-nya lagi ya, http://satriadharma.com/2006/02/21/%e2%80%9csustained-silent-reading%e2%80%9d-di-ruang-makan-saya/
dan
http://satriadharma.com/2006/02/23/ssr-di-ruang-makan-saya-part-ii/) Saya suka banget saat baca itu. Terfikir untuk menerapkannya di keluarga. Tapi belum ketuturan sampai sekarang.

Jujur, setelah saya baca lagi kedua tulisan itu, resepsi saya saat ini beda banget. Sekarang saya bisa menkonfirmasi dahsyatnya SSR. Barangkali karena dalam keseharian di sekolah, kedua anak saya, Adzra dan Ganta juga menjalani SSR. Itu bisa dilihat dari perubahan perilaku mereka terhadap buku. Ganta memang masih belum pada taraf avid reader. Tapi setidaknya saya perhatikan dia kadang menyelipkan buku di tasnya, dan saya tahu dia tidak sedang berangkat ke sekolah untuk pelajaran English.

Saya sempat mengamati bagaimana rutinitas SSR dijalankan di kelas Adzra tahun lalu. Saat itu saya membantu kegiatan literasi kelas sebagai parent helper. Di tingkat Prep, mayoritas anak belum bisa membaca, Namun mereka dibiasakan dengan rutinitas duduk bersama secara berpasangan. Satu buku 'dibaca' bareng. Uniknya, tiap pasangan duduk di karpet di dalam hola hoop besar. Cuma 10 menit. Setelah selesai, mereka mengembalikan buku. Rewardnya adalah satu cup susu coklat hangat dan cookies.

Di grade 1 ini, sekarang Adzra sudah mencapai reading level 19. Membacanya sudah cukup cepat. Bukunya juga lebih banyak halamannya, dengan kalimat yang mulai panjang dan lebih kompleks. Tadi pagi sambil sarapan, saya tanya apakah dia sudah bisa membaca diam (silent reading) Maka bercelotehlah dia.

"Of course Mommy, I do silent reading everyday. I do it in my literacy group. We usually do it after the roll."

Jadi SSR sudah menjadi bagian rutin di kelas Adzra. Setiap pagi setelah gurunya mengabsen, anak-anak diminta menukar buku yang dibawa pulang tadi malam. Memilih sendiri buku yang diinginkan sesuai levelnya. (Ada ratusan buku di rak dan box di kelas Adzra). Dan mereka akan membaca diam di kelompok masing-masing, sampai gurunya meminta mereka berhenti. Memasukkan buku tersebut untuk dibawa pulang sebagai home reading. Baru kemudian kegiatan lain berjalan. Dan kegiatan berikutnya ya tetap literasi.

Saya lama termenung sebelum menulis ini. Mengapa hal sesimpel ini tidak pernah diterapkan di sekolah-sekolah di tanah air ya. Padahal ini kegiatan yang cost-effective. Murah meriah. Terutama bila buku dibawa sendiri oleh siswa (seperti yang diterapkan oleh Steve Gardiner). Dan sama sekali tidak mengganggu rangkaian agenda kurikulum yang diwajibkan. Hal yang terakhir ini penting untuk menjawab banyak kekhawatiran apakah SSR akan mengganggu kelancaran proses belajar mengajar dan penerapan kurikulum (Akan saya tuliskan lebih detil di bagian lain nanti). Untuk menjawab pertanyaan saya, mas Satria memberi jawaban yang cukup menohok. "Because reading skill is never our concern as a nation. Never. Unas is.

Melihat besarnya kesenjangan penerapan literasi di negara-negara lain dan di tanah air, saya sampai pada kesimpulan bahwa kita tidak perlu menelusuri salahnya di mana. LPTK harus bisa menjadi garda depan. Bila guru-guru, terutama guru bahasa dan, terutama PGSD (dan pastinya program PPG) dilatih menjalankan SSR, saya optimis beberapa tahun ke depan akan bisa kita lihat perubahan di dunia literasi sekolah.

Salah satu kuncinya sekarang ada di jurusan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Saya berharap sekali kedua tetangga ini bisa berkolaborasi mendalami SSR  sebagai salah satu program literasi sekolah. Menggarap ini saja dulu sudah akan memberi dampak besar.

Saya harap teman-teman pendidik di manapun menyambut ajakan ini. Kita tidak mungkin berjalan sendirian. Ayo berkolaborasi menggerakkan literasi.

MEMAHAMI SUSTAINED SILENT READING (SSR) (1)

Hari-hari terakhir ini saya kembali mengunjungi perpustakaan kampus. Mulai mengerjakan bab baru, saya perlu meruncingkan landasan teori di bab tersebut. Tujuan utama saya sebenarnya adalah mengumpulkan berbagai referensi tentang literasi, modernisasi, dan kapitalisme. Entah kenapa, setiap kali mencari buku untuk bahan tesis, saya selalu terpikat untuk membaca buku lain, meski tetap dalam bidang literasi. Dan sejak dulu, yang membuat saya semangat adalah buku-buku tentang pembelajaran Reading, Writing, dan terutama sastra. Barangkali ini memang sudah passion saja sejak dulu, sehingga buku/artikel apapun yang berbau literacy education dan literacy programs ikut memenuhi daftar bacaan saya.

Kali ini saya sedang membaca beberapa buku tentang Sustained Silent Reading (SSR). Tulisan-tulisan mas Satria, teman di milis Keluarga Unesa, membuat saya ingin menengok bagaimana kajian dan pengalaman SSR ini di negara lain. Silakan tengok pengalaman mas Satria menerapkan SSR di keluarganya di blognya. http://satriadharma.com/2006/02/21/%e2%80%9csustained-silent-reading%e2%80%9d-di-ruang-makan-saya/
dan http://satriadharma.com/2006/02/23/ssr-di-ruang-makan-saya-part-ii/

Sebenarnya di jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Unesa, kami sudah bertahun-tahun menjalankan program yang mirip  SSR sejak tahun 2000. Di rangkaian program Intensive Course untuk mahasiswa baru, kami memberlakukan kegiatan Independent Study (IS) seminggu sekali. Dalam IS ini, mahasiswa membaca simplified novels sesuai pilihan mereka sendiri. Buku-buku disediakan oleh jurusan, dan mahasiswa mencatat progress masing-masing dalam Reading Record. Sayangnya kegiatan ini memang belum pernah diteliti secara mendalam. Saya kurang tahu bagaimana pelaksanaan program Independent Study sekarang.

Buku pertama yang saya baca saat ini berjudul Free Voluntary Reading oleh Stephen Krashen (2011). Mahasiswa pendidikan Bahasa Inggris pasti sudah mengenal nama ini. Krashen adalah  penulis buku The Natural Approach, bersama dengan Tracy Terrel. Buku ini digunakan untuk bahan mata kuliah Teaching Methodology. Saking seringnya saya buku ini untuk mengajar dulu, saya lumayan hafal isinya. Buku satunya berjudul Building Student Literacy through Sustained Silent Reading karangan Steve Gardiner (2005). Gardiner adalah guru Bahasa Inggris di AS yang sudah berpengalaman menerapkan SSR di kelas-kelas yang dia ajar selama lebih dari 27 tahun.

Kedua buku ini berbeda caranya mengupas SSR, tapi saling melengkapi. Bila Krashen memberikan ringkasan dan daftar berbagai penelitian tentang SSR sebagai justifikasi ilmiah, Gardiner menulis secara naratif, berdasarkan pengalamannya sejak menjadi guru pertama kali. Dari kedua buku ini saya mendapatkan beberapa gambaran yang senada. Krashen memberi saya kemudahan menyarikan pemahaman saya di bab tentang karakteristik dan panduan singkat SSR. Di bab 1, Krashen menyampaikan 83 gambaran umum tentang program SSR. Di dalam program SSR, pada dasarnya guru menyisihkan waktu tertentu untuk membaca sebagai kegiatan yang menyenangkan (recreational). Siswa boleh membaca buku apapun yang mereka inginkan (dengan ukuran kepatutan) dan tidak ada kewajiban untuk ujian/penilaian atas apa yang mereka baca.

Saya berikan terjemahan bebas (dan ulasan saya) di bawah ini untuk memberikan panduan singkat dan sederhana bagi teman-teman guru, orang-tua, dan pegiat literasi yang ingin menerapkan SSR. Saya akan tuliskan dulu panduan singkat pelaksanaan SSR. Kemudian nanti di tulisan berikutnya (bila longgar) akan saya sampaikan beberapa gambaran umum (dari ke 83 point) yang menurut saya penting diketahui. Sebagian besar gambaran umum ini berbasis riset dengan bukti empiris, dan sebagian kecil didukung oleh laporan pengamatan yang perlu dikaji lebih mendalam.

Panduan Singkat SSR
1.      Lakukan sedikit namun rutin setiap hari, bukan dalam rentang waktu yang lama tapi hanya 1 minggu sekali. Ini mengingatkan saya pada program Independent Study di jurusan. Karena dilakukan seminggu sekali dalam waktu 90 menit, dampaknya terhadap kebiasaan membaca kurang signifikan. Selain itu, kegiatan ini sendiri menurut saya perlu pencatatan dan penanganan lebih baik sebagai bahan kajian.

2.       Lebih sedikit lebih baik. Bila Anda berasumsi siswa Anda bisa duduk tenang dan membaca selama 15 menit, maka sebaiknya sepakati untuk melakukannya 10 menit saja.

3.    . Pastikan ada banyak buku (dan bahan bacaan lain) tersedia.

4.      Buku komik bisa dipergunakan.

5.     Majalah juga boleh.
Di bukunya, Gardiner memilih untuk tidak menggunakan komik, majalah, dan surat kabar. Sebagai guru Bahasa Inggris, dia memandang bahwa siswanya (tingkat SMA) perlu membaca buku yang lebih focus, di luar bahan-bahan bacaan wajib sesuai kurikulum. Sebagai catatan, pembelajaran Bahasa Inggris di luar negeri berarti bahwa siswa wajib membaca karya sastra klasik dan kontemporer dan mampu menulis analisis sastra. 

6.       Buku berjenjang (graded readers) juga bisa dimanfaatkan. Di jurusan Inggris, jenis graded novels menjadi pilihan kami. Tujuannya adalah memperkenalkan mahasiswa baru dengan karya-karya sastra klasik dengan bahasa yang disederhanakan.

7.       Biarkan siswa memilih buku/bahan bacaan yang mereka inginkan.

8.     Sedapat mungkin minimalkan upaya ‘menyensor’ buku pilihan siswa (selama masih dalam batas-batas yang bisa diterima).

9.       Siswa boleh saja memilih membaca buku yang ‘mudah’ (di bawah tingkat kemampuan mereka).

10.    Siswa juga boleh memilih membaca buku yang ‘sulit’ (di atas tingkat kemampuan mereka).

11.   Siswa tidak wajib menuntaskan setiap buku yang mereka baca. Point ini saya kaitkan dengan buku Gardiner, di mana kadang-kadang siswa tidak menyukai buku yang sudah mereka pilih dan baca beberapa waktu. Dalam hal ini, mereka bisa beralih ke buku yang lain.

12.   SSR bukan program untuk pembaca pemula (yang baru belajar membaca). SSR juga tidak terlalu signifikan dampaknya terhadap siswa yang sudah memiliki kebiasaan membaca yang baik (advanced readers).

13.    Dukung program SSR dengan kegiatan-kegiatan yang bisa membuat pengalaman membaca semakin menyenangkan dan meningkatkan pemahaman (mis: membaca keras, kunjungan ke perpustakaan, diskusi buku, dsb.)

14.   Jangan menggunakan sistem imbalan untuk membaca, jangan menguji siswa atas bacaan mereka, dan jangan mewajibkan tugas laporan buku. Gunakan pola ‘zero or minimum accountability.’ Sekali lagi saya kaitkan point ini dengan buku Gardiner. Dalam menjalankan SSR, Gardiner amat tidak menyarankan pemberian reward. SSR harus didasarkan motivasi internal dari siswa. Satu-satunya reward yang konsisten diberikan oleh Gardiner adalah nilai bagus dalam pelajaran English. Konsistensi siswa bisa diganjar nilai A, tapi keengganan mengikuti SSR bisa saja membawa konsekuensi nilai F (Fail). Selama 27 tahun menggunakan SSR, Gardiner jarang sekali menemukan siswa yang tidak tertarik dengan SSR. Bahkan siswa yang bergelar ‘troublemaker’ pun menemukan kebebasan dalam program SSR.

Silakan dicermati dan dikomentari panduan singkat di atas, agar kita bisa mencari pola yang pas pengembangan program literasi di sekolah.  

Bila longgar lagi akan saya tuliskan daftar 83 gambaran umum SSR yang mendasari panduan singkat di atas.

Referensi:
Gardiner, Steve. 2005. Building Student Literacy through Sustained Silent Reading. Heatherton, Vic: Hawker Brownlow Education.
Krashen, Stephen. 2011. Free Voluntary Reading. Santa Barbara: Libraries Unlimited.