Friday, May 30, 2008

BURUNG PUN INGIN TEMPAT HINGGAP

Nida Shoughry. Israel. Ehm. Kuperhatikan secarik edaran dari panitia seminar. Baru kali ini aku akan dapat kesempatan untuk bertatap muka dengan seorang warga Israel. Selama ini, kata Israel tak ubahnya adalah hantu, tak pernah diketahui wujudnya namun jadi bahan pembicaraan dimana-mana. Nama laki-laki atau perempuan, aku belum bisa menebak. Yang jelas, besok malam aku akan bersama-sama dengan dia, dan 2 orang teman baru lain. Martin dari Peru dan Tefin dari Madagaskar. Kami berempat mendapatkan kesempatan, atau tepatnya undian, untuk bertamu ke keluarga Amerika dalam satu host dinner.
Masih hari pertama aku berada ditengah-tengah peserta seminar di Chicago awal April 2003. Diantara sekitar 150 penerima beasiswa dari berbagai negara, pertemuan ini tak ubahnya menjadi salad bowl, bukan melting pot ala Amerika. Masing-masing individu bertingkah polah membawa kekhasan masing-masing budaya yang diwakilinya. Tapi dimana Nida?
Acara pertama dimulai. Wakil dari panitia menggulirkan agenda selama 3 hari seminar. Didepanku duduk seorang perempuan berwajah Arab, cantik, segar. Kuperkenalkan diriku, dan kutanya dari mana asalnya. “I’m from Palestine. My name is Nida.” Ya Allah! jadi ini yang namanya Nida. “Bukan dari Israel, toh? tanyaku. Dia tersenyum,”kamu orang kesekian yang menanyakan hal ini. Lihat name tag-ku.” Disana tertera tulisan Israel, ditumpuki coretan spidol tipis, dan dibawahnya ia tulis “Palestine.”
Siapa yang tidak akan bertanya melihat tanda nama menyolok seperti itu. Lalu mulailah serangkaian dialog seru dengan dan tentang Nida. Dimeja manapun dia duduk, disitulah ada perdebatan sengit tentang pendudukan Israel. Nida tak ubahnya menjadi duta besar yang berbicara di depan forum PBB, mencoba mengingatkan setiap duta negara lain betapa rakyatnya telah begitu lama menjadi korban di negeri sendiri.
Suatu waktu ditengah-tengah jeda kutanyakan apakah kesalahan panitia dalam menuliskan nama negara Nida, ataukah suatu kesengajaan Amerika yang tidak mengakui Palestina. Dari sinilah bergulir cerita.

***
Aku memang asli orang Palestina. Tapi sejak kecil kami sekeluarga tinggal di wilayah Israel. Bukan di wilayah yang selalu bising dengan mesiu dan tangisan ibu-ibu yang kehilangan anaknya. Aku hidup dengan cukup tenang, tak begitu tahu kenyataan perang didepan mata. Aku mengenyam pendidikan yang cukup layak, belajar Hebrew dalam sistem pendidikan di Israel, ber-KTP Israel, dan aku bisa belajar Journalism di Boston, ketemu kamu disini, karena embel-embel Israel juga.
Namun seperti kaulihat dan kaudengar, darahku adalah darah Palestina. Hidupku adalah untuk perjuangan pembebasan negaraku. Tapi apa yang aku bisa lakukan bila aku menjadi orang Palestina? “It’s stateless.” Aku tidak mungkin bisa berada disini secara legal dan mendapatkan beasiswa prestisius ini bila nama Palestina yang aku sandang.
Jangan dikira aku nyaman dengan semua ini. Dalam hati, aku merasa teriris, karena dilingkunganku, warga negara dibeda-bedakan berdasarkan asal muasalnya. Dan sebagai orang Palestina, jangankan jadi warga negara kelas tiga, tapi kami seolah-olah adalah seonggok daging yang tak perlu dihargai. Alhamdulillah Allah memberiku otak encer, sehingga aku masih bisa menang berkompetisi dengan anak-anak Israel. “And, here I am.”

***

Malam kedua, kami berempat bersiap-siap untuk dijemput tuan dan nyonya rumah yang akan menjamu kami. Di lobby hotel Westin River North yang nyaman dan hangat, melindungi kami dari kerasnya angin Chicago, yang meski sudah masuk musim semi, masih terasa ditengah musim dingin di San Marcos, Texas, tempat aku menimba ilmu. Kami melanjutkan obrolan, terutama tentang bagaimana kami akan bersikap didalam host dinner nanti. Nida agaknya sudah hapal dengan pola pembicaraan dimanapun dia berada. Dia dan siapapun didekatnya, tak ada yang bisa menghindarkan diri untuk tidak bicara tentang politik di Palestina-Israel. Iapun bercerita tentang pengalamannya yang tidak menyenangkan saat menjalani homestay pada masa orientasi awal semester musim gugur tahun lalu. Nama “Palestina” telah memberinya masa-masa sulit, mengubah sikap dan tindakan yang empunya rumah begitu tahu ia orang Palestina. Namun akhirnya kami bersepakat untuk nantinya menghindari topik politik selama makan malam. Bagaimanapun juga, ini adalah undangan ramah tamah, dan selayaknya dimanfaatkan untuk mengenal budaya satu sama lain.
Seorang ibu tua muncul menanyakan nama, dan ternyata dialah yang menjadi nyonya rumah. Ia ajak kami ke mobil, dan kemudian sambil menyetir sendiri ia menanyakan satu persatu siapa dan bagaimana kami masing-masing. Hebatnya, si ibu ini, yang kemudian kusebut Mrs. Shayne, sudah mencari informasi tentang negara kami masing-masing. Betul-betul seseorang yang menyenangkan, dan sirnalah kekhawatiran kami tentang kemungkinan munculnya perdebatan politik.
Sesampai diapartemennya yang apik, ia terus bertanya sambil sesekali bercerita tentang keluarganya. Baru kutahu kemudian, ia berasal dari Denmark, dan bertemu dengan suaminya saat sang suami bersekolah di negaranya. Beberapa menit kemudian, si Bapak datang, tersenyum sedikit, dan ikut bergabung dengan kami. Ehm..belum-belum aku sudah memberikan penilaian, Mr. Shayne ini agak kaku sedikit. Sedikit saja.
Entah siapa yang memulai, tiba-tiba saja perkenalan berubah menjadi debat kusir panjang antara Nida dan si Bapak. Dari masalah Israel-Palestina, sampai akhirnya berputar-putar tentang Perang Irak yang sedang panas-panasnya saat itu. Kami bertiga dan Mrs. Shayne berusaha sesekali nimbrung dengan maksud membelokkan pembicaraan. Namun kedua orang ini, yang satu berlatar-belakang jurnalisme, berwarga-negara yang bermasalah kalau boleh dikatakan begitu, sementara satunya lagi, hidup dan besar dimasa Perang Dunia II dan perang Vietnam, alumni penerima beasiswa yang sama juga puluhan tahun silam, melanglang buana kemana-mana, tak satupun berkehendak menghentikan perdebatan. Suka tidak suka, si Bapak mengumandangkan patriotisme, bahwa bagaimanapun para tentara perlu didukung warganya, meskipun perang itu sendiri tak bisa dibenarkan.
Makan malam berjalan biasa, dan kami berlima beramah-tamah di meja makan, menikmati makanan khas Amerika. Namun dilidahku, salad dipiringku menjadi terasa agak hambar. Bukan salah siapa-siapa. Nida hanyalah menyuarakan kepedihan hati negaranya, statusnya yang tak menentu, dan tak sulit bagi dia untuk bisa berempati terhadap tetangganya sendiri, Irak. Mr. Shayne hanyalah warga Amerika yang mencoba merasakan betapa cemasnya hati seorang ayah bila seandainya anaknya sendiri yang ada di bawah desingan peluru. Sisanya, kami bertiga dan si ibu yang baik hati, hanyalah berusaha menjadikan malam ini malam yang menyenangkan.

***
Malam ketiga, malam budaya, atau kalau boleh aku katakan, malam hura-hura. Bisa diduga, seperti juga pada pertemuan-pertemuan lain yang melibatkan banyak negara, masing-masing peserta menampilkan pertunjukan apiknya, atau dikemas biar apik, agar orang lain sedikit lebih tahu seperti apa budaya masing-masing. Dan puncaknya, banyak peserta, yang kebetulan juga sebagian besar dari Amerika Latin, turun ke lantai, berdansa, apapun namanya, Salsa, Lambada, sepertinya ingin melepas ketegangan. Aku terseyum sendiri, kami orang Indonesia, empat jumlahnya, diantaranya 2 perempuan berjilbab, menjadi bunga yang menempel di tembok. Tak hendak ikut merasakan hingar bingarnya musik Latin.
Dan ditengah goyangan Latino, tak dinyana, Nida naik ke panggung, meraih mic dan dengan terbata-bata:
“Teman-teman semua, saya berterima kasih atas segala perhatian dan pertemanan selama 3 hari di seminar ini. Di Chicago yang dingin ini, saya sangat menikmati kehangatan kalian. Selamat berpesta, menari, selamat melupakan sejenak urusan-urusan sekolah dan negara masing-masing. Namun saya minta maaf, saya belum bisa memaksakan kaki saya untuk menari, belum bisa merasakan haru birunya tepuk tangan. Jauh disana, saudara-saudara saya masih berjuang demi kebebasan kami, ibu-ibu kami masih belum berhenti meratapi kepergian kakak-kakak dan adik-adik kami. Semoga suatu saat, anak saya, atau cucu saya, atau cicit saya, entah kapan, akan bisa bergandengan tangan dengan cucu-cucu kalian semua. Sekali lagi, selamat bersenang-senang.”
Sejenak musik berhenti, dan semua orang bertepuk tangan. Satu menit kemudian, mereka tenggelam dalam keriangan. Sekilas kulihat setetes air bening jatuh dipipinya yang putih bersih.

***
Minggu pagi. Chicago nampak riang kali ini. Kami berbincang di lobby hotel menjelang kepulangan ke sekolah masing-masing. Sambil menjabat tanganku dan merangkulku, Nida mengatakan keinginannya untuk suatu saat bisa berkunjung ke Indonesia, “I heard it’s a beautiful country, dan negara dengan populasi Muslim terbesar. Kalian hebat, tetaplah berdoa untuk kami. Agar suatu saat aku bisa mengunjungi negara indahmu.” Tak ada yang betul-betul tahu bagaimana rasanya menjadi seorang Nida. Menjadi orang Palestina, ia bagaikan gelandangan tanpa identitas. Ada orang yang menganggapnya gila, ada pula yang mengasihaninya. Tetapi sesudah itu apa ? Menyandang warga negara Israel, entah kapan Indonesia bisa menjadi tempat yang bisa dia diinjak. Hanya satu yang aku kucoba rasakan, betapa hampanya menjadi burung yang tak tahu harus hinggap dimana.


Pratiwi Retnaningdyah. Juli 2003

Thursday, February 07, 2008

Feminis yang sejati

I wrote this piece as Shazia, my Pakistani bestfriend, left the US upon finishing her master's program in Texas State University-San Marcos in Spring 2003. It's been almost five years, yet she sometimes captures my mind whenever I try to define the term "a true feminist." To me, she fulfills this definition; being silent in her struggle without losing its significance. I hope someday Allah gives us a chance to see each other again.


Ada rasa malu yang hinggap didiriku setiap kali aku menatap bening mata Shazia. Sahabat baru dari Pakistan ini menampakkan diri sebagai muslimah yang sebenarnya, yang menjalankan ibadah secara kaffah, diiringi dengan prestasi akademik yang luar biasa. Semuanya aku tahu, justru dari tindak tanduknya, dari kalangan dekatnya, dan bahkan dari situs kampus tempat kami menimba ilmu.Tak sepatahpun kata dari bibir manisnya mengandung segala yang bernada keakuan.

Hari-hari resah yang menghiasi kehidupan awalku di San Marcos, kekhawatiran akan tiadanya teman sesama muslim di negeri bagian koboi ini, tiba-tiba pecah oleh suara lembut dipenghujung telpon. Ia memperkenalkan dirinya, memberikan nomor telpon dan alamatnya, meyakinkan aku untuk tidak segan-segan menghubunginya bila aku butuh sesuatu. Darimana dia tahu namaku, sementara aku baru 3 hari tinggal di International Housing, ditengah-tengah sepinya kampus yang masih terselimuti panasnya summer break. Oh, Allah memang Maha Mendengar jeritan hati di malam hening, dalam kedinginan kamar ber-AC. Ternyata Shazia adalah saudari sepupu Adeel, muslim pertama yang aku temui di kampus, di hari Jum’at, hari pertamaku, saat aku berjalan dipelataran kampus, tanpa seorangpun lalu lalang. Begitulah, pertolongan Allah memang tak bisa disangka datangnya. Tiba-tiba saja Adeel muncul didepanku tanpa kutahu dari arah mana.

Shazia mulai mengisi hari-hariku. Dia kunjungi aku di International House, dia bantu aku pindahan ke apartemen baru, dan rutin menelpon aku, mengantarkan aku berbelanja ke HEB atau Walmart. Ya Allah, kok ada manusia sebaik ini, sementara di negeriku sendiri saja, yang penuh muslim, hanya segelintir orang yang melakukannya.

Shazia tinggal di Round Rock, sekitar 25 mil ke utara dari Austin, yang berarti 1 jam lebih perjalanan pakai mobil. Begitu Shazia menjalani hari-harinya, menyetir mobil Toyota Camry mewahnya dari rumah kakaknya menuju jurusan Biologi di SWT, tempat dia menjalani tugasnya sebagai Teaching Assistant dan mahasiswa semester terakhir program MSc. Sehari penuh dihabiskannya di kantor, kelas, dan laboratorium, mulai jam 8 pagi sampai 10-11 malam. Acapkali dia menginap di apartemenku karena kemalaman.

Perempuan yang begitu sibuk, dikejar deadline penelitian, konferensi dan tesis, bagaimana dia masih ingat tentang aku, yang masih banyak waktu senggang, tapi melewati banyak menit dalam kecengengan.

Semakin lama aku mengenalnya, semakin tertunduk pandanganku oleh kekagumanku. Mobil yang mewah, tak secuilpun menjadi sarana kepongahan. Ditengah-tengah buku berserakan, menumpuk kaset-kaset dan CD ceramah banyak pakar, tak satupun berbau hiburan duniawi. Bagiku, yang terbiasa mengisi tape recorder mobil dengan alunan musik, yang dia lakukan sepertinya sesuatu yang muskil. Tapi itulah Shazia, yang menghiasi mulutnya dengan doa-doa sepanjang perjalanan, menuliskannya di sobekan kertas agar aku bisa menghafalkannya.

Fanatik? Aku jadi mempertanyakan persepsiku sendiri tentang arti kata ini. Jilbabku masih belum kuasa menutupi hatiku dari godaan duniawi, perempuan berjubah masih suka kupandang kurang modern. Dan Shazia telah berhasil mendekonstruksi makna yang yang kuyakini.

Suatu kali kami terlibat diskusi panjang tentang pentingnya pendidikan. Dari situ pula baru kutahu bahwa ia telah mendapatkan gelar Master di negerinya, melanglang ke Abu Dhabi untuk mengajar selama beberapa tahun, sebelum memutuskan datang ke negeri Paman Sam untuk terus menimba ilmu. What a woman? Ini katanya,” Tiwi, I’ve always believed that women should pursue a good education. I realize that there are many of us who are deprived of this right behind the excuse of Islam. Siapa yang harus menolong sesama perempuan untuk melahirkan sambil tetap menjaga aurat kalau perempuan tidak boleh sekolah tinggi, bagaimana kita bisa mendidik anak kita dengan baik dan mencintai ilmu bila ibunya tidak kenal sekolah? Aku termangu, mempertanyakan, kenapa aku jauh-jauh meninggalkan suami dan anakku untuk sekolah lagi. Jujurkah aku ketika kukatakan, ini demi masa depan anakku dan keluarga? Ataukah, dilubuk hati sebelah sana, tersimpan ambisi duniawi?

Hari sudah malam sekali ketika Shazia menelpon, meminta izin untuk menginap lagi. Tentu saja aku senang hati menerima kedatangannya seperti biasa. Dia datang, dan setelah berbincang sebentar, dia permisi untuk mengambil air wudhu dan mengajakku shalat Isya bersama-sama. Seusai shalat Isya, dia mengajakku duduk dan membaca Surat Al-Mulk bersama-sama. Shazia, selalu ada yang baru yang aku dapat darimu. Baru sekarang ini aku tahu rahasia dibalik Al-Mulk saat dibaca sebelum tidur. Saat aku mengantuk, mengeluh kelelahan karena belajar seharian, dia persilakan aku tidur duluan. Dari sudut mataku yang belum lelap, kulihat dia berdiri lagi, melakukan shalat.

Kamu akan menikah. Itu yang aku tahu dari kakak iparmu, Maliha. Dimana calonmu sekarang? Lagi-lagi aku terpana mendengarkan jawabannya. Dia sepupu jauhku, tinggal di Pakistan.
“Apa kamu sering telpon-telponan? Tanyaku.
Dia teman mainku sejak kecil, tapi sejak 1 tahun lalu kami dijodohkan, aku justru tidak mau lagi bercakap dengannya. Kalau dia ingin menghubungi, aku minta dia lakukan lewat email saja?
“Cuma email-emailan? Gak salah tuh, bukannya kamu pingin ngobrol atau membahas persiapan perkawinan atau rencana masa depan?
Dengan lembut dia berujar,” Tiwi, aku tidak mau mengundang dosa diantara kami, perkawinan hanya butuh niat baik dan ridho dari Allah. Kalau memang kami berjodoh, semua akan berjalan dengan baik dengan izin Allah.” Tahun lalu seharusnya kami sudah menikah, tapi saat itu baru saja terjadi pemboman di WTC, dan aku tidak bisa mendapatkan perpanjangan visa untuk pulang. Semua terjadi karena kehendakNya, aku tidak kecewa, hanya Allah yang tahu yang terbaik untuk kita.”
Liz, gadis Texas yang seruangan dengannya suka protes. Shazia, it’s not right. You should say no to your parents if you do not love him. It’s an oppression,” dengan berapi-api ujarnya.
“I am not saying that I don’t love him. But I trust Allah only, if he is for me, then the marriage will take place with or without us speaking to each other.
“I don’t understand you, but I really admire your steadfastness.”
Shazia, aku juga belum bisa membayangkan bagaimana kamu bisa sekukuh itu menjaga keimananmu. Jilbabmu, jubahmu, betul-betul melindungi kemurnian jiwamu.

Shazia sekarang sudah pergi, Tangis haruku mengantar keberangkatannya pulang ke Pakistan. Satu keberhasilan baru kauraih seminggu yang lalu seusai ujian tesismu, dan kebahagiaan telah menantimu di penghujung dunia sana.

Langkahku masih panjang, sepanjang deretan nama-nama mahasiswa berprestasi di kampus SWT yang tertera di situs kampus. Diantara nama-nama itu, dibawah kolom Joan-Mitte Scholarship yang paling banyak menyediakan jumlah uang, terukir: Shazia Saleem, Biology Graduate Student. Oh, Shazia, kau tak pernah katakan itu, kau salah satu mahasiswa terbaik di kampus ini.

Mudah-mudahan akan lahir Shazia-Shazia baru, pejuang setia tanpa banyak kata. Perbuatanmu, tauladanmu terdengar lebih lantang.


San Marcos, Oct 7, 2003.

Monday, February 04, 2008

Belajar dari Perbedaan


Ketika Katrine, seorang teman sekelas mengirimkan email dan meminta saya untuk berbicara tentang Islam dalam sebuah diskusi buku, saya bertanya dalam hati, adakah pengetahuan saya tentang Islam, agama warisan yang saya anut sejak lahir, memadai untuk mewakili keagungan Islam itu sendiri. Terutama dalam situasi dunia yang masih tidak menentu dengan sentimen agama, apalagi saya harus berbicara didepan orang-orang Amerika, di negara mereka sendiri, tidakkah ini terlalu sensitif? Tapi tanpa pikir panjang akhirnya saya sanggupi permintaannya.

Diskusi buku yang akan saya hadiri membahas sebuah best seller karangan Bruce Feiler yang berjudul Abraham: A Journey to the Heart of Three Faiths. Ini adalah sebuah buku yang mengisahkan perjalanan seorang pencari kebenaran, seorang yang merasa terganggu oleh konflik antar kelompok yang sama-sama menggunakan agama sebagai tamengnya. Dengan gaya bertutur yang sangat menarik, si penulis yang seorang Yahudi menemukan sosok Abraham (nabi Ibrahim as dalam Islam) sebagai sosok penyatu dalam sejarah perkembangan monotheisme, yakni Judaism, Christianity dan Islam dan membawa dia kembali ke leluhurnya di Jerusalem, kota suci dalam ketiga keyakinan ini,dimana potret kehidupan antar agama diwarnai dengan harmonisme dan sentimen pada saat yang bersamaan. Meski secara detil buku ini sangat mengganggu pemahaman saya, dan banyak hal yang saya tidak sepakat, tapi inti yang ingin disampaikan sangat bagus, bahwa lebih baik bersepakat melalui adanya kesamaan daripada berbenturan karena adanya perbedaan yang tak bisa ditemukan.

Hampir seminggu saya menenggelamkan diri diantara buku-buku tentang perbandingan agama dan sumber-sumber didunia maya, membuka Al-Qur’an untuk mencari referensi tentang nabi Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad, agar saya bisa lebih siap dengan pertanyaan-pertanyaan sensitif, terutama mengingat pengetahuan saya yang amat terbatas. Tapi akhirnya saya putuskan untuk “speak and act normally”, dan berusaha untuk siap memberi penjelasan sebaik-baiknya. Saya berangkat dengan membawa contoh Qur’an dalam teks Arab yang saya bawa dari Indonesia, sebuah terjemahan dalam bahasa Inggris, sajadah, dan mukena. Si Katrine memberitahu saya bahwa para anggota diskusi buku belum pernah melihat bagaimana bentuk Qur’an dan cara muslim bersembahyang.

Jangan bayangkan bahwa forum yang akan saya hadiri adalah forum akademik yang resmi. Ini “hanyalah” kelompok cinta baca beranggotakan sekitar 35 wanita, semuanya dari kalangan atas. Ini baru saya ketahui ketika saya menginjak tempat tinggal tuan rumah, yang mirip istana artis Hollywood, di daerah barat daya Austin, Texas. Rumahnya tidak terlalu besar dipinggir tebing, dengan panorama hutan dan rumah-rumah mewah sejauh mata memandang, dengan horse ranch dan anak kali (“creek” mereka menyebutnya) dibawah tebing. Satu persatu berdatangan, dengan pakaian yang “casual” tapi mewah  (mengingatkan saya pada tokoh-tokoh di opera sabun Amerika). Sekilas saya tengok blouse motif bunga, jilbab putih dan celana hitam saya yang sederhana (yang seringkali saya kenakan saat mengajar di Unesa) dan “sport shoes” yang tidak “matching”. Saya tersenyum sendiri, dan membatin, “masih untung saya tidak pakai kaos”.

Saya bertanya dalam hati, siapakah ibu-ibu ini? Dalam perkenalan, percakapan dan diskusi saya baru tahu bahwa mereka datang dari latar belakang yang berbeda-beda. Meminjam istilah Katrine, “they come from various walks of life”. Saya sempat berbincang dengan Joanne, yang punya gelar PhD in American Studies dari UT Austin, duduk disebelah istri salah satu eksekutif IBM, dan diantara orang-orang yang kenal keluarga Presiden George W. Bush secara personal. Namun jangan pula dikira mereka adalah orang-orang dengan gaya hidup yang sombong. Si Katrine yang ramah mau jauh-jauh menjemput saya di San Marcos, sekitar ½ jam dari Austin. Saya baru tahu bahwa dia adalah seorang “businesswoman” yang punya proyek besar, bersuamikan seorang eksekutif pengelola Lake Austin. Saya sempat kaget ketika diajak mampir ke kantor suaminya di pinggir Lake Austin, karena sebenarnya saya baru pada taraf berangan-angan mengunjungi tempat indah ini (pak Djoko ketua jurusan Bahasa Inggris Unesa menyarankan saya untuk datang kesini sebelum saya berangkat dulu, dan beliau sendiri menghabiskan hampir 2 tahun studi di UT Austin lebih dari 20 tahun yang lalu). Bagaimana pula dengan anggota lain? Keramahan setiap orang sudah saya rasakan setiap Katrine memperkenalkan saya dengan anggota yang hadir. Keingintahuan mereka tentang Indonesia dan saya pribadi terasa tulus, membuat saya merasa nyaman.

Singkat kata, Katrine sebagai ketua kelompok cinta baca ini membuka diskusi dan memperkenalkan bahwa saya dari Indonesia, negara dengan populasi muslim terbesar didunia (fakta yang mengagetkan semua yang hadir) dan mempersilakan para anggota untuk memulai diskusi. Apa yang terjadi ? Selama lebih dari 1 jam setiap orang membombardir saya dengan berbagai pertanyaan tentang Islam, mulai dari hal-hal mendasar, mulai dari apakah sebagai muslim, saya percaya hari kiamat, bagaimana cara muslim shalat, mengapa laki-laki dan perempuan harus sholat dalam baris terpisah, apakah Qur’an mewajibkan perempuan untuk mengenakan jilbab, bagaimana bentuk Qur’an, bagaimana berkomunikasi dengan Tuhan, apakah Islam percaya reinkarnasi, sampai dengan hal-hal yang berkaitan dengan buku bahan diskusi itu sendiri, bagaimana pandangan Islam tentang nabi Ibrahim, Musa, Jesus, bagaimana muslim yakin nabi Muhammad adalah nabi terakhir, dan tak ketinggalan masalah sensitif tentang jihad dan terorisme dalam pandangan Islam.

Satu jam terasa amat singkat untuk menjawab dan memuaskan setiap orang, dan saya berusaha menyampaikan konsep dasar Islam seperti Rukun Iman dan Rukun Islam, memberikan penjelasan apa adanya meski kadang menyinggung detil dimana terjadi perbedaan konsep dalam agama, seperti keyakinan bahwa Yesus adalah salah satu nabi terbesar dalam Islam, tapi bukanlah “the Son of God”, atau bahwa Ismail, dan bukan Ishak yang dikorbankan oleh nabi Ibrahim. Ada pula pertanyaan menggelitik, ‘kalau saya mati besok, dan saya tidak sembahyang secara Islam, apakah saya akan masuk neraka”?. Hmm, sulit juga menjelaskannya. Saya katakan bahwa dalam Islam saya meyakini bahwa tidak cukup hanya yakin bahwa tiada Tuhan selain Allah, namun juga harus diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya melalui sholat atau puasa, tapi juga kualitas hubungan antar manusia. Atau katakanlah saya harus meyakini bahwa agama sayalah yang benar, dan barangkali pemeluk agama lain juga punya keyakinan sama. Namun perkara masuk surga atau neraka, itu sepenuhnya kuasa Allah, dan tak seorangpun boleh atau berhak menghakimi, bahwa sayalah yang benar dan akan masuk surga, dan kamu yang salah dan masuk neraka. Kita hanyalah manusia yang berusaha dan wajib mencari jalan kebenaran dan mengikutinya. Disitulah kita bisa merasakan kedamaian dan berharap kebahagiaan abadi sesudah mati. Seorang ibu disebelah saya menimpali, “wah, menakutkan juga kalau mati”. Sebagai manusia, wajar barangkali membayangkan kematian sebagai sesuatu yang menakutkan. Karena topik bahasan sebenarnya adalah nabi Ibrahim, saya hanya mengacu kembali ke konsep penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah dan kesediaan untuk berkorban demi Allah sebagaimana yang diajarkan oleh nabi Ibrahim. Sebagai cucu-cucu nabi Ibrahim, seharusnyalah kita mengikuti ajarannya, setidaknya itu lebih baik daripada berdebat tentang siapa yang sebenarnya dikorbankan, apakah Ishak atau Ismail.

Akan halnya shalat lima waktu, beberapa komentar dan pertanyaan muncul, “wah, tidak bisa istirahat seharian”, “bagus sekali ajarannya untuk disiplin”, atau “bolehkah meninggalkan sholat”?, Apakah saya sendiri juga melaksanakannya? Apakah ada muslim yang tidak shalat?. Komentar yang sangat manusiawi, yang saya yakin seringkali diulas dalam ceramah-ceramah agama di tanah air. Bahkan saya sampai diminta menunjukkan contoh konkret tentang sholat beserta bacaannya, mengedarkan Qur’an kesemua orang yang hadir, dan sedikit mengulas terjemahan surat Al-Fatihah yang sempat saya baca ketika memberikan contoh sholat. Ketika saya mengenakan mukena, sempat ada yang bertanya, “apakah laki-laki juga pakai mukena”, dan kalau tidak “kenapa”?.Disini pula saya berada dalam keterharuan ketika seorang ibu yang banyak membaca “Bible” dan kebetulan mempunyai babysitter muslim mengatakan betapa dalamnya kedamaian kalbu yang bisa dicapai bila setiap orang selalu mengingat Tuhan dalam keseharian hidup kita.

Islam, jihad dan terorisme? Kenapa ada orang-orang yang melakukan bom bunuh diri dan menabrakkan pesawat ke WTC atas nama agama? Adakah Islam memang membolehkan (atau bahkan menyetujui tindakan seperti ini)? Sebuah pertanyaan yang bukan baru dan berulang-kali diulas. Tapi inilah kenyataan dalam dunia kita sekarang ini. Masih banyak orang yang tidak bisa memahaminya. Tanpa berusaha memihak, saya ingatkan mereka juga tentang perang Salib dengan dalih yang sama, dan menurut saya pribadi, jihad bukanlah berarti membunuh demi tegaknya agama. Kebetulan saya membawa buku berjudul A brief and illustrated Guide to Understanding Islam yang menyebutkan bahwa Islam mengutuk terorisme, dan para pelaku akan mendapat balasan di akhirat nanti atas tindakannya membunuh orang-orang yang tidak bersalah, karena mereka sebenarnya melanggar aturan dalam Islam itu sendiri. Saya tidak tahu apakah jawaban ini memuaskan semua pihak, namun saya tegaskan bahwa jihad berarti menyebarkan agama Islam yang bisa dilakukan melalui cara damai dan tak ada paksaan dalam agama seperti tercantum dalam surat Al-Baqarah: 254. Ini saya sampaikan ketika salah seorang menanyakan tentang adanya misi dalam Islam seperti yang dilakukan para missionaries.

Dialog cukup seru ini sebenarnya bukanlah dialog tentang teologi. Apabila pada akhirnya pembicaraan mengarah pada perbedaan konsep dalam Islam dan Kristen (sayang sekali wakil dari Judaisme berhalangan datang), semua yang hadir sudah menyadari sejak awal. Seusai diskusi buku, masih ada beberapa orang yang tinggal untuk melanjutkan dialog dan menjelaskan tentang konsep Ketuhanan dalam Kristen, serta mencari tahu apakah Qur’an juga ditulis oleh beberapa orang seperti halnya Bible. Ketika saya katakan bahwa hanya ada satu Qur’an, diturunkan oleh Allah, dan isinya tak berubah sejak 14 abad yang lalu, dalam teks bahasa Arab dan wajib dipahami maknanya menurut bahasa kita masing-masing. Dia berkomentar, “that’s interesting”.

Saya menyadari bahwa dialog yang kami lakukan ini masih belum apa-apa dibandingkan dialog antar agama, dengan melibatkan para tokoh agama, yang sering diadakan di Amerika sejak tragedi 11 September. Mereka yang hadir mengatakan bahwa kini mereka lebih memahami Islam. Bahkan salah seorang mengatakan, saya sekarang lebih tahu banyak tentang Islam daripada tentang Kristen sendiri. Apakah ini gurauan atau tidak, tapi saya menangkap ketulusan mereka dalam menerima cara hidup yang berbeda dengan  dengan antusias ingin lebih mengenal perbedaan agar lebih bisa memahaminya.

Ketika setiap orang mengucapkan terima kasih atas penjelasan saya, tidak banyak yang tahu diantara mereka bahwa sebenarnya saya justru banyak belajar dari mereka dan betapa beruntungnya saya diberi kesempatan untuk berbagi pemahaman dengan mereka. Menoleh kembali ke tanah air, saya diingatkan tentang cara hidup saya yang menganggap banyak hal sebagai hal yang lumrah, sehingga jarang betul-betul bertanya pada diri dan mencari tahu kebenaran dari sumber aslinya. Toh semua orang tahu cara orang sholat, dan tetangga yang non-muslim pun akrab dengan suara adzan dari masjid gang sebelah. Banyak hal menjadi begitu biasa sehingga saya tidak peka bahwa barangkali, ada kesenjangan yang mestinya bisa disikapi dengan dialog. Atau barangkali kita cenderung menghindari konflik yang acapkali timbul dalam dialog. Ketika adzan tidak lagi bisa terdengar dari mesjid gang sebelah, saat orang lain bertanya banyak “mengapa” tentang Islam, saya semakin tersadar bahwa saya harus betul-betul melihat kedalam sebelum bisa membuat orang lain memahami agama saya.

Saya bukanlah orang yang dikenal publik. Saya hanyalah seorang mahasiswa S-2 yang sedang berjuang menata hati dan pikiran. Barangkali saya tidaklah mewakili banyak orang di tanah air, dan bisa jadi teman-teman baru saya juga bukanlah wakil dari suara orang Amerika. Tapi paling tidak, kami belajar untuk saling mendengarkan, saling bertanya, tidak merasa benar sendiri, agar nantinya kami bisa saling memahami. Akan halnya muncul perbedaan yang tak bisa ditemukan, kami sepakat untuk tidak sepakat. Alangkah indahnya dunia bila perbedaan membuat kita semakin mengenal satu sama lain. Adakah kesimpulan saya juga Anda rasakan kebenarannya?

San Marcos, Texas, Januari 2003

Love Poems

Although I like writing poems, I never really have the guts to share mine with others. It's funny, since as a teacher of literature, I keep motivating my students to write and share their writings with their friends. The biggest fear is when you fear to fight your fear, and I surely don't want to be one with such fear. So, here they are! For the very first time in my life, I dared to send some of my love poems to a competition. The excitement of sending them to the committee was quite a thrill, although it is "only" a competition held by a tabloid. I don't really care whether I'll win or not, as long as I know now that there are thoughts that need exploring and expressing, so they won't be left as thoughts only.



MENJELANG ULANG TAHUN TANPA DIRIMU

Aku mencintaimu dengan seluruh jiwaku,
tapi cinta ini sering membelenggu sukmaku,
keraguan kerap menyusup ke tulang-tulangku,
bagaikan dingin yang membekukan darah,
kala hujan Januari seperti tak hendak reda.

Aku selalu rindu padamu tanpa tahu waktu,
namun racunnya melumpuhkan syarafku,
melemahkan sendi-sendi gerakku,
seakan hantu-hantu masa lalu,
menyusahkan langkah ke depanku.

Ingin kubuang hati rapuh ini,
kuganti rindu cinta yang melebarkan luka,
terlalu banyak yang aku tak tahu di depanku,
terlalu tebal kabut yang menghalangi jalanku,
tak siap dengan serakan kerikil tajam menghadang.

Ada cinta lain yang sedang kuraih dariNya,
kutenggelamkan sukma-ragaku untuk selalu mendekapNya,
dibuatNya aku mabuk kepayang mereguk arak murniNya,
Sepenuh-penuhnya kupasrahkan diri untukNya,
Kutahu takkan ada janji yang diingkariNya..

Tangisku sepanjang malam,
diusapNya dengan lembut,
dihiburNya kalbuku dengan kalimat-kalimat suciNya,
segala keluhanku didengarNya,
dengan kesabaran sepanjang langit membentang.

Hatiku buatmu yang menjeratku,
takkan kutunggu sampai membusuk,
telah kupinta hati lain yang disinariNya,
semoga tak hanya aku yang bisa lagi terbang bebas,
semoga tak hanya engkau yang tersenyum lepas.

Janganlah tarik aku dari cintaNya,
sudah mencandu rindu hanya untukNya,
genggaman tanganNya tak tertahankan kuatnya,
mendorongku untuk selalu tersenyum,
meski warna langit tak henti berganti rupa.

Karena Dia, cinta ini tak bisa kuukur lagi untukmu
demi diriNya, kupersembahkan rindu hanya untukmu
dalam kesenyapan kupanjatkan kepadaNya,
semoga kepasrahan membawaku,
pada kasih lebih putih untukmu.

(San Marcos, 2 Agustus 2003; di antara sepi yang menenangkan, ditemani kalimat-kalimat suci berkumandang)

+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++


CINTA YANG MEMBEBASKAN

Ada kenikmatan dalam cinta yang membebaskan,
saat meniti langkah di pematang kehidupan,
berserak kerikil dan onak-onak tajam,
menyeruak di antara hijau dedaunan,
dan kembang musim semi yang bermekaran.

Buku putih penuntun jalanku,
insan hanya bisa ayunkan langkahnya,
mengikuti goresan pena Sang Pengarang,
namun jika langkah teguh ikuti arah,
bahkan kegagalanpun akan terasa nikmatnya.

Kehidupan setelah kehidupan,
kala semuanya ditentukan
di sisi mana kita akan ditempatkan,
dan hanya Dia Pemberi Ridho,
Sang Penentu gerbang yang kan kita lewati.

Maka memintalah selalu kerelaan dariNya,
untuk apapun yang kau bina,
dan Ia kan mengatur segalanya.