Sunday, July 14, 2013

Bahasa, Literasi, dan Sastra

Hari Kamis lalu saya kembali menyusuri rak-rak perpustakaan kampus. Karena fokus saya tentang literasi, yang paling sering saya tuju adalah Giblin Eunson Library. Di sini ratusan buku literasi ditata berderet-deret. Saking seringnya saya ndoprok di karpet, saya jadi hafal letak buku, dan juga bila ada buku baru. Dan hari itu saya nemu buku baru. Terbitan 2013. Masih kinyis-kinyis. Mungkin saya peminjam pertamanya. Soalnya 1 bulan yang lalu, buku ini belum ada. Judulnya seksi banget buat saya. Language, Literacy & Literature.


Ketika Anda mendengar atau membaca istilah literasi, apa yang ada di benak Anda? Apakah istilah ini lebih dekat dengan ranah kebahasaan, sastra, atau pembelajaran bahasa? Bila kita memunculkan pertanyaan ini, sebenarnya kita masih terkungkung pada pikiran yang terkotak-kotak. 

Pada posting terdahulu, mas Eko pernah mengungkapkan komentar guru-guru yang hadir dalam satu pelatihan literasi. "ah, istilah literasi kurang seksi, mas?" Komentar ini menunjukkan bahwa di kalangan pendidik di tanah air, literasi belum menjadi bagian penting dalam dunia belajar mengajar.

Selama ini saya bertanya-tanya mengapa topik literasi masih kurang mendapat tempat di tanah air, bahkan di kalangan pendidik sendiri. Sebagian menganggap bahwa ini adalah bagiannya orang linguistik. Sebagian lain melihatnya dari kacamata sastra. Terutama bila terkait dengan penulisan kreatif. Pikiran yang terkotak-kotak ini sering membuat saya galau. Sejujurnya, saya malah melihat literasi sebagai titik yang akan menggandengkan rumpun linguistik, sastra, dan pendidikan. 

Buku ini seakan menjawab kegalauan saya. Ditulis oleh Alyson Simpson dan Simone White, buku terbitan Oxford UP ini menggunakan analogi three-legged stool, atau dingklik berkaki tiga. Bila patah satu, atau timpang tingginya, maka kursi itu tidak akan seimbang dan tidak nyaman diduduki, atau malah membuat orang jatuh.  Meskipun buku ini jelas mengarah pada Bahasa Inggris, pastilah sangat bisa diterapkan untuk bahasa apapun. Nah, kursi itu adalah dunia pembelajaran bahasa. Ketiga kakinya adalah Bahasa, Literasi, dan Sastra. Pendidikan bahasa tidak akan bisa berjalan maksimal bila salah satu ranah lebih dominan, sementara satu atau bahkan dua kaki lainnya lebih pendek (atau bahkan belum terpasang).

Mari kita melakukan refleksi ke dalam dunia pembelajaran bahasa (Indonesia dan Inggris) di tanah air. Kaki mana yang masih timpang. Saya kok yakin jawabannya seragam. Cuma ada 1 kaki, yakni Bahasa. Itupun tidak sempurna. Di tingkat perguruan tinggi, bisa jadi kita sudah memiliki bahan untuk dudukan kursinya. Ketiga kaki juga sudah terasah. Sayangnya belum dipaku dan dipadu menjadi kursi yang kuat. Setidaknya, ini adalah otokritik terhadap jurusan saya sendiri.

Apakah analogi kursi dengan tiga kaki ini hanya berlaku untuk pembelajaran bahasa? Kita harus siap menjawab TIDAK, bila tekad untuk mengimplementasikan kurikulum 2013 sudah bulat. Syarat keberhasilan pembelajaran tematik adalah dengan memasukkan nafas literasi dalam kolaborasi antar disiplin. 

Mari kita coba bayangkan siswa tengah belajar tentang cuaca dan hujan. Siswa dari berbagai tingkat sekolah bisa dilatih memproses informasi dari sisi Bahasa, Literasi, dan Sastra. Di ranah Bahasa, siswa SD misalnya, akan dikenalkan dengan kosa kata baru seperti awan, angin, embun, kabut, hujan, dsb. Mereka dibimbing untuk mendeskripsikan masing-masing fenomena alam, dan mungkin membuat kalimat berdasarkan gambar. Siswa di tingkat lebih tinggi akan belajar tentang jenis-jenis awan, mengenal istilah baru seperti awan cumulus, cumulonimbus, dan cirrus untuk memahami sebuat teks tentang cuaca.

Kunci keberhasilan untuk perkembangan literasi yang produktif adalah penggunaan ketrampilan praktis untuk mengkomunikasikan ide ke kelompok pembaca tertentu. Pemahaman tentang literasi adalah bagian bahasa yang diperlukan siswa untuk menggunakan pengetahuan mereka sebelumnya (prior knowledge) dan jenis komunikasi yang dibutuhkan untuk mengungkapkan ide. Siswa SD bisa menulis hasil pengamatan atau ingatan mereka tentang hujan dalam 1-2 kalimat, disertai dengan lukisan sederhana karya mereka sendiri.  Siswa SMP bisa membuat laporan tentang proses terjadinya awan dan hujan berdasarkan hasil pengamatan. Dan laporan ditulis dengan menggunakan kerangka teks procedure atau report, bergantung pada tugas yang diberikan. 

Bagaimana dengan sastra? Apakah tema sains seperti awan dan hujan bisa bergandengan dengan dunia imajinasi. Fakta dan fiksi adalah seperti dua sisi koin. Sama halnya dengan sains dan sastra (Kalau ini asumsi saya sendiri). Mengapa tidak? Pengalaman tentang hujan menjadi indah, sarat dengan sentuhan emosi yang personal, ketika puisi atau lagu diberi ruang. Simak saja lagu masa kecil kita, 

Tik tik tik bunyi hujan di atas genting
Airnya turun tidak terkira
Cobalah tengok dahan dan ranting
Pohon dan kebun basah semua.

Bukanlah lagu yang nampaknya amat sederhana ini terdengar indah karena ada rimanya, baik di tengah maupun akhir baris (genting, ranting;  hujan, dahan; turun, kebun; terkira, semua). Atau kalau suka dengan versi Bahasa Inggrisnya:

Rain, rain, go away
Come again another day
Adzra's friends all want to play
Rain, rain, go away. 

Bayangkan siswa SD menyanyi bersama, sambil menengadahkan tangan, berharap hujan akan reda. Sentuhan sastrawi seperti inilah yang perlu lebih banyak mewarnai pembelajaran tematik. Tema sains bisa dipelajari tanpa harus melulu hanya menggunakan materi berbasis fakta. 

Atau mau mengajarkan alur (plot) dalam film atau novel? Baik film Indonesia maupun asing nampaknya punya gambaran universal tentang hujan dan ketakutan. Ini yang kita kenal dengan collective consciousness a la Jungian criticism. Manfaatkan nuansa ini dengan menayangkan film bergenre horor atau misteri di kelas-kelas sekolah menengah. Kenalkan mereka tentang foreshadowing. Gambaran hujan deras, petir menyambar, dan pintu jendela terbuka-tutup dengan keras adalah pertanda bahwa akan terjadi sesuatu yang buruk dalam cerita. 

Atau ajaklah siswa SMA di kelas Bahasa Inggris membaca cerpen "The Man who Send Rain Clouds" karya Leslie Marmon Silko. Bawalah mereka pada gambaran cultural clash antara tradisi masyarakat Indian dan praktik agama Kristen dalam menghadapi kematian. Dan ajak mereka merefleksikan kisah itu pada kondisi di tanah air. Pasti banyak pengalaman senada. Bagaimana Islam mengajarkan doa dan shalat minta hujan, dan bagaimana tradisi budaya sebagian masyarakat dalam mengharapkan kemarau panjang segera berakhir. Jangan kaget kalau kemudian malah 'jatuh' pada novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.

Dunia akademik memang penuh dengan disiplin berbagai warna. Sekolah memang penuh dengan deretan mata pelajaran. Tugas kita sebagai pendidik adalah mengajak mereka melihat keterkaitan satu sama lain. Nah, sudah saatnya kita menanggalkan kepongahan disiplin dan 'ilmu sempit' yang kita punya. Mari mulai bergandengan untuk menciptakan masyarakat melek literasi di tanah air tercinta.

Rujukan:
Simpson, Alyson & White, Simone. Language, Literacy & Literature. Melbourne: Oxford University Press, 2013. 

Saturday, July 06, 2013

I'M GOING SOLO NOW

Tidak mudah menghadapi kenyataan bahwa setelah operasi dua minggu yang lalu, ternyata aku harus operasi lagi.  Lebih radikal. Left-breast mastectomy. Namun tidak sampai membawaku ke kesedihan mendalam. Bagaimanapun, kemungkinan ini sudah sempat aku dan mas Prapto pertimbangkan sebelumnya. Semua adalah titipanNya. Dan sudah saatnya ikhlas melepasnya, sambil mensyukuri segala nikmat yang telah Allah berikan melaluinya.
Semuanya insya Allah yang terbaik, mengikuti ketetapan Allah buatku. Jadilah aku menginap lagi di Royal Women’s Hospital. Kali ini lebih lama. 3 hari 3 malam, sejak Rabu siang lalu. Dan hari ini, siang ini, kuhirup lagi suasana rumah. Yang dijaga rapi oleh suami dengan sangat baik. Laki-laki yang tak mengeluh mengambil sementara semua peranku. Dan tetap menyungging senyumnya, saat kubuka mataku di kamar RS.
Bila ada tangis, itu adalah keharuanku atas pengorbanannya buat kami. Sama sekali bukan karena aku kehilangan salah satu bagian yang pernah memberi keindahan jiwa raga. I’ll be forever grateful to have him.
Dan ketika aku menulis puisi ini, pendulumku sudah bergerak ke sisi kanan. Lebih kuat. Lebih segar. Lebih bugar. Insya Allah tetap tegar dan tersenyum mekar. And still the cheerful Tiwi everyone used to know.
Semoga bisa menjadi pengingat bagi semuanya, untuk selalu menjaga titipanNya.

I’M GOING SOLO NOW
Do you remember
how we’ve grown up together
spending five and two scores with her

We were sent to to her life
to witness a fruit becoming ripe
to help love growing wild
to see seeds nurtured and alive

Look at the kids now
and recall how
tiresome she would not allow
coz we took turns anyhow

Still get the tingling
sensation we’ve both been feeling
I reckon that’s the bonding
she would be grateful for God’s giving

But the time has arrived
for us to be parted
I’ll forever cherish what we’ve had
wishing better times lie ahead

We’ll go back to where we belong
For now dearest friend, so long
So go ahead, I will be strong

MENGAPA HARUS DETEKSI DINI?

Mengalami sendiri rasanya menjadi pasien kanker payudara membuat saya semakin paham pentingnya deteksi dini. Benjolan yang saya rasakan sebelum lumpectomy dan akhirnya mastectomy ini baru ada sekitar Februari 2013. Belum lama kan? Tapi hanya dalam waktu 1 bulan, setelah serangkaian mammogram, USG, dan biopsi, diagnosanya sudah menunjukkan adanya kanker payudara stadium dini.
Sekecil itu, tanpa ada rasa sakit apapun, tanpa ada gangguan kesehatan sama sekali, tanpa pengaruh sedikitpun ke aktivitas sehari-hari, saya sudah berubah status dari manusia sehat menjadi penyandang kanker. Kalau tidak belajar mengendalikan emosi, orang bisa dengan mudah jatuh ke lorong ketakberdayaan. Tidak bisa dibayangkan apa yang terjadi bila benjolan yang nampaknya remeh itu dibiarkan saja selama bertahun-tahun. Pelan-pelan namun pasti bermetastasis ke organ tubuh yang lain. Dan proses ini bisa terjadi selama bertahun-tahun. Itulah sebabnya kanker disebut juga sebagai the silent killer.
Syukurlah saya memandang diri sendiri cukup awas dengan kondisi tubuh, terutama yang terkait dengan sistem reproduktif dan sejenisnya. Lumpectomy di akhir tahun 2006 dulu juga saya lakukan saat terasa benjolan aneh. Saya juga rutin pap smear tiap tahun. Memastikan kondisinya terjaga. Dengan riwayat endometriosis yang berujung ke pengangkatan ovarium kanan, tidak ada alasan lagi untuk tidak awas dengan diri sendiri.
Dari buku-buku panduan yang saya baca, bisa saya simpulkan bahwa deteksi dini kanker payudara super duper penting. Untuk mendeteksi adanya abnormalitas di payudara. Tidak semua benjolan adalah kanker, namun tetap harus diketahui keberadaannya. Kanker payudara adalah jenis yang termasuk paling bisa disembuhkan. Semakin dini terdeteksi, semakin besar kemungkinan tindakan medis berhasil.
Sarari (periksa payudara sendiri) pada dasarnya dilakukan untuk melihat adanya:
  • perubahan bentuk, warna, dan ukuran payudara
  • pembengkakan atau ketidak-seimbangan di antara kedua payudara
  • perubahan bentuk kulit payudara
  • perubahan posisi puting, mis: apakah melesak ke dalam
  • adanya cairan (bening, susu, atau darah) yang keluar dari puting, Ini bisa dilakukan dengan memencet puting dengan jempol dan telunjuk.
Perubahan abnormal bisa dikatakan terjadi bila ada tanda-tanda di bawah ini:
  • ada benjolan yang terasa berada dibandingkan dengan jaringan sekitarnya, dan juga dengan payudara satunya
  • benjolan tidak hilang setelah siklus menstruasi
  • ada cairan bening atau darah dari puting
  • puting melesak ke dalam dan tidak biasanya seperti itu
  • perubahan kulit payudara, mis: kemerahan, luka, bisul, atau rekahan.
Bila ada salah satu saja tanda-tanda di atas, jangan tunda konsultasi ke dokter. Ingat sekali lagi, semakin cepat kanker payudara terdeteksi, semakin besar kemungkinannya bisa disembuhkan.

Thursday, July 04, 2013

SENTUHAN PERSONAL

Menginap 3 hari di Royal Women’s Hospital, aku jadi kenal dengan banyak perawat. Cantik-cantik, kayak model. Kata mas Prapto. Brea, Sarah, Alice, Lisa, Alisha. Mereka bergantian melakukan check-up. Tekanan darah. Suhu tubuh. Bekas luka. Drain tube. Saking rutinnya, sampai aku hafal, dan tinggal menyodorkan tangan kananku. Membuka sisi kanan jilbab untuk dicek temperatur tubuh lewat telinga. Mengingatkan untuk tidak menyuntikkan apapun atau memeriksa tekanan darah di lengan kiri. Di situlah lokasi efek samping mastectomy akan bisa terjadi. So, keep it clear.
Ada rasa perkawanan yang berbeda. Besar kemungkinan memang prosedur pelayanan. Tapi aku juga merasakan atmosfer kerja yang menyenangkan, yang membuat senyum para perawat ini selalu mengembang. Setiap ada personil baru yang mendatangiku, selalu mereka kenalkan nama dan tugas mereka pada shift itu. Aku akan menjawab dengan I’m good. No pain. Meski sebenarnya pada hari pertama setelah operasi, rasa mual dan ingin muntah tidak kunjung hilang. Sudah kuprediksi juga sih. Seperti operasi 2 minggu lalu. Pain is not the issue. It’s nausea that I’m worried. 
Betul juga. Sepanjang malam sampai siang, entah berapa kali aku muntah karena efek anastesia. Tidak banyak. Cuma cairan. Tapi pahit. Tentu saja ketika perut sudah diajak puasa sejak Rabu pagi. Beberapa kali aku disuntik pain killer dan anti-nausea, tapi cairan masih saja berontak keluar. Kabar baiknya, setiap kali selesai muntah, aku merasa jauh lebih baik.
Kamis siang, aku didorong di atas kursi roda oleh Brea dan Alisha, ke rumah sakit seberang, Royal Melbourne Hospital, untuk diinjeksi sebagai persiapan bone scan. Brea yang berbadan kekar harus berkali-kali minta maaf karena driving skillsnya membuatku erat memegang wadah penadah cairan muntahku.  Beberapa kali dia harus berhenti membiarkanku tenang. Oh poor you, Tiwi. Tapi aku tetap bilang, go ahead. I’ll be fine. Setidaknya, aku terhibur dengansense of humournya.
Karena bone scan baru akan dilakukan 3 jam kemudian, aku dibawa kembali ke RMH, lantai 5, sisi utara. DI sini tempat pasien rawat inap onkologi ditempatkan. Tetap dengan kondisi tergolek lemah. Tidak berani bicara banyak. Kuatir muntah lagi. Setiap kali kubuka mataku, tangan mas Prapto siap dengan lambaiannya. Senyumnya tetap mengembang. Tempat tidur dia naik turunkan sesuai permintaanku. Cuma genggaman tangannya yang bicara, bahwa dia akan menjadi suami siaga.
Mungkin berkat injeksi anti-nausea, aku merasa lebih kuat pada sore hari. Ketika didorong Alice kembali ke Radiology di RMH, kami banyak ngobrol selama menyusuri koridor. Tertawa bersama ketika berteam work membuka pintu otomatis yang harus kuganjel kaki kanan. Supaya dia bisa mendorong kursi roda. Hey, we made it, teriak Alice, ketika kami akhirnya susah payah bisa melawati pintu.
Terkantuk-kantuk menunggu antrian radiology, aku baru dapat giliran pukul 5 sore. 1,5 jam penantian. Ditambah 25 menit proses bone scan. Bukan waktu sebentar di tengah wajah-wajah lelah yang juga menunggu. Untung tidak ada lagi rasa mual. Tepukan di punggungku oleh salah satu perawat cukup menenangkan. How’re you feeling? Hope it wont be much longer.
Waktu 2 jam akhirnya terbayar, ketika Dr. Reza, radiologist, mendekatiku. Hi Tiwi, all is good. Your bone scan is clear.
Tak lama setelahnya, Alice datang kembali menjemputku, membawaku kembali ke RWH. Kukabarkan hasil scan pada Alice yang ikut berbinar. Ketika kami melewati kantor Breast Care nurse, kuintip Sue Thomas masih di dalam. Aku minta berhenti untuk say hello. Sue mengiira aku menunggu di RMH sejak siang. Kubilang nggak lah. Yang jelas dia ikut lega dengan hasil scan. Dia nitip pesan, one more scan tomorrow at 10. And you’ll be done. I won’t be here tomorrow, but Monique will be in to explain everything.
Di ujung koridor menuju ke kamar, kami berpapasan dengan mas Prapto. Tadi siang dia pulang sebentar. Dan sekarang sudah balik lagi. Kali ini mengajak serta Adzra. Dari jauh kulihat Adzra dan Ganta duduk di ruang tunggu. Adzra melambaikan selembar kertas. Aku sudah menduga. Pasti ada surat baru untukku (terima kasih mbak Diana, sudah mengajarkan afeksi untuk putriku). Mummy, I’ve got something for you. Close your eyes. Ketika kubuka kembali, kulihat tulisan tangannya. Mummy, get well soon. Love, Adzra. I love you.
Terima kasih anakku. Celotehannya sepanjang malam bisa membawaku sedikit lelap. Ketika Adzra dipangku ayahnya, sambil mendongeng, ‘once upon a time, there was a girl. Her name is Sarah. She lives in the farm. Then she met her friend. Ken. Dan tak kuingat lagi jelas detilnya. 10 menit kemudian aku terjaga. Menatap takjub mata mas Prapto. Dowo nek ndongeng, kata mas.
Kupuaskan rasa lapar sejak Rabu pagi. Ganta dan Adzra ikut menghabiskan jatah makan malam. Sampai waktu menunjukkan pukul 7.30 malam. Sebaiknya sama-sama istirahat. Deru angin kencang terlihat dari balik jendela. Tidak akan terlalu aman buat mas Prapto menyetir dalam kondisi cuaca seperti ini. Dengan anak-anak pula.
Hari ini roller coaster sudah mereda. Kondisi semakin segar. Pelukan mas Prapto dan anak-anak semakin menghangatkan jiwa raga. Aku menyelinap ke lembaran selimut dan piyama. Menebus rasa lelah yang belum lunas di malam sebelumnya. Alhamdulillah, malam kedua terlewati dengan senyuman. Insya Allah besok akan jauh lebih baik.

Monday, July 01, 2013

KENYATAAN BARU: HARUS MASTECTOMY

Waktunya konsultasi kembali dengan tim dokter. Robin, ketua tim dokter, memberi kabar menggembirakan. Hasil sentinel node biopsy bersih. Ini berarti tidak ditemukan penyebaran sel kanker ke organ lain. Hasil lain yang melegakan adalah benjolan di posisi jam 3. Benjolan yang tidak teraba ini hanya mengindikasikan tumor biasa. Bukan kanker.
Yang tidak menggembirakan dia beritahukan belakangan. Sambil tetap menunjukkan gambar yang memvisualisasikan titik benjolan dan perlakuan medis yang diberikan 2 minggu lalu, Robin menunjuk pada titik jam 6. Ini adalah benjolan yang aku keluhkan pertama kali kepada GP. Saat USG menjelang lumpectomy yang lalu, tim memang menemukan beberapa titik kecil di sekitarnya. Tapi toh mereka memutuskan untuk tetap melakukan prosedur yang tidak radikal.
Setelah observasi seksama, tim tidak yakin apakah surgical margin sudah bersih benar. Terutama dengan titik-titik baru itu. Maka kusebutkan saja dugaanku. What’s next? Mastectomy? Robin mengiyakan. Yes, that’s what we have to do. 
Aku tidak terlalu shocked dengan kemungkinan ini. Saat USG pun, aku sudah membicarakannya dengan mas Prapto. “Piye mas, ada titik-titik baru.” Dia yang malah sarankan. “Ya sudah gak diambil aja semua. Yang penting sembuh.”
Sekarang, setelah kemungkinan itu semakin nyata, aku cuma bertanya. Why didn’t you remove it? Robin menegaskan, “I would never do that without consulting you.” Dia meneruskan dengan tawaran breast reconstruction surgery pada saat bersamaan. Pertanyaanku standard, will it be covered by the insurance? What’s the diffference with leaving it flat?  Setelah mendapat penjelasan bahwa proses rekonstruksi ini akan melibatkan serangkaian operasi lagi secara bertahap ( jadi ingat Angelina Jolie yang melakukan double mastectomy dan breast reconstruction surgery sebagai preventive action), aku menoleh ke mas Prapto? “Piye mas, ditawari pasang implant di dalam bekas operasi, atau ben wis diilangi ae.” Mas Prapto tegas menjawab, “wis gak usah dioperasi maneh. Gak opo flat ae.”
Keputusan ini kami anggap yang terbaik. Bahasa mas Prapto, wis umur segini.  Bukan berarti sudah tua dan tidak butuh apa-apa, tapi lebih karena sudah cukup banyak pengalaman hidup yang mendewasakan jiwa. Sekarang yang penting tetap sehat.
Segera saja Robin menetapkan tanggal operasi. We can do it this Wednesday. Wuih, agak kaget. Lusa besok? Lagi-lagi mas Prapto segera mengiyakan. Lebih cepat lebih baik.
Dengan dukungan emosional yang melegakan ini, tak ada lagi perlunya aku menunda apapun. Dua hari lagi, payudara kananku akan terbang solo. Menyusul rekannya, ovarium kiri yang sudah terbang solo sejak 2006 lalu.
Hari Senin ini, hari pertama liburan sekolah, kusisakan waktu dengan pergi ke kampus bersama mas Prapto dan anak-anak. Mas Prapto mendapat tawaran kerja kasual dari Lugin, sesama warga Surabaya di Brunswick. Jadi kitchen hand di University House, satu member-only restaurant di kampus. Sambil menunggu mas Prapto training sekitar 2 jam, kuajak anak-anak duduk di Bailleu library. Aku mengembalikan buku. Mencari beberapa referensi yang kujanjikan untuk pusat literasi. Anak-anak menikmati gundulnya pohon-pohon.
Kupahami paradoks, dalam kesusahan ini, terasa semakin banyak kenikmatan yang kureguk bersama dengan keluarga. Bila ini adalah bayarannya, kuikhlaskan segala ketetapanNya.