I wrote this piece as Shazia, my Pakistani bestfriend, left the US upon finishing her master's program in Texas State University-San Marcos in Spring 2003. It's been almost five years, yet she sometimes captures my mind whenever I try to define the term "a true feminist." To me, she fulfills this definition; being silent in her struggle without losing its significance. I hope someday Allah gives us a chance to see each other again.
Ada rasa malu yang hinggap didiriku setiap kali aku menatap bening mata Shazia. Sahabat baru dari Pakistan ini menampakkan diri sebagai muslimah yang sebenarnya, yang menjalankan ibadah secara kaffah, diiringi dengan prestasi akademik yang luar biasa. Semuanya aku tahu, justru dari tindak tanduknya, dari kalangan dekatnya, dan bahkan dari situs kampus tempat kami menimba ilmu.Tak sepatahpun kata dari bibir manisnya mengandung segala yang bernada keakuan.
Hari-hari resah yang menghiasi kehidupan awalku di San Marcos, kekhawatiran akan tiadanya teman sesama muslim di negeri bagian koboi ini, tiba-tiba pecah oleh suara lembut dipenghujung telpon. Ia memperkenalkan dirinya, memberikan nomor telpon dan alamatnya, meyakinkan aku untuk tidak segan-segan menghubunginya bila aku butuh sesuatu. Darimana dia tahu namaku, sementara aku baru 3 hari tinggal di International Housing, ditengah-tengah sepinya kampus yang masih terselimuti panasnya summer break. Oh, Allah memang Maha Mendengar jeritan hati di malam hening, dalam kedinginan kamar ber-AC. Ternyata Shazia adalah saudari sepupu Adeel, muslim pertama yang aku temui di kampus, di hari Jum’at, hari pertamaku, saat aku berjalan dipelataran kampus, tanpa seorangpun lalu lalang. Begitulah, pertolongan Allah memang tak bisa disangka datangnya. Tiba-tiba saja Adeel muncul didepanku tanpa kutahu dari arah mana.
Shazia mulai mengisi hari-hariku. Dia kunjungi aku di International House, dia bantu aku pindahan ke apartemen baru, dan rutin menelpon aku, mengantarkan aku berbelanja ke HEB atau Walmart. Ya Allah, kok ada manusia sebaik ini, sementara di negeriku sendiri saja, yang penuh muslim, hanya segelintir orang yang melakukannya.
Shazia tinggal di Round Rock, sekitar 25 mil ke utara dari Austin, yang berarti 1 jam lebih perjalanan pakai mobil. Begitu Shazia menjalani hari-harinya, menyetir mobil Toyota Camry mewahnya dari rumah kakaknya menuju jurusan Biologi di SWT, tempat dia menjalani tugasnya sebagai Teaching Assistant dan mahasiswa semester terakhir program MSc. Sehari penuh dihabiskannya di kantor, kelas, dan laboratorium, mulai jam 8 pagi sampai 10-11 malam. Acapkali dia menginap di apartemenku karena kemalaman.
Perempuan yang begitu sibuk, dikejar deadline penelitian, konferensi dan tesis, bagaimana dia masih ingat tentang aku, yang masih banyak waktu senggang, tapi melewati banyak menit dalam kecengengan.
Semakin lama aku mengenalnya, semakin tertunduk pandanganku oleh kekagumanku. Mobil yang mewah, tak secuilpun menjadi sarana kepongahan. Ditengah-tengah buku berserakan, menumpuk kaset-kaset dan CD ceramah banyak pakar, tak satupun berbau hiburan duniawi. Bagiku, yang terbiasa mengisi tape recorder mobil dengan alunan musik, yang dia lakukan sepertinya sesuatu yang muskil. Tapi itulah Shazia, yang menghiasi mulutnya dengan doa-doa sepanjang perjalanan, menuliskannya di sobekan kertas agar aku bisa menghafalkannya.
Fanatik? Aku jadi mempertanyakan persepsiku sendiri tentang arti kata ini. Jilbabku masih belum kuasa menutupi hatiku dari godaan duniawi, perempuan berjubah masih suka kupandang kurang modern. Dan Shazia telah berhasil mendekonstruksi makna yang yang kuyakini.
Suatu kali kami terlibat diskusi panjang tentang pentingnya pendidikan. Dari situ pula baru kutahu bahwa ia telah mendapatkan gelar Master di negerinya, melanglang ke Abu Dhabi untuk mengajar selama beberapa tahun, sebelum memutuskan datang ke negeri Paman Sam untuk terus menimba ilmu. What a woman? Ini katanya,” Tiwi, I’ve always believed that women should pursue a good education. I realize that there are many of us who are deprived of this right behind the excuse of Islam. Siapa yang harus menolong sesama perempuan untuk melahirkan sambil tetap menjaga aurat kalau perempuan tidak boleh sekolah tinggi, bagaimana kita bisa mendidik anak kita dengan baik dan mencintai ilmu bila ibunya tidak kenal sekolah? Aku termangu, mempertanyakan, kenapa aku jauh-jauh meninggalkan suami dan anakku untuk sekolah lagi. Jujurkah aku ketika kukatakan, ini demi masa depan anakku dan keluarga? Ataukah, dilubuk hati sebelah sana, tersimpan ambisi duniawi?
Hari sudah malam sekali ketika Shazia menelpon, meminta izin untuk menginap lagi. Tentu saja aku senang hati menerima kedatangannya seperti biasa. Dia datang, dan setelah berbincang sebentar, dia permisi untuk mengambil air wudhu dan mengajakku shalat Isya bersama-sama. Seusai shalat Isya, dia mengajakku duduk dan membaca Surat Al-Mulk bersama-sama. Shazia, selalu ada yang baru yang aku dapat darimu. Baru sekarang ini aku tahu rahasia dibalik Al-Mulk saat dibaca sebelum tidur. Saat aku mengantuk, mengeluh kelelahan karena belajar seharian, dia persilakan aku tidur duluan. Dari sudut mataku yang belum lelap, kulihat dia berdiri lagi, melakukan shalat.
Kamu akan menikah. Itu yang aku tahu dari kakak iparmu, Maliha. Dimana calonmu sekarang? Lagi-lagi aku terpana mendengarkan jawabannya. Dia sepupu jauhku, tinggal di Pakistan.
“Apa kamu sering telpon-telponan? Tanyaku.
Dia teman mainku sejak kecil, tapi sejak 1 tahun lalu kami dijodohkan, aku justru tidak mau lagi bercakap dengannya. Kalau dia ingin menghubungi, aku minta dia lakukan lewat email saja?
“Cuma email-emailan? Gak salah tuh, bukannya kamu pingin ngobrol atau membahas persiapan perkawinan atau rencana masa depan?
Dengan lembut dia berujar,” Tiwi, aku tidak mau mengundang dosa diantara kami, perkawinan hanya butuh niat baik dan ridho dari Allah. Kalau memang kami berjodoh, semua akan berjalan dengan baik dengan izin Allah.” Tahun lalu seharusnya kami sudah menikah, tapi saat itu baru saja terjadi pemboman di WTC, dan aku tidak bisa mendapatkan perpanjangan visa untuk pulang. Semua terjadi karena kehendakNya, aku tidak kecewa, hanya Allah yang tahu yang terbaik untuk kita.”
Liz, gadis Texas yang seruangan dengannya suka protes. Shazia, it’s not right. You should say no to your parents if you do not love him. It’s an oppression,” dengan berapi-api ujarnya.
“I am not saying that I don’t love him. But I trust Allah only, if he is for me, then the marriage will take place with or without us speaking to each other.
“I don’t understand you, but I really admire your steadfastness.”
Shazia, aku juga belum bisa membayangkan bagaimana kamu bisa sekukuh itu menjaga keimananmu. Jilbabmu, jubahmu, betul-betul melindungi kemurnian jiwamu.
Shazia sekarang sudah pergi, Tangis haruku mengantar keberangkatannya pulang ke Pakistan. Satu keberhasilan baru kauraih seminggu yang lalu seusai ujian tesismu, dan kebahagiaan telah menantimu di penghujung dunia sana.
Langkahku masih panjang, sepanjang deretan nama-nama mahasiswa berprestasi di kampus SWT yang tertera di situs kampus. Diantara nama-nama itu, dibawah kolom Joan-Mitte Scholarship yang paling banyak menyediakan jumlah uang, terukir: Shazia Saleem, Biology Graduate Student. Oh, Shazia, kau tak pernah katakan itu, kau salah satu mahasiswa terbaik di kampus ini.
Mudah-mudahan akan lahir Shazia-Shazia baru, pejuang setia tanpa banyak kata. Perbuatanmu, tauladanmu terdengar lebih lantang.
San Marcos, Oct 7, 2003.
Each and every minute counts if you always try to look around and see that even a falling leaf or a small drop of rain means something. But its meaning may fade quickly, unless you make an effort to keep the track.
Thursday, February 07, 2008
Monday, February 04, 2008
Belajar dari Perbedaan
Ketika Katrine, seorang teman sekelas mengirimkan email dan
meminta saya untuk berbicara tentang Islam dalam sebuah diskusi buku, saya
bertanya dalam hati, adakah pengetahuan saya tentang Islam, agama warisan yang
saya anut sejak lahir, memadai untuk mewakili keagungan Islam itu sendiri.
Terutama dalam situasi dunia yang masih tidak menentu dengan sentimen agama,
apalagi saya harus berbicara didepan orang-orang Amerika, di negara mereka
sendiri, tidakkah ini terlalu sensitif? Tapi tanpa pikir panjang akhirnya saya sanggupi
permintaannya.
Diskusi
buku yang akan saya hadiri membahas sebuah best seller karangan Bruce Feiler
yang berjudul Abraham: A Journey to the Heart of Three Faiths. Ini
adalah sebuah buku yang mengisahkan perjalanan seorang pencari kebenaran,
seorang yang merasa terganggu oleh konflik antar kelompok yang sama-sama
menggunakan agama sebagai tamengnya. Dengan gaya bertutur yang sangat menarik, si
penulis yang seorang Yahudi menemukan sosok Abraham (nabi Ibrahim as dalam
Islam) sebagai sosok penyatu dalam sejarah perkembangan monotheisme, yakni
Judaism, Christianity dan Islam dan membawa dia kembali ke leluhurnya di
Jerusalem, kota suci dalam ketiga keyakinan ini,dimana potret kehidupan antar
agama diwarnai dengan harmonisme dan sentimen pada saat yang bersamaan. Meski
secara detil buku ini sangat mengganggu pemahaman saya, dan banyak hal yang
saya tidak sepakat, tapi inti yang ingin disampaikan sangat bagus, bahwa lebih
baik bersepakat melalui adanya kesamaan daripada berbenturan karena adanya
perbedaan yang tak bisa ditemukan.
Hampir
seminggu saya menenggelamkan diri diantara buku-buku tentang perbandingan agama
dan sumber-sumber didunia maya, membuka Al-Qur’an untuk mencari referensi
tentang nabi Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad, agar saya bisa lebih siap dengan
pertanyaan-pertanyaan sensitif, terutama mengingat pengetahuan saya yang amat
terbatas. Tapi akhirnya saya putuskan untuk “speak and act normally”, dan
berusaha untuk siap memberi penjelasan sebaik-baiknya. Saya berangkat dengan
membawa contoh Qur’an dalam teks Arab yang saya bawa dari Indonesia ,
sebuah terjemahan dalam bahasa Inggris, sajadah, dan mukena. Si Katrine
memberitahu saya bahwa para anggota diskusi buku belum pernah melihat bagaimana
bentuk Qur’an dan cara muslim bersembahyang.
Jangan
bayangkan bahwa forum yang akan saya hadiri adalah forum akademik yang resmi.
Ini “hanyalah” kelompok cinta baca beranggotakan sekitar 35 wanita, semuanya
dari kalangan atas. Ini baru saya ketahui ketika saya menginjak tempat tinggal
tuan rumah, yang mirip istana artis Hollywood ,
di daerah barat daya Austin ,
Texas . Rumahnya tidak terlalu
besar dipinggir tebing, dengan panorama hutan dan rumah-rumah mewah sejauh mata
memandang, dengan horse ranch dan anak kali (“creek” mereka menyebutnya)
dibawah tebing. Satu persatu berdatangan, dengan pakaian yang “casual” tapi
mewah (mengingatkan saya pada
tokoh-tokoh di opera sabun Amerika). Sekilas saya tengok blouse motif bunga,
jilbab putih dan celana hitam saya yang sederhana (yang seringkali saya kenakan
saat mengajar di Unesa) dan “sport shoes” yang tidak “matching”. Saya tersenyum
sendiri, dan membatin, “masih untung saya tidak pakai kaos”.
Saya
bertanya dalam hati, siapakah ibu-ibu ini? Dalam perkenalan, percakapan dan
diskusi saya baru tahu bahwa mereka datang dari latar belakang yang
berbeda-beda. Meminjam istilah Katrine, “they come from various walks of life”.
Saya sempat berbincang dengan Joanne, yang punya gelar PhD in American Studies
dari UT Austin, duduk disebelah istri salah satu eksekutif IBM, dan diantara
orang-orang yang kenal keluarga Presiden George W. Bush secara personal. Namun
jangan pula dikira mereka adalah orang-orang dengan gaya hidup yang sombong. Si Katrine yang
ramah mau jauh-jauh menjemput saya di San
Marcos , sekitar ½ jam dari Austin . Saya baru tahu bahwa dia adalah
seorang “businesswoman” yang punya proyek besar, bersuamikan seorang eksekutif pengelola Lake Austin .
Saya sempat kaget ketika diajak mampir ke kantor suaminya di pinggir Lake
Austin, karena sebenarnya saya baru pada taraf berangan-angan mengunjungi
tempat indah ini (pak Djoko ketua jurusan Bahasa Inggris Unesa menyarankan saya
untuk datang kesini sebelum saya berangkat dulu, dan beliau sendiri
menghabiskan hampir 2 tahun studi di UT Austin lebih dari 20 tahun yang lalu). Bagaimana
pula dengan anggota lain? Keramahan setiap orang sudah saya rasakan setiap
Katrine memperkenalkan saya dengan anggota yang hadir. Keingintahuan mereka
tentang Indonesia
dan saya pribadi terasa tulus, membuat saya merasa nyaman.
Singkat
kata, Katrine sebagai ketua kelompok cinta baca ini membuka diskusi dan
memperkenalkan bahwa saya dari Indonesia ,
negara dengan populasi muslim terbesar didunia (fakta yang mengagetkan semua
yang hadir) dan mempersilakan para anggota untuk memulai diskusi. Apa yang
terjadi ? Selama lebih dari 1 jam setiap orang membombardir saya dengan
berbagai pertanyaan tentang Islam, mulai dari hal-hal mendasar, mulai dari
apakah sebagai muslim, saya percaya hari kiamat, bagaimana cara muslim shalat, mengapa
laki-laki dan perempuan harus sholat dalam baris terpisah, apakah Qur’an
mewajibkan perempuan untuk mengenakan jilbab, bagaimana bentuk Qur’an,
bagaimana berkomunikasi dengan Tuhan, apakah Islam percaya reinkarnasi, sampai
dengan hal-hal yang berkaitan dengan buku bahan diskusi itu sendiri, bagaimana
pandangan Islam tentang nabi Ibrahim, Musa, Jesus, bagaimana muslim yakin nabi
Muhammad adalah nabi terakhir, dan tak ketinggalan masalah sensitif tentang
jihad dan terorisme dalam pandangan Islam.
Satu jam
terasa amat singkat untuk menjawab dan memuaskan setiap orang, dan saya
berusaha menyampaikan konsep dasar Islam seperti Rukun Iman dan Rukun Islam,
memberikan penjelasan apa adanya meski kadang menyinggung detil dimana terjadi
perbedaan konsep dalam agama, seperti keyakinan bahwa Yesus adalah salah satu
nabi terbesar dalam Islam, tapi bukanlah “the Son of God”, atau bahwa Ismail,
dan bukan Ishak yang dikorbankan oleh nabi Ibrahim. Ada pula pertanyaan menggelitik, ‘kalau saya
mati besok, dan saya tidak sembahyang secara Islam, apakah saya akan masuk
neraka”?. Hmm, sulit juga menjelaskannya. Saya katakan bahwa dalam Islam saya
meyakini bahwa tidak cukup hanya yakin bahwa tiada Tuhan selain Allah, namun
juga harus diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya melalui
sholat atau puasa, tapi juga kualitas hubungan antar manusia. Atau katakanlah
saya harus meyakini bahwa agama sayalah yang benar, dan barangkali pemeluk
agama lain juga punya keyakinan sama. Namun perkara masuk surga atau neraka, itu
sepenuhnya kuasa Allah, dan tak seorangpun boleh atau berhak menghakimi, bahwa
sayalah yang benar dan akan masuk surga, dan kamu yang salah dan masuk neraka.
Kita hanyalah manusia yang berusaha dan wajib mencari jalan kebenaran dan
mengikutinya. Disitulah kita bisa merasakan kedamaian dan berharap kebahagiaan
abadi sesudah mati. Seorang ibu disebelah saya menimpali, “wah, menakutkan juga
kalau mati”. Sebagai manusia, wajar barangkali membayangkan kematian sebagai
sesuatu yang menakutkan. Karena topik bahasan sebenarnya adalah nabi Ibrahim,
saya hanya mengacu kembali ke konsep penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah
dan kesediaan untuk berkorban demi Allah sebagaimana yang diajarkan oleh nabi
Ibrahim. Sebagai cucu-cucu nabi Ibrahim, seharusnyalah kita mengikuti
ajarannya, setidaknya itu lebih baik daripada berdebat tentang siapa yang
sebenarnya dikorbankan, apakah Ishak atau Ismail.
Akan halnya
shalat lima
waktu, beberapa komentar dan pertanyaan muncul, “wah, tidak bisa istirahat
seharian”, “bagus sekali ajarannya untuk disiplin”, atau “bolehkah meninggalkan
sholat”?, Apakah saya sendiri juga melaksanakannya? Apakah ada muslim yang
tidak shalat?. Komentar yang sangat manusiawi, yang saya yakin seringkali
diulas dalam ceramah-ceramah agama di tanah air. Bahkan saya sampai diminta
menunjukkan contoh konkret tentang sholat beserta bacaannya, mengedarkan Qur’an
kesemua orang yang hadir, dan sedikit mengulas terjemahan surat Al-Fatihah yang sempat saya baca ketika
memberikan contoh sholat. Ketika saya mengenakan mukena, sempat ada yang
bertanya, “apakah laki-laki juga pakai mukena”, dan kalau tidak “kenapa”?.Disini
pula saya berada dalam keterharuan ketika seorang ibu yang banyak membaca
“Bible” dan kebetulan mempunyai babysitter muslim mengatakan betapa dalamnya kedamaian
kalbu yang bisa dicapai bila setiap orang selalu mengingat Tuhan dalam
keseharian hidup kita.
Islam,
jihad dan terorisme? Kenapa ada orang-orang yang melakukan bom bunuh diri dan
menabrakkan pesawat ke WTC atas nama agama? Adakah Islam memang membolehkan
(atau bahkan menyetujui tindakan seperti ini)? Sebuah pertanyaan yang bukan
baru dan berulang-kali diulas. Tapi inilah kenyataan dalam dunia kita sekarang
ini. Masih banyak orang yang tidak bisa memahaminya. Tanpa berusaha memihak,
saya ingatkan mereka juga tentang perang Salib dengan dalih yang sama, dan
menurut saya pribadi, jihad bukanlah berarti membunuh demi tegaknya agama.
Kebetulan saya membawa buku berjudul A brief and illustrated Guide to
Understanding Islam yang menyebutkan bahwa Islam mengutuk terorisme, dan
para pelaku akan mendapat balasan di akhirat nanti atas tindakannya membunuh
orang-orang yang tidak bersalah, karena mereka sebenarnya melanggar aturan
dalam Islam itu sendiri. Saya tidak tahu apakah jawaban ini memuaskan semua
pihak, namun saya tegaskan bahwa jihad berarti menyebarkan agama Islam yang
bisa dilakukan melalui cara damai dan tak ada paksaan dalam agama seperti
tercantum dalam surat
Al-Baqarah: 254. Ini saya sampaikan ketika salah seorang menanyakan tentang
adanya misi dalam Islam seperti yang dilakukan para missionaries.
Dialog
cukup seru ini sebenarnya bukanlah dialog tentang teologi. Apabila pada
akhirnya pembicaraan mengarah pada perbedaan konsep dalam Islam dan Kristen
(sayang sekali wakil dari Judaisme berhalangan datang), semua yang hadir sudah
menyadari sejak awal. Seusai diskusi buku, masih ada beberapa orang yang
tinggal untuk melanjutkan dialog dan menjelaskan tentang konsep Ketuhanan dalam
Kristen, serta mencari tahu apakah Qur’an juga ditulis oleh beberapa orang
seperti halnya Bible. Ketika saya katakan bahwa hanya ada satu Qur’an,
diturunkan oleh Allah, dan isinya tak berubah sejak 14 abad yang lalu, dalam
teks bahasa Arab dan wajib dipahami maknanya menurut bahasa kita masing-masing.
Dia berkomentar, “that’s interesting”.
Saya
menyadari bahwa dialog yang kami lakukan ini masih belum apa-apa dibandingkan
dialog antar agama, dengan melibatkan para tokoh agama, yang sering diadakan di
Amerika sejak tragedi 11 September. Mereka yang hadir mengatakan bahwa kini mereka
lebih memahami Islam. Bahkan salah seorang mengatakan, saya sekarang lebih tahu
banyak tentang Islam daripada tentang Kristen sendiri. Apakah ini gurauan atau
tidak, tapi saya menangkap ketulusan mereka dalam menerima cara hidup yang
berbeda dengan dengan antusias ingin
lebih mengenal perbedaan agar lebih bisa memahaminya.
Ketika
setiap orang mengucapkan terima kasih atas penjelasan saya, tidak banyak yang
tahu diantara mereka bahwa sebenarnya saya justru banyak belajar dari mereka
dan betapa beruntungnya saya diberi kesempatan untuk berbagi pemahaman dengan
mereka. Menoleh kembali ke tanah air, saya diingatkan tentang cara hidup saya
yang menganggap banyak hal sebagai hal yang lumrah, sehingga jarang betul-betul
bertanya pada diri dan mencari tahu kebenaran dari sumber aslinya. Toh semua
orang tahu cara orang sholat, dan tetangga yang non-muslim pun akrab dengan
suara adzan dari masjid gang sebelah. Banyak hal menjadi begitu biasa sehingga saya
tidak peka bahwa barangkali, ada kesenjangan yang mestinya bisa disikapi dengan
dialog. Atau barangkali kita cenderung menghindari konflik yang acapkali timbul
dalam dialog. Ketika adzan tidak lagi bisa terdengar dari mesjid gang sebelah,
saat orang lain bertanya banyak “mengapa” tentang Islam, saya semakin tersadar
bahwa saya harus betul-betul melihat kedalam sebelum bisa membuat orang lain
memahami agama saya.
Saya
bukanlah orang yang dikenal publik. Saya hanyalah seorang mahasiswa S-2 yang
sedang berjuang menata hati dan pikiran. Barangkali saya tidaklah mewakili
banyak orang di tanah air, dan bisa jadi teman-teman baru saya juga bukanlah
wakil dari suara orang Amerika. Tapi paling tidak, kami belajar untuk saling
mendengarkan, saling bertanya, tidak merasa benar sendiri, agar nantinya kami
bisa saling memahami. Akan halnya muncul perbedaan yang tak bisa ditemukan,
kami sepakat untuk tidak sepakat. Alangkah indahnya dunia bila perbedaan
membuat kita semakin mengenal satu sama lain. Adakah kesimpulan saya juga Anda
rasakan kebenarannya?
San Marcos, Texas, Januari 2003
Love Poems
Although I like writing poems, I never really have the guts to share mine with others. It's funny, since as a teacher of literature, I keep motivating my students to write and share their writings with their friends. The biggest fear is when you fear to fight your fear, and I surely don't want to be one with such fear. So, here they are! For the very first time in my life, I dared to send some of my love poems to a competition. The excitement of sending them to the committee was quite a thrill, although it is "only" a competition held by a tabloid. I don't really care whether I'll win or not, as long as I know now that there are thoughts that need exploring and expressing, so they won't be left as thoughts only.
MENJELANG ULANG TAHUN TANPA DIRIMU
Aku mencintaimu dengan seluruh jiwaku,
tapi cinta ini sering membelenggu sukmaku,
keraguan kerap menyusup ke tulang-tulangku,
bagaikan dingin yang membekukan darah,
kala hujan Januari seperti tak hendak reda.
Aku selalu rindu padamu tanpa tahu waktu,
namun racunnya melumpuhkan syarafku,
melemahkan sendi-sendi gerakku,
seakan hantu-hantu masa lalu,
menyusahkan langkah ke depanku.
Ingin kubuang hati rapuh ini,
kuganti rindu cinta yang melebarkan luka,
terlalu banyak yang aku tak tahu di depanku,
terlalu tebal kabut yang menghalangi jalanku,
tak siap dengan serakan kerikil tajam menghadang.
Ada cinta lain yang sedang kuraih dariNya,
kutenggelamkan sukma-ragaku untuk selalu mendekapNya,
dibuatNya aku mabuk kepayang mereguk arak murniNya,
Sepenuh-penuhnya kupasrahkan diri untukNya,
Kutahu takkan ada janji yang diingkariNya..
Tangisku sepanjang malam,
diusapNya dengan lembut,
dihiburNya kalbuku dengan kalimat-kalimat suciNya,
segala keluhanku didengarNya,
dengan kesabaran sepanjang langit membentang.
Hatiku buatmu yang menjeratku,
takkan kutunggu sampai membusuk,
telah kupinta hati lain yang disinariNya,
semoga tak hanya aku yang bisa lagi terbang bebas,
semoga tak hanya engkau yang tersenyum lepas.
Janganlah tarik aku dari cintaNya,
sudah mencandu rindu hanya untukNya,
genggaman tanganNya tak tertahankan kuatnya,
mendorongku untuk selalu tersenyum,
meski warna langit tak henti berganti rupa.
Karena Dia, cinta ini tak bisa kuukur lagi untukmu
demi diriNya, kupersembahkan rindu hanya untukmu
dalam kesenyapan kupanjatkan kepadaNya,
semoga kepasrahan membawaku,
pada kasih lebih putih untukmu.
(San Marcos, 2 Agustus 2003; di antara sepi yang menenangkan, ditemani kalimat-kalimat suci berkumandang)
+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
CINTA YANG MEMBEBASKAN
Ada kenikmatan dalam cinta yang membebaskan,
saat meniti langkah di pematang kehidupan,
berserak kerikil dan onak-onak tajam,
menyeruak di antara hijau dedaunan,
dan kembang musim semi yang bermekaran.
Buku putih penuntun jalanku,
insan hanya bisa ayunkan langkahnya,
mengikuti goresan pena Sang Pengarang,
namun jika langkah teguh ikuti arah,
bahkan kegagalanpun akan terasa nikmatnya.
Kehidupan setelah kehidupan,
kala semuanya ditentukan
di sisi mana kita akan ditempatkan,
dan hanya Dia Pemberi Ridho,
Sang Penentu gerbang yang kan kita lewati.
Maka memintalah selalu kerelaan dariNya,
untuk apapun yang kau bina,
dan Ia kan mengatur segalanya.
MENJELANG ULANG TAHUN TANPA DIRIMU
Aku mencintaimu dengan seluruh jiwaku,
tapi cinta ini sering membelenggu sukmaku,
keraguan kerap menyusup ke tulang-tulangku,
bagaikan dingin yang membekukan darah,
kala hujan Januari seperti tak hendak reda.
Aku selalu rindu padamu tanpa tahu waktu,
namun racunnya melumpuhkan syarafku,
melemahkan sendi-sendi gerakku,
seakan hantu-hantu masa lalu,
menyusahkan langkah ke depanku.
Ingin kubuang hati rapuh ini,
kuganti rindu cinta yang melebarkan luka,
terlalu banyak yang aku tak tahu di depanku,
terlalu tebal kabut yang menghalangi jalanku,
tak siap dengan serakan kerikil tajam menghadang.
Ada cinta lain yang sedang kuraih dariNya,
kutenggelamkan sukma-ragaku untuk selalu mendekapNya,
dibuatNya aku mabuk kepayang mereguk arak murniNya,
Sepenuh-penuhnya kupasrahkan diri untukNya,
Kutahu takkan ada janji yang diingkariNya..
Tangisku sepanjang malam,
diusapNya dengan lembut,
dihiburNya kalbuku dengan kalimat-kalimat suciNya,
segala keluhanku didengarNya,
dengan kesabaran sepanjang langit membentang.
Hatiku buatmu yang menjeratku,
takkan kutunggu sampai membusuk,
telah kupinta hati lain yang disinariNya,
semoga tak hanya aku yang bisa lagi terbang bebas,
semoga tak hanya engkau yang tersenyum lepas.
Janganlah tarik aku dari cintaNya,
sudah mencandu rindu hanya untukNya,
genggaman tanganNya tak tertahankan kuatnya,
mendorongku untuk selalu tersenyum,
meski warna langit tak henti berganti rupa.
Karena Dia, cinta ini tak bisa kuukur lagi untukmu
demi diriNya, kupersembahkan rindu hanya untukmu
dalam kesenyapan kupanjatkan kepadaNya,
semoga kepasrahan membawaku,
pada kasih lebih putih untukmu.
(San Marcos, 2 Agustus 2003; di antara sepi yang menenangkan, ditemani kalimat-kalimat suci berkumandang)
+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
CINTA YANG MEMBEBASKAN
Ada kenikmatan dalam cinta yang membebaskan,
saat meniti langkah di pematang kehidupan,
berserak kerikil dan onak-onak tajam,
menyeruak di antara hijau dedaunan,
dan kembang musim semi yang bermekaran.
Buku putih penuntun jalanku,
insan hanya bisa ayunkan langkahnya,
mengikuti goresan pena Sang Pengarang,
namun jika langkah teguh ikuti arah,
bahkan kegagalanpun akan terasa nikmatnya.
Kehidupan setelah kehidupan,
kala semuanya ditentukan
di sisi mana kita akan ditempatkan,
dan hanya Dia Pemberi Ridho,
Sang Penentu gerbang yang kan kita lewati.
Maka memintalah selalu kerelaan dariNya,
untuk apapun yang kau bina,
dan Ia kan mengatur segalanya.
Subscribe to:
Posts (Atom)