Youssef baru saja menelponku, menanyakan apakah aku ada rencana keluar hari ini. “Bagaimana kalau kita ngobrol, sudah lama kita tidak ketemu, kamu belum sarapan kan ? Katanya sebelum menutup telpon.
Anak muda tampan dari Maroko ini kukenal sejak hari pertama aku datang di San Marcos , dan kami sama-sama tinggal di International Housing sebelum pindah ke apartemen kami masing-masing. Sekarang ia tinggal di sebelah gedung apartemenku. Dia banyak membantuku mengenalkan tempat-tempat disekitar kampus, dan bahkan sempat mengajariku mengaji untuk menghilangkan kegelisahan.
Kami berjalan menuju Subway fastfood restaurant. Tempatnya kecil, tapi nyaman, dan yang penting, burgernya murah tapi mengenyangkan. Maklum hidup bagaikan anak kos, yang harus selalu memperhitungkan setiap pengeluaran.
“Kamu tak pernah menelponku”, ujar Youssef.
“Ah bukan begitu, tapi aku tahu kamu sibuk dengan kuliah dan tugas-tugasmu. Lagipula kan kamu masih muda, banyak menghabiskan waktumu dengan teman-teman sebayamu selama weekend”
“Still, Tiwi, kita ini kan bersaudara, sama-sama muslim, kalau kamu butuh sesuatu, jangan segan-segan memberitahu”
“Well, ok, sorry kalau ini sedikit mengganggumu.”
“No problem, I’m just concerned about you.” Bagaimana kabarmu, dimana biasanya kamu makan, aku tidak pernah ketemu kamu di cafeteria manapun” tanya Youssef.
Yusuf, begitu aku lebih suka memanggilnya, lebih terasa Indonesianya di lidahku. “Sejak 2 bulan lalu kita sering sarapan di Subway ini semasa kita di International Office, aku tidak pernah lagi makan di luar. Aku masak sendiri kok”
“Hmm, jago masak ya! Jadi kamu belanja daging dan ayam dimana, siapa yang biasanya mengantarmu kesana?
Si Yusuf ini, kalau sudah bertanya tidak pernah bisa dihentikan lagi. Belanja bukanlah hal yang sulit, semua orang tahu itu. Ada HEB dan Wall-mart yang buka 24 jam, dan barang-barangnya lengkap . Lagipula kemana lagi orang mau berbelanja di kota kecil yang sepi ini. Pergi kesana juga bukanlah jadi masalah. Biasanya aku naik bis kampus route Bobcat Stadium yang berhenti tepat dibelakang HEB, dan pulang dengan bis yang sama. Tinggal nanti ganti bis di Student Centre, ambil route LBJ menuju apartemenku.
Yusuf memesan footlong sandwich isi sayuran dan daging, sedangkan aku seperti biasa, memesan porsi separonya dengan isi ikan tuna. Beberapa kali makan di Subway, aku tidak pernah memesan yang lain.
“Kenapa kamu tidak makan daging atau ayam, Tiwi. You’re so thin, kamu harus makan yang lebih bergizi dong!”
“No, Yusuf, aku tidak yakin apakah daging atau ayamnya halal. Asal kamu tahu, meski aku masak sendiri, aku tidak pernah membeli daging atau ayam di HEB atau Wall-mart. Kamu kan tahu, kalau kamu ragu, sebaiknya dihindari. Kamu lebih pinter tentang agama dari aku, kamu paham Qu’an karena itu bahasamu sendiri. So, you tell me, seharusnya bagaimana?”
Halal atau haram? Selama 2 bulan tinggal di Amerika ini, pertanyaan ini selalu menggangguku. Kedekatanku dengan 2 muslimah di kampus, Shazia dan Zeenat, membawaku pada pemahaman bahwa banyak produk di supermarket yang tidak halal. Kalau mau membeli sesuatu, cek betul komposisinya, kamu tidak ingin tubuhmu dimasuki barang haram kan ,” begitu jelas Shazia suatu kali. Cek di situs-situs Islami, bahan apa saja yang seharusnya dihindari.
Suatu kali kutemukan daftar panjang produk di pasaran yang dilabeli haram oleh Asosiasi Muslim di Amerika, dan yang meragukan. Aku jadi miris, jadi barang-barang atau cookies yang aku makan ini juga haram? Sejak itu aku amat membatasi diri dengan segala konsumsi yang aku beli, dan ini diprotes Yusuf.
“Tiwi, we live in America , kamu tidak bisa menghindarkan diri dari barang-barang yang barangkali mengandung minyak babi or something. Lagipula, aku sudah pernah bertanya pada ulama di Maroko. Kalau tidak ada pilihan, makan daging dan ayam di Amerika tidak berdosa. Yang penting baca Bismillah dulu, itu sudah menghalalkan makanan itu.
“Do you really think so? Well, I don’t buy that Yusuf”. Aku tidak sependapat dengan pandangan itu. Masalahnya disini banyak pilihan untuk tidak makan daging. Masih banyak ikan laut, telur, atau kalau mau, ya jadi vegetarian sekalian. Buat aku, tidak apa aku tidak makan daging selama aku tinggal disini” Aku berusaha membela.
“Ya sudah terserah, but I’m telling you, it’s ok”
“Ya tak apa, kita sepakat untuk tidak sepakat”.
Alhasil, sudah sembilan bulan aku hidup di San Marcos . Hanya sekali aku sempat pergi ke Halal Store milik orang Pakistan di Austin, dan saat itu pula aku bisa beli beberapa produk daging. Lumayanlah, satu bulan bisa merasakan nikmatnya rending daging dan ayam goreng tepung buatan sendiri. Begitu habis, ya kembali ke rutinitas diet tanpa daging.
Aku masih tetap berbeda pendapat dengan Yusuf, dan bahkan suamiku juga mengingatkan aku untuk tidak mempersulit diri. “Aku rasa Yusuf benar, yang penting berdoa dulu sebelum makan. Aku juga pernah mendengar khotbah tentang hal ini kok di mesjid.” Lalu tambahnya, “Lihat dirimu, sembilan bulan disana kok tidak tambah gemuk? Ya sudah, mumpung pulang kampung, kamu minta makan apa saja akan aku turuti.”
Halal atau haram? Aku sudah menanyakan ke banyak orang tentang boleh tidaknya makan daging atau ayam di Amerika, dan selama itu pula, beberapa pendapat juga berseliweran. Akhirnya aku menetapkan diri, karena aku punya meyakini ayat di Qur’an jelas menyebutkan, sementara disini masih banyak pilihan, antara lain pilihan untuk tidak makan daging, aku teruskan rutinitasku dengan ikan laut. Toh aku masih bisa sehat sampai saat ini. Semoga saja Yang Maha Menatap meridhoi niatku ini. Pendapat mana yang benar, Wallahu ‘alam.
13 Juli 2003