Sudah beberapa bulan terakhir ini saya meminta Abay, ART saya untuk tidak datang terlalu pagi. Dia kos di kampung sekitar Kebraon. Saya melihat tidak lagi ada urgencynya untuk menyiapkan sarapan pagi-pagi ketika saya sendiri praktis WFH tiap hari.
Bekerja menatap laptop dan melakoni zoom sessions beruntun dan sering simultan hampir tiap hari membuat saya mengalami zoom fatigue. Saya butuh relaksasi memecah rutinitas pekerjaan berlapis yang sebenarnya malah jadi tidak fokus.
Rutinitas baru di pagi hari adalah menyiapkan sarapan. Terutama buat Mas Prapto yang WFO terus. Dia biasanya berangkat ke kantor sekitar pukul 7. Jadi saya menyediakan waktu maksimal 1 jam untuk umeg di dapur. Biasanya pukul 6 semua sudah tersaji di meja makan Ganta, Adzra, dan saya bisa sarapan jam berapa saja karena kami tidak ke luar rumah.
Menyediakan waktu bekerja di dapur di pagi hari ternyata menjadi relaksasi dan inspirasi. Sembari minum kopi, Mas Prapto menemani saya. Ngobrol ringan. Membayar waktu us time yang kadang terlewat di hari sebelumnya. Berdua saja. Anak-anak masih di kamar di lantai atas, cenderung kembali memeluk guling seusai shalat Shubuh.
WFH membawa model kerja baru. Batas hari libur dan hari kerja jadi tidak jelas. Setidaknya buat saya Mau bagaimana lagi, saat suami pulang kerja lepas maghrib, saya masih di depan laptop. Sering sampai lewat pukul 9 malam. Kapan dulu dia bilang begini ke Adzra. "Dzra, ibuk itu ya. Ayah pulang sore, di depan laptop. Pulang malam, sik ngezoom. Itu laptopnya apa gak protes ya." Saya nyengir saja. Wong saya ya pingin mengurangi screen time, dan belum berhasil.
Kompensasi saya adalah waktu masak di pagi hari. Ngobrol berdua dengan suami sembari masak jadi quality time yang saya tunggu tiap pagi. Sering juga saat masak, saya malah dapat wangsit atau troubleshooting untuk tugas-tugas yang belum kelar.
Ini mengingatkan saya pada hari-hari di Melbourne dulu. Waktu memasak menjadi waktu mencari inspirasi menulis tesis. Tiba-tiba saja 'tuing', dan langsung cari buku catatan dan orer-oret (lalu tiba-tiba ada bau gosong).
Minggu pagi identik dengan pecel. Ditambah dengan tempe goreng dan omelette (my signature dish). Cuma gitu aja. Sederhana. Tidak ada yang istimewa. Yang spesial adalah karena Ibu dan Bapak saya lagi nginep di rumah. Semoga hidangan anak sulung bisa berfaedah. Meski dari segi rasa, masakan ibu saya selalu juara satu. Saya mah tidak kecipratan bakatnya.
Inspirasi pagi yang 'tuing' saat menggoreng omelette adalah: buat rekaman video untuk kelas besok karena akan ada rangkaian rapat offline di kampus. Video diunggah di YouTube dan share link ke Google Classroom. Topik di kelas Intercultural Communication besok adalah Cultural Identity and Diaspora. Mungkin saya bisa unggah foto hidangan pecel ini dan bertanya: apakah Indonesian diaspora masih suka menghadirkan pecel di meja makan? Kalau pas di Melbourne dulu, cara saya menghidangkan pecel adalah dengan mengakali sayurnya. Apa saja yang lagi 'sale'. Yang penting ada bumbu pecelnya. Saya harus punya bumbu pecel di rumah (apartemen). Entah dengan beli di Asian Store atau stock bumbu gunting. Itu sebutan saya untuk bumbi instant. Setiap kali suami datang dari Indonesia, dia selalu bawa berbagai bumbu satu koper.
Lain lagi cerita sohib ya yang pinter dan manis, dik Yuseva Wardhana. Dia lagi studi PhD di Ohio State University di Columbus, OH. Baca postingan saya di FB, dia ikut komentar seperti ini:
Beberapa hari yang lalu saya habis mecel lho Bu
Pratiwi Retnaningdyah
. Kecambahnya nunggu 4 hari "thukul" dulu, daun katesnya saya ganti Kale yang rasanya cukup saudaraan, plus kobis, wortel, timun, kacang panjang. Lauknya cukup krupuk bulet beli di Asian Market. Sambil makan sambil berefleksi untuk lebih menghargai apa yang dulu mudah sekali di dapat di Indonesia, di sini musti usaha ekstra.