Suka beli dan pakai barang bekas nggak? Saya suka. Karena murah, dan seringkali masih bagus atau sangat unik. Gak takut kotor atau kena penyakit? Yah, memangnya toko yang jual barang bekas itu bulukan atau penuh debu!
Di Surabaya, pikiran kita seringkali melayang ke Pasar Gembong dalam urusan barang bekas. Atau mungkin Pasar Wonokromo di malam hari, di mana puluhan pedagang dan pembeli membaur di keremangan malam di pinggir stasiun. Kalau mau lihat-lihat, harus mikir dua tiga kali untuk masuk ke area itu. Hehe...belum pernah nyoba sih. Cuma lewat aja.
Di luar negeri, sebaiknya pikiran malu pakai barang bekas dibuang jauh-jauh. Dengan catatan, kalau memang pingin ngirit, tapi tetap bisa fashionable. Second-hand stores sering dikenal juga sebagai op-shops atau thrift stores. Toko-toko barang bekas di Melbourne tidak ubahnya seperti toko kebanyakan. Bersih, tertata rapi, dan enak dipandang. Di sepanjang Sidney Road, Brunswick, yang dekat dengan tempat tinggal saya, ada lumayan banyak op-shop (opportunity shops) yang menjual barang bekas murah dari hasil donasi. Yang terbesar, Savers, memajang berbagai jenis baju, jaket, sepatu, tas, barang pecah belah, buku, dsb. Mau cari barang dari harga 1 dolar sampai 40 dolar, semua ada. Bahkan kalau sedang beruntung saat memilih-milih, seringkali kita bisa menemukan barang yang masih baru. Jujur, hampir semua jaket tebal dan sweater saya dapatkan di Savers dengan harga antara 3-9 dolar. Saya juga menemukan sepatu Nike, for women, dengan hanya 8 dolar. Masih sangat bagus dan trendy pastinya. Jadilah saya lebih sering pakai sepatu ini ke kampus.
Savers mengingatkan saya pada Goodwill dan Salvation Army yang juga suka saya datangi saat di San Marcos, Texas, 8-9 tahun yang lalu. Banyak barang aneh-aneh yang bisa ditemukan dan layak dikoleksi. Tentu saja masih banyak toko yang lebih kecil. Salvos, misalnya, tidak sampai 5 menit jalan dari apartemen saya. Kalau lagi bosen di rumah, saya suka nengok ke sana. Mencari harta karun yang belum sempat ditemukan.
Ya, harta karun. Sebenarnya, salah satu daya tarik yang paling kuat bagi saya di second-hand stores adalah buku-buku yang terpajang rapi. Saya suka berlama-lama melihat judul buku satu-persatu, dan selalu saja menemukan novel atau buku yang sejak dulu ingin saya punyai. Baik itu di Savers, Salvos, Vinnies, atau bahkan di salah satu suburban area, di Camberwell, di mana 'pasar kaget' berlangsung pada hari Minggu. Kalau dihitung-hitung, selama 5 minggu saya di sini, sudah ada 16 novel/buku sastra yang saya beli. Siapa yang tidak ngiler kalau menemukan Sophie's World dengan harga 3 dolar? Atau Da Vinci Code dengan kondisi sangat bagus hanya dengan menebus 4 dolar, dan Blink, The Power of Thinking without Thinking yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan 3 dolar juga? Atau juga buku anak-anak dengan kemasan hardcover dengan hanya 1 dolar? Buku-buku seperti itu, saya ingat di Periplus Supermall, dijual dengan harga minimal 75 ribu. Mau dapat yang gratis juga bisa kok. Seperti 2 buku puisi dari William Blake dan Yeats yang saya temukan di garage sale. Yang empunya sebenarnya menjualnya dengan harga 2 dolar, tapi melihat saya bolak-balik membuka-buka buku itu, akhirnya diberikan saja ke saya.
Bicara buku gratis, saya jadi ingat ketika dosen saya, Dr. Susan Morrison, saat di Texas dulu, mau cuti ke Inggris untuk menulis buku. Istilahnya, ambil sabbatical year. Dia bilang mau membuang buku-bukunya di rumah yang sudah tidak lagi dia pakai. "Wow..wow..wow, don't throw them away, give them to me," begitu pinta saya. Benar juga, 2 minggu kemudian, saya diminta mengambil 2 box buku-buku sastra yang tebal-tebal. Gratis..tis. Tidak bisa saya bayangkan habis berapa juta kalau saya harus membeli semua buku itu.
Hampir semua buku saya di ruang baca saya di rumah merupakan hasil perburuan harta karun, baik yang model 2 dolar per buku, atau yang model kiloan. Ya, persis seperti orang beli kain kiloan. Perpustakaan di Texas State University-San Marcos, tempat saya sekolah dulu, sering mengadakan sidewalk sale dan menjual buku-buku yang sudah dianggap out-of-date. Ini bukan berarti bukunya jadul, tapi karena edisi terbaru sudah keluar, jadi edisi tahun sebelumnya otomatis jatuh harga. Bayangkan nikmatnya membeli buku-buku yang masih kinyis-kinyis, dengan harga 25 cents/lbs. Di tahun 2004, itu kira-kira seharga 2500 rupiah/2,5 kg. Buku apapun, pokoknya ditimbang untuk menentukan harga.
Saya masih belum tahu apakah perpustakaan atau bookstore di kampus saya sekarang juga punya model penjualan seperti ini. Tapi pojok-pojok kota sudah memberikan tantangan perburuan harta karun. Jadi, kalau awalnya niat blusukan ke second-hand stores untuk cari winter clothes, sekarang arah angin tampaknya sudah berubah. They're certainly not trash, but real treasure!
Brunswick yang cukup hangat hari ini,
13 Oktober 2011
Each and every minute counts if you always try to look around and see that even a falling leaf or a small drop of rain means something. But its meaning may fade quickly, unless you make an effort to keep the track.
Thursday, October 13, 2011
Wednesday, September 28, 2011
Hoping to always be on the right track
Apa yang paling membuat seorang mahasiswa deg-degan ketika akan bertemu dengan supervisor skripsi/tesis/disertasinya? Berbagai perasaan pastilah berkecamuk. Tapi barangkali yang paling mengemuka adalah pertanyaan, "is my idea good and interesting enough for a research?" Setidaknya, inilah perasaanku saat akan menemui supervisorku.
Selama tiga minggu ini, aku sudah tiga kali bertemu dengan supervisorku. Pada hari pertama aku tiba, aku datang ke kantornya sesuai janji kami di email sebelum aku berangkat. Aku datang untuk 'setor wajah' saja, seraya memperkenalkan diri. Dr. Fran Martin namanya. Ya Allah, cantik sekali orang ini. Tinggi semampai, dan masih muda lagi. Aku katakan padanya bahwa baru hari ini aku sampai, dan belum punya bahan apa-apa untuk konsultasi, karena memang aku masih harus menyelesaikan semua administrasi akademik sebagai mahasiswa baru. Dengan ramah dia katakan, "I perfectly understand. Let's set up a meeting next week to have an informal chat about your project." Hmm, istilah yang dia gunakan, 'informal chat' membuatku merasa nyaman. I like this young lady already.
Pertemuan kali kedua terjadi satu minggu kemudian, setelah sebelumnya Dr. Martin mengatur pertemuan via email agar pembimbingku yang kedua juga bisa hadir. Menjelang pukul 2.30 siang sesuai perjanjian, aku menuju ke lantai 2, East Tower, John Medley Building, tempat Centre for Screen and Cultural Studies berpusat. Dua menara yang berdiri menggawangi gedung ini memang menjadi 'welcoming building' di The University of Melbourne. Ini mengingatkanku pada The Two Towers: Lord of the Rings episode kedua.
Di koridor aku bertemu dengan gadis yang amat 'chic' dengan dandanan a la cowboy girl. Kaget sekali ketika si gadis itu menyapaku, "Hi Tiwi, just give me a second, ok." Waduh, hampir pangling aku, si gadis ini ternyata Dr. Fran Martin, supervisor utamaku.
Kali ini aku berhadapan juga dengan co-supervisorku. Dr. Chris Healy, yang menyapaku dengan ucapan "Selamat datang." Aku tertawa riang dan kujawab, "terima kasih." Dr. Healy nampak lebih senior dan jelas lebih matang. Ini pertemuan 'resmi' kami untuk membahas research proposalku. Tak ingin memberikan kesan yang mengecewakan, aku berupaya siap dengan proposal yang sudah sempat aku update sehari sebelumnya. Hasil nongkrong di main library sampai malam di hari-hari pertamaku. First impression counts. Kusodorkan chapter outline yang juga sudah sempat aku susun. Niatnya ingin menunjukkan bahwa ideku sudah lumayan tertata. Mereka berdua sangat attentive dan appreciative. Berbagai pertanyaan yang mereka berikan memang memberi kesan bahwa topikku menarik untuk dieksplorasi, namun pada saat yang sama, membuka otakku bahwa ada masih banyak angle yang menarik dan patut dipertimbangkan untuk diteliti juga. Intinya, take your time, Tiwi. You have 12 months to finalize your proposal. All you need to do now is do a lot of reading on this area. Aku jadi malu sendiri, inginnya memberi kesan bahwa aku siap tempur, tapi ternyata aku masih diminta 'bertapa' dulu mengumpulkan tenaga dalam.
Topikku, "Unveiling the lives of Indonesian migrant workers; Race, gender, and class in migrant literature" akan masuk dalam ranah Cultural Studies. Ini salah satu pendekatan teori sastra yang 10 tahun belakangan ini semakin merambah dunia kritik sastra, dan semakin mengaburkan batas geografis karya-karya sastra di dunia. Niatku antara lain juga hendak melihat sastra buruh migran sebagai bagian dari transnational literature. Saudara-saudara kita yang menjadi TKW di Hongkong dan Taiwan tidak bisa lagi dinina-bobokkan dengan gelar Pahlawan Devisa. Mereka punya suara. Tulisan mereka, novel, cerpen, dan puisi merekalah yang menjadi corong untuk membuat mereka lebih didengar.
Kedua supervisorku kebetulan juga adalah orang-orang dengan dasar pendidikan sastra yang kuat, dan kemudian menceburkan diri di ranah Cultural Studies, terutama Hongkong dan Taiwanese culture. Klop sudah. Gantilah giliranku untuk mengakui bahwa aku perlu masukan tentang referensi yang terkait dengan research methods in Cultural Studies, selain juga penelitian sebelumnya tentang labour migration dan transnational mobility. Seraya memintaku untuk lebih informal, "Just call me Fran," Dr. Martin berjanji akan segera meng-email-ku untuk reading suggestions dan menentukan jadwal konsultasi berikutnya. In two weeks time. Aku pamit, dan Dr. Healy melambai, "sampai jumpa nanti." Kujawab juga, "sampai nanti."
Tak sampai 1 jam, pesan baru masuk di inbox di email baruku sebagai mahasiswa di sini. Ya, semua korespondensi terkait dengan administrasi akademik harus dilakukan melalui university email system di university portal. Dr. Martin, atau Fran, mengirimkan file attachment berisi daftar bacaan yang panjaaang. Aku ternganga, surprised dengan response yang sangat cepat, dan kukira bahkan sudah disiapkan sebelumnya, bahwa aku perlu membaca semua referensi itu. Ucapan terima kasihku saat menjawab email Fran rasanya tak cukup, dan aku menebusnya dengan segera hunting buku-buku dan artikel yang direkomendasikan. Semuanya ada, kudownload semua yang berbentuk electronic files, dan kupenuhi backpack dan tas kainku dengan buku-buku. Overwhelmed, exhausted, not knowing where to start.
Dua minggu berlalu. Dan siang tadi adalah jadwal konsultasi kedua. Aku tidak yakin apakah aku bisa membawa ide-ide baru dari hasil pembacaanku selama 2 minggu ini. Sejujurnya, ada sedikit rasa bersalah, karena aku tidak setiap hari nongkrong di kampus untuk tekun membaca dan mulai menulis draf. Sebenarnya, sebagian hari-hariku terisi dengan dengan jalan-jalan, bertemu dengan teman-teman baru, dan juga dengan teman-teman lain yang sudah lebih dahulu hadir di Melbourne. Aku masih tetap membaca tiap hari, di sela-sela masak, chatting, skype, ikut pengajian, shopping, dan jepret sana-sini. Entahlah apakah aku agak lengah, tapi Lala, kolega di jurusan yang baru selesai MA nya di Aussie, mengatakan, 'come on bu, you just arrived.' It's ok to enjoy your time.'
Kuketuk pintu kantor Fran yang terbuka, dan senyumnya yang ramah menyapaku. "How is everything, Tiwi. Are you settling in ok?" Oh, bukan pertanyaan tentang progress proposalku ternyata yang dia tanyakan. Setelah basa-basi, aku ulangi permintaan maafku yang kutulis di email pada hari sebelumnya, bahwa aku belum bisa menyodorkan tulisan dengan ide baru, tapi segudang pertanyaan yang ruwet memenuhi ruang otakku. "It's absolutely fine. In fact, that's what usually happens in the first 3 months of supervision. As I said, just read as much as you can," Fran menenangkan kekhawatiranku. Kusodorkan 1 lembar bolak-balik yang berisi isu-isu penting dan layak diteliti (menurutku) dalam sederetan karya sastra BMI. Di halaman berikutnya, sudah kutuliskan juga beberapa research questions, revisi proposal dari hasil pembacaan selama 2 minggu. Kuberondong Fran dengan berbagai pertanyaan tentang kemungkinan teori dan teknik analisis dan sudut pandang yang bisa aku pakai. "Am I on the right track, Fran?" Dalam hati, aku ingin ketawa, mengingat sebagian mahasiswa sastra Inggris Unesa yang suka 'menggangguku' via email, YM, dan FB, dengan pertanyaan-pertanyaan mereka untuk persiapan seminar skripsi mereka. Dear students, just as Fran is helping me with her wonderful suggestions, I want to make myself useful too, by trying to help you shape up your topic. That's the least I can do for now. We're on the same boat now. Your confusion is mine, too.
Langkahku ringan sekali setelah pertemuan siang ini. Fran meyakinkan aku bahwa aku sudah menunjukkan progress yang terarah. "It's been only three weeks, but you already have a clear idea,"begitu katanya. Semoga tetap terjaga arahnya sampai hari-hari mendatang, doaku.
Senja Melbourne semakin gelap, diiringi hujan dan petir yang sesekali menyambar. Aku tidak bisa lari ke Prayer room di Pelham street, dekat Unimelb square untuk shalat Maghrib. Di salah satu sudut study space yang sepi di Baillieu Library, kubentangkan sajadah pemberian Ella, sahabatku. Kusyukuri rahmat yang diberikan Allah padaku hari ini, sehingga urusanku lancar.
Hujan semakin deras ketika aku menunggu tram di seberang kampus. Di sebelahku, pemuda bule Aussie manggut-manggut mengikuti musik di IPhone-nya. Kuselipkan headphone di telingaku. Kupencet icon IPod di IPhone-ku. Lantunan surah Ar-Rahman mengundang titik haru di pelupuk mataku. Kutundukkan kepalaku menahan rasa.... Dan tram route 19 pun akhirnya datang. Rasa basah di pipiku telah bercampur dengan tetesan hujan, saat aku berlari kecil, meloncat masuk ke pintu tram. Fa-biayyi alaa'i Rabbi kuma tukadzdzi ban. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Brunswick, 28 September 2011.
Selama tiga minggu ini, aku sudah tiga kali bertemu dengan supervisorku. Pada hari pertama aku tiba, aku datang ke kantornya sesuai janji kami di email sebelum aku berangkat. Aku datang untuk 'setor wajah' saja, seraya memperkenalkan diri. Dr. Fran Martin namanya. Ya Allah, cantik sekali orang ini. Tinggi semampai, dan masih muda lagi. Aku katakan padanya bahwa baru hari ini aku sampai, dan belum punya bahan apa-apa untuk konsultasi, karena memang aku masih harus menyelesaikan semua administrasi akademik sebagai mahasiswa baru. Dengan ramah dia katakan, "I perfectly understand. Let's set up a meeting next week to have an informal chat about your project." Hmm, istilah yang dia gunakan, 'informal chat' membuatku merasa nyaman. I like this young lady already.
Pertemuan kali kedua terjadi satu minggu kemudian, setelah sebelumnya Dr. Martin mengatur pertemuan via email agar pembimbingku yang kedua juga bisa hadir. Menjelang pukul 2.30 siang sesuai perjanjian, aku menuju ke lantai 2, East Tower, John Medley Building, tempat Centre for Screen and Cultural Studies berpusat. Dua menara yang berdiri menggawangi gedung ini memang menjadi 'welcoming building' di The University of Melbourne. Ini mengingatkanku pada The Two Towers: Lord of the Rings episode kedua.
Di koridor aku bertemu dengan gadis yang amat 'chic' dengan dandanan a la cowboy girl. Kaget sekali ketika si gadis itu menyapaku, "Hi Tiwi, just give me a second, ok." Waduh, hampir pangling aku, si gadis ini ternyata Dr. Fran Martin, supervisor utamaku.
Kali ini aku berhadapan juga dengan co-supervisorku. Dr. Chris Healy, yang menyapaku dengan ucapan "Selamat datang." Aku tertawa riang dan kujawab, "terima kasih." Dr. Healy nampak lebih senior dan jelas lebih matang. Ini pertemuan 'resmi' kami untuk membahas research proposalku. Tak ingin memberikan kesan yang mengecewakan, aku berupaya siap dengan proposal yang sudah sempat aku update sehari sebelumnya. Hasil nongkrong di main library sampai malam di hari-hari pertamaku. First impression counts. Kusodorkan chapter outline yang juga sudah sempat aku susun. Niatnya ingin menunjukkan bahwa ideku sudah lumayan tertata. Mereka berdua sangat attentive dan appreciative. Berbagai pertanyaan yang mereka berikan memang memberi kesan bahwa topikku menarik untuk dieksplorasi, namun pada saat yang sama, membuka otakku bahwa ada masih banyak angle yang menarik dan patut dipertimbangkan untuk diteliti juga. Intinya, take your time, Tiwi. You have 12 months to finalize your proposal. All you need to do now is do a lot of reading on this area. Aku jadi malu sendiri, inginnya memberi kesan bahwa aku siap tempur, tapi ternyata aku masih diminta 'bertapa' dulu mengumpulkan tenaga dalam.
Topikku, "Unveiling the lives of Indonesian migrant workers; Race, gender, and class in migrant literature" akan masuk dalam ranah Cultural Studies. Ini salah satu pendekatan teori sastra yang 10 tahun belakangan ini semakin merambah dunia kritik sastra, dan semakin mengaburkan batas geografis karya-karya sastra di dunia. Niatku antara lain juga hendak melihat sastra buruh migran sebagai bagian dari transnational literature. Saudara-saudara kita yang menjadi TKW di Hongkong dan Taiwan tidak bisa lagi dinina-bobokkan dengan gelar Pahlawan Devisa. Mereka punya suara. Tulisan mereka, novel, cerpen, dan puisi merekalah yang menjadi corong untuk membuat mereka lebih didengar.
Kedua supervisorku kebetulan juga adalah orang-orang dengan dasar pendidikan sastra yang kuat, dan kemudian menceburkan diri di ranah Cultural Studies, terutama Hongkong dan Taiwanese culture. Klop sudah. Gantilah giliranku untuk mengakui bahwa aku perlu masukan tentang referensi yang terkait dengan research methods in Cultural Studies, selain juga penelitian sebelumnya tentang labour migration dan transnational mobility. Seraya memintaku untuk lebih informal, "Just call me Fran," Dr. Martin berjanji akan segera meng-email-ku untuk reading suggestions dan menentukan jadwal konsultasi berikutnya. In two weeks time. Aku pamit, dan Dr. Healy melambai, "sampai jumpa nanti." Kujawab juga, "sampai nanti."
Tak sampai 1 jam, pesan baru masuk di inbox di email baruku sebagai mahasiswa di sini. Ya, semua korespondensi terkait dengan administrasi akademik harus dilakukan melalui university email system di university portal. Dr. Martin, atau Fran, mengirimkan file attachment berisi daftar bacaan yang panjaaang. Aku ternganga, surprised dengan response yang sangat cepat, dan kukira bahkan sudah disiapkan sebelumnya, bahwa aku perlu membaca semua referensi itu. Ucapan terima kasihku saat menjawab email Fran rasanya tak cukup, dan aku menebusnya dengan segera hunting buku-buku dan artikel yang direkomendasikan. Semuanya ada, kudownload semua yang berbentuk electronic files, dan kupenuhi backpack dan tas kainku dengan buku-buku. Overwhelmed, exhausted, not knowing where to start.
Dua minggu berlalu. Dan siang tadi adalah jadwal konsultasi kedua. Aku tidak yakin apakah aku bisa membawa ide-ide baru dari hasil pembacaanku selama 2 minggu ini. Sejujurnya, ada sedikit rasa bersalah, karena aku tidak setiap hari nongkrong di kampus untuk tekun membaca dan mulai menulis draf. Sebenarnya, sebagian hari-hariku terisi dengan dengan jalan-jalan, bertemu dengan teman-teman baru, dan juga dengan teman-teman lain yang sudah lebih dahulu hadir di Melbourne. Aku masih tetap membaca tiap hari, di sela-sela masak, chatting, skype, ikut pengajian, shopping, dan jepret sana-sini. Entahlah apakah aku agak lengah, tapi Lala, kolega di jurusan yang baru selesai MA nya di Aussie, mengatakan, 'come on bu, you just arrived.' It's ok to enjoy your time.'
Kuketuk pintu kantor Fran yang terbuka, dan senyumnya yang ramah menyapaku. "How is everything, Tiwi. Are you settling in ok?" Oh, bukan pertanyaan tentang progress proposalku ternyata yang dia tanyakan. Setelah basa-basi, aku ulangi permintaan maafku yang kutulis di email pada hari sebelumnya, bahwa aku belum bisa menyodorkan tulisan dengan ide baru, tapi segudang pertanyaan yang ruwet memenuhi ruang otakku. "It's absolutely fine. In fact, that's what usually happens in the first 3 months of supervision. As I said, just read as much as you can," Fran menenangkan kekhawatiranku. Kusodorkan 1 lembar bolak-balik yang berisi isu-isu penting dan layak diteliti (menurutku) dalam sederetan karya sastra BMI. Di halaman berikutnya, sudah kutuliskan juga beberapa research questions, revisi proposal dari hasil pembacaan selama 2 minggu. Kuberondong Fran dengan berbagai pertanyaan tentang kemungkinan teori dan teknik analisis dan sudut pandang yang bisa aku pakai. "Am I on the right track, Fran?" Dalam hati, aku ingin ketawa, mengingat sebagian mahasiswa sastra Inggris Unesa yang suka 'menggangguku' via email, YM, dan FB, dengan pertanyaan-pertanyaan mereka untuk persiapan seminar skripsi mereka. Dear students, just as Fran is helping me with her wonderful suggestions, I want to make myself useful too, by trying to help you shape up your topic. That's the least I can do for now. We're on the same boat now. Your confusion is mine, too.
Langkahku ringan sekali setelah pertemuan siang ini. Fran meyakinkan aku bahwa aku sudah menunjukkan progress yang terarah. "It's been only three weeks, but you already have a clear idea,"begitu katanya. Semoga tetap terjaga arahnya sampai hari-hari mendatang, doaku.
Senja Melbourne semakin gelap, diiringi hujan dan petir yang sesekali menyambar. Aku tidak bisa lari ke Prayer room di Pelham street, dekat Unimelb square untuk shalat Maghrib. Di salah satu sudut study space yang sepi di Baillieu Library, kubentangkan sajadah pemberian Ella, sahabatku. Kusyukuri rahmat yang diberikan Allah padaku hari ini, sehingga urusanku lancar.
Hujan semakin deras ketika aku menunggu tram di seberang kampus. Di sebelahku, pemuda bule Aussie manggut-manggut mengikuti musik di IPhone-nya. Kuselipkan headphone di telingaku. Kupencet icon IPod di IPhone-ku. Lantunan surah Ar-Rahman mengundang titik haru di pelupuk mataku. Kutundukkan kepalaku menahan rasa.... Dan tram route 19 pun akhirnya datang. Rasa basah di pipiku telah bercampur dengan tetesan hujan, saat aku berlari kecil, meloncat masuk ke pintu tram. Fa-biayyi alaa'i Rabbi kuma tukadzdzi ban. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Brunswick, 28 September 2011.
Saturday, September 17, 2011
Melbourne, a city with four seasons a day
Awal September, saat kedatanganku di Melbourne, sebenarnya
telah memasuki musim semi. Itu teorinya. Dalam kenyataannya, cuaca masih
terlalu dingin, terutama untuk tubuhku yang kecil dan tidak memiliki simpanan
lemak. Temperatur tiap hari juga berubah-ubah, dan berkisar antara 8-180 C.
Pada hari pertamaku, aku sudah hunting electric
blanket di hypermart, dan
akhirnya menemukan sisa stock di Coles, dengan harga diskon 7 dolar dari harga
normal 20 dolar. Lumayan. Di K-Mart justru sudah tidak ada lagi, karena sudah
dianggap out-of-season. Maka tidurku
di malam pertamapun sukses dengan kehangatan mengalir ke seluruh tubuh, sampai
aku harus bangun amat kesiangan saking pulasnya. Pada hari kedua, aku harus
menambahkan jaket tebal, sweater, topi wool, dan sarung tangan sebagai senjata
melawan udara dingin. Dan tidak sampai seminggu aku di sini, koleksi pakaian
musim dinginku sudah bertambah lagi, ketika Savers, second-hand store, menggelar diskon 50%. Kuborong legging, long coat, turtleneck sweater, dan jacket. Di mana-mana, baik ke kampus,
belanja, maupun cuma di apartemen saja, paling tidak tiga lapis pakaian
kukenakan.
Aku pikir cuma aku yang aneh. Tidak heran kalau aku masih
berperasaan seperti ini. Ketika pertama kali datang di San Marcos, Texas pada
pertengahan Agustus 2002 yang lalu, sebenarnya masih musim panas di Amerika.
Namun aku hampir selalu berpakaian minimal 2 lapis, sampai-sampai academic advisorku selalu mengingatku
sebagai ‘the little lady from Sumatra who
is wearing sweater in this hot sunny Texas day.’ Ya, advisorku, Dr. Paul Cohen, seorang Yahudi tulen yang hanya makan kosher meat (semacam daging halal)
selalu mencampur-adukkan antara Indonesia dengan Sumatra. Mungkin dia pernah
baca buku tentang Sumatra, yang mungkin berisi tipikal perempuan kecil
berjilbab seperti aku.
Melbourne ternyata memang unik dari segi cuaca. Dalam satu
hari, cuaca bisa berubah dari berangin, hangat, kemudian hujan, dan menjadi
dingin. Tidak heran banyak yang mengatakan bahwa Melbourne adalah kota dengan 4
musim dalam 1 hari. Bahkan ada yang guyon mengatakan, “people say that there are four seasons in a day in Melbourne. They lie.
There is autumn, winter, and spring, but without summer.”
Kalau anda punya kesempatan datang ke Melbourne, tidak perlu
khawatir salah kostum. Setiap orang akan cenderung keluar rumah dengan
mengenakan beberapa lapis pakaian. Istilah ‘just
in case’ menjadi alasan utama. Kalau cuaca menjadi lebih hangat, tinggal
lepas pakaian/jaket terluar, dan bila
menjadi lebih dingin, kenakan lagi. Tidak heran kalau kita jalan-jalan, akan selalu
ada orang yang hanya mengenakan kaos tipis dan celana pendek bersepeda, atau
gadis manis dengan jaket dan syal melilit di lehernya pada saat yang sama. Just in case. Apalagi kekuatan tiap
orang terhadap udara dinginpun berbeda-beda. Aturan tidak tertulis ini kabarnya berlaku
pula di musim panas. Hanya saja pakaian yang dikenakan lebih tipis, dari katun
misalnya, bukan wool, tapi tetap berlapis-lapis. Just in case, sekali lagi.
Sore hari ini udara nampak sangat ramah. Aku memutuskan
untuk ke luar rumah untuk mencari sayur dan daging halal di Sidney Road.
Kebetulan daerah di mana aku tinggal merupakan daerah komunitas orang-orang
Timur Tengah. Mau masak sendiri atau makan di restoran halal, semua ada di
sini, tinggal jalan saja. Prakiraan cuaca di IPhone-ku menunjukkan temperatur
200C. Aku putuskan hanya mengenakan sandal saja. Sweater tentu saja
tetap kukenakan. Just in case.
Ternyata ini betul-betul Sabtu yang menyenangkan. Warr Park
di dekat kompleks apartemenku sudah ramai dipenuhi beberapa keluarga yang ‘berpiknik,
’ menggelar karpet plastik di taman. Anak-anak kecil bermain ayunan. Tiga orang
remaja laki-laki bermain lempar-lemparan. Dua orang sejoli sedang duduk di
bangku, bercengkerama hangat, sehangat sinar matahari yang menerpa wajah
mereka. Kuayunkan langkahku menuju Sidney Road, hanya 5 menit dari apartemenku.
Dan suasana jalan betul-betul seperti menertawakan dua lapis kaos panjang dan
sweater yang kukenakan. Di depan café di sebelah Madina Halal Meat, berjajar
sepeda motor Harley Davidson, lengkap dengan pengendaranya yang rata-rata
berbadan besar. Aku melongok ke dalam salah
satu playplace, yang ternyata juga
penuh dengan anak-anak bermain trampoline dan beragam permainan lainnya. Lalu lintas sedikit lebih padat daripada
biasanya. Mungkin karena banyak orang
ingin menikmati matahari.
Aku jadi ingin berlama-lama menelusuri Sidney Road. Sayur
dan daging sudah terbeli. Lalu ke mana lagi. Aku putuskan untuk menyeberang ke
Salvos, salah satu second-hand store
seperti Salvation Army, yang menjual barang-barang hasil donasi masyarakat.
Bila teliti, seringkali kita dapat barang bagus di sini. Untuk kantong
mahasiswa, toko-toko seperti Savers, Salvos, atau Goodwill kalau di Amerika,
memang menjadi jujugan mencari barang bagus, berkualitas, dengan harga sangat
miring. Bahkan kadang-kadang, barang yang dijual juga masih baru. Kali ini aku
tidak melihat deretan baju. Aku langsung menuju ke ujung toko, di mana
buku-buku dipajang rapi. Berbagai novel populer dan klasik terpampang di
depanku. Aku seperti menemukan harta karun. Akhirnya kupilih 2 novel oleh
Maxine Hong Kingston, China Men dan Woman Warrior, Tender is the Night karangan F.Scott Fitzgerald, dan DaVinci Code tulisan Dan Brown, semuanya
total . Semuanya aku sudah kenal sebenarnya. Tapi entah, lapar mata kalau lihat
buku, selalu ingin menambah koleksi. Masih banyak yang kuinginkan, tapi untuk
sementara cukuplah.
Hari semakin malam. Cuaca di luar turun ke level 160C.
Masih cukup hangat dibandingkan hari-hari sebelumnya yang bisa sampai 8-90C,
ditambah dengan windchill yang
membuat udara semakin menggigit. Pada malam-malam yang dingin itu, biasanya aku
baru pulang dari kampus sekitar jam 8.30, berbalut pakaian 4 lapis dan pashmina
yang kulilitkan di leher. Malam ini, malam minggu, kuhabiskan dengan ber-skype
dengan anak-anakku di rumah. Cuaca Surabaya yang panas dan celoteh Adzra
membantu menghangatkan kamarku yang cenderung selalu dingin meski di luar bisa
lebih hangat.
Aku masih terus beradaptasi dengan cuaca yang berubah-ubah.
Aku berharap hari-hari hangat segera datang, namun ingin jauh-jauh hari
bersiap-siap untuk musim dingin yang bisa ekstrim. Winter baru akan tiba lagi pertengahan tahun depan. Masih cukup
banyak waktu untuk menggemukkan badan dan menambah cadangan lemak.
Mudah-mudahan salah satu target ini bisa
aku capai sebelum musim panas awal tahun depan berakhir. Just in case.
Brunswick, 17 September 2011
Sunday, September 11, 2011
TUNED IN ALREADY ON MY FIRST DAY
Rabu, 7 September 2011.
Kukeringkan air mataku yang masih berusaha menyeruak setelah 4 jam
duduk di pesawat. Kuhadapi segala gangguan rasa dingin di hati dengan jaket, selimut,
dan suguhan dari para flight attendant. Aku tidak boleh menyia-nyiakan
kepercayaan suami dan keluarga.
07.30. Kujejakkan kakiku untuk pertama kalinya di benua Kangguru.
Kusiapkan diriku sepenuhnya untuk menjemput impianku. Melbourne, one of the most
livable cities in the world, adalah kota yang sangat multikultural, bahkan sejak
aku keluar dari mulut pesawat. Harapanku untuk mendengar celotehan percakapan
Bahasa Inggris ala Australia ditenggelamkan oleh cekikikan anak-anak muda dalam
bahasa Mandarin. Dan percaya atau tidak, percakapan pertama yang jelas
kutangkap di dekatku adalah obrolan dua orang ibu tentang anak-anaknya, dalam
bahasa Indonesia, ketika kami sama-sama antri di toilet.
Kesan ini berlangsung praktis tiap jam dalam hari pertamaku di
Melbourne. Sambutan Silvi yang hangat di apartemen kami di Brunswick, sekitar 30
menit dari airport, dan juga telpon pak Munir, teman di Jurusan bahasa Inggris yang
sedang studi S3 di Monash, menghiasi 2 jam pertamaku.
Karena masih banyak waktu, menjelang tengah hari aku sudah berada
di tram 19 menuju kampus. Ditemani Silvi yang menjadi guide sangat baik sekali,
aku menyusuri jalan di sepanjang kampus. Aku lakukan banyak hal hari ini.
Membuka rekening baru di Commonwealth bank di area kampus, menyetorkan
berkas-berkas untuk pencairan beasiswa, memfinalkan enrolment process, bertemu
supervisorku yang sangat cantik dan masih muda.Dia bahkan sudah menunjukkan
beberapa office space yang aku bisa pakai untuk mulai kerja. Dan pukul 5 sore,
aku sudah memegang student ID card. I'm officially a student of the University
of Melbourne, the no. 1 University in Australia.
Di tengah-tengah urusan administrasi, bahkan kami masih sempat
jalan-jalan ke Central Business District yang tidak jauh dari kampus, makan
siang di Nelayan restaurant milik orang Indonesia. Alhasil, celotehan bahasa
Indonesiapun tetap terdengar. Aku katakan pada Silvi, kalau kita tidak menoleh
keluar pintu kaca, hampir pasti aku masih merasa sedang makan di pecel bu Kus
di Pondok Indah Wiyung.
Pukul 10 malam akhirnya kami sampai di apartemen. What a long day,
a long walk, a long tram ride I've made today. Tapi tidak ada yang kutunggu
selain segera membuka skype untuk videocalling dengan anak-anak dan suami.
Wajah ceria Adzra dan Ganta menyeruak, menghangatkan tubuhku yang masih terbalut
jaket, ditambah selimut tebal, dan electric blanket di bawah sprei. Meski sudah
masuk musim semi, tubuh yang tidak punya cadangan lemak ini masih bekerja keras
untuk melawan dinginnya udara bersuhu 8 derejat Celcius. Mas Prapto nongol dengan kaus singletnya, berhaha-hihi sambil
menyuruhku untuk makan banyak-banyak ketika melihatku terbungkus
berlapis-lapis.
Pukul 12 malam, atau di Surabaya 3 jam lebih lambat, akhirnya mas
Prapto ngobrak-ngobrak untuk segera tidur, ya buat Adzra dan aku. Bersama-sama
kami bacakan doa sebelum tidur buat Adzra. Have a good night sleep, anakku
sayang.
Hari pertamaku sangat memuaskan. Semua urusan lancar, dan tetap
bisa ngobrol banyak dengan anak-anak dan suami. Dua paruh hatiku yang kukira
harus terpisah ternyata begitu mudah terpautkan oleh teknologi.Alhamdulillah ya
Allah, semoga Engkau ridhoi niatku menuntut ilmu di sini, dan semoga kami
selalu berada dalam lindunganMu.
MELBOURNE...I'M COMING
Meski secara fisik aku tidak lagi
bisa menatap wajah-wajah mereka kucintai, hubungan telpon tetap intensif kami
lakukan selama perjalanan. Ketika check-in, setiap 10 menit mas Prapto
menelpon, memastikan semua proses lancar. Meskipun jatah bagasiku 40 kg, dia
takut ada excess baggage. Di rumah sebenarnya sudah kami timbang, dan tidak ada
masalah. "37 kg mas, alhamdulillah lancar, dan bagasi langsung bisa
'check through' ke Melbourne, sehingga tidak perlu kerepotan lagi ketika
transit di Denpasar. Untunglah selalu kuturuti kecerewetan suamiku, sehingga
aku bisa melenggang hanya dengan backpack dan tas kecil menggantung di bahu.
Setelah proses check-in beres, barulah suami dan rombongan meninggalkan
bandara.
Pesawat Garuda yang kutumpangi
boarding tepat waktu. Penumpang di pesawat menuju Denpasar tidak terlalu padat.
Dan aku duduk sendirian di aisle seat. Kubuang pandanganku ke arah jendela, dan
lelehan air mata tak henti mengalir di sela-sela deru pesawat.
22.00. Aku sudah berada salah satu
depot di bandara Internasional Ngurah Rai. Di depanku ada semangkok soto kudus
dan teh hangat. Rasa menjadi tidak penting, karena lidahku terasa kelu, terlalu
pahit untuk menelan makanan. Tapi demi kesehatan, aku tetap harus makan. Tidak
boleh ada cerita masuk angin selama perjalanan nanti.
Check-in dan pemeriksaan imigrasi
berjalan mulus, dan aku langsung meluncur ke waiting room. Pemandangan turis
dari Australia yang berlibur mencari hangatnya mentari Bali bertebaran di
setiap pojok. Hampir semuanya berpakaian sangat santai, ala pantai. Kulihat
diriku yang terbalut kaos panjang, kemeja flanel Ganta yang tadi tiba-tiba saja
kusaut dari lemari, dan jaket tebal milik mas Prapto. Maunya, aku ingin tetap
merasa hangat 'ditemani' mereka. Beberapa kali masih kuhubungi mas Prapto,
Ganta dan bapakku via sms dan telpon. 'Adzra sudah tidur lelap dengan mbah
Uti,' 'iya bu, Ganta akan jaga shalat dan jaga adik,' dan 'hati-hati di jalan,
salam dari adik-adikmu.' Ini antara lain isi sms dari mas, Ganta, dan bapakku
yang bergantian kasih kabar.
23.55. Time to really say goodbye to
Indonesia. Kumatikan handphone, kusandarkan tubuhku di seat nomor 27 J, dalam
pesawat Airbus yang lapang dan nyaman. Seat di sebelahku tetap kosong. Seperti
kosongnya separuh hatiku yang sementara harus pergi. Separuh hati lainnya
melihat keluar jendela. "Melbourne .... I'm coming!
MENJELANG KEBERANGKATAN
Selasa, 6 September 2011
Pagi ini aku ingin menghabiskan
waktuku dengan anak-anak. Namanya juga hari terakhir, maunya ingin membisikkan
pesan-pesan, nasehat-nasehat buat anak-anak dan mbak-nya di rumah, sambil
meneruskan packing yang rasanya gak selesai-selesai. Ganta menemaniku sambil
tiduran di kasur. Ini membuatku merasa nyaman. Terlebih lagi ketika dia
tanya-tanya tentang sekolah di sana, tentang kemungkinan punya teman-teman
sebaya dari Indonesia buat dia, keuntungannya kalau jadi ikut sekolah. Kujawab
sebaik-baiknya, tanpa nada memaksa. Biarlah dia yang nantinya menetapkan hati,
tugasku dan suami adalah berusaha ikhtiar dengan mengurus semua dokumen buat
keluarga ikut nantinya.
Di tengah-tengah nyantai, packing,
dan ngobrol dengan Adzra, di luar rumah terdengar deru beberapa sepeda motor
berhenti di depan rumah. Ternyata 20-an mahasiswa sastra Inggris 2008 nggruduk
dolan ke rumah. Meski mereka sudah bilang akan mampir, aku kaget campur senang
juga didatangi anak-anak sebanyak itu. Ruang tamu segera diubah jadi lesehan,
kue-kue lebaran kukeluarkan semua, dan langsung diserbu anak-anak. Ini terasa
jadi the second 'farewel gathering' buat aku, setelah copy darat dengan
teman-teman Ganesis di rumah mbak Sirikit. Kami ngobrol seru, tentang persiapan
skripsi buat mereka, cara dapat beasiswa, dan curhat-curhat urusan kampus yang
tidak pernah ada habisnya. Setelah 'perkuliahan 2 sks,' merekapun pamit pulang, seraya mendoakan aku
supaya lancar dalam perjalanan, dan juga minta tetap bisa 'ngganggu' aku di
dunia maya nanti.
Menjelang sore, ibu bapakku datang,
dan nantinya akan ikut mengantar aku ke airport. Sama seperti ketika aku
berangkat ke Amerika tahun 2002 dulu, ibu bapakku selalu hadir memberi restu
dan dukungan. Sebentar kemudian, mas Prapto pulang dari kantor. Hal pertama
yang dia lakukan adalah melakukan 'inspeksi' packing-ku, dan seperti sudah
kuduga, dia menjadi 'cerewet' dengan cara penempatan yang kurang ringkes dan
ribet. Mungkin sudah hapal dengan kebiasaanku yang suka lupa dan ceroboh menaruh
barang, maka travel documents dan barang-barang penting yang kuperlukan selama
perjalanan segera dia pindahkan dari tas jinjingku yang agak besar ke tas kecil
yang biasanya dia pakai kerja. Hah, aku tahu dia cinta tas Mont Blanc-nya, tapi
aku diam saja sambil senyum-senyum. Tas jinjingku berpindah ke koper. Benar
juga, jadi lebih ringkes. 2 koper yang akan masuk bagasi, dan backpack isi
laptop serta tas kecil isi travel documents, dompet, dan obat-obatan ringan.
Urusan packing memang dia jagonya, tapi selalu aku yang harus memulainya, dan
tinggal dia yang membereskan bila kurang pas. Katanya, biar aku juga belajar
packing yang nyaman. Ya wis nurut aja, sing penting enak, kataku.
Sekitar pukul 6 sore kami sudah
sampai di bandara Juanda. Pesawatku terjadwal pukul 19.50 ke Denpasar, transit
2 jam, dan pukul 23.55 terbang ke Melbourne. Selama menunggu check-in,
kupeluk terus Adzra, kubisikkan lagi pesan-pesan buat Ganta. Rasanya
menit-menit ini menjadi sangat berarti. Kulirik ibu dan bapakku yang jadi ikut
sentimentil. Juga Zubaidah, si mbak dari Madura yang setia ikut kami selama 2
tahun. Ganta dan Adzra kelihatan tetap riang, tapi ibunya yang tidak bisa nahan
air mata. Mas Prapto, seperti biasa, tetap pragmatis. Dia beli beberapa donat
dan minuman, dan memberiku beberapa ratus ribu rupiah buat airport tax dan
makan selama di Denpasar. 'Aja lali makan, ben gak masuk angin. Wis gak ono
sing ngeroki, lho. Hehe, dia tahu aku psikosomatis sejak 2 hari terakhir.
Pusing, perut mules, dan kerokan sudah kurasakan sejak hari Minggu.
Akhirnya detik perpisahan datang
juga. Kuciumi dan kupeluk anak-anakku, kubacakan doa-doa di telinga mereka agar
mereka tetap dilindungi Allah. Aku bersujud di lutut ibu dan bapakku, berharap
doa restu dari mereka berdua, dan menitipkan anak-anak untuk dipantau. Aku
rangkul pembantuku, yang dengan berkaca-kaca berpesan, "jaga kesehatan
bu." Akhirnya, berlama-lama kusandarkan kepalaku di pelukan suamiku. Aku
tidak bisa bilang apa-apa kecuali terima kasih atas dukungan dan restunya yang tidak
pernah berhenti. Dia usap kepalaku, berpesan untuk jaga diri baik-baik, dan
tidak usah mencemaskan anak-anak.
Time to go now. Kulambaikan tanganku
buat suami, anak-anak, ibu bapak, dan si mbak. Diiringi doa mereka, semoga
perjalanan lancar sampai tujuan.
Subscribe to:
Posts (Atom)