Kemarin dulu aku ngobrol dengan bapak via telpon. Kegiatan rutin saja. Saling menanyakan
kabar. Cerita kegiatan masing-masing dalam seminggu ini. Bapak kemudian
menyebut nama Ella. Bapak memang masih mengingat dengan baik sahabat-sahabatku sejak jaman SMP sampai kuliah. Termasuk di antaranya, Prof. Luthfiyah Nurlaela, "Kapan-kapan bapak pingin ngobrol sama Ella.
Mudah-mudahan masih ingat bapak ya. Dulu pas jaman Himapala kan sering
ketemu." Bapak kemudian bertanya lebih lanjut tentang aktivitas Ella
sekarang. Aku ceritakan semua yang terekam tentang Ella. Dan bahwa sampai kini
tetap berhubungan via milis Keluarga Unesa.
Bapak juga bertanya
apakah Ella sekarang sudah pindah ke Tanggulangin. Aku jadi penasaran.
"Kok bapak tahu tentang Ella dan rumah Tanggulangin?" Eh, ternyata
buku Jejak-jejak Penuh Kesan yang bergambar Ella payungan sudah habis dibaca bapak. Bahkan buku
itu sudah muter dari tangan satu ke tangan lain. Mulai ibu, Yanti adikku yang
tinggal di Sidoarjo, Riris dan Inez, dua ponakanku, anak Yanti, yang juga
kutu buku.
Begitulah kebiasaan
literasi di keluargaku. Rak buku di Kebraon selalu menjadi jujugan bapak dan
ponakan, bila mereka sedang dolan ke rumah. Itulah sebabnya, setiap ada buku
baru, aku segerakan membaca. Karena tiap kali bapak dan ibu menginap ke rumah,
yang dicari selalu buku yang belum selesai dibaca atau yang baru datang. Kalau
tidak segera aku selesaikan, alamat tidak sempat menghabiskan. Keburu
berpindah tangan. Berpindah lokasi. Dari Ngagel ke Sidoarjo dan ke Pondok
Candra. Yang terakhir adalah rumah mertua Iin, adik perempuanku yang
keempat. Dia juga suka melalap buku apapun yang baru selesai aku baca.
Jadi jangan heran bila
buku The Twenty Years of Joy and Happiness punya mas Satria juga sudah menjadi bahan
obrolan kami. Buku Ibu Guru, saya Ingin Membaca, hasil kompilasi Rukin, juga
sudah disantap bapak. Kalau tidak saya bawa ke Melbourne untuk bahan tambahan
tesis, mungkin buku itu sudah terbang ke mana lagi. Novel-novel Andrea Hirata
baru saja kembali ke rumah setelah berbulan-bulan beredar dari satu rumah ke
rumah lain di keluarga kami. Novel dan antologi para buruh migran Hong Kong
juga sudah membuat hati bapakku terharu. Pendeknya, bahan yang aku gunakan
untuk tesis sudah dibaca bapak juga.
Menengok ke belakang, aku harus berterima kasih kepada bapak dan ibu. Merekalah yang meletakkan
dasar kuat cintaku atas buku. Saat SD dulu, salah satu kenangan yang
membekas adalah kebiasaan bapak mengajakku ke Sari Agung di jalan Tunjungan.
Aku dilepas saja di situ. Ndhodhok membaca habis beberapa komik atau cerita rakyat. Dongeng epik Ramayana dan Mahabarata lebih banyak kunikmati dari hasil nongkrong berjam-jam di toko buku. Baru setelah itu mengambil 1-2 buku untuk dibeli. Itu di luar acara nonton film
silat atau koboi, dan tak lupa, nonton bola di Gelora Tambaksari. Ya, anak-anak
perempuan bapak juga penggila bola dulu. Tapi kapan-kapan saja aku cerita yang
ini.
Ibu menegaskan cintaku terhadap sastra tanpa disadari melalui dongeng sebelum tidur. Tempat tidur
yang kami pakai seperti pindang berjajar menjadi saksi lelapnya tidur kami,
yang dialun oleh "Pada Suatu Hari" atau "Ing sakwijining
dino." Cerita-cerita Bawang Putih, Timun Mas dan Buto Ijo sudah aku kenal
melalui naratif lisan dari ibu. Sebelum kemudian kutemukan versi tulisnya
dari koleksi buku cerita.
Seingatku, hampir tidak ada koleksi mainan di rumah masa kecilku. Kalaupun ada, mungkin itu dibeli saat ada
keramaian Mauludan di pasar Wonokromo. Tapi aku cukup bangga punya banyak
koleksi buku. Saat kelas 4 atau 5 SD dulu kalau tidak salah, saya ingat sudah
membuat daftar judul buku dan pengarangnya. Jumlahnya ada sekitar 50an judul. Juga setumpukan majalah langganan Bobo .Tentu saja itu di luar buku komik pinjaman dari persewaan dekat rumah. Bahkan
juga cerita seri Api di Bukit Menoreh yang rutin dipinjam bapak dari persewaan
di Ngagel Rejo. Aku sering diminta meminjam atau mengembalikan lanjutannya.
Jadinya aku juga ikut tenggelam dalam lamunan Ratri, salah satu tokoh dalam
cerita itu. Saking demennya, aku masih ingat kata regol yang pertama kali kukenal lewat cerita seri itu. Kesengsem dengan nama-nama tokohnya, Ratri, Panggiring, Bramanti. Di telingaku, nama-nama ini terdengar eksotis.
Kami juga pelanggan
Kompas dan Intisari sejak dulu. Karena saking akrabnya dengan bahasa Kompas, aku jadi tahu
kemudian bahwa membaca koran lain jadi 'terlalu' ringan. Entah karena kecintaan
terhadap sastra sudah tertanam atau bagaimana, yang jelas cerita bersambung di
Kompas tak pernah lewat kami baca sekeluarga. Aku dan adik-adik bergiliran
menggunting bagian cerbung untuk dikompilasi. Ronggeng Dukuh Paruk sudah habis
kubaca dalam format cerbung, jauh sebelum versi novelnya beredar.
Karena sudah terbiasa
menghabiskan akhir pekan nongkrong ke Sari Agung, aku kadang tidak sadar bahwa
ada tempat-tempat lain yang barangkali lebih menarik buat para remaja. Saat SMA
dulu, ketika sudah bisa dolan sendiri, aku teruskan kebiasaan itu. Hanya saja
tempatnya bertambah dengan adanya Gramedia. Juga kemudian setelah Sari Agung
ditutup. Tapi seingatku, semua teman yang pernah dekat jaman SMA dan kuliah
lebih sering kuarahkan ke Gramedia. Entah itu membuat bosan bagi teman atau tidak. Saat itu, aku tidak terlalu peduli. Yang penting bisa nongkrong
beberapa jam membaca gratis sampai bosan.
Aku baru sadar bahwa
beberapa buku-buku yang pernah kubaca ternyata sastra klasik. Saat SMA, aku sudah
mulai membaca drama-drama Shakespeare dalam versi bahasa Inggris. Tentu saja
masih simplified version. Bisa jadi karena saat itu lagi getol kursus bahasa
Inggris di PPIA Dr. Soetomo. Perpustakaannya sering menantangku untuk
memperluas bahan bacaan dalam bahasa asing. Setelah kuliah di IKIP Surabaya,
barulah aku ngeh dengan nama-nama Shakespeare, Hemingway, Mark Twain. Ternyata
ada bagian dari masa kecil yang ikut andil di dalamnya. Padahal dulu kukira cerita Tom Sawyer dan Huck Finn adalah cerita anak-anak.
Meloncat kembali ke masa
kini, aku sering merenungkan betapa kedekatanku dengan buku adalah hasil
bentukan orang-tua. Dalam pandanganku sekarang ini, bapak dan ibu telah berhasil memadukan sastra lisan dan tulis
dalam membentuk dunia literasiku seperti sekarang ini. Sebagai seorang dosen, yang cenderung
mencari penegasan teori untuk praktik literasi dalam keluarga, aku juga semakin
lega bahwa parent-child attachment theory dalam dunia psikologi memang amat
berperan membentuk kebiasaan literasi pada anak. Aku lihat Adzra, misalnya.
Sebelum lelap tidur, dia sering bilang, "Mommy, you keep reading okay. I'm
going to sleep." Persis seperti masa-masa kecilku yang lelap dalam
dongengan ibu yang belum selesai. Kalau dia belum bisa tidur, biasanya teringat
buku-buku yang ingin dia usung ke tempat tidur. Aku sering membayangkan Tiwik
kecil dalam diri Adzra. Only the revised and
more sophisticated version.
Ketika jauh seperti
sekarang ini, aku tahu bapak ibu rindu dengan anaknya. Sebagaimana rinduku kepada mereka berdua. Namun aku tahu, kehadiran buku-buku tulisan
sahabat-sahabatku, akan senantiasa merekatkan hati bapak-ibu-anak.
Tulisan-tulisan di blogku senantiasa menggantikan kehadiranku secara fisik.Giliranku sebagai anak yang berbagi cerita kepada keluarga.
No comments:
Post a Comment