Mbak Sirikit mengirimkan
puisinya berjudul Separuh Hidupku. Untuk menandai hari ulang tahun perkawinan
ke-27 dengan pak Anam. Puisi ini sukses mengharu-biru perasaan para miliser
Ganesa. Mungkin saking melankolisnya, mas Habe meragukan puisi ini sebagai
tulisan mbak SS. Di mata Habe, identitas seorang SS hilang di puisi ini.
Tergerak untuk memberikan komentar secara sastrawi, saya menurunkan sepotong
kritik sastra terhadap beberapa puisi SS, untuk mencari poetic identity sang
penyair. Berikut puisi utama yang menjadi bahasan:
Separuh Hidupku
Catatan cinta untuk suami pada ultah perkawinan ke-27
Bapak,
Telah separuh hidupku
kujalani bersamamu.
Dan hari ini, di hari ulang tahun perkawinan kita ke-27, aku berkata:
sepanjang waktu itu,
tak pernah aku berhenti mencintaimu.
Ya, tentu saja ada masa-masa
dimana aku seperti tergoda
pesona para pria yang mengitariku
atau kuingin bernostalgia
dengan lelaki yang datang dari masa lalu.
Tapi percayalah,
itu cuma kelebatan-kelebatan
fragmen-fragmen
dalam romansa hidupku yang cukup panjang
Tak ada lakon tanpa figuran, bukan pak?
dann kita sama-sama tahu, siapa lakon sebenarnya.
Orang-orang itu mungkin lebih tampan atau lebih pintar
Lebih kaya dan lebih terkenal
Namun aku selalu berpikir:
Apakah mereka memiliki harum seperti bau badanmu
atau pijatan tangan senikmat pijatanmu
dan kesabaran dalam mendampingiku?
Pada akhirnya timbanganku menyimpulkan:
Tak akan ada lelaki yang memiliki cinta
sebesar cintamu padaku.
Bapak,
Cintamu yang besar membuahkan cintaku
Bagaimana tidak aku mencintaimu?
Kau mengupas kepiting dan menyuapkan dagingnya ke mulutku
Kau gendong aku di punggungmu ketika melewati banjir
Kau pergi jam dua pagi membetulkan USB yang akan kupakai mengajar esok hari
Kau tipe suami, yang akan membunuh harimau untuk melindungiku.
Bapak,
Mungkin memang sulit, tapi kuharap kau memaafkanku
atas kerapuhanku yang kerap membuatmu terluka
juga atas tahun-tahun yang sepi
saat kau kutinggalkan sendiri
Rasanya kamu harus dapat piala juara
karena bertahan dalam setia.
Bapak,
Tak kupungkiri
akupun mengalami masa-masa sulit denganmu
Ketika engkau ter-PHK dan tak memiliki kerja
Itu moment paling rentan dalam perkawinan kita
Aku bagai memegang gelas kristal yang rapuh
Yang bila salah menyentuh,
akan tergelincir, pecah, dan menimbulkan luka.
Ketahuilah pak,
Itu sungguh tidak mudah
Beberapa kali aku mencoba berlari
tapi aku selalu ingin kembali.
Dua puluh tujuh tahun sejak kau lamar aku di Bengkel Muda
Kujalani hidup bersamamu
Aku bisa saja menerima lamaran seorang angkatan laut waktu itu
(maka sekarang aku akan jadi anggota Yalasenastri!)
atau ikut orang Inggris itu
(dan sekarang mungkin aku sedang membeku diterpa salju!)
atau pemuda yang kemudian jadi politikus ternama
(mungkin aku tersangkut kasus korupsi!)
Sungguh beruntung, di masa aku sudah sangat ingin menikah itu
Tuhan menuntunku ke arahmu
Kau yang mencintaiku apa adanya
tak hendak mengubahku,
membiarkanku menjadi diri sendiri.
Masih jelas dalam ingatanku
Kau apel dengan bemo yang baru pulang ngelen
Keluarga besarku mengejekmu
Tapi aku tertawa-tawa melihat kenekatanmu
(dasar arek suroboyo, gak eroh wedi)
Mungkin justru itulah moment aku memilihmu.
Dalam perjalanan karirku,
kau adalah angin untuk kepak sayapku,
arus gelombang yang mendorong laju perahuku,
hingga ku dapat terbang tinggi dan berlayar jauh
ke tempatku berdiri sekarang.
Kau tak pernah berada di depan,
namun kaulah yang menjadikan.
Dan kau sungguh amat mengagumkan
tak pernah merasa terintimidasi
oleh kesuksesan seorang istri.
Maafkan aku atas ratusan, bahkan ribuan
pertengkaran kita yang diwarnai air mata.
Namun mari kita syukuri saja, pak
berapa banyak pasangan seusia kita
yang masih bergenggaman tangan
di setiap malam menjelang tidurnya.
Ya, selalu kucari-cari dan kurengkuh jemari tanganmu
dan kau menyediakan seluruh lenganmu
sebagai sandaran peraduanku.
Terimakasih atas segala yang kau curahkan
atas setiap hal kecil yang kau lakukan,
dan atas dua buah hati yang kau hadirkan,
yang membuatku menjadi ibu yang bangga,
juga atas rumah yang teduh,
yang kau bangun dengan tanganmu sendiri.
Apa sesungguhnya yang telah kuberikan kepadamu
hingga aku memperoleh sebanyak ini?
Usiaku kini 53
Separuhnya telah kujalani bersamamu
dalam perkawinan yang dipenuhi riak gelombang
Angin sepoi dan badai topan
Putus asa dan harapan
Tawa dan airmata
Marah dan cinta
Bapak,
Kalau boleh aku meminta hadiah di hari ulang tahun perkawinan ini
Cintailah aku seperti dulu
pertamakali kau bilang kau mencintaiku
27 tahun yang lalu
di sebuah bangku di Bengkel Muda
saat kita berdua kelelahan sepulang kerja
dan menemukan oase di sana.
Dan percayalah pak,
Apapun yang pernah terjadi dalam romansa kehidupan kita
tak pernah sekalipun aku berhenti mencintaimu.
Semoga di senja usia kita
Topan badai sudah reda
Tangis dan airmata sirna
Dan kita tetap bergandengan tangan menuju surga
Sirikit Syah
15 November 2013
=====
Secara reseptif, puisi 'Separuh Hidupku' sudah sukses membuat para miliser tersentuh, dan bahkan mewek (termasuk saya sendiri). Identitas SS yang biasanya menghentak tiba-tiba berubah amat melankolis. Mungkin ini yang membuat HB merasa kehilangan sesuatu. Ini bukan SS.
Bicara tentang poetic identity, memang kita perlu membaca banyak puisi yang dihasilkan oleh seorang penyair. Apakah kita mau melihat bentuknya, isinya, atau dua-duanya. Dari sisi bentuk misalnya (e.g tone, diction), puisi-puisi Robert Frost punya identitas kuat dengan kentalnya natural imagery. Sementara dari isinya (e.g. theme), Frost banyak bicara tentang 'pemahaman diri melalui alam,' atau 'friksi antara community vs isolation.' Lihat saja puisi Mending Wall (salah satu favorit saya), bagaimana sebuah pagar pemisah antara dua tetangga merefleksikan kehendak manusia untuk mengisolasi diri meski hidup dalam sebuah komunitas sosial.
Bagaimana dengan poetic identity seorang Sirikit Syah? Saya melihat puisi 'Separuh Hidupku' sebagai sebuah ode, yang adalah puisi tentang pujian kepada seseorang atau sesuatu, dan bernada serius. Boleh dikata puisi itu adalah 'An Ode to a Great Husband.' Dari segi pemilihan kata dan gaya bahasa, gaya SS yang lugas tetap kelihatan di puisi yang melankolis ini. Kalimat-kalimat deskriptif seperti 'Kau mengupas kepiting dan menyuapkan dagingnya ke mulutku, Kau gendong aku di punggungmu ketika melewati banjir, Kau pergi jam dua pagi membetulkan USB yang akan kupakai mengajar esok hari' adalah kekhasan SS. Sebagaimana muncul di puisi SS bejudul Di Kaki Langit Baltimore, dalam baris-baris 'turis berlarian masuk restoran,' 'orang-orang berdansa di bawah hujan, badan digoyang dirapatkan. Atau juga di puisi 'Romansa Hiroshima,' seperti dalam baris pertama dan kedua, ' Di lift hotel, dua turis Amerika menghapus airmata. Juga amat kental dalam puisi naratif 'Balada Maryamah dan Putra Angin.'
Meski begitu, SS juga menghiasi puisi-puisinya dengan bahasa figuratif. Sosok suami dihiperbolakan 'akan membunuh harimau untuk melindungiku,' dimetaforkan dalam baris 'kau adalah angin untuk kepak sayapku.' Gaya senada juga muncul di puisi 'Suami' di kumpulan puisi Selamat Pagi Tokyo. SS menggunakan metafor, di mana 'suami adalah sepiring nasi yang kulahap habis saat lapar,' dan 'ia juga setangkai bunga, yang aromanya teringat kemana jua.' Dari segi imagery, bukankah baris ini mirip dengan 'Apakah mereka memiliki harum seperti bau badanmu' di puisi 'Separuh Hidupku.' Nampaknya 'sense of smell' adalah salat satu hal yang membuat SS tidak bisa lepas dari sosok suami.
Membandingkan beberapa puisi di atas, 'Separuh Hidupku,' 'Di Kaki Langit Baltimore,' 'Romansa Hiroshima,' 'Suami', dan juga 'Balada Maryamah dan Putra Angin,' kesan yang kuat adalah tema 'ruang dan tempat.' 'Separuh Hidupku' menyebut Bengkel Muda sebagai tempat yang menyatukan mereka, namun juga ada beberapa kali masa yang memisahkan ruang mereka. "Romansa Hiroshima' menyebut lift hotel, museum, jalan, sementara 'Suami' menyuratkan ruang terpisah dalam baris 'Di rantau terpisah samudra biru.' Sementara itu, puisi 'Baltimore,' ada 'kesegaran laut Baltimore, saat perahu ditambatkan.'
Yang menarik dicatat, ' ada rasa sepi yang kuat dan nuansa pencarian dalam beberapa puusi, seperti dalam baris 'Kucari pasangan, tak kutemukan,' di puisi 'Baltimore' dan'kala kecewa hati menerpa, wajahnya jua yang hadir senantiasa, Inikah cinta? di puisi 'Suami'. Ketika pada puisi 'Separuh Hidupku,' pencarian itu selalu berlabuh pada sosok 'Bapak,' Ya, 'selalu kucari-cari dan kurengkuh jemari tanganmu, dan kau menyediakan seluruh lenganmu, sebagai sandaran peraduanku.'
BIla puisi-puisi SS dilihat sebagai perjalanan mencari makna diri dan cinta, maka puisi 'Separuh Hidupku' boleh dianggap sebagai tahap 'discovery of wisdom.'
Secara keseluruhan, poetic identity SS cukup tergambar dalam puisi 'Separuh Hidupku.' Bila gaya yang biasanya nendang dan menghentak tidak terlalu terasa di sini, bisa jadi memang sebagai penanda tahap kematangan diri sebagai hasil dari pencarian dan kontemplasi. Meminjam sosok archetype dalam Jungian criticism, figur 'warrior' sudah berubah menjadi 'the wise old man/woman.'
No comments:
Post a Comment