Waktunya konsultasi kembali dengan tim dokter. Robin, ketua tim dokter, memberi kabar menggembirakan. Hasil sentinel node biopsy bersih. Ini berarti tidak ditemukan penyebaran sel kanker ke organ lain. Hasil lain yang melegakan adalah benjolan di posisi jam 3. Benjolan yang tidak teraba ini hanya mengindikasikan tumor biasa. Bukan kanker.
Yang tidak menggembirakan dia beritahukan belakangan. Sambil tetap menunjukkan gambar yang memvisualisasikan titik benjolan dan perlakuan medis yang diberikan 2 minggu lalu, Robin menunjuk pada titik jam 6. Ini adalah benjolan yang aku keluhkan pertama kali kepada GP. Saat USG menjelang lumpectomy yang lalu, tim memang menemukan beberapa titik kecil di sekitarnya. Tapi toh mereka memutuskan untuk tetap melakukan prosedur yang tidak radikal.
Setelah observasi seksama, tim tidak yakin apakah surgical margin sudah bersih benar. Terutama dengan titik-titik baru itu. Maka kusebutkan saja dugaanku. What’s next? Mastectomy? Robin mengiyakan. Yes, that’s what we have to do.
Aku tidak terlalu shocked dengan kemungkinan ini. Saat USG pun, aku sudah membicarakannya dengan mas Prapto. “Piye mas, ada titik-titik baru.” Dia yang malah sarankan. “Ya sudah gak diambil aja semua. Yang penting sembuh.”
Sekarang, setelah kemungkinan itu semakin nyata, aku cuma bertanya. Why didn’t you remove it? Robin menegaskan, “I would never do that without consulting you.” Dia meneruskan dengan tawaran breast reconstruction surgery pada saat bersamaan. Pertanyaanku standard, will it be covered by the insurance? What’s the diffference with leaving it flat? Setelah mendapat penjelasan bahwa proses rekonstruksi ini akan melibatkan serangkaian operasi lagi secara bertahap ( jadi ingat Angelina Jolie yang melakukan double mastectomy dan breast reconstruction surgery sebagai preventive action), aku menoleh ke mas Prapto? “Piye mas, ditawari pasang implant di dalam bekas operasi, atau ben wis diilangi ae.” Mas Prapto tegas menjawab, “wis gak usah dioperasi maneh. Gak opo flat ae.”
Keputusan ini kami anggap yang terbaik. Bahasa mas Prapto, wis umur segini. Bukan berarti sudah tua dan tidak butuh apa-apa, tapi lebih karena sudah cukup banyak pengalaman hidup yang mendewasakan jiwa. Sekarang yang penting tetap sehat.
Segera saja Robin menetapkan tanggal operasi. We can do it this Wednesday. Wuih, agak kaget. Lusa besok? Lagi-lagi mas Prapto segera mengiyakan. Lebih cepat lebih baik.
Dengan dukungan emosional yang melegakan ini, tak ada lagi perlunya aku menunda apapun. Dua hari lagi, payudara kananku akan terbang solo. Menyusul rekannya, ovarium kiri yang sudah terbang solo sejak 2006 lalu.
Hari Senin ini, hari pertama liburan sekolah, kusisakan waktu dengan pergi ke kampus bersama mas Prapto dan anak-anak. Mas Prapto mendapat tawaran kerja kasual dari Lugin, sesama warga Surabaya di Brunswick. Jadi kitchen hand di University House, satu member-only restaurant di kampus. Sambil menunggu mas Prapto training sekitar 2 jam, kuajak anak-anak duduk di Bailleu library. Aku mengembalikan buku. Mencari beberapa referensi yang kujanjikan untuk pusat literasi. Anak-anak menikmati gundulnya pohon-pohon.
Kupahami paradoks, dalam kesusahan ini, terasa semakin banyak kenikmatan yang kureguk bersama dengan keluarga. Bila ini adalah bayarannya, kuikhlaskan segala ketetapanNya.
No comments:
Post a Comment