Hari Senin adalah hari yang saya sukai di sekolah Adzra. Mengikuti assembly, atau upacara sekolah. Kalau tidak ada keperluan penting, saya biasanya bertahan sampai pukul 9.30, saat upacara berakhir. Di tanah air, kita terbiasa dengan suasana upacara sekolah yang formal, dengan pembacaan Pancasila dan Pembukaan UUD 45, sambutan inspektur upacara, di bawah sinar matahari yang semakin meninggi. Barisan paling belakang seringkali ngobrol sendiri. Dan tak terasa upacara sudah berakhir. Nah, cara assembly berjalan di Moreland Primary School jauh dari gambaran seperti itu.
Ketika bel berbunyi pada pukul 9 pagi, para siswa menuju ke hall, yakni ruang tengah yang menghubungkan sebagian besar ruang kelas dan kantor. Ruang butulan yang lebar, nyaman, dan multi fungsi ini juga ibarat gallery. Seluruh dindingnya penuh dengan pajangan hasil proyek para siswa. Mulai tema lingkungan, seni, olahraga, sampai multikultural bisa dinikmati. Di atas karpet biru yang hangat, para siswa duduk berkelompok dengan kelas masing-masing. Anak-anak Prep dan grade 1 di sebelah kiri dan kanan, diikuti dengan grade berikutnya. Para orang-tua yang ikut hadir bisa duduk di kursi plastik yang ditempatkan mepet di sisi kiri, kanan, dan belakang ruang. Suara tangisan bayi atau balita ikut mewarnai. Maklum tidak ada yang punya pembantu. Para guru duduk di sisi yang sama. Berbaur dengan para orang-tua. Bahkan John Williams, kepala sekolah, sering berdiri di belakang, sambil mengawasi anak-anak yang mungkin telat dan segera mengantar mereka bergabung.
Yang menarik dalam assembly adalah bahwa acara dibawakan oleh para siswa secara bergantian. Kapan dulu bahkan anak-anak Prep yang masih bau kencur dapat giliran. Beberapa guru mendampingi untuk urusan teknis seperti mengoperasikan laptop dan mengatur sound system. Suasana sedikit formal dan nasionalis hanya ditandai oleh bagian awal. Saat semua hadirin diminta berdiri dan lagu kebangsaan Australia dinyanyikan bersama. Bagian berikutnya sampai akhir adalah lembaran kegiatan dan prestasi masing-masing kelas dalam 1 minggu terakhir. Pembawa acaranya bergantian membacakan skrip. Kadang cuma 2 anak, yakni school captain dan wakilnya. Kadang bisa melibatkan 5 anak. Saya amati sampai akhir assemby, semua anak memberi perhatian penuh, tidak ada obrolan. Tapi jauh dari suasana tegang. Semua yang hadir bisa menikmati rangkaian acara sambil duduk manis.
Saat assembly kemarin, hasil kegiatan yang ditampilkan di layar adalah interview yang dilakukan anak-anak grade 3/4 dengan beberapa guru. Temanya adalah Nude Food. MPS sangat concern dengan pembiasaan siswa membawa bekal makan siang dalam lunch box. Tanpa pembungkus plastik dari pabriknya. Alias makanan buatan mama. Selama 1 semester ini, tiap minggu dilaporkan hasil nude food survey di tiap kelas. Anak-anak Prep hampir selalu menjadi 'juara,' atau paling banter mlorot ke posisi ketiga. Para 6th graders malah selalu paling buncit. Setengah menyentil, pembawa acara, anak grade 4, memotivasi kakak kelasnya untuk lebih berupaya menjadi role model di semester mendatang. Semua yang hadir ketawa.
Hasil proyek lain yang menarik adalah kumpulan artikel tentang lingkungan yang dihasilkan oleh anak-anak grade 3/4. Ini bukan kliping, tapi tulisan siswa sendiri. Hasil kerja mereka dikemas dalam e-book. John mengapresiasi karya mereka dan sekolah akan mengunggahnya ke website sekolah.
Tak perlu heran juga bagaimana teknologi sudah melekat di MPS. Anak grade 3 ke atas sudah pegang Mac Pro atau Mac Air. Satu anak satu laptop. Anak di bawahnya sudah akrab dengan iPad. Itulah mengapa anak setingkat SD di MPS sudah bisa membuat film pendek dokumenter sebagai bagian dari class project. Istilah doing research sudah lumrah, karena ini berarti cara referensi di internet atau buku di perpustakaan untuk mendukung report atau project.Satu hal yang patut ditiru adalah apresiasi sekolah terhadap proses dan kerja-keras. Bukan sekedar hasil dalam bentuk prestasi akademik berbau kognitif. Bila sekolah baru saja mengikuti lomba lari, sepak bola, atau apapun, maka semua siswa yang mewakili akan gantian bicara di assembly. Dua tiga kalimat tiap anak. Kalah menang diceritakan. Dan semua yang hadir memberikan applause.
Bagian yang paling ditunggu orang-tua adalah pengumuman achievement award mingguan. Biasanya ini bagian school captain yang memberi pengumuman. Dan kepala sekolah atau wakilnya yang menyalami siswa, sambil memberikan sertifikatnya. Dimulai rombongan Prep, Adzra dipanggil untuk maju ke depan. Putri cantikku ini seperti tahu betul memilih moment yang tepat, saat ayahnya di sini untuk menyaksikan. Dia menerima sertifikat dengan tulisan 'Congratulations Adzra, for writing more and more each day. Great effort!'
Sekitar 7 anak Prep juga dapat award untuk berbagai achievement. Empat di antaranya diterima Adzra and the gang. Kecuali Sarah yang sudah dapat award minggu sebelumnya, Senin kemarin giliran Adzra, Nadia, Achia, dan Liana. Dua nama terakhir ini anak Bangladesh. Lima sekawan ini runtang-runtung ke mana-mana. Achia menerima apresiasi untuk ‘writing without copying, dan Nadia diganjar excellence in phonics. Avinash, anak India, dapat award untuk being kind and helpful to friends. Kategori yang lebih kompleks diberikan untuk para seniornya di grade 1-6. Ada award untuk excellent organizational skills, doing lots of maths, producing e-book secara berkelompok, consistency in book report, dan sebagainya.
Berkali-kali menikmati assembly, saya jadi semakin paham bagaimana character building di MPS terinternalisasi di keseharian anak-anak. Kunci keberhasilan yang dipatok MPS adalah Confidence, Persistence, Organisation, Getting Along, and Emotional Resilience. Sementara itu, nilai-nilai moral yang dikembangkan adalah Respect, Responsibility, Excellence, and Honesty. Prestasi tidaklah direduksi ke dalam angka rapot atau bahkan ranking di kelas. Model yang beginian berpotensi menjulangkan segelintir anak, dan menenggelamkan mayoritas menjadi ‘anak-anak biasa saja. Di MPS, boleh dikatakan tiap anak pernah dan akan dipastikan menerima penghargaan atas kerja kerasnya. Baik untuk urusan akademik seperti literacy dan numeracy, maupun social skills. Ken misalnya, anak Indonesia di Prep, pernah harus ikut sesi speech therapy. Itu saking diamnya dan penolakannya untuk berinteraksi dengan teman dan guru. Padahal kalau di rumah, menurut ibunya, paling cerewet dibandingkan kedua kakaknya. Seiring berjalannya waktu, Ken dapat achievement award untuk ‘great improvement in communication and interaction.’ Juga Sarah, sahabat Adzra. Dua kali sudah dia dapat award untuk ‘great improvement in speaking English.’ Pendeknya, peningkatan sekecil apapun akan diamati guru dan layak diganjar penghargaan.
Ketika John berdiri di samping para pembawa acara, membantu membacakan skrip, Donna, si wakasek, menjadi fotografer, mengambil gambar para awardees untuk newsletter minggu ini, dan guru-guru lain mengoperasikan tayangan di layar, saya merasakan betapa dekatnya interaksi guru-siswa-staf. Pada saat yang sama, saya bayangkan betapa berjaraknya sebagian guru dan staf sekolah dengan para siswa di tanah air. Tak heran anak-anak Sumba merindukan guru-guru SM3-T. Para pendidik yang penuh dedikasi dan komitmenlah yang bisa memenangkan hati siswa.
Di negeri Down Under ini, kami para orang-tua merasa sangat bersyukur menyaksikan anak-anak kami berkembang secara wajar di lingkungan sekolah yang nyaman dan menyenangkan. Chika, mama Nadia, sampai terharu, pingin nangis. “Gak rugi aku mbak, bayar AUD$ 7000 per tahun buat tuition. Pengalaman ini akan nempel seumur hidup di benak Nadia.” Fajar, ayah Nadia memang mahasiswa S2 jalur coursework dengan beasiswa kantor. Non-ADS awardees dengan jalur coursework seperti Fajar rata-rata dapat beasiswa dua kali lipat dari mahasiswa riset beasiswa uni seperti aku. Tapi mereka juga terpaksa harus merogoh saku dalam-dalam untuk sekolah anak. Sementara aku bersyukur bisa dapat bebas SPP untuk Ganta dan Adzra. Bahasa orang Jawa sih, sawang-sinawang. Tiap scholarship scheme ada plus minusnya.
Sambil sarapan, saya dan mas Prapto ngobrol tentang dunia pendidikan di tanah air. Tentang kemungkinan dan tantangannya mengembangkan hal serupa di sekolah. Terutama di sekolah negeri. Tiba-tiba pikiran saya membayangkan pendidikan karakter yang sedang dikembangkan di tanah air. Saya berdoa, mudah-mudahan tidak terbatas pada pengembangan rencana pembelajaran di atas kertas saja. Betapa pembiasaan budi pekerti tidaklah sekedar tertuang di atas kertas, namun membutuhkan konsistensi dan dedikasi para pendidiknya. ‘Pekerjaan rumah’ kita ternyata makin panjang saja. Semoga kita para pendidik tetap istiqomah dengan tujuan mencerdaskan anak bangsa.
No comments:
Post a Comment