Minggu
lalu adalah Children's Book Week. Kegiatan tahunan ini biasanya dilangsungkan pada bulan Agustus.Tahun ini, tema yang diusung adalah Read across the Universe. Seluruh sekolah di Australia, terutama primary
schools, merancang beragam kegiatan literasi. Dan seperti biasa, Moreland Primary School
pun ikut heboh sejak minggu sebelumnya. Notices, newsletters, dan kegiatan
kelas serempak memberikan woro-woro kepada para orang-tua dan siswa.
Sejak Jumat lalu, aku dan Adzra sudah
mulai mendiskusikan dia mau jadi apa. Ya, hari Senin 19 Agustus lalu, tiap
siswa parade kostum book character. Boleh jadi apa saja, asalkan si anak sudah
pernah baca bukunya. Baik dari koleksi perpustakaan tiap kelas maupun di rumah.
Di kelas Preps sendiri, ortu diundang masuk
kelas pada hari Jumat itu. Saat itu Kerry, guru Adzra, sedang menayangkan slide
berbagai sampul buku dan contoh ide kostum book characternya.
Adzra milih-milih koleksi bukunya. Dan
aku browsing cari ide kostum. Wajah-wajah akrab dalam dongeng seperti Harry
Potter, Little Red Riding Hood, para putri dan peri bermunculan. Banyak lagi
yang lebih kontemporer seperti Angelina Ballerina, Scary Bear, Winnie the Pooh,
dan sebagainya. Sampai kemudian Adzra bilang, 'I wanna be Dorothy.'
Nama yang disebut Adzra adalah tokoh utama di cerita klasik The Wizard of Oz. Filmnya sudah puluhan
kali ditonton Adzra. DVDnya kubeli ketika masih di Texas dulu. Adzra belum lahir
saat itu. Aku pikir film jadul klasik ini akan membosankan buat dia saat masih
usia 3 tahunan. Tapi begitu banyaknya lagu lucu dengan rima cantik ternyata
memikatnya. Apalagi kostum-kostumnya. Dan lagu Somewhere over the Rainbow
adalah favoritnya. Dia suka menirukan Judy Garland yang memerankan Dorothy
menyanyikan lagu itu.Dan versi bukunya aku temukan di
second-hand store di sini. Sudah bolak-balik kami baca. Adzra jadi tahu bahwa plotnya
agak beda.
Waktunya hunting kostum. Baju terusan
kotak-kotak biru muda. Simpel saja. Adzra nambahi ide mau bawa keranjang rotan
mainannya. Nanti diisi boneka puppy. Itu adalah Toto, teman piaraan
Dorothy.Like in the movie, mommy. Kreatif nih anak. Giliran tugas Ganta
menemani adiknya cari kostum di Savers, recycle superstore.
Jadilah Senin pagi itu Adzra beraksi
menjadi Dorothy. Berkuncir dua dengan pita biru. Berjalan di hall dengan
menenteng keranjang dan Toto di dalamnya. "I'm Dorothy in The Wizard of Oz." Kakak-kakak kelasnya mendekati dan ikut memainkan boneka puppynya.
Saya tidak ikut menunggui saat assembly
dan parade berlangsung. Ada jadwal kontrol ke rumah.sakit. Tapi hasil pandangan
mata teman-teman ortu, acaranya seru. Tak ketinggalan para gurunya ikut mejeng
pula. Ben, guru Preps, menjadi Dracula a la Bram Stoker.
Lho kok Book Week tidak ada acara
bukunya?
Sebenarnya
apa yang disebut Children's Book Week ini bukanlah berarti bahwa hanya minggu
ini semua sekolah akan menggelar acara literasi. Ini 'hanyalah' celebration
week. Atas keseluruhan kegiatan literasi yang menjadi rutinitas tiap hari di
tiap kelas. Namanya perayaan, yang dimunculkan adalah kehebohan seperti parade
kostum karakter buku, the best costume, sampai pemilihan Book of the Year.
Mengapa acara seperti ini begitu
meriah? Bagaimana anak bisa diajak memilih sendiri kostumnya, ata dengan
keukeuh memilih yang berbeda dari saran ortunya? Itu karena program literasi
yang sesungguhnya terjadi selama 5 hari dalam seminggu dalam setahun.
Sebuah program literasi akan berhasil
dengan sangat baik bila kelima node ini saling berkaitan.
Sekolah-guru-siswa-ortu-pemerintah. Ini kalau kita bicara tentang literasi di
tingkat nasional. Di mata saya, inter-relasi ini saya temukan di sini.
Beberapa teman yang saya tanyai mengaku
takjub dengan kesukaan membaca anak-anak.mereka. Shofi, grade 1, sudah bisa
menyebutkan Roald Dahl sebagai pengarang favoritnya. Salah satu faktor
pendorongnya adalah karena gurunya membacakan cerita-cerita Dahl seperti
Charlie and the Chocolate Factory secara bersambung. Siapa yang tidak kepincut
dengan cerita Willy Wonka dan pabrik coklatnya? Di versi filmnya, Johnny Depp
amat pas memerankan keeksentrikan Willy Wonka.
Ada juga Aufa yang selalu pinjam 25 an
buku di Brunswick Public Library dan menghabiskannya dalam seminggu. Setelah
balik ke tanah air dan masuk kelas 6 di Solo, ortunya berusaha terus memenuhi
hasrat baca Aufa dan menambahkan yang berbahasa Indonesia. Tentu perlu konsistensi bagi mbak Ita dan mas Solikin, orang-tua Aufa, untuk menjaga 'cinta baca' ini dengan kondisi pendidikan di tanah air yang kurang greget dalam hal literasi.
Cara guru membuat anak-anak terikat emosinya
dengan buku juga berperan besar. Jumat lalu saya menyaksikan Preppies melakukan kegiatan partner reading selama 10 menit. Preppies yang rata-rata berusia 5-6 tahun dan
tidak mungkin membaca buku dalam waktu sesingkat itu kelihatan terbiasa. Tiap
pasangan mengambil hula hoop gede di salah satu pojok kelas, dan menaruhnya di
mana saja di dalam kelas. Kemudian memilih satu buku. Lalu tiap pasangan duduk
di dalam hula hoop. Menaruh buku di tengah. Satu halaman dibuka bergantian.
Bila dua halaman sudah terlampaui, mereka boleh berdiri, mengambil
masing-masing 1 gelas coklat panas dan cookies. Balik ke hula hoop
masing-masing dan lanjut membaca.
Apakah mereka membaca ceritanya dengan
benar sesuai tulisan. Tentu tidak. Tapi suasana membaca yang menyenangkan ini
yang tertanam.
Sebagai pendidik yang punya minat di
pembelajaran sastra di kelas, saya harus angkat topi dengan praktik
pembelajaran di Moreland PS. Dan mereka membuka pintunya untuk ortu bila ingin
datang kapan saja di luar undangan. Asal memberitahu saja. Dan ortu bisa duduk
diam tanpa menginterupsi kelas, dan bisa pergi dengan hanya melambaikan tangan.
Inilah bukti bahwa program literasi
memerlukan kesungguhan dari semua pihak agar bisa mendarah-daging. Ada
kontinuitas yang dipastikan berjalan dari guru grade rendah ke berikutnya. Ada
kesatuan yang dipastikan oleh kurikulum sekolah. Ada keterlibatan ortu yang
diharapkan tetap tuned-in dengan program sekolah. How? Baca weekly newsletter.
Baca notice yang diselipkan di reading bag anak. Ada kesinambungan dengan
pemerintah, yang diwakili oleh public library. Mereka juga ramai dengan tawaran
program children's book week dan sebagainya. Semuanya menjadikan anak-anak
sebagai subjek. Sosok yang penting.
Melihat ke tahun-tahun ke depan, saya bermimpi rancangan Pusat Literasi Unesa akan melihat gambaran di atas sebagai
peluang mencetak guru yang tahu bagaimana menanamkan budaya literasi. Modal
awalnya, calon gurunya juga cinta literasi. Berarti dosennya juga begitu. Pertanyaannya, siapkah kita menjawab tantangan ini?
No comments:
Post a Comment