Membaca ulasan pak Santiko Budi, saya setuju 100% bahwa buat bangsa kita, literasi baru dimaknai sebatas memelek-hurufkan manusia. Masih jauh dari memelekkan manusia sebagai bangsa. Menjadi manusia berbangsa berarti bahwa identitas kultural tidak bisa lepas dari praktik literasi yang kita lakoni, baik sebagai individu maupun komunitas. Itu karena proses pembentukan atau transformasi identitas memerlukan artefak budaya sebagai penandanya. Dan dalam praktik literasi, artefak budaya yang dipakai bisa dalam bentuk materi. Buku, flash disk, pensil, laptop, tablet, mainan, adalah sebagian kecil contohnya. Artefak budaya bisa dalam bentuk ideologi. Cara pandang kita terhadap buku, membaca, dongeng, adalah contoh kelompok ini. Kira-kira begitu landasan teori yang saya pakai untuk tesis saya.
Beberapa waktu yang lalu, saya berbincang dengan seorang teman baik dari Solo. Sebut saja namanya Putri. Suaminya sedang studi S3 di Melbourne, dan anaknya sepantaran Adzra, namun bersekolah di 'desa' sebelah. Seperti kebanyakan teman spouse di sini, dia juga 'berkarir' di Vicmart. Jaga toko scarf.
Saya lupa bagaimana kami memulai obrolan tentang literacy program di sekolah anak-anak. Mungkin saja keusilan saya bertanya tentang bagaimana anaknya belajar membaca di sekolah. Yang saya ingat adalah curhatannya. Kira-kira begini rekonstruksinya.
Putri: Mbak Tiwik, wingi ning pasar aku diunen-unen karo customer ta ya?
Tiwik: Lapo mbak?
Putri: Lha dheweke ki golek selendang sing gambare Goldilocks. Aku ra ngerti. Ya aku ngomong wae, I don't know.What is Goldilock? Lha kok ngamuk to! You can't live in Australia if you don't know Goldilocks! Terus ngomel-ngomel ngalih ra sido tuku. Apa ta mbak Goldilock kuwi?
Tiwik: Ya iku dongeng lokal Australia. Goldilocks and the Three Bears.
Putri: ...Iya bener mbak. Aku takon anakku. Jarene ya ngono. Crita arek wedok karo beruang ngono.
Tiwik: Arek-arek pancene kenal teka sekolahan mbak. Kan ana home reading sak ben dina.
Putri: Walah aku ora sempat ngancani maca. Wis kesel ko pasar mbak.
Saya geli membayangkan pengalaman mbak Putri. Si pelanggan terkesan rasis di matanya. Ada benarnya sih. Tapi saya bisa memahami mengapa dia senewen. Ini bukan hanya sekedar masalah pernah baca atau tidak. Lebih dari itu, akar budaya seharusnya terekam dalam perjalanan hidup seseorang. Di mata orang Aussie, jalannya adalah proses literasi, termasuk salah satunya melalui dongeng. Dan menjadi orang Aussie adalah tahu siapa Goldilocks dan nilai-nilai apa yang tercermin. Bagi yang ingin tahu ceritanya, silakan klik
Nampaknya tidak jauh berbeda dengan kita. Kalau ditanya cerita Bawang Putih Bawang Merah atau Timun Mas dan Buto Ijo, mestinya sudah banyak yang tahu (tapi saya tidak yakin dengan generasi digital natives sekarang). Bukan hanya sekedar ceritanya, tapi nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya. Bedanya adalah, kebanyakan mendapatkan dongeng ini melalui lisan. Orality. Bukan Literacy. And that makes a whole a lot of differences! Dongeng, epik, legenda kolosal yang menjadi identitas budaya kita akan lenyap berapa puluh tahun lagi bila tidak dituangkan dalam tulisan.
Ketika seorang anak yang culas dijuluki sebagai Bawang Merah, laki-laki yang menghalalkan segala cara tak ubahnya seperti Macbeth (plus Lady Macbeth sebagai simbol istri yang ngojok-ngojoki suami agar berkuasa), gadis yang merana tapi akhirnya bahagia adalah Upik Abu atau Cinderella, itu sebenarnya menunjukkan bahwa sastra sudah masuk dalam kesadaran kolektif kita. Tapi proses itu tidak akan menancap lintas generasi tanpa 'program' literasi. Bagi bangsa yang masih berlandaskan lisan seperti bangsa kita, yang lebih diingat adalah mitos-mitos, gugon-tuhon, dan takhayulnya. Ciri masyarakat lisan menurut Walter Ong di bukunya From Orality to Literacy.
PR besar ada di tangan orang-orang lulusan bahasa (menunjuk ke hidung sendiri!!!). Ayo Pusat Literasi Unesa, ini tantangan yang harus dijawab!
No comments:
Post a Comment