Beberapa waktu yang lalu saya menerima postingan dari bu Lies Amin di milis Keluarga Unesa. Yang paling saya suka adalah ketika bu Lies membagi pandangan pak Santiko Budi tentang sastra dan budaya. Dosen senior ini adalah salah satu yang paling saya kagumi kedalaman berpikirnya. Amat filosofis. Tapak langkah saya menempuh S2 di UGM, S2 di Texas dan sekarang ini di Melbourne, tidak lepas dari campur tangan beliau.
Beberapa bulan yang lalu pak Santiko menuliskan tanggapan terhadap tulisan saya tentang Literasi dan Budaya Pop di sini. Sekarang muncul lagi sambungannya, Kali ini lebih dekat dengan dunia sastra. Ini dia ulasannya.
=======
Postingan bu Lies:
Tadi siang ada acara halbil di FBS. Semua dosen dan karyawan, termasuk yang sudah pensiun diundang. Hadir dalam acara itu p jonohudijono, p soerono martorahardjo, ibu joharni harjono, p budi darmo, p hendra, b kutsi, p mas moeliono, p djoko soeloeh, ibu harjoso, ibu titoet soa sofia, p soenarjo, dekan fik, p budi djatmiko, p sugimin, bu totong, dan banyak pensiunan lain termasuk suami atau istri mereka. Selain para pensiunan, tentu dosen dan karyawan yang masih aktif termasuk tenaga honorer dan cleaning service juga hadir.
Saya tentu tidak sempat berhaha hihi dengan semua orang saking banyaknya yang hadir, tetapi dari beberapa yang sempat berbincang dengan saya ada beberapa yang menarik. B joharni menanyakan draft buku b thea, b titoet yang sudah tidak ingat kepada saya (maklum mahasiswa tanpa identitas khusus waktu itu), p budi darma seperti biasa menanyakan kabar terakhir saya dan anak-anak, dan lain-lain. Ketika saya berbincang dengan p santiko (karena saya harus memberikan inflight magazine wings air yang memuatvreportase putra beliau tentang dalang wayang potehi), beliau saya tanya mengapa kok catatan beliau tentang literacy tidak dilanjutkan. Beliau hanya tersenyum. Tapi sore ini saya mendapatkan email dari beliau sbb:
Ulasan pak Santiko:
Dalam obrolan yang lalu, saya mengatakan kita tidak punya tradisi literasi sebab pada dasar- nya kita (masih) merupakan komunitas dengan tradisi oral, Tapi mungkin bisa juga dicoba dilihat dari sisi lain, terutama dari cara pandang kita. Sebagai bangsa, kita lebih hidup di masa kini, di saat ini, dan keadaan ini diperparah oleh kegandrungan kita akan budaya instan. Sebagian mengatakan sebagai bangsa, kita memiliki ingatan pendek, cepat lupa. Sebenarnya ini merupakan wujud nyata sikap sesaat dan kekinian kita. Kita abai terhadap "national heritage" kita. Kita baru tahu kita punya La Galigo, konon epic terpanjang di dunia mengenai asal usul manusia dan banyak hal lain mengenai kehidupan dan makna hidup, lewat orang Barat.
La Galigo merupakan suatu karya monumental, tapi kemudian kita terlantarkan sehingga hilang dari ingatan. Kita ciptakan Borobudur, suatu monumen beneran yang monumental, tapi lalu kita terlantarkan hingga akhirnya tertimbun tanah untuk kemudian hilang dari kesadaran kita sampai ditemukan dan digali orang Barat. Kita hancurkan gedung-gedung bersejarah dan di atas reruntuhannya kita bangun pusat perbelanjaan. Kita pemilik gamelan, tapi orang Barat lebih getol mempelajari dan menggubah gending-gending. Kita tidak memiliki jiwa dan pandangan yang berkesinambungan. Kita adalah manusia tanpa masa lampau. (Bandingkan dengan ujaran: "What is us, without our past?") Secara sederhana literasi bisa dimaknai melek huruf, mampu membaca. Tapi kiranya tidak sesederhana itu. Maknanya adalah memelekkan manusia sebagai suatu bangsa. budaya Barat dikenal memiliki/mewarisi tradisi Greco-Judeo-Roman, artinya diwarnai budaya Yunani, Kristiani, dan Romawi. Pilihan bacaan dalam upaya me-literasi-kan bangsa didasarkan atas lteratur-literatur yang mengandung unsur-unsur di atas. Hal ini berlaku turun-temurun sehingga "heritage" tersebut masuk ke dalam kesadaran/ketidaksadaran mereka.
Untuk identitas bangsa, orang Inggris misalnya, menggunakan materi 'lokal', misalnya kisah-kisah "Beowulf", "King Arthur", "Canterbury Tales", karya-karya Shakespeare, Charles Dickens, Thackery, serta karya-karya besar lainnya. Karena itu ada kisah-kisah dan tokoh-tokoh yang kemudian seakan menjadi "currency", kadang ditemukan dalam percakapan sehari-hari tanpa perlu penjelasan karena sudah merupakan milik bersama, milik umum, ada di dalam ranah kesadaran/ketidksadaran masing-masing. Misalnya kalau dalam percakapan ada orang menyebut si Anu adalah Falstaff, atau Scrooge, atau Miss Havisham, maka yang diajak bicara memahami apa yang dimaksud pembicara. Di dalam karya sastra fenomena ini bisa dilihat dari penggunaan alusi. Pertanyaannya sekarang, bagaimana dengan proses literasi di Indonesia. Tampaknya kita baru pada tahap memelek-hurufkan manusia, belum sampai ke tahap memelekkan manusia sebagai bangsa. Dan, kita belum memiliki "currency." Mungkin.
3 comments:
Maap, tadi pake loginnya Agous, hihi
Sukaaaa sama ulasan pak Santiko Budi. Apalagi kata-kata "Memelekkan manusia sebagai bangsa", love to hear it ^^d
Post a Comment