"Mommy, is Indonesia a big country?" begitu tanya Adzra, ketika kami sekeluarga berkunjung ke Melbourne Museum kemarin siang. Minggu ini minggu kedua liburan sekolah term 3 di Victorian schools. Di depan saya terbentang peta Pacific Islands, bagian dari negara Australia. Indonesia, meski bukan termasuk wilayahnya, terpampang lebar di peta tersebut.
Saya menunjukkan mana benua Australia, yang Adzra buru-buru bilang, "I know Australia. I'm asking about Indonesia." Saya tunjukkan wilayah Indonesia, mana Jawa, mana Surabaya, di mana kami berasal. "You see, we flew all the way from Surabaya to Melbourne."
Mendapatkan begitu banyak pertanyaan tentang negara sendiri, oleh anak sendiri, di negara orang lain, membuat saya terbangun. Ketika saya mengira bahwa anak seusia Adzra belum saatnya dikenalkan tentang seluk-beluk negeri, ternyata sekolahnya malah mengangkat Indonesia sebagai tema pembelajaran di term 3 kemarin. Introducing Indonesia from an Australian perspective. Kira-kira begitu saya menangkapnya.
Tentu bukan tanpa tujuan bahwa Moreland Primary School mengangkat tema Indonesia dalam pembelajaran mulai Preps-Grade 6. Tidak perlu saya ulas bagaimana kepentingan politik budaya ekonomi yang melatar-belakanginya. Di lingkup MPS sendiri, setidaknya ada sekitar 50an siswa asal Indonesia, dari 350an siswanya. Mayoritas anak-anak yang orang-tuanya sedang studi S2/S3 di berbagai kampus di Melbourne. Di Preps sendiri saja ada 7 siswa Indonesia dari total 45 siswa.
Apa yang Adzra ketahui tentang negaranya sendiri di kelas? Kapan dulu dia bercerita, "Mommy, do you know that Indonesia has a lot of mountains. With fire. What do you call it, Mommy?" Saya mencoba menebak-nebak yang dia maksud dengan memberikan nama gunung. Merapi? Krakatao? Semeru? Sampai akhirnya nyambung juga ketika dia bilang, "You know, this afternoon Ben made a mountain with fire at Preps' sandpit. It was cool, Mommy." Seraya menggambarkan bagaimana gurunya membuat gunung berapi dengan lelehan lahar panas berwarna merah. "Oh, you mean volcano?"
Saya tanya darimana dia tahu tentang volcano. "We're talking about Indonesia at school. Ben said Indonesia is a beautiful country." Kali lain dia bercerita, "We drew Sumatran tiger in Mrs. Martyzack's arts class." Dan minggu ini, di masa liburan sekolah, dia bersemangat mau membuat 'kongklak' dan bermain bersama saya. "What's kongklak?" tanya saya. Meluncurlah keceriwisannya menggambarkan permainan pakai papan, dengan tujuh lubang di tiap sisi, dan tiap lobang diisi batu. "We made the board at school, from eggs' cardboard." "Oh, that's congklak. or dakon," jawab saya seraya geli membayangkan bagaimana dia mengenal permainan congklak dari perspektif seberang. Eksotik.
Maka jadilah salah satu school holiday project kali ini. Pagi tadi saya kosongkan karton telur dengan 5 lubang di tiap sisi. Saya berikan ke Adzra. Dibantu ayahnya, Adzra membuat papan dakon, berbekal gunting, cellotape. Setelah sarapan, dia keluar ke Warr Park dekat rumah. Mencari kerikil untuk isian lubang. Dan sepagian ini kami berdua seru bermain dakon. Saya ikut excited. Seperti kembali ke masa kecil. Entah kapan saya terakhir beririsan dengan permainan tradisional. Entah itu dakon, bekel, sepak engkle, atau gobak sodor. Sementara itu, Adzra meminta masnya merekam video ketika kami mulai bermain. Apa yang dia lakukan?
"Hello, everybody. We're playing a game called 'kongklak.' First you have to put five rocks in each hole ..........And then you take turns ......"
Lama saya merenungkan betapa permainan tradisional sudah lama menghilang dari hari-hari anak-anak di tanah air. Ketika di masa kecil saya dulu, tidak ada hari tanpa bermain karet atau playon, apakah anak-anak sekarang bahkan mengenal apa itu dakon dan bekel atau gobak sodor. Sementara itu, di pelataran Moreland Primary School, garis permainan engkle malah jadi salah satu jujugan anak-anak perempuan. Jangan-jangan suatu saat salah satu bagian kearifan lokal ini akan punah, sama halnya dengan harimau Sumatra yang tinggal segelintir jumlahnya. Dan ironisnya, negara lain malah antusias mengenal ancient wisdom ini.
Tiba-tiba saya merasa ngeri membayangkan apa yang mungkin terjadi di puluhan tahun mendatang. Something's gotta be done. Anak-anak kita tidak boleh tercerabut dari akar budaya sendiri. Perlu upaya mengintegrasikan kearifan lokal (yang mungkin dianggap remeh) ke dalam pembelajaran sekolah. Bukan sekedar menghafal berapa banyak pulau di Indonesia, nama-nama gunung berapi, sementara di seberang sana, anak-anak seusia mereka belajar tentang negara kita sambil bermain sains, seni, dan budaya.
Saya lihat di youtube, upaya seperti saya lihat sudah dilakukan di Solo, dengan pertandingan gobak sodor antar sekolah. Perlu gerakan senada digaungkan di kota-kota lain, agar budaya negeri tetap terjaga di diri generasi mendatang. Jangan sampai kita harus pergi ke Melbourne atau New York untuk belajar bagaimana bermain dakon.
Mudah-mudahan masih ada toko yang menjual bola bekel dan bijinya ya.
2 comments:
negara lain begitu antusias dengan yang kita miliki..smntr yang memiliki mungkin sudah lupa akan apa yang dimilikinya..
Seharusnya tulisan Ma'am ini di kirimkan ke salah satu media cetak di tanah air. Postcolonial issue banget.Tenang aja Ma'am ada toko yang jualan kok. Saya sendiri bisa maen bekel, belajar dari adik saya yang perempuan saat dia masih SD :)
Post a Comment