Menarik sekali mengamati mobilitas manusia dari satu tempat ke tempat lain,
dan dari satu negara ke negara lain. Pastilah banyak alasan secara politik,
ekonomi, pendidikan, budaya, dan sebagainya. Salah satu pendorong mobilitas ini
adalah keinginan untuk lebih mengenal ‘tetangga.’ Tak kenal maka tak sayang.
Semakin dekat, semakin kita merasa menjadi bagian di dalamnya.
Saat ini saya berada di Hsinchu, Taiwan. Mengikuti Inter-Asia Cultural
Studies Summer School selama 2 minggu. “Kuliah intensif”nya diadakan di
National Chiao Tung University. Sedangkan akomodasi peserta di asrama mahasiswa
National Tsing Hua University. Kedua universitas besar ini bertetangga. Bahkan
ada jalan ‘butulan’ dari asrama NTHU ke kampus NTCU.
Ada 45 peserta, mahasiswa S2 dan S3 dari berbagai negara. Hari pertama ini
belum ada kuliah. Kami semua dapat giliran memperkenalkan diri. Darimana asal
kami dan sedang meneliti apa. Dan di sinilah cerita Inter-Asia dimulai.
Ada peserta perempuan dari Taiwan yang sedang menempuh PhD di salah satu
Pusat Kajian Budaya di India. Ketika dia berbicara, kentara sekali dia sudah
mulai terpengaruh aksen India, dengan ‘th’ yang medok. Dengan guyon dia bilang
bahwa Taiwan adalah salah satu propinsi negara India.
Sementara itu, Zayid, peserta Bangladesh, belajar di Korea, dan mendalami
gerakan aktivis dan representasi budaya Korea.
Ada beberapa wajah bule di antara peserta. Peserta dari Baltimore, Maryland,
AS, Ira Roberts namanya (Ira nama laki-laki) adalah mahasiswa PhD di McGill
University, Canada. Dan yang dia teliti adalah budaya Cina daratan. Untuk itu
dia sedang belajar bahasa Cina untuk bisa membaca arsip-arsip sejarah saat
melakukan studi lapangan di Cina nantinya.
Ada lagi Thiti, anak muda dari Thailand, yang cukup bagus bahasa
Indonesianya. Saat perkenalan formal, saya baru tahu bahwa dia baru mulai studi
PhD di the University of California-Berkeley. Usut punya usut, bahasa
Indonesianya didapatkan karena dia sedang meneliti novel-novel Pramudya Ananta
Tur. Thiti sangat terkesan dengan gambaran gerakan politik di sastra Indonesia.
Dia akan melakukan studi komparatif dengan sastra Thai. Lancar sekali dia
bicara tentang Manifesto Kebudayaan dan Pancasila.
Lain lagi dengan Miriam. Perempuan Mexico yang mengaku easy going dan suka
pesta ini terbang ke Malaysia. Belajar tentang Asia di University of
Nottingham, Malaysia. Salah satu alasannya adalah untuk mencari tahu bagaimana
sebenarnya karakter Asia. Stereotip negative tentang Asia cukup kental di
kalangan orang Mexico. Harapannya, saat pulang ke Mexico nanti, dia bisa
mendekonstruksi stereotip orang Asia.
Ada lagi Risa Tokugawa. Gadis Jepang funky dengan bandananya. Dia kuliah di
salah satu universitas di Jepang, belajar tentan Malaysia. Dan logat Malay
cukup kentara saat dia berbicara dalam Bahasa Inggris.
Ada juga Nubar Gurbanova, atau Zizi. Gadis cantik dari Azerbayzan ini adalah
teman sekamar saya. Bahasa Indonesianya lancar sekali. Saat saya datang dan masuk
kamar, saya dengar dia sedang ber-skype. Teman-temannya berbahasa Indonesia
dengan logat Surabaya. Ternyata dia adalah mahasiswa S2 di Unair.
Banyak sekali cerita unik dan menarik. Salah satunya adalah ‘dibukanya’
pintu buat mahasiswa dari Cina daratan untuk datang dan belajar di Taiwan. Salah
satu peserta bilang, saat rehat, Cina dan Taiwan tidak lagi memandang satu sama
lain sebagai ‘musuh.’ Ya mungkin tetangga jauh tapi dekat, dekat tapi jauh
begitulah. Yang penting sudah mulai mengakui eksistensi masing-masing dalam
konteks hubungan internasional di tingkat kultural. Belum sampai ke hubungan diplomatik.
Dan pastinya ada saya. Orang Indonesia, belajar di Melbourne, meneliti
tentang TKW, yang membawa saya ke Hong Kong. Saya sempat pamerkan salah satu
antologi cerpen hasil karya FLP HK.
Perjalanan akademik yang unik inilah yang membawa saya dan peserta lain
akhirnya bertemu di Taiwan. Negara yang juga unik dalam hal hubungan diplomatik
dengan negara lain. Profesor Chen dari NCTU mengatakan bahwa kami semua yang
notabene tidak kenal dengan Taiwan akan ‘dipaksa’ memahami dan merespon tentang
sastra, budaya, politik Taiwan.
Peserta yang saya temui hari ini adalah sosok-sosok yang tinggi motivasi
belajarnya. Nekad belajar tentang budaya yang tidak mereka pahami sebelumnya. Meaghan
Morris, professor dari University of Sydney, menyebutkan prinsip yang menarik.
Kita semua dalam pencarian ilmu demi kemanusiaan. Humanity-driven knowledge.
Saya pikir itulah yang menyatukan kami. Kami belajar bukan sekedar untuk
selembar ijazah atau sertifikat. Keluar dari zona nyaman, masuk ke ‘area
berbahaya.’ Namun karena kami ingin mengenal ‘tetangga’ lebih dekat, dan
menjadikannya bagian cerita hidup kami.
Hari ini saya belajar bahwa menjadi Asia bukanlah satu pandangan/pemikiran
tunggal. Menjadi Asia berarti siap untuk saling terhubung dan bekerja bersama
untuk saling memahami. Itulah makna Inter-Asia.
Going Inter-Asia is really going
global.
Salam,
Tiwik
Dorm Ching, lantai 10, NTHU
(Hsinchu yang amat gerah)
No comments:
Post a Comment