Wednesday, July 02, 2014

Serunya Persiapan ke Taiwan

Saya sedang berada di Hsinchu, Taiwan. Kedatangan saya dalam rangka mengikuti program Inter-Asia Cultural Studies (IACS) Summer School, mulai tanggal 1-15 Juli 2014. Meninggalkan dinginnya Melbourne barang sejenak. Merasakan panas dan gerahnya Hsinchu yang mengingatkan saya pada Surabaya.

Keikut-sertaan saya di Summer School (SS) ini adalah buah sebuah 'kenekadan.' Saya mendaftarkan diri saat baru selesai kemoterapi terakhir Desember yang lalu. Saat itu saya masih belum fit benar, dengan wajah menghitam karena efek kemo. Tapi Summer School ini sudah saya incar lama. Dua tahun sebelumnya, IACS Summer School diselenggarakan di Bangalore, India. Salah satu dosen Cultural Studies di Unimelb, Audrey Yue yang berasal dari Singapore, tapi sudah menjadi warga negara Aussie, baru saja balik sebagai narasumber. Dia mendorong saya untuk ikut di SS berikutnya. Agenda ini dilaksanakan setiap 2 tahun sekali, berselingan dengan IACS International Conference.

Tahun lalu, saya tidak jadi ikut IACS conference 2013 di Singapore. Pas hari saya harusnya presentasi, saya tengah ttergolek di rumah sakit untuk operasi payudara kiri.

Jadilah saya nekad bilang ke Fran, supervisor saya, yang juga pengurus IACS Society. Saya bilang bahwa saat ini saya mungkin kelihatan belum sehat, tapi saya optimis di bulan Juli nanti saya sudah pulih kembali. Seperti biasanya, Fran selalu mendukung keinginan-keinginan saya. Surat rekomendasi untuk keikut-sertaan ini segera dia buatkan sebagai salah satu syarat pendaftaran.

Setelah menunggu dua bulan, saya dapat informasi bahwa saya termasuk di antara 40 peserta yang lolos. Lebih gembira lagi, saya dapat travel scholarship sebesar 1000 USD dari panitia. Jadi saya tidak perlu khawatir tentang dana beli tiket. Ditambah dengan 'sangu' sebesar 500 AUD dari the School of Culture and Communication Unimelb, di mana saya belajar.

Tantangan berikutnya adalah memperoleh visa ke Taiwan. Sebagai pemegang paspor dinas, saya sebenarnya tidak bisa masuk ke Taiwan. Tidak ada hubungan diplomatik antara pemerintah Indonesia dan Taiwan.Hubungan bilateral hanya pada level ekonomi dan kebudayaan. Tapi saya spekulasi dengan paspor hijau saya yang masih valid dan belum pernah terpakai. Apalagi paspor dinas saya sudah mau expired di bulan Juli 2014. Kalau saya mau memperpanjang paspor dinas, saya akan butuh surat dari Setkab untuk perpanjangan masa studi. Di surat itu saya hanya dijatah 3 tahun sampai Juli. Itu artinya saya harus pulang ke Surabaya. Kalaupun diperpanjang, saya tetap saja tidak bisa masuk Taiwan.

Sebagai warga negara yang patuh, saya mencoba untuk berkonsultasi ke KJRI Melbourne. Bagaimana enaknya. Saya disarankan untuk terbang ke Taiwan lewat Indonesia. Itu artinya saya pulang ke Indonesia dengan paspor dinas. Dan terbang ke Taiwan dengan paspor hijau. Begitu pula baliknya. Saya mikir-mikir dengan keribetannya. Selain berat diongkos, saya harus pulang dulu untuk memperpanjang paspor dinas. Dan itu butuh waktu. Plus paspor dinas tidak bisa dipakai ke Taiwan. 

Setelah tanya teman-teman sesama pemegang paspor dinas, ternyata banyak yang akhirnya switch ke paspor hijau, menghindari ribetnya urusan perpanjangan di tahun ketiga. Banyak syaratnya. Ini sebenarnya bukan praktik yang disarankan. But many can get away with it. Hehe.

Maka paspor biru dan paspor hijau saya bawa ke kantor imigrasi Australia. Student Visa yang terhubung dengan paspor dinas perlu dipindahkan ke paspor hijau. Alhamdulillah hanya proses 5 menit. Tanpa bayar, karena saya pemegang student visa. Hematlah 70 dolar.

 
Berikutnya saya ke kantor perwakilan Taiwan di Melbourne CBD untuk mengurus visa. Panitia mensyaratkan bahwa visa harus sudah ada sebelum April untuk secara resmi diterima sebagai peserta Summer School.  Eh sampai sana, saya diberitahu bahwa saya tidak perlu visa. Sebagai pemegang visa Australia dan warga negara Indonesia, saya bisa masuk Taiwan hanya dengan entry permit. Dan itu bisa didapatkan secara online, 1 bulan menjelang keberangkatan.

Maka saya infokan ke panitia semua kondisi ini. Syukurlah mereka amat paham, dan saya tidak perlu mengirimkan dokumen apapun kecuali tiket pp yang sudah harus dipegang. Tidak apa keluar modal dulu. Nanti sampai Taiwan akan langsung diganti 1000 US$.

Saya sudah excited dengan rencana ini. Apalagi temanya tentang Modern Asian Thought pas benar dengan perubahan tema sentral tesis saya. Saya mencoba menggandengkan antara praktik literasi BMI HK dengan konsep modernitas alternatif.

Dua bulan menjelang hari H, semua materi sudah mulai dikirimkan untuk mulai dicicil dibaca. Satu bulan kemudian saya apply entry permit secara online. 10 menit langsung approved. Langsung saya print Certificate of Authorization to Enter Taiwan. Lengkaplah semua dokumen yang diperlukan untuk masuk ke Taiwan. Paspor yang masih valid sampai 6 bulan ke depan, visa Australia, tiket pp, dan entry permit.

Hari ini hari kedua. Kuliah akan dimulai jam 1 siang nanti. Waktunya baca materi. Hari ini kelas akan membaca cerpen berjudul Filiality Park. Saya sudah sempat nyicil baca, walaupun harus diulang lagi. Cerita yang menarik, dengan latar belakang sejarah Taiwan saat menjadi koloni Jepang.

Sastra di kajian budaya menjadi semakin berkilau dan relevan dengan kondisi dunia di saat ini. Saya tidak sabar menantikan diskusi di kelas nanti.

Sudah sahur, shubuh, tilawah ODOJ, skype dengan Adzra, Ganta, dan ayahnya yang juga baru usai sahur di Melbourne. Di layar laptop, mereka lengkap dengan baju hangat penghalau dinginnya Melby. Sementara saya sedang gobyos di Student lounge, saat semua peserta masih tidur.

Hal-hal menyenangkan dan menyejukkan sudah memulai pagi ini. Waktunya baca materi.

1 comment:

GADIS LERENG SINDORO said...

Subhanallah, butuh perjuangan yang tak mudah untuk bisa sampai ke Taiwan ya, Mbak Tiwik.

Sayang sekali, kita tidak sempat bertemu :(
Semoga masih ada lain waktu.
Insya Allah