Barangkali ini yang Meaghan Morris maksud dengan humanity-driven knowledge. Profesor Cultural Studies dari Sydney University ini menekankan pentingnya upaya mencari ilmu atas dasar kemanusiaan. Bukan sekedar pemenuhan diri, namun berorientasi pada manfaat buat kemanusiaan.
Hari ini kami, peserta
IACS Summer School dijadwalkan melakukan field trip. Kelompok C, di mana saya berada, dan F, akan mengunjungi kantor Taiwan International Workers' Association (TIWA) di Taipei. Sejak awal memang saya sudah mengajukan diri untuk ikut kunjungan ini. Amat relevan dengan penelitian saya. Kelompok lain (A dan B) diarahkan ke asosiasi pekerja seks, sedangkan kelompok D dan E pergi ke kelompok pekerja seni.Pengelompokan ini sesuai dengan minat masing-masing peserta.
Naik bus sekitar 1 jam dari Hsinchu ke Taipei, akhirnya kami sampai di markas TIWA. Di kantornya yang sederhana, saya menangkap suasana Filipina yang kental. Pengumuman dalam bahasa Tagalog dan Mandarin nempel di sepanjang dinding. Foto-foto kegiatan rally dan budaya. Gereja Katolik, di mana TKW Filipina sering bertemu, berada tidak jauh dari kantor TIWA.
Jingru, aktivis buruh dan pengurus TIWA, menyambut kami, dan membuka pertemuan dengan presentasinya. Sempat saya tanya di mana BMI berada. Ternyata memang TKW Indonesia lebih banyak berkumpul di daerah yang lain. Meski mereka juga sering terlibat dalam kegiatan TIWA.
Selama presentasi Jingru, kami disuguhkan jejak-jejak perjuangan TIWA menyuarakan hak-hak buruh migran. Di sinilah emosi saya terasa diaduk-aduk. Sesak mengetahui bahwa ternyata pemerintah Taiwan tidak/belum memiliki peraturan buruh migran yang jelas untuk memberikan perlindungan hukum.
Tiga tahun bergulat dengan berbagai hasil penelitian dan data lapangan, saya paham bahwa kondisi di Hong Kong cukup memihak buruh migran. Ada peraturan gaji minimum, kewajiban majikan memberi hari libur. Bila tidak diberikan, maka majikan wajib memberikan kompensasi. Yang lebih penting lagi, buruh migran mendapatkan kebebasan berorganisasi.
Tidak heran muncul puluhan komunitas di kalangan BMI Hong Kong dengan berbagai aktivitas positif. Dan kondisi yang kondusif ini saja masih memberikan peluang pelanggaran di lapangan. Buruh migran yang masih baru dan naif cenderung tidak memiliki posisi tawar ketika hak-hak itu tidak mereka dapatkan. Karena memang tidak tahu (dan tidak pernah diberitahu oleh pihak agen).
Kondisi di Taiwan belum sebaik Hong Kong. Hak hari libur ternyata belum pernah tertulis di peraturan. Jadi bila buruh migran di Taiwan bisa libur di hari minggu, itu lebih karena 'belas kasihan' majikan. Itu juga bila mereka berani bertanya atau negosiasi dengan majikan. Dan kebanyakan hanya mendapatkan libur 1 kali/1 bulan. Ditambah lagi dengan beban kerja yang berat, yang bisa menguras kondisi fisik dan psikologis.
Ketika fieldwork di Hong Kong, saya sempat datang ke beberapa shelter yang menampung BMI bermasalah. Mendengarkan cerita mereka. Mengapa mereka lari dari majikan. Upaya asosiasi pekerja migran Indonesia berjuang di ranah hukum. Kali ini, di Taiwan, saya dihadapkan dengan pekerja Filipina yang juga lari dari majikannya. Tentang kontrak yang tidak sama dengan kenyataan. Tentang kekerasan yang dialami. Tak terasa mata saya berkaca-kaca. Membayangkan bangsa saya sendiri juga mengalami hal yang sama.
Itu barangkali alasan mengapa para buruh migran mencari pelarian di hari libur mereka. Memenuhi pertokoan yang hanya buka di akhir pekan. Little Manila. Itu julukan area ini. Serasa tidak berada di Taiwan. Penjual makanan. Salon. Kios kirim uang. Warnet. Penjual baju. Semuanya berbau Filipina. Persis dengan nuansa Kampung Jawa di area Causeway Bay dan Victoria Park di Hong Kong. Bedanya, di Little Manila ini, ada gang di mana tempat karaoke dan pub bertebaran. Bau bir dan asap rokok menyeruak dari ruangan yang temaram. Mengapa jadi seperti nuansa Dolly yang baru ditutup bu Risma ya?
Saya tidak tahu bagaimana suasana Kampung Jawa di sini. Kami tidak sempat ke area di mana BMI sering berkumpul. Dalam hati saya berharap tidak seperti Little Manila.
Kami juga berkesempatan menonton film dokumenter tentang perjuangan buruh migran Filipina yang bekerja di pabrik yang terancam ditutup. Sementara mereka belum menerima 3 bulan gaji. Plus terancam harus pulang tanpa hasil apa-apa. Tapi di antara perjuangan itu, terkuak fenomena lesbianisme di antara mereka. Itulah mengapa judulnya adalah The Lesbian Factory.
Saya sebenarnya sudah menonton film ini 3 tahun yang lalu. Supervisor saya, Fran Martin, memutarnya di kelas. Saat itu saya masih dalam tahap memperhalus proposal. Saat menonton kembali, saya merasakan koneksi yang lebih kental. Tentu saja karena saya sudah melihat sendiri fenomena yang sama dan cerita senada di kalangan BMI HK.
Dunia ini memang sempit. Jingru-lah yang ternyata memberikan film ini ke Fran. Dan bahkan buku Our Stories: Migration and Labour in Taiwan, karangan Ku Yu-Ling, fiksi yang berdasarkan kisah BMI dan BMF di Taiwan, saya temukan di sini. Tahun lalu, Fran menyarankan saya mencari buku ini sebagai referensi. Tidak ketemu di perpustakaan di seluruh penjuru Australia. Siapa nyana ternyata TIWA-lah penggagasnya. Buku ini, versi Mandarinnya, meraih penghargaan sastra Taiwan di tahun 2007, dan baru diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris tahun 2011.
Di antara 18 peserta yang datang ke TIWA, saya satu-satunya yang sedang meneliti isu buruh migran. Di antara serunya sesi diskusi dan tanya jawab, tak pelak saya lumayan banyak tanya dan berbagi cerita tentang kondisi BMI di Hong Kong. Tentang kegiatan penulisan yang cukup berhasil menyuarakan aspirasi mereka. Melihat kondisi Taiwan yang tidak sebagus Hong Kong, Bila buku Our Stories ditulis oleh aktivis buruh berdasarkan testimoni para buruh migran, BMI HK justru menulis sendiri kisah mereka.
Sebenarnya komunitas penulis di kalangan BMI Taiwan juga ada, meski lebih sedikit jumlahnya. Sayang saya tidak sempat bertemu dengan mereka. Padahal ini salah satu tujuan saya ke Taiwan.
Tapi saya sempat bertemu dengan seorang BMI yang berada di shelter TIWA. Ririn namanya, dari Malang. Menyalami saya sambil mengendong bayi yang mungkin baru berusia 3 bulan. Pertemuan yang singkat. Hanya 10 menit, sebelum dia pamit. Nampaknya siap-siap mau pulang ke Indonesia. Saya tidak sanggup bertanya apa masalahnya. Suara saya tercekat. Saya hanya sanggup merangkulnya, menepuk bahunya. "Ati-ati yo mbak."
Dalam perjalanan pulang di bus, pikiran saya sudah membayangkan akan memasukkan beberapa hasil pengamatan selama field trip ke dalam tesis saya. Mengulas sedikit buku Our Stories yang baru saja saya beli dari TIWA. Namun jauh di lubuk hati, ada rasa perih bagai tertusuk duri. Saya akan amat berdosa bila hanya tesis yang bisa saya hasilkan.
Sebagai peneliti, saya memang harus bisa menjaga jarak psikologis dengan isu yang saya angkat. Namun nurani saya tetap perlu menyuarakan keberpihakan. Bagaimana caranya?
Bisa jadi saya sedikit membantu mengedit tulisan teman-teman BMI HK. Mungkin saya sempat puas menterjemahkan kumpulan cerpen BMI HK ke dalam Bahasa Inggris. Tapi nampaknya itu belum akan cukup membantu menyuarakan perjuangan mereka. Semoga sebuah buku populer bisa saya persembahkan untuk mengangkat derajat para pahlawan devisa negara. Para perempuan tegar yang sudah menjadi bagian perjalanan hidup saya. Memberi inspirasi pada saya untuk tak pernah patah semangat. Semoga ini cara yang tepat untuk menyuarakan hati nurani saya.
1 comment:
Saya sangat tertarik dengan pembahasan mengenai karya rekan-rekan BMI, Bu. Tesis saya tentang kumpulan cerpen BMI HK. Semoga bisa berdiskusi lebih lanjut mengenai hal tersebut.
Hormat saya,
Nurul Maria Sisilia, Unpad. :)
Post a Comment