Jantung saya serasa berhenti berdetak ketika membaca postingan mas Satria Dharma di milis Keluarga Unesa Sabtu kemarin. Beliau meneruskan kabar dari Ella, bahwa rekan kami semua, Rukin Firda, kecelakaan, dan meninggal dunia. Saat berita itu dikirim, jenazah masih berada di RS Khadijah Surabaya.
Masih tak percaya, saya menelpon suami di Surabaya. Saya tahu mas Prapto sedang menghadiri halal bihalal Himapala Unesa. Saya, mas Prapto, Rukin, dan Ella, adalah senior organisasi pencinta alam di kampus tercinta ini. Yuni, istri Rukin, dan mas Ayik, suami Ella, juga adalah anggota senior. Saya yakin mas Prapto bisa memberikan info lebih jelas. Dan berita kecelakaan itu ternyata benar adanya.
Innalillahi wa inna ilaihi roji'un.
Kenangan saya bersama almarhum Rukin banyak terukir di masa-masa kuliah. Kami berdua adalah teman kuliah satu angkatan. Di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris IKIP Surabaya angkatan 1985, barangkali banyak yang tahu bahwa saya dan Rukin adalah dua sahabat yang runtang-runtung kemana-mana. Sahabat plek. Apalagi setelah Rukin gabung ke Himapala (saya ikut sejak tahun 1986, sedang Rukin setahun berikutnya). Juga setelah kami sama-sama jadi pengurus Senat Fakultas.
Bersama dengan Rukin, saya menghabiskan banyak menit ngobrol bernas tentang perkuliahan dan kehidupan. Tentang keluarganya. Cita-citanya. Saat itu saya sadar bahwa Rukin adalah sosok yang lembut hatinya.
Ketika banyak teman di jurusan mengira kami punya hubungan spesial, kami suka senyam-senyum saja. Lha wong kita sama-sama tahu kisah pribadi masing-masing di lingkungan Himapala. Itu yang barangkali membuat persahabatan saya dengan Rukin terasa spesial. Murni persahabatan dan saling mendukung, dan kadang diselingi persaingan sehat.
Kami berdua juga hobi mengambil mata kuliah kakak kelas. Kuliah di kampus Pecindilan saat itu juga dilakoni bersama. Padahal kampusnya jauh dari Ketintang. Mata kuliah Olahraga juga kami belani ikut kakak kelas, dan ketika matkul itu muncul di angkatan kami, kami ikut lagi. Bukan untuk dapat nilai. Just for fun. Exercising. Menjadi anggota Himapala dan hobi olahraga, tidak heran badan saya masih 'kekar.'
Saya, Rukin, dan Ella termasuk sering ketemu di kegiatan tingkat institut. Misalnya saja, saat kami ikut Pelatihan Jurnalistik, Rukin mewakili FPBS, Ella mewakili FPTK, dan saya dikirim Himapala. Ini sama saja dengan Himapala diwakili tiga orang (belum termasuk teman lain, Farhan Effendi, sekarang redaktur Surya, yang saat itu mewakili FPIPS).
Kami berdua juga termasuk segelintir mahasiswa yang masuk jalur skripsi dari angkatan kami. Dan kami juga ujian skripsi bareng. Saya salut dan angkat jempol pada Rukin yang berani menulis skripsi tentang sastra. Analisis sastranya di kelas memang ciamik. Dan dia menulis tentang Ernest Hemingway. Saya sendiri saat itu kurang pede menulis tentang sastra. Lebih senang dengan penelitian sosiolinguistik dengan terjun ke lapangan.
Hidup memang unik. Saya yang pada awalnya ingin jadi wartawan malah kemudian menggeluti sastra. Meniti karir sebagai pendidik. Sementara Rukin, yang lulusan SPG Jombang, berjiwa pendidik, kemudian terjun di jurnalistik. Dia bergabung dengan Jawa Pos sebagai wartawan.
Lama tidak ketemu, dan hanya dengar kabar on and off melalui jaringan senior Himapala, saya ketemu lagi dengan Rukin saat dia meliput kegiatan di Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Saat itu saya masih menjadi dosen tetap di sana. Off lagi, tapi saling mengikuti perkembangan masing-masing,
Beberapa tahun kemudian, saya menjadi dosen PNS, kembali ke alma mater yang sudah berubah menjadi Universitas Negeri Surabaya. Menyusul Ella yang sudah lebih lama menjadi dosen di Unesa. Saya kemudian berkesempatan studi ke Texas, mendalami sastra murni. Rukin termasuk salah satu teman yang suka email saya. Dia bahkan mengenali gaya tulisan saya tanpa melihat nama penulisnya. Itu ketika tulisan saya tentang kehidupan Muslim di Texas muncul di sebuah situs. Tulisan itu kebetulan terpilih sebagai tulisan favorit di lomba penulisan komunitas mahasiswa Indonesia di AS.
Komunikasi saya dengan Rukin menjadi intensif lagi berkat milis Keluarga Unesa, tempat alumni Unesa berjejaring. Di sini, tiga sahabat, Rukin, Ella, dan saya bekumpul kembali. Tidak lagi hanya sekedar saling kirim kabar, Namun sudah meningkat menjadi berjejaring dengan para miliser yang lain. Kepedulian kita terhadap pendidikan literasilah yang menyatukan kita semua. Ella sendiri sudah moncer sebagai profesor.
Dalam menjalankan tugasnya sebagai koordinator SM3-T Unesa dan direktur PPPG Unesa, Prof. Luthfiyah Nurlaela (sering kami plesetkan menjadi Sorella) sering melibatkan Rukin. Tak pelak sentuhan jurnalisme dari tangan Rukin dengan semangat pendidikan banyak mewarnai buku-buku yang mendokumentasikan kegiatan SM3-T Unesa. Ini tak lepas dari latar belakang pendidikan Rukin sendiri.
Saat kedua sahabat saya ini, Rukin dan Ella bergerak cepat, menerobos hutan dan sungai di daerah-daerah tertinggal, terpencil, terluar di wilayah Indonesia, saya suka 'ngiler.' Tulisan mereka sering mengisi milis Keluarga Unesa. Sementara saya dari jauh hanya bisa membayangkan saya bersama dengan mereka. Ingin segera selesai studi, agar bisa bergerak dan bersinergi kembali bersama sahabat-sahabat saya.
Ketika Rukin menyelesaikan S2-nya dengan cum laude di bidang Komunikasi, dan bercerita tentang keinginannya pensiun dari Jawa Pos, untuk kemudian membantu Unesa, saya sangat senang. Dalam angan saya, akan ada banyak kesempatan untuk berjejaring di tahun-tahun berikutnya.
Hari Jum'at yang lalu, Rukin menyapa saya di FB. Mengiyakan komentar Ella tentang foto saya yang katanya suuegger itu. Saya belum sempat menyapa balik. Ketika tersadarkan oleh kabar duka yang dikirim Ella di milis ini. Saya terdiam terpaku. Mata saya nanar. Tidak percaya dengan berita yang terlalu mengejutkan ini. Berharap kabar ini tidak benar. Namun suara suami di seberang sana mengatakan sebaliknya. Engkau memang telah pergi.
Di hari ulang tahun saya saat ini, hanya sehari setelah meninggalnya Rukin Firda, perasaan saya masih terbawa suasana kehilangan seorang sahabat terbaik. Saya mencari-cari di rak buku. Barangkali ada peninggalan abadi yang menorehkan namanya. Saya raih empat buku. Ibu Guru, Saya Ingin Membaca; Jangan Tinggalkan Kami; Pena Alumni, dan Boom Literasi. Dua buku pertama adalah catatan pejuangan guru-guru muda di program SM3-T Unesa di berbagai pelosok negeri. Buku pertama mencantumkan Rukin Firda sebagai editor, sedangkan buku kedua digawangi bersama oleh Rukin Firda dan Luthfiyah Nurlaela.
Buku ketiga dan keempat adalah antologi tulisan para alumni Unesa yang aktif bergiat di literasi. Di dalam kedua buku ini, nama Rukin, Ella, dan saya termasuk dalam daftar penulis. Sebelumnya kami juga ikut menulis keroyokan dengan teman-teman lain sesama alumni Unesa di antologi cerpen Ndoro, Saya Ingin Bicara.
Berada jauh dari tanah air, saya hanya bisa berdoa agar almarhum Rukin mendapat tempat yang layak di sisi Allah SWT. Dan istrinya, Yuni, yang juga adik angkatan di Himapala tetap tabah menghadapi musibah ini. Saya yakin Yuni dan ketiga anaknya akan kuat menjalani cobaan ini.
Salah satu sahabat telah mendahului kami
Innalillahi wa inna ilaihi roj'un
Sahabatku,
Brunswick, 3 Agustus 2014
No comments:
Post a Comment