“Kamu tidak bisa menyenangkan semua orang.” Kalimat ini
acapkali saya dengar dari mulut mas Prapto setiap kali saya curhat tentang
hari-hari saya. Kadang saya bertanya-tanya kepada diri saya sendiri. Mengapa
ketika saya merasa melakukan hal-hal yang menurut saya baik, orang lain bisa
menganggapnya sebagai tindakan punya
pamrih. Kadangkala bahkan ditentang habis-habisan. Ada juga yang sebenarnya
mengamini tapi nampak cuek, kemudian diam-diam mencari tahu lebih dalam dari orang lain. Itu hanya karena kebetulan ada yang merasa kurang
cocok secara personal dengan saya.
Ada banyak pertanyaan ‘mengapa’ di benak saya. Tapi
melelahkan juga mencari jawabannya. Ketika sudah mentok seperti ini, maka saya
mengingat kembali ucapan suami saya. “Masak semua orang suruh setuju dengan apa
yang kamu lakukan.”
Saya sedang merenung tentang pemaknaan literasi dalam
persepsi orang-orang yang saya kenal. Harus saya akui bahwa antusiasme saya
terhadap literasi memang amat tinggi. Praktis dalam setiap pandangan mata saya,
yang saya cari adalah bukti-bukti orang sedang terlibat dalam praktik literasi.
Entah itu di rumah, di kampung, di kampus, di hotel, di tempat umum, dan
sebagainya. Saya mengikuti beberapa grup di medsos yang berorientasikan kepada
literasi. Di beberapa grup saya cukup aktif, sementara di beberapa lainnya saya
hanya sebagai pengamat. Tapi beragamnya anggota masing-masing grup ini
menunjukkan bahwa literasi memang amat luas maknanya sebagai praktik sosial.
Karena literasi tidak lagi hanya terbatas pada kegiatan
membaca dan menulis, saya cenderung meyakini bahwa orang-orang yang tahu benar
pentingnya literasi informasi akan sepakat bahwa literasi memang wajib dipahami
oleh semua orang. Guru semua mata pelajaran, para orangtua, birokrat, dan siapa
saja butuh mengetahui bagaimana menyampaikan, memperoleh, mengelola dan
mengevaluasi informasi melalui berbagai jenis teks. Apakah melalui buku, koran,
majalah, fiksi, nonfiksi, radio, televisi, dan media lain, semua informasi
perlu diolah dengan kacamata kritis.
Dalam hitungan saya, semakin banyak mahasiswa S1, S2 dan S3
yang mengangkat literasi sebagai bahan kajiannya. Ada banyak jalan yang mereka
lalui untuk mengenal konsep literasi itu. Ada yang lewat kelas-kelas yang saya
ajar, tulisan saya di blog, presentasi saya di seminar dan workshop. Dan
tentunya jauh lebih banyak yang mengenal literasi dari dosen lain atau
buku-buku dan artikel yang mereka baca. Saya kan termasuk ‘pemain’ baru. Ada
banyak pegiat yang sudah jauh lebih lama dan berpengalaman menggeluti literasi.
Saya ‘mah’ tidak ada apa-apanya. Hanya saja timingnya memang tepat saat ini.
Pendek kata, kata literasi memang semakin trendy saja. Saat ini, mudah sekali
mencari artikel di media massa yang mengulas literasi di masyarakat. Perubahan
ini tentunya membahagiakan para pegiat literasi.
Itulah sebabnya saya sempat terhenyak ketika seorang teman
baik melontarkan ketidaksetujuannya secara terbuka terhadap sepak terjang saya.
Oops. Sebenarnya saya tidak sedang menyepak atau bahkan menerjang siapapun.
Saya pun mencoba mencari penjelasan kepada yang bersangkutan. Di manakah
kiranya hal tentang literasi yang membuatnya jengah? Di mata saya yang orang
sastra, rasanya muskil ada penikmat dan akademisi sastra yang justru menolak
masuknya literasi dalam ranah sastra. Dalam waktu sekejap, kami seolah-olah
sedang sama-sama pasang badan, membela posisi masing-masing.
Usut punya usut, cara pandang kami ternyata berbeda. Sobat
saya menilai saya sedang ‘memaksakan’ literasi sebagai teori sastra baru. Dia
tidak bisa menerimanya. Di matanya, disiplin sastra sudah mapan dan tidak
seharusnya diutak-atik. Dan saya gantian yang bingung. Wong saya tidak pernah
mengatakan bahwa literasi adalah teori sastra baru. Bagi saya, literasi dalam
sastra sebuah isu yang menarik dan layak dikupas melalui tokoh-tokoh di dalam
cerita atau film. Tak ubahnya dengan isu kecemasan, depresi, bias gender,
rasisme, konflik strata sosial dan sebagainya. Bila isu bias gender dan
emansipasi perempuan dapat dikupas dengan teori feminisme, maka representasi
literasi dalam sastra dapat ditelaah dengan teori New Literacy Studies. It’s as
simple as that. Saya memilih teori NLS karena persepsinya tentang literasi
sebagai praktik sosial, dan bukan sekedar serangkaian ketrampilan bahasa. Ini
teori yang sedang saya dalami dan kembangkan dalam berbagai aktivitas literasi
saya.
Setelah disentil sobat saya ini, saya mencoba merenungkan
kembali. Di mana kesalahan langkah saya. Saya termasuk orang yang khawatir menyakiti
perasaan orang lain. Jangan-jangan ‘kampanye’ literasi saya terlalu berisik dan
mengganggu sebagian orang. Jangan-jangan tanpa sadar saya sedang melakukan
kekerasan simbolik kepada orang lain. Maka saya mulai mengumpulkan bukti-bukti.
Di dalam catatan saya, ada 5 mahasiswa S1 bimbingan saya
yang menulis tentang representasi literasi dalam novel-novel pilihan mereka.
Isu yang diangkat bervariasi, mulai tentang literasi dan kekuasaan, literasi
sebagai ancaman, literasi dan pemberdayaan perempuan, sampai literasi sebagai
terapi penyembuhan diri. Tiga di antara mereka sudah lulus tahun lalu. Di luar
itu, saya juga memasukkan tema literasi dalam kelas-kelas yang saya ajar. Mulai
tema media literacy dalam mata kuliah
Popular Culture Studies, tema reading as family practice di kelas Poetry, dan literacy as self-development di kelas Prose.
Di kelas S2, literasi malah menjadi bahasan utama di mata
kuliah baru, Literacy in Education. Dalam kurun waktu 1 semester, kami mengulas
berbagai konsep yang terkait dengan literasi dalam berbagai ranah. Di akhir
semester, saya memandang setidaknya 30an mahasiswa Pasca memahami berbagai
konsep literasi di ranah sekolah, keluarga, dan komunitas. Semester ini, ada
sekitar 6 mahasiswa S2 bimbingan saya yang mengangkat literasi di ranah
pendidikan. Saya memang sempat menyampaikan bahwa saya hanya mau membimbing
tesis yang berbasis sastra. Namun ternyata ada beberapa mahasiswa yang tertarik
menulis tentang literasi di ranah pendidikan. Saya akhirnya bersedia membimbing
tesis nonsastra, dengan syarat temanya literasi.
Mungkin saya memang terlalu berisik. Saya cukup sering
menyampaikan peran literasi yang menyatukan disiplin sastra, linguistik, dan
pembelajaran bahasa. Bahwa ketiga disiplin ini berbeda dan punya keunikan
masing-masing memang benar. Tapi bahwa ada banyak irisan di antara ketiganya
juga harus dicari kemungkinannya. Di depan teman-teman yang bidangnya Sastra,
saya mencoba menampilkan tema literasi sebagai isu baru. Dengan teman-teman
Linguistik, saya menunjukkan bahwa konsep New
Literacy Studies justru tumbuh dan berkembang dari sana. Pendek kata,
Linguistik adalah rumahnya. Sementara itu, dengan teman-teman disiplin Pendidikan
(bahasa dan nonbahasa), saya cukup banyak mengulas pentingnya penumbuhan minat
baca di kelas, berbagai strategi membaca, dan saat ini pentingnya strategi
literasi dalam pembelajaran yang dapat dipraktikkan di semua mata pelajaran.
Sebenarnya saya juga tidak ingin asal bicara. Di berbagai
forum saya memaparkan pengembangan iklim literasi sekolah dan memodelkan penerapan
strategi literasi untuk tahap pembiasaan, pengembangan dan pembelajaran kepada
para guru. Ini saya lakukan dalam kapasitas saya sebagai anggota Satgas Gerakan
Literasi Sekolah Kemdikbud. Di kelas-kelas yang saya ampu, saya sudah cukup
lama menggunakan strategi-strategi literasi. Di dinding kelas banyak poster
mahasiswa yang mencerminkan pemanfaatan strategi literasi dalam pembelajaran. Dengan
menerapkannya sendiri, saya bisa tahu plus minus dan dinamikanya.
Barangkali saya terlalu bersemangat, sampai tidak sadar
bahwa ada pihak-pihak yang mulai terganggu kenyamanannya. Meski saya dapat
berdalih bahwa saya ingin mengajak banyak pihak ikut melakukan perubahan, saya
kurang awas bahwa tiap orang punya preferensi sendiri dalam melakukan perubahan.
Bisa jadi saya pasang persneling agak tinggi karena membandingkan langkah saya
dengan para pegiat literasi yang jauh melesat. Saya ingin ikut berlari dan
menggandeng orang-orang di sekitar saya, sampai lupa bahwa tiap orang punya
jalan berbeda. Saya memang tidak pernah memaksa orang lain mengikuti langkah
saya, tapi cara saya bisa saja dimaknai berbeda.
Sekilas saya baca kembali paragraf-paragraf di atas. Mencoba
mengonfirmasi dugaan saya, dan menguatkan niat saya untuk sedikit mengubah
haluan. Mungkin saya perlu berdiam diri sejenak dan beralih mengamati
langkah-langkah orang lain. Menjadi pengamat aktif, layaknya melakukan
pengamatan partisipasi dalam metode etnografi.
Dalam renungan ini, saya merasakan hal yang berbeda. Saya
menikmati antusiasme seorang teman yang aktif berbagi informasi tentang
pencarian referensi yang dia lakukan di dunia maya, dan tentang praktik-praktik
literasinya di kelas. Saya bisa menangkap binar matanya, dan tinggal mengiyakan
pandangannya. “Sekarang ini mau tidak mau semua orang perlu tahu literasi,” begitu
katanya. Saya tahu dia lakukan ini bukan karena saya yang menyuruh, tapi karena
dia meyakini bahwa yang dia lakukan di kelas-kelasnya ternyata mendapatkan
penguatan. Tidak cuma satu dua orang yang menunjukkan ketertarikannya terhadap
literasi dengan cara begini. Ada beberapa yang meminta bantuan saya mengirimkan
referensi untuk kajian literasi yang akan mereka garap, membaca draf mereka
untuk dikomentari, atau sekedar ngobrol ringan tentang literasi. Dan mereka
tahu literasi bukan dari saya. Mungkin mereka menghubungi saya karena mencari
orang yang dapat mendukung ide-ide mereka.
Ternyata literasi memang bisa dimaknai berbeda. Sikap
teman-teman saya menunjukkan bahwa literasi bisa memberdayakan, namun juga
dapat menjadi ancaman. Jadi saya tidak perlu risau karenanya. Saya justru harus
berterima kasih karena sudah diberikan bukti penerapan prinsip pendekatan New Literacy Studies. Saya jadi berpikir
untuk melakukan kajian lebih mendalam tentang persepsi orang terhadap literasi.
Suami saya memang benar. Saya tidak bisa membahagiakan semua
orang. Tapi setidaknya ada saja yang tergugah dan ikut bergabung bersama
menyatukan langkah. Di sini saya merasa bahagia.
Kebraon, 15 April 2017
No comments:
Post a Comment