Hari
ini umat Islam merayakan Isra' Mi'raj. Hari besar ini seringkali kita maknai
sebagai sarana mengingatkan umat Muslim tentang sejarah turunnya perintah
shalat lima waktu. Dalam perjalanannya naik ke surga, Rasulullah SAW bertemu
dengan para Nabi. Allah juga memerintahkan umat Nabi Muhammad SAW untuk shalat
50 kali sehari, namun saat Rasulullah bertemu dengan Nabi Musa AS, beliau
menyuruh Rasulullah untuk kembali ke Allah dan memohon untuk diturunkan jumlah
shalat dalam sehari. Rasulullah kembali dari Nabi Musa AS ke Allah SWT sampai 3
kali, sampai kemudian jumlah shalat wajib diturunkan menjadi 5 kali, yang akan
dihitung pahalanya 10 kali lipat oleh Allah SWT.
Namun
bukan hikmah di atas yang akan saya bahas dalam tulisan berikut. Saya akan
mengulas bagaimana kisah Isra' Mi'raj menjadi salah satu bukti bagaimana budaya
Timur dan Barat di jaman Abad Pertengahan berkelindan secara dinamis dan saling
memengaruhi. Tulisan ini saya sarikan secara singkat dari tesis MA saya
berjudul The Representation of
Islam in Medieval Literature (2004).
Versi singkat dalam bahasa Indonesianya pernah saya sajikan dalam Pidato Ilmiah
Lustrum ke-8 Unesa pada akhir tahun 2004 (baca lengkapnya di sini).
Apabila ditelusuri sejarah peradaban Islam, akan diketahui
betapa besar pengaruh Islam terhadap dunia Barat, dan begitu juga sebaliknya.
Tercatat tiga tempat yang menjadi jembatan hubungan ekonomi, budaya, ilmu
pengetahuan, dan agama antara Timur dan Barat, yakni Syria (Suriah), Spanyol,
dan Sicilia. Spanyol Andalusia dan Syria merupakan tempat berinteraksinya
peradaban Barat dan Islam, sedangkan Sicilia sempat menjadi kota Muslim di jaman
kekhalifahan Fatimah sekitar tahun 948, dengan sedikitnya 3000 mesjid berdiri
di kota ini (Hitti, 1962: 71).
Peradaban
Barat seringkali menjadi panutan dan tolok ukur dalam menilai berbagai aspek
dalam kehidupan manusia, termasuk dalam dunia sastra. Namun tak banyak yang
menyadari bahwa sebenarnya peradaban Islam memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap sastra Barat. Salah satunya adalah pengaruh kisah Isra' Mi'raj
terhadap The Divine Comedy karya Dante. Dante (1256-1321)
adalah seorang penyair Italia dari abad ke-13. Dalam karyanya yang menjadi
tonggak sastra Barat kanon (sastra yang sudah mapan dan menjadi tolok ukur
kualitas sebuah tulisan), yakni The Divine Comedy (terdiri
dari Inferno, Purgatorio, dan Paradiso), Dante
mengisahkan tentang perjalanan imajiner dirinya melewati neraka, alam barzakh (purgatory),
dan surga. Dengan ditemani oleh Virgil, penyair jaman Romawi, sebagai
pembimbingnya, Dante bertemu dengan berbagai tokoh terkenal di dunia pada
masa-masa sebelumnya. Di Inferno (Canto XXVIII.28-36), di
neraka lapis bawah, Dante bertemu dengan Muhammad yang digambarkan sedang
meratapi penderitaan karena siksaan yang diterimanya.
Muhammad
dan Ali ditempatkan bersama-sama dengan tokoh-tokoh lain yang menurut Dante
memikul dosa sebagai pemecah belah masyarakat. Gambaran siksaan kepada Muhammad
bisa dikatakan amat kejam dan mengerikan. Dengan tubuh yang terbelah menjadi
dua, lalu utuh kembali, dan terbelah lagi, dan seterusnya, Muhammad
dianggap pantas menerima hukuman atas dosanya menjadi pemecah belah dunia
menjadi dengan mendirikan agama baru. Kemungkinan besar Dante juga mengetahui
sejarah Islam tentang pecahnya umat Islam menjadi Sunni dan Syiah, karena dia
juga menempatkan Ali di lingkar yang sama. Dengan menghukum dua figur Islam
yang paling berpengaruh di neraka lapis bawah, Dante telah menunjukkan
kebenciannya terhadap Islam.
Namun
sebenarnya Dante sedikit banyak menunjukkan simpatinya kepada Islam, khususnya
dalam bidang filsafat dan kenegaraan. Di karya yang sama, Inferno,
Dante menyebut tiga tokoh yang berpengaruh dari dunia Islam. Ketiga tokoh
Muslim ini adalah Avicenna (Ibn Sina), filsuf dan ilmuwan dari Baghdad di abad
ke-9 yang karya-karyanya menjadi acuan ilmu kedokteran di Timur dan Barat
selama berabad-abad lamanya (Fakhry, 1999:275), Averroes (Ibn Rushd), filsuf
Andalusia/Spanyol Muslim di abad ke-11 yang lebih dikenal di Barat sebagai
komentator Aristoteles, dan Sultan Saladin dari Mesir yang berhasil merebut
Jerusalem dari tangan penguasa Kristen. Ketiga tokoh ini ditempatkan di Limbo,
tempat orang-orang baik dikumpulkan tetapi tidak ditempatkan di surga karena
mereka tidak dibaptis. Dengan menempatkan ketiga tokoh ini di Limbo, berarti
Dante membuka kesempatan bagi mereka untuk memperoleh keselamatan (salvation).
Bagaimana
kita sebagai masyarakat yang literat menyikapi karya sastra kanon seperti ini?
The Divine Comedy bisa saja dianggap sebagai karya kanon dalam artian bahwa
karya ini digunakan di pendidikan Barat dalam pembelajaran Sastra. Meskipun
begitu, karya yang sama bisa saja dianggap bukan kanon dalam hal sentimen agama
yang disampaikan. Pandangan agama Dante cenderung menguatkan hegemoni budaya
Barat, dan sah-sah saja dijadikan bahan kritik Kajian Budaya atau Poskolonial
karena mengamini oposisi biner Islam/Barat.
Pertanyaan
yang muncul adalah mengapa sepak terjang Dante juga menunjukkan sikap yang
ambivalen--benci dan simpati--terhadap Islam. Dante memberi penghargaan tinggi
kepada dua filsuf Muslim (Avicenna dan Averroes) yang juga adalah pakar ilmu Al-Qur’an.
Dante juga menaruh hormat tinggi kepada Sultan Saladin, seorang negarawan yang
menjadi simbol jihad melawan penguasa agama yang dianut Dante. Bukankah lebih
masuk akal bila Dante memasukkan Saladin ke neraka? Bila kita telusuri sejarah
perkembangan Islam pada masa itu, Saladin ternyata banyak disebut sebagai
tauladan seorang ksatria dan negarawan sejati, yang memperlakukan musuhnya
dengan cara-cara yang baik dan manusiawi. Ini sangat jauh berbeda dengan
perlakuan para tentara Kristen yang secara membabi buta membunuh orang-orang
tidak berdosa, terutama di Perang Salib ke-1 (Munro, 1931;338).
Banyak
sumber yang menyatakan bahwa Avicenna dan Averroes berupaya untuk menghadirkan
harmoni antara filsafat Aristoteles dengan hikmah dalam Qur'an. Misalnya saja,
Averroes berpandangan bahwa ayat-ayat di dalam Qur'an, bila ditafsirkan dengan
tepat dan menggunakan akal, maka dapat digandengkan dengan filsafat. Filsafat
agama seperti ini besar pengaruhnya terhadap munculnya Christian Scholasticism
(Chejne 1974). Averroes banyak memberikan pengaruh kepada perkembangan
pemikiran di Barat pada abad ke-13. Karya-karyanya diterjemahkan ke dalam
bahasa Latin sehingga filsafat Aristoteles lebih mudah dipahami di dunia Barat.
Dante sendiri bahkan dituduh sebagai pengikut Averroes dan dikucilkan dari kota
kelahirannya, dan karya-karyanya dibakar oleh penguasa (Cantor: 1996:138).
Pandangan ini bisa menjadi penjelasan mengapa Dante menolak Islam sebagai
sebuah keyakinan beragama (sebagaimana tercermin dalam gambarannya tentang Nabi
Muhammad SAW dan Sayyidina Ali), namun mengagumi Islam sebagai sebuah filsafat.
Pengaruh
Islam yang lebih mengejutkan lagi, terutama bagi dunia Barat adalah kritik
terhadap keaslian The Divine Comedy. Karya besar yang menjadi
bacaan “wajib” bagi mereka yang menekuni Sastra Barat di dunia Barat, ternyata banyak sekali
kesamaannya dengan kisah perjalanan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Adalah
Miguel Asin Palacios, seorang pastur dari Spanyol, yang telah menghabiskan
sekitar dua puluh lima tahun untuk menelusuri sumber-sumber yang memberikan
inspirasi bagi Dante. Palacios menyatakan bahwa Dante mengambil kisah Isra’
Mi’raj dan berbagai tulisan dari dunia Islam. Dalam bukunya yang diterjemahkan
kedalam bahasa Inggris, Islam and The Divine Comedy (1919),
Palacios memberikan begitu banyak detil kesamaan dalam membandingkan keduanya,
sehingga hampir mustahil kesamaan-kesamaan itu hanyalah kebetulan saja.
Penelitian
Palacios patut diakui kebenarannya. Apabila kita betul-betul menelusuri
episode-episode dalam The
Divine Comedy yang
menggambarkan neraka, alam barzakh, dan surga. Kita bisa menemukan begitu
banyak kemiripan dengan gambaran neraka dan siksaan-siksaan terhadap berbagai
macam dosa di setiap lapis neraka, maka sebagaimana tertulis di Al-Qur’an dan
Hadith. Ambil saja sedikit contoh: Baik kisah Isra’ Mi’raj (Sahih
Bukhari, Kitab 23, no. 468) maupun The Inferno (Canto XII.46-8) menggambarkan
siksaan yang sama kepada orang yang meribakan uang. Mereka ditenggelamkan ke dalam
sungai darah, dan dilempari batu yang kemudian mereka telan.
Kemiripan
yang patut disebut juga adalah bentuk siksaan yang terus menerus, misalnya
kondisi fisik yang pulih dan utuh kembali untuk kemudian disiksa lagi. Dante
memberikan gambaran di hampir seluruh bagian di Inferno. Sementara
itu, umat Muslim sudah akrab dengan gambaran seperti ini, sebagaimana yang
tersebut di Al-Qur’an (QS An-Nisa: 56: Sesungguhnya
orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka
ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan
kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana).
Mungkinkah
seorang Dante membaca Al-Qur’an dan/atau hadist secara langsung sebagai sumber
inspirasinya? Isu tentang keaslian The Divine Comedy ini cukup
kontroversial. Untuk memberi jawaban yang singkat, penjelasan yang sementara
ini dianggap paling memungkinkan adalah bahwa Dante terinspirasi oleh karya
seorang Sufi dari Andalusia pada abad ke-13, Muhyiddin Ibn ‘Arabi.
Karyanya, Futuhat Al Makkiyah, adalah kisah perjalanan mistis Ibn
‘Arabi, yang ditulis dengan menggunakan kisah Isra’ Mir’aj sebagai dasar
(Morris, 1987). Ada pula banyak bukti bahwa pada masa hidup Dante, kisah Isra’
Mi’raj dalam versi bahasa Latin cukup dikenal. Mentor Dante, Brunetto Latini, pernah bekerja untuk
Raja Alfonso X di Toledo, Spanyol. Alfonso X memerintahkan penterjemahan banyak
karya bahasa Arab ke bahasa Latin, dan salah satunya adalah kisah Isra’ Mi’raj.
Kita bisa berspekulasi bahwa Dante juga mendapatkan sumber-sumber ini dari
gurunya (Asin Palacios, 1926:248-9; Chejne, 1974: 405).
Melalui
tulisan ini, saya berharap agar kita semua umat manusia untuk belajar menerima
perbedaan tanpa harus kehilangan keyakinan beragama kita masing-masing. Kita
semua sadar bahwa ketidaktahuan masyarakat awam non-Muslim tentang Islam adalah
akar dari Islamophobia. Sama halnya umat Muslim yang awam tentang keyakinan
lain bisa menjadi ladang subur tumbuhnya kebencian. Kita bertetangga dengan
berbagai pemeluk agama, namun tahukah kita, atau pernahkah kita saling bertanya
dengan tulus tentang makna peringatan hari raya agama lain? Kita diharapkan
untuk menunjukkan toleransi terhadap agama lain, namun apalah artinya toleransi
bila tidak disertai dengan keterbukaan terhadap adanya perbedaan?
Di jaman yang bersifat multikulturalis ini, perbedaan bukanlah sesuatu yang
perlu disembunyikan demi sebuah keseragaman, karena pada dasarnya perbedaan
membuat kita semakin kaya, tanpa harus kehilangan identitas agama dan budaya
masing-masing.
Sudah
banyak yang dilakukan untuk menjembatani kesenjangan antara Islam dan Barat,
namun jalan yang harus ditempuh masihlah sangat panjang. Benturan peradaban
masih campur aduk dengan konflik agama. Barangkali tak perlu diperdebatkan mana
yang ayam, mana yang telur. Kita benar-benar membutuhkan upaya yang keras dan
terus menerus untuk membuka mata dunia bahwa batas-batas dan dikotomi
Timur/Barat, Superior/Subordinat, dan Modern/Tradisional sebenarnya hanyalah
garis maya.
Satu-satunya
cara untuk membangun kesepahaman adalah dengan mengupayakan keterbukaan
terhadap satu sama lain dan kesungguhan untuk menghargai tradisi masing-masing.
Bukankah Allah telah menciptakan dunia ini penuh dengan perbedaan agar manusia
bisa mengenal satu sama lain. Allah berfirman:
Hai manusia,
sesungguhnya Kami telah menciptakanmu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu
saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah adalah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS Al-Hujuraat: 13).
Daftar Rujukan
Alighieri, D. The Inferno. Trans. Allen Mandelbaum. New York: Bantam, 1980.
Cantor, P.A. 1996. “The Uncanonical Dante: The Divine
Comedy and Islamic Philosophy.”
Philosophy and Literature 20: 138-53.
Chejne, A.G. 1974. Muslim Spain: Its History and Culture. Minneapolis: The U of
Minnesota P.
Fakhry, M. 1999. “Philosophy and
Theology from the eighth century C.E to the
present.” The Oxford History
of Islam. Ed. John L. Esposito. New York: Oxford
UP.
269-304.
Munro, D. C. 1931. “The Western
Attitude toward Islam during the Period of the Crusades.”
Speculum 6 (1931):329-243.
Hitti, P. K. 1962. Islam and the West: a Historical Cultural Survey. Princeton: Nostrand.
Morris, J.. 1987. “The
Spiritual Ascension: Ibn ‘Arabi and the Mi’raj Part I.” Journal of the
American Oriental Society 107: 629-52.
Palacios, M.A. 1926. Islam and the Divine Comedy. New York: E.P. Dutton.
No comments:
Post a Comment