Hari Kamis lalu saya kembali menyusuri rak-rak perpustakaan kampus. Karena fokus saya tentang literasi, yang paling sering saya tuju adalah Giblin Eunson Library. Di sini ratusan buku literasi ditata berderet-deret. Saking seringnya saya ndoprok di karpet, saya jadi hafal letak buku, dan juga bila ada buku baru. Dan hari itu saya nemu buku baru. Terbitan 2013. Masih kinyis-kinyis. Mungkin saya peminjam pertamanya. Soalnya 1 bulan yang lalu, buku ini belum ada. Judulnya seksi banget buat saya. Language, Literacy & Literature.
Ketika Anda mendengar atau membaca istilah literasi, apa yang ada di benak Anda? Apakah istilah ini lebih dekat dengan ranah kebahasaan, sastra, atau pembelajaran bahasa? Bila kita memunculkan pertanyaan ini, sebenarnya kita masih terkungkung pada pikiran yang terkotak-kotak.
Pada posting terdahulu, mas Eko pernah mengungkapkan komentar guru-guru yang hadir dalam satu pelatihan literasi. "ah, istilah literasi kurang seksi, mas?" Komentar ini menunjukkan bahwa di kalangan pendidik di tanah air, literasi belum menjadi bagian penting dalam dunia belajar mengajar.
Selama ini saya bertanya-tanya mengapa topik literasi masih kurang mendapat tempat di tanah air, bahkan di kalangan pendidik sendiri. Sebagian menganggap bahwa ini adalah bagiannya orang linguistik. Sebagian lain melihatnya dari kacamata sastra. Terutama bila terkait dengan penulisan kreatif. Pikiran yang terkotak-kotak ini sering membuat saya galau. Sejujurnya, saya malah melihat literasi sebagai titik yang akan menggandengkan rumpun linguistik, sastra, dan pendidikan.
Buku ini seakan menjawab kegalauan saya. Ditulis oleh Alyson Simpson dan Simone White, buku terbitan Oxford UP ini menggunakan analogi three-legged stool, atau dingklik berkaki tiga. Bila patah satu, atau timpang tingginya, maka kursi itu tidak akan seimbang dan tidak nyaman diduduki, atau malah membuat orang jatuh. Meskipun buku ini jelas mengarah pada Bahasa Inggris, pastilah sangat bisa diterapkan untuk bahasa apapun. Nah, kursi itu adalah dunia pembelajaran bahasa. Ketiga kakinya adalah Bahasa, Literasi, dan Sastra. Pendidikan bahasa tidak akan bisa berjalan maksimal bila salah satu ranah lebih dominan, sementara satu atau bahkan dua kaki lainnya lebih pendek (atau bahkan belum terpasang).
Mari kita melakukan refleksi ke dalam dunia pembelajaran bahasa (Indonesia dan Inggris) di tanah air. Kaki mana yang masih timpang. Saya kok yakin jawabannya seragam. Cuma ada 1 kaki, yakni Bahasa. Itupun tidak sempurna. Di tingkat perguruan tinggi, bisa jadi kita sudah memiliki bahan untuk dudukan kursinya. Ketiga kaki juga sudah terasah. Sayangnya belum dipaku dan dipadu menjadi kursi yang kuat. Setidaknya, ini adalah otokritik terhadap jurusan saya sendiri.
Apakah analogi kursi dengan tiga kaki ini hanya berlaku untuk pembelajaran bahasa? Kita harus siap menjawab TIDAK, bila tekad untuk mengimplementasikan kurikulum 2013 sudah bulat. Syarat keberhasilan pembelajaran tematik adalah dengan memasukkan nafas literasi dalam kolaborasi antar disiplin.
Mari kita coba bayangkan siswa tengah belajar tentang cuaca dan hujan. Siswa dari berbagai tingkat sekolah bisa dilatih memproses informasi dari sisi Bahasa, Literasi, dan Sastra. Di ranah Bahasa, siswa SD misalnya, akan dikenalkan dengan kosa kata baru seperti awan, angin, embun, kabut, hujan, dsb. Mereka dibimbing untuk mendeskripsikan masing-masing fenomena alam, dan mungkin membuat kalimat berdasarkan gambar. Siswa di tingkat lebih tinggi akan belajar tentang jenis-jenis awan, mengenal istilah baru seperti awan cumulus, cumulonimbus, dan cirrus untuk memahami sebuat teks tentang cuaca.
Kunci keberhasilan untuk perkembangan literasi yang produktif adalah penggunaan ketrampilan praktis untuk mengkomunikasikan ide ke kelompok pembaca tertentu. Pemahaman tentang literasi adalah bagian bahasa yang diperlukan siswa untuk menggunakan pengetahuan mereka sebelumnya (prior knowledge) dan jenis komunikasi yang dibutuhkan untuk mengungkapkan ide. Siswa SD bisa menulis hasil pengamatan atau ingatan mereka tentang hujan dalam 1-2 kalimat, disertai dengan lukisan sederhana karya mereka sendiri. Siswa SMP bisa membuat laporan tentang proses terjadinya awan dan hujan berdasarkan hasil pengamatan. Dan laporan ditulis dengan menggunakan kerangka teks procedure atau report, bergantung pada tugas yang diberikan.
Bagaimana dengan sastra? Apakah tema sains seperti awan dan hujan bisa bergandengan dengan dunia imajinasi. Fakta dan fiksi adalah seperti dua sisi koin. Sama halnya dengan sains dan sastra (Kalau ini asumsi saya sendiri). Mengapa tidak? Pengalaman tentang hujan menjadi indah, sarat dengan sentuhan emosi yang personal, ketika puisi atau lagu diberi ruang. Simak saja lagu masa kecil kita,
Tik tik tik bunyi hujan di atas genting
Airnya turun tidak terkira
Cobalah tengok dahan dan ranting
Pohon dan kebun basah semua.
Bukanlah lagu yang nampaknya amat sederhana ini terdengar indah karena ada rimanya, baik di tengah maupun akhir baris (genting, ranting; hujan, dahan; turun, kebun; terkira, semua). Atau kalau suka dengan versi Bahasa Inggrisnya:
Rain, rain, go away
Come again another day
Adzra's friends all want to play
Rain, rain, go away.
Bayangkan siswa SD menyanyi bersama, sambil menengadahkan tangan, berharap hujan akan reda. Sentuhan sastrawi seperti inilah yang perlu lebih banyak mewarnai pembelajaran tematik. Tema sains bisa dipelajari tanpa harus melulu hanya menggunakan materi berbasis fakta.
Atau mau mengajarkan alur (plot) dalam film atau novel? Baik film Indonesia maupun asing nampaknya punya gambaran universal tentang hujan dan ketakutan. Ini yang kita kenal dengan collective consciousness a la Jungian criticism. Manfaatkan nuansa ini dengan menayangkan film bergenre horor atau misteri di kelas-kelas sekolah menengah. Kenalkan mereka tentang foreshadowing. Gambaran hujan deras, petir menyambar, dan pintu jendela terbuka-tutup dengan keras adalah pertanda bahwa akan terjadi sesuatu yang buruk dalam cerita.
Atau ajaklah siswa SMA di kelas Bahasa Inggris membaca cerpen "The Man who Send Rain Clouds" karya Leslie Marmon Silko. Bawalah mereka pada gambaran cultural clash antara tradisi masyarakat Indian dan praktik agama Kristen dalam menghadapi kematian. Dan ajak mereka merefleksikan kisah itu pada kondisi di tanah air. Pasti banyak pengalaman senada. Bagaimana Islam mengajarkan doa dan shalat minta hujan, dan bagaimana tradisi budaya sebagian masyarakat dalam mengharapkan kemarau panjang segera berakhir. Jangan kaget kalau kemudian malah 'jatuh' pada novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
Dunia akademik memang penuh dengan disiplin berbagai warna. Sekolah memang penuh dengan deretan mata pelajaran. Tugas kita sebagai pendidik adalah mengajak mereka melihat keterkaitan satu sama lain. Nah, sudah saatnya kita menanggalkan kepongahan disiplin dan 'ilmu sempit' yang kita punya. Mari mulai bergandengan untuk menciptakan masyarakat melek literasi di tanah air tercinta.
Rujukan:
Simpson, Alyson & White, Simone. Language, Literacy & Literature. Melbourne: Oxford University Press, 2013.
No comments:
Post a Comment