Barangkali ini yang Meaghan Morris maksud dengan humanity-driven knowledge. Profesor Cultural Studies dari Sydney University ini menekankan pentingnya upaya mencari ilmu atas dasar kemanusiaan. Bukan sekedar pemenuhan diri, namun berorientasi pada manfaat buat kemanusiaan.
Hari ini kami, peserta IACS Summer School dijadwalkan melakukan field trip. Kelompok C, di mana saya berada, dan F, akan mengunjungi kantor Taiwan International Workers' Association (TIWA) di Taipei. Sejak awal memang saya sudah mengajukan diri untuk ikut kunjungan ini. Amat relevan dengan penelitian saya. Kelompok lain (A dan B) diarahkan ke asosiasi pekerja seks, sedangkan kelompok D dan E pergi ke kelompok pekerja seni.Pengelompokan ini sesuai dengan minat masing-masing peserta.Tiga tahun bergulat dengan berbagai hasil penelitian dan data lapangan, saya paham bahwa kondisi di Hong Kong cukup memihak buruh migran. Ada peraturan gaji minimum, kewajiban majikan memberi hari libur. Bila tidak diberikan, maka majikan wajib memberikan kompensasi. Yang lebih penting lagi, buruh migran mendapatkan kebebasan berorganisasi.
Tidak heran muncul puluhan komunitas di kalangan BMI Hong Kong dengan berbagai aktivitas positif. Dan kondisi yang kondusif ini saja masih memberikan peluang pelanggaran di lapangan. Buruh migran yang masih baru dan naif cenderung tidak memiliki posisi tawar ketika hak-hak itu tidak mereka dapatkan. Karena memang tidak tahu (dan tidak pernah diberitahu oleh pihak agen).
Di antara 18 peserta yang datang ke TIWA, saya satu-satunya yang sedang meneliti isu buruh migran. Di antara serunya sesi diskusi dan tanya jawab, tak pelak saya lumayan banyak tanya dan berbagi cerita tentang kondisi BMI di Hong Kong. Tentang kegiatan penulisan yang cukup berhasil menyuarakan aspirasi mereka. Melihat kondisi Taiwan yang tidak sebagus Hong Kong, Bila buku Our Stories ditulis oleh aktivis buruh berdasarkan testimoni para buruh migran, BMI HK justru menulis sendiri kisah mereka.
Sebenarnya komunitas penulis di kalangan BMI Taiwan juga ada, meski lebih sedikit jumlahnya. Sayang saya tidak sempat bertemu dengan mereka. Padahal ini salah satu tujuan saya ke Taiwan.
Tapi saya sempat bertemu dengan seorang BMI yang berada di shelter TIWA. Ririn namanya, dari Malang. Menyalami saya sambil mengendong bayi yang mungkin baru berusia 3 bulan. Pertemuan yang singkat. Hanya 10 menit, sebelum dia pamit. Nampaknya siap-siap mau pulang ke Indonesia. Saya tidak sanggup bertanya apa masalahnya. Suara saya tercekat. Saya hanya sanggup merangkulnya, menepuk bahunya. "Ati-ati yo mbak."
Dalam perjalanan pulang di bus, pikiran saya sudah membayangkan akan memasukkan beberapa hasil pengamatan selama field trip ke dalam tesis saya. Mengulas sedikit buku Our Stories yang baru saja saya beli dari TIWA. Namun jauh di lubuk hati, ada rasa perih bagai tertusuk duri. Saya akan amat berdosa bila hanya tesis yang bisa saya hasilkan.
Sebagai peneliti, saya memang harus bisa menjaga jarak psikologis dengan isu yang saya angkat. Namun nurani saya tetap perlu menyuarakan keberpihakan. Bagaimana caranya?
Bisa jadi saya sedikit membantu mengedit tulisan teman-teman BMI HK. Mungkin saya sempat puas menterjemahkan kumpulan cerpen BMI HK ke dalam Bahasa Inggris. Tapi nampaknya itu belum akan cukup membantu menyuarakan perjuangan mereka. Semoga sebuah buku populer bisa saya persembahkan untuk mengangkat derajat para pahlawan devisa negara. Para perempuan tegar yang sudah menjadi bagian perjalanan hidup saya. Memberi inspirasi pada saya untuk tak pernah patah semangat. Semoga ini cara yang tepat untuk menyuarakan hati nurani saya.