‘Mbak, dapat salam dari dr. Bob,’ begitu sapa mbak Sirikit Syah di WA hari Minggu kemarin. ‘Lho, habis check-up ta mbak?, tanya saya. Maka mengalirlah percakapan kami tentang kondisi masing-masing. Kami berdua adalah sahabat baik, dan semakin terhubung secara emosional karena sama-sama didiagnosa breast cancer pada saat yang sama, ketika kami sedang di tengah-tengah studi S3. Mbak Ikit menjalani perawatan di RS Onkologi Surabaya, sementara saya nun jauh dari sanak saudara, menjalani semua proses operasi, kemoterapi, dan targeted therapy di Melbourne.
Dr. Bob yang disebut mbak Ikit adalah dokter bedah di RS Onkologi. Dari mbak Ikit pula saya tahu lebih banyak informasi tentang rumah sakit khusus kanker itu. Saat masih di Melbourne, saya sudah ancang-ancang untuk meneruskan proses check-up di RS Onkologi bila nanti pulang kampung. Memang akhirnya saya langkahkan kaki saya ke RS ini, 2 tahun setelah kepulangan saya ke tanah air. Ini langkah yang teledor sebenarnya. Harus saya akui itu. Harusnya saya check-up 6 bulan sekali. Saya pulang kampung di bulan Agustus 2015, Pemeriksaan terakhir secara lengkap saya lakukan di bulan Juni tahun itu, sekaligus meminta semua berkas rekam medis untuk dibawa dan dipindahkan ke Indonesia. Harusnya saya segera mencari rujukan tidak lebih dari 1 tahun kemudian. Dan pekerjaan yang padat menjadi alasan penundaannya. Ah, jangan-jangan sebenarnya saya takut memulai ritme ketemu dokter.
Singkat cerita, akhirnya saya memutuskan segera memulai check-up rutin di bulan Juni 2017 yang lalu. Saya ditangani oleh dr. Bob, dokter bedah yang muda, pintar (iya lah), dan ramah. Sesi konsultasi terasa seperti ngobrol dengan teman. Tapi tetap saja saya deg-degan. Gaya dr. Bob yang charming belum bisa menghapus rasa was-was saya. 2 tahun tidak pernah kontrol atau konsultasi dengan dokter manapun. Sementara aktivitas saja rodok nggilani. Muter koyok kitiran. Kurang piknik. Maka serangkaian pemeriksaan, mulai tes darah, x-ray, USG, mammogram. Pokoknya apapun yang diminta dokter, saya iyakan. Saya pingin tahu bagaimana kondisi saya. Saya agak pede bilang ke dr. Bob, “sejak pulang berat badan saya cenderung naik, dok. Karena saya tambah happy kali ya.” Dia bilang, “bagus sih mbak, tapi better watch out. Kenaikan berat badan bisa menjadi indikasi kambuh lagi.” Mak deg!
Setelah selesai semua rangkaian check-up di sore-malam itu juga (saya wegah menunda dan balik lagi esok paginya), saya balik lagi ke dr. Bob. Semua hasil pemeriksaan sudah muncul di layar komputernya. Sudah nge-link pastinya dengan ruangan pemeriksaan lain. “Bagus semua mbak. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sudah 4 tahun berarti ya. Sudah bagus banget. Dijaga aja kondisinya mbak. Jangan terlalu banyak kenaikan berat badannya.”
Alhamdulillah ya Allah. Pernyataan seperti itu serasa mengangkat semua beban dari bahu. Saya dijadwalkan check up lagi 6 bulan berikutnya. Dan sayapun kembali ke rutinitas. Semester gasal kemarin semakin terasa nggilani. Waktupun bergulir begitu cepat. Dan sapaan mbak Ikit membuat waktu berjalan lebih lambat. Seperti slow motion, saya diingatkan untuk segera bertemu dr. Bob lagi.
Maka pagi tadi, setelah membereskan urusan di kampus, saya meluncur ke RS Onkologi. Saya sudah membuat appointment sebelumnya untuk periksa Selasa pagi. Jalanan padat saya tembus dari sisi barat Surabaya di kawasan Lidah menuju sisi timur. Butuh 1 jam lebih, tapi memberikan cukup waktu untuk menata hati. Biasanya ketika mau check-up begini, rasa ngilu, cenut-cenut, atau pusing bisa dimaknai macam-macam. Jangan-jangan...., semoga bukan ....
Saya mendapatkan antrian nomor 8. Sudah ada 3 pasien yang masuk sebelumnya. Mata saya menyapu ruang tunggu. Cukup ramai siang ini. Saya tolah-toleh mencari sesuatu yang bisa dibaca. Ternyata ada lemari buku di depan kasir. Saya beranjak dan mengambil 1 buku. Dari judulnya, nampaknya buku itu adalah testimoni para perempuan yang pernah didiagnosa kanker. Saya buka dari halaman pertama. Dari buku itu saya baru tahu bahwa mantan Menteri Kesehatan, dr. Endang Rahayu, dan Linda Gumelar, mantan menteri pemberdayaan perempuan, istri Agum Gumelar, ternyata juga pernah kena kanker.
Lagi asyik menikmati buku itu, nomor antrian saya dipanggil. Tidak terasa, sudah 20 menit saya duduk di ruang tunggu. “Hallo mbak,” begitu sapa dr. Bob. “Salamnya sudah saya terima dari mbak Ikit,” jawab saya. Setelah basa-basi, tanya ada keluhan apa tidak, dr. Bob mulai memeriksa via USG, sambil ngobrol dan flash back tentang treatment yang saya dapatkan selama di Melbourne dulu. “Hardcore juga mbak ini.” Dia katakan begitu ketika saya sampaikan bahwa di sebagian treatment dulu, saya menyuntikkan sendiri obatnya, baik di rumah maupun di RS. Lha saya memang diperbolehkan begitu oleh perawatnya waktu itu.
Ternyata pemeriksaan kali ini hanya cukup USG yang juga tidak terlalu lama. Tidak pakai x-ray, tes darah atau lainnya. Kembali ke meja kerjanya, Dr. Bob membuka obrolan kembali. “Mbak Sirikit biasanya suka baca puisi kalau lagi ada gathering BC survivors.” Saya menyahutnya, “Iya, mbak Ikit ajak saya masuk ke WAG para BC survivors.” “Ah, syukurlah. Bagus itu mbak. Bisa saling support.” Saya mengiyakan, “mbak Ikit memang jago puisi. Kalau saya nulis di blog tentang pengalaman treatment di Melbourne dulu.” (mulai deh promosi blog pribadi). Dr. Bob langsung menyodorkan kertas. “Tulis blognya mbak, saya pingin baca juga.” Eh dokter satu ini memang beda. Saya tuliskan di notebooknya, http://tiwi-lioness.blogspot.com/. “Wah, dari namanya saja sudah terasa nih aumannya. Lioness.” Saya terkekeh. Saya membatin, bukan kalimat itu yang sebenarnya ingin saya dengar.
“Semua baik-baik saja mbak. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”
Alhamdulillah. Sambil memejamkan mata, saya merasakan tubuh saya jadi ringan. Kalimat dr. Bob selanjutnya saya iyakan dan okay-okay saja. Check-up berikutnya bulan Juli, lengkap seperti Juli lalu. Dia berikan surat pengantar untuk pemeriksaan lab. Harus segera saya simpan agar tidak ketlisut.
“Sehat-sehat terus mbak, gak usah yang aneh-aneh lagi.” Iyalah, siapa juga yang ingin sakit lagi. Mengingat kembali hari-hari berat selama paruh kedua 2013 itu saja sudah cukup membuat saya tidak ingin sakit lagi.
Hari sudah beranjak lewat tengah hari. Saya menyetir dengan santai. Sambil menyusuri kembali jalanan Surabaya yang padat di udara yang terik, saya rancang agenda hari ini. Tidak balik kampus, mampir beli rujak, terus pulang. Shalat dulu, makan rujak, lalu tidur siang.
Nikmat Tuhan yang mana lagi yang kamu dustakan!
No comments:
Post a Comment